Pertanyaan
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Ustadz… Saya mau bertanya, saya seorang pebisnis ingin memastikan niat (nawaitu) saya itu benar. Seperti apa nawaitu berbisnis itu? Apakah seperti niat berpuasa diikrarkan dalam lisan atau seperti apa? Apa ukuran bahwa niat bisnis kita sudah benar? Bagaimana kita bisa merawat niat kita? Terima kasih atas perhatiannnya Ustadz
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸
Jawaban
Oleh: Ustadz DR. Oni Sahroni, MA
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Pertama, sesungguhnya dalam Islam, semua aktivitas termasuk bisnis dan berdagang yang dilakukan itu bermula dari niat (nawaitu), karena kedudukan niat dalam ibadah atau dalam Islam itu menjadi inti atau menjadi rukun.
Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan…” (HR Bukhari Muslim).
Kedua, walaupun niat itu tidak terlihat (tidak kasat mata atau abstrak), tetapi niat menentukan aktivitas para pebisnis dan pedagang itu bernilai ibadah atau tidak.
Jika niat dan tujuan berbisnis itu benar, maka semua aktivitas dagang, untung ataupun rugi, dari hulu ke hilir, dari A hingga Z itu bernilai ibadah, dedikasi, penghambaan kepada Allah dan menjadi kebaikan. Ia akan temukan itu menjadi investasi amal di akhirat kelak.
Tetapi sebaliknya, jika maksud dan tujuan berbisnis itu tidak baik, negatif bahkan jahat, maka aktivitas bisnis yang menyita waktu itu tidak akan bernilai ibadah, tidak menjadi kebaikan, tidak akan ditemukan sebagai investasi amal di akhirat kelak. Itu maksudnya niat menjadi rukun dan KPI (key performance indicator) dalam Islam.
Ketiga, selanjutnya, tentu berniat dan menentukan tujuan berbisnis itu tidak cukup dengan melafalkan atau mengucapkan atau mengikrarkan maksud tersebut dalam lisan, seperti halnya saat berpuasa di mana setiap setelah Tarawih bersama-sama melafalkan niat puasa Ramadan yang akan ditunaikan esok harinya, tentu itu tidak cukup.
Tetapi dengan memastikan dan menulis daftar tujuan dan maksud itu sudah sesuai dengan tuntunan syariah atau tidak. Apakah ada di antara maksud dan tujuan berbisnis ini terselip sesuatu yang tidak sesuai dengan tuntunan syariah atau tidak.
Keempat, di antara contoh tujuan yang termasuk dalam kategori Lillahi ta’ala adalah tujuan yang tidak bertentangan dengan syariah atau sesuai dengan tuntunan syariah. Di antaranya mengelola bisnis sebagai –seorang ayah atau seorang ibu– agar kebutuhan biaya keluarga itu terpenuhi atau karena biaya hidup di kota itu tinggi dan juga mengandalkan pendapatan suami akan berakibat keuangan keluarga minus, maka ikut bekerja untuk melengkapi kebutuhan keuangan keluarga atau agar kebutuhan pendidikan anak-anak terpenuhi atau agar menambah sakinah keluarga atau agar bisa mengirim biaya untuk orang tua sebagai salah satu bentuk birrul walidain, dan sejenisnya.
Salah satu contoh bahwa seluruh maksud dalam berbisnis itu tidak ada yang bertentangan dengan syariah, bahkan itu sesuai dengan ketentuan syariah dan dapat dikategorikan maksud berbisnis itu karena Allah atau Lillahi ta’ala.
Ada beberapa indikator atau ciri yang menunjukkan bahwa berbisnis yang telah dilakukannya diawali dengan niat yang baik. Misalnya, saat bekerja menerima rezeki dari Allah SWT dan mencapai kriteria wajib zakat itu ditunaikan zakatnya yang menunjukkan bahwa ada indikator komitmen akan niat dan maksud yang telah diikrarkan di awal perjalanan bisnis atau selama berbisnis dikenal sebagai pebisnis yang jujur dan profesional.
Sebagaimana testimoni para sahabat mitra non Muslim Rasulullah SAW, “…dan engkau adalah sebaik-baik teman yang tidak memperdayaiku dan mendebatku.” (HR Ibnu Majah).
Sebagai seorang pelaku bisnis yang hidup di tengah komunitas sosial, di perumahan atau RT tempat ia tinggal, ia mendapatkan kesan positif dari tetangga sekitar sebagai sosok yang santun, iuran warga dipenuhi, tidak berbuat masalah. Ini menunjukkan komitmen akan niat dan komitmen akan tujuan.
Kelima, ada beberapa tips agar niat dan maksud berbisnis itu Lillahi ta’ala. Di antaranya, (1) Me-list dan memastikan seluruh tujuan berbisnis itu Lillahi ta’ala atau sesuai dengan tuntunan syariah atau tidak ada yang bertentangan dengan tuntunan syariah, seperti contoh-contoh yang disebutkan di atas.
(2) Merawat iman dengan menjadi hamba yang dekat dengan Allah SWT dalam beribadah. Seperti disiplin shalat lima waktu yang ditunaikan dengan penuh ihsan, penuh tuma’ninah dan khusyuk.
Dan merawat iman dengan cara menjadi insan sosial terbaik, seperti menjadi tetangga terbaik, menjadi warga terbaik, menjadi mitra sosial terbaik yang dibuktikan dengan kesan dan testimoni khalayak sekitar seperti tetangga dan mitra bisnis, melakukan bisnis sesuai dengan aturan atau on the track atau tidak ada yang melanggar dan menyimpang, secara syariah terpenuhi, ketentuan legal terpenuhi, risiko termitigasi, dan selebihnya berserah diri pada Allah SWT.
Karena yang menjadi kewajiban setiap pebisnis adalah mengisi ruang kemanusiaan itu secara full. Sisanya itu ruang takdir diserahkan kepada Allah SWT.
(3) Berdoa, memohon ampun dan memohon pertolongan kepada Allah SWT agar dimudahkan dalam berniat, agar tidak ada niat dalam berbisnis yang menyimpang dan tidak sesuai dengan tuntunan syariah. Dan memohon ampun atau pertolongan kepada Allah SWT agar bisa istiqamah, agar bisa merawat maksud dan tujuan ini dalam perjalanan bisnisnya.
Wallahu a’lam.
Sumber: Republika 19 Juni 2023
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis
Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial
📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/gabungmanis
💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130