Pertanyaan
السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة
Ustadz… Saya mau bertanya, terkait dengan income smoothing atau perataan bagi hasil yang diberlakukan antara lembaga keuangan syariah (LKS) dengan pemilik dana pihak ketiga (DPK), apakah itu diperbolehkan? Bagaimana tuntunannya? Mohon penjelasan Ustaz.
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃
Jawaban
Oleh: Ustadz Dr. Oni Sahroni, MA
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاتة
Sudah menjadi maklum bahwa akad atau perjanjian bagi hasil atau lebih tepatnya produk-produk LKS yang dibentuk dengan perjanjian bagi hasil seperti pembiayaan mudharabah atau musyarakah itu menjadi pilihan yang ideal karena memberikan manfaat, khususnya menghidupkan investasi dan sektor riil.
Namun, pandangan terhadap produk berbasis bagi hasil ini harus dilihat dari setiap sisi secara komprehensif, baik dari sisi legal, risiko, dan kepatuhan syariah.
Dari sisi risiko, akad bagi hasil seperti mudharabah dan musyarakah itu memiliki risiko tinggi. Misalnya, diilustrasikan si A sebagai pemodal berinvestasi dengan menyerahkan Rp 500 juta sebagai modal kepada si B sebagai pengelola.
Selanjutnya, sebagai pengelola, si B akan mengelola modal tersebut dalam usaha tertentu hingga menghasilkan keuntungan yang akan dibagihasilkan antara si A dan si B.
Risiko yang muncul terletak pada sejauh mana kompetensi dan komitmen si B sebagai pengelola. Karena ia memiliki kewenangan penuh terhadap modal yang diterimanya dan terhadap usaha yang dikelola, apakah ia jujur atau tidak, disiplin atau tidak, komitmen atau tidak, itu semua bergantung pada sosok si pengelola.
Dengan tingkat risiko dalam akad bagi hasil, maka sebagian investor itu membutuhkan safety bahwa si pengelola memiliki attitude yang baik, tidak wanprestasi, tidak membawa kabur uangnya, dan lainnya.
Dalam konteks LKS, seperti perbankan syariah, tantangan tersebut juga terjadi. Beberapa deposan atau penabung besar tidak siap dengan fluktuasi imbal hasil yang menjadi karakteristik deposito atau tabungan dengan akad mudharabah.
Mereka mau menempatkan dananya di perbankan syariah, seperti di deposito atau tabungan, tetapi dengan syarat imbal hasil yang fixed.
Sungguh menjadi suatu dilema, di satu sisi perbankan syariah ingin menghadirkan produk-produk yang genuine seperti mudharabah, yang salah satu karakteristiknya bagi hasil didasarkan pada realisasi usaha.
Namun di sisi lain dihadapkan pada fenomena dan fakta sebagian nasabah yang ingin fixed di dalam deposito, seperti produk bank konvensional.
Fenomena inilah yang menjadi latar belakang beberapa perbankan syariah menerapkan income smoothing dalam deposito atau tabungan, baik karena syarat para deposan atau penabung, atau karena latar belakang lain.
Menurut Fatwa DSN MUI, metode perataan penghasilan atau laba (income smoothing method) adalah pengaturan pengakuan dan pelaporan laba atau penghasilan dari waktu ke waktu dengan cara menahan sebagian laba atau penghasilan dalam satu periode dan dialihkan pada periode lain dengan tujuan mengurangi fluktuasi yang berlebihan atas bagi hasil antara LKS dan nasabah penyimpan dana (DPK). (Fatwa DSN MUI No 87).
Income smoothing sebagaimana yang dimaksud itu diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut.
(1) Kebijakan perataan penghasilan hanya boleh diberlakukan terhadap DPK yang menggunakan akad mudharabah. Oleh karena itu, income smoothing ini tidak boleh diberlakukan terhadap selain DPK.
(2) Perataan penghasilan hanya boleh digunakan LKS dalam kondisi yang diduga kuat berpotensi menimbulkan risiko penarikan dana nasabah akibat tingkat imbalan dari LKS yang tidak kompetitif (displaced commercial risk).
Income smoothing ini tidak boleh diberlakukan dalam kondisi normal, tetapi harus ada kondisi (hajah) yang melatarbelakanginya. Fatwa DSN MUI menyebutkan alasan tersebut, yaitu risiko penarikan dana nasabah akibat tingkat imbal dari LKS yang tidak kompetitif atau displaced commercial risk.
(3) Kebijakan metode perataan penghasilan tidak boleh dilakukan apabila dalam implementasinya menimbulkan kecenderungan praktik ribawi terselubung di mana imbalan diberikan tanpa memperhatikan hasil nyata, dan bagi hasil aktual melebihi tingkat imbalan yang diproyeksikan.
(4) Dalam penggunaan metode perataan penghasilan tanpa cadangan yang dilakukan dalam hasil usaha yang dibagihasilkan lebih rendah dari proyeksi, LKS boleh melepaskan haknya (isqath al-haqq atau at-tanazul ‘an al-haqq) untuk menyesuaikan imbalan bagi nasabah DPK agar kompetitif dan dapat diberitahukan kepada nasabah.
Jika LKS dan nasabah DPK itu membuat proyeksi terkait imbal hasil, kemudian realisasi usaha mudharabah itu di bawah ekspektasi, maka pada saat LKS itu merelakan sebagian keuntungannya untuk menutup imbal hasil yang menjadi hak nasabah yang di bawah proyeksi, itu dikategorikan dalam fikih sebagai at-tanazul ‘an al-haqq (merelakan hak).
(5) Kondisi sebagai dimaksud harus ditentukan oleh pengurus LKS berdasarkan pedoman operasional atau standard operating prosedure (SOP) LKS dengan memperhatikan opini Dewan Pengawas Syariah.
Karena praktik di lapangan begitu dinamis dan terbuka banyak fitur-fitur di setiap LKS, maka peran pengawasan syariah itu agar tetap sesuai dengan koridor syariah dan Fatwa DSN MUI.
(6) Jika income smoothing yang dimaksud itu dengan mengambil bagian dari keuntungan nasabah saat melebihi proyeksi, maka harus memenuhi ketentuan dalam Fatwa DSN MUI. Di antaranya bagi hasil aktual melebihi tingkat imbalan yang diproyeksikan dan dengan izin nasabah DPK.
Kesimpulan tersebut sebagaimana penjelasan fikih dan otoritas fatwa berikut.
(1) Sebagaimana Standar Syariah Internasional AAOIFI No 13 tentang Mudharabah, “Apabila salah satu pihak mensyaratkan agar ia mendapatkan nominal tertentu — dari hasil usaha — maka akad mudharabahnya tidak sah (fasid). Tetapi larangan ini tidak mencakup saat kedua belah pihak sepakat jika keuntungan usaha melebihi persentase tertentu, kemudian keuntungan tersebut menjadi hak salah satu pihak. Selanjutnya, jika realisasi keuntungan terjadi sesuai dengan persentase atau di bawah proyeksi, maka keuntungan tersebut dibagi sesuai kesepakatan.”
(2) Sebagaimana Standar Syariah Internasional AAOIFI No 12 tentang Syirkah, “Boleh ada kesepakatan jika realisasi keuntungan melebihi persentase tertentu (proyeksi), maka salah satu pihak syirkah itu berhak atas keuntungan tersebut. Selanjutnya, jika realisasi keuntungan terjadi sesuai dengan persentase atau di bawah proyeksi, maka keuntungan tersebut dibagi sesuai kesepakatan.”
(3) Sebagaimana Standar Syariah Internasional AAOIFI No 12 tentang Syirkah, “Alasan bolehnya kesepakatan saat realisasi keuntungan melebihi persentase tertentu (proyeksi), maka salah satu pihak syirkah itu berhak atas keuntungan tersebut. Sesungguhnya syarat ini dibolehkan oleh syariah dan tidak termasuk syarat yang menyebabkan prinsip “sama-sama untung” itu terlanggar (Qath’ al-Isytirak). Dan pemilik modal berkewajiban untuk menanggung kerugian jika pada realisasinya itu terjadi (al-Bahr al-Zakhkhar 5/83).”
(4) Sebagaimana Standar Syariah Internasional AAOIFI, “Berdasarkan anggaran dasar perusahaan atau keputusan dari para pemegang saham, perusahaan boleh menahan keuntungan perusahaan tanpa dibagikan, atau menyisihkan keuntungan dalam jumlah tertentu secara periodik untuk memperkuat kinerja perusahaan (solvency reserve), atau membentuk cadangan khusus untuk menanggulangi risiko kerugian modal (investment risk reserve), atau untuk menjaga kestabilan pembagian keuntungan (profit equalization reserve).” (Mi’yar Syar’i nomor: 12, angka 3/1/5/14).
(5) Sebagaimana pendapat Wahbah az-Zuhaili, “Ulama Hanafiah membolehkan untuk membuat syarat bahwa salah satu pihak yang berakad memperoleh dinar dengan jumlah tertentu yang diketahui dalam hal keuntungan usaha melebihi nilai tertentu; syarat tersebut dipandang sah dan tidak berdampak pada sahnya akad mudharabah, karena hal tersebut tidak menyebabkan ketidakjelasan (bagian) keuntungan.” (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz V, hlm 3939).
Wallahu a’lam.
Sumber: Konsultasi Syariah Rebuplika Online, 22 Januari 2024
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis
Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial
📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis
💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130