Pelajaran Fiqih Dakwah dari Nabi Harun & Nabi Musa ‘Alaihimassalam

0
49

📆 Ahad, 24 Rajab 1437H / 1 Mei 2016

📚 DAKWAH ISLAM

📝 Ust. A Sahal Hasan, Lc

📋 PELAJARAN FIQIH DA’WAH dari NABI HARUN & NABI MUSA ‘alaihimassalam

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

📚 Pelajaran Fiqih Da’wah dari Nabi Harun ‘alaihissalam:

1⃣ Nasihat Nabi Harun kepada kaumnya menunjukkan urutan tema da’wah yang sangat indah:

✅ Sesungguhnya kamu hanya diuji dengan anak lembu itu: ini merupakan bentuk إزالة الشبهات (upaya melenyapkan syubhat aqidah dan pemahaman) dengan mengingatkan mereka agar jangan mudah terperosok kepada kesesatan hanya oleh seorang Samiri, padahal mereka telah meilhat berbagai mu’jizat dan ni’mat Allah melalui Nabi Musa alaihissalam.

✅ Dan sesungguhnya Rabb kalian ialah Ar-Rahman: mengingatkan mereka dengan معرفة الله (ma’rifatullah), sebagai asas iman yang benar.

✅ Maka ikutilah aku: mengingatkan mereka dengan معرفة النبوة mengenal kenabian agar dibimbing oleh utusan Allah.

✅ Dan taatilah perintahku: mengingatkan mereka untuk اتباع الشريعة (mengikuti syariat) sebagai jalan hidup yang lurus. (Lihat Mafatih Al-Ghaib, Al-Razi: 22/92).

2⃣ Ucapan Nabi Harun “Wahai putra ibu..” menunjukkan posisi seorang ibu yang amat penting bagi kedekatan anak-anaknya dengan kasih sayangnya yang melebihi seorang ayah. Nabi Harun mengingatkan Nabi Musa dengan ibu mereka berdua untuk meredakan kemarahan Nabi Musa kepadanya, meskipun mereka berdua adalah saudara kandung seayah dan seibu.

3⃣ Nabi Harun ‘alaihissalam mengetahui kapasitas dirinya sehingga ia tidak melakukan tindakan yang dapat menimbulkan akibat lebih buruk. Akan berbeda akibatnya jika yang melakukannya adalah Nabi Musa, karena ia lebih memiliki kharisma dari pada Nabi Harun. Ini tersirat dari ucapannya: “Sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah.”

4⃣ Ada fiqih muwazanat (timbangan maslahat & madharat) dan fiqih awlawiyat (prioritas) yang diperhatikan oleh Nabi Harun yang terlihat dari jawabannya atas teguran Nabi Musa (Thaha: 94).

Menurut Nabi Harun:

✅ Maslahat tetap membersamai ummat yang tersesat lebih besar dari pada maslahat meninggalkan mereka untuk menyusul Nabi Musa.

✅ Madharat perpecahan ummat jauh lebih besar dari pada madharat tidak berlaku keras atau tidak memerangi kelompok yang menyimpang, meskipun peyimpangan dan kesesatan mereka sangat nyata, dan meskipun beliau juga seorang nabi yang memiliki legalitas dan wewenang tinggi untuk berlaku keras.

Artinya Nabi Harun memprediksi akan terjadi perpecahan bahkan perang saudara jika ia dan orang-orang yang tetap beriman bersikap keras. Kesesatan mereka bisa diatasi saat Musa kembali sehingga Nabi Harun lebih memilih sabar. Sedangkan nyawa yang hilang tak dapat dikembalikan, juga keutuhan ummat sulit dipulihkan setelah cerai berai oleh perang meskipun Nabi Musa telah kembali.

Tentu, muwazanah seperti muwazanah Nabi Harun lebih layak diperhatikan terhadap hal-hal yang “penyimpangannya” masih diperdebatkan.

📚 Pelajaran Fiqih Da’wah dari Nabi Musa ‘alaihissalam

1⃣ Kemarahan karena Allah tatkala melihat kemunkaran yang jelas dan tak ada perbedaan pendapat tentang status munkarnya. Ini adalah sikap yang wajib dimiliki oleh setiap juru da’wah dan organisasi da’wah. Meskipun ekspresi kemarahan itu harus dikontrol dengan berbagai fiqih, seperti fiqih awlawiyat, fiqih muwazanat, fiqih ma-alat…

2⃣ Nabi Musa melakukan empat hal berurutan yang menunjukkan kapasitas dan ketegasannya sebagai seorang pemimpin yang mampu menyelesaikan masalah:

✅ Berdialog dengan kaumnya yang tersesat untuk mengetahui masalah dan meluruskan mereka, karena mereka yang paling bertanggung jawab atas diri mereka sendiri, dan mereka punya kehendak untuk tetap istiqamah.

✅ Berbicara kepada saudaranya, Nabi Harun, yang telah diamanahkan memimpin mereka.

✅ Menyelesaikan urusan dengan Samiri, sebagai penyebab kesesatan kaumnya dan memberikan hukuman diusir dan dikucilkan dari pergaulan hingga akhir hayatnya (lihat: Thaha: 95-97).

✅ Membakar patung anak sapi dan membuang abunya ke laut (lihat: Thaha: 97-98).

Sayid Quthb rahimahullah berkata:

إِنَّمَا لَمْ يَتَوَجَّهْ إِلَيْهِ مُنْذُ الْبَدْءِ، لِأَنَّ القَوْمَ هُمُ الْمَسْئُولُونَ أَلَّا يَتَّبِعُوا كُلَّ نَاعِقٍ، وَهَارُونُ هُوَ الْمَسْئُولُ أَنْ يَحُولَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ اتِّبَاعِهِ إِذَا هَمُّوا بِذَلِكَ وَهُوَ قَائِدُهُمْ الْمُؤْتَمَنُ عَلَيْهِمْ. فَأَمَّا السَّامِرِيّ فَذَنْبُهُ يَجِيءُ مُتَأَخِّرًا لِأَنَّهُ لَمْ يَفْتِنْهُمْ بِالْقُوَّةِ، وَلَمْ يَضْرِبْ عَلَى عُقُولِهِمْ، إِنَّمَا أَغْوَاهُمْ فَغَوَوْا، وَكَانُوا يَمْلِكُونَ أَنْ يَثْبُتُوا عَلَى هُدَى نَبِيِّهِمُ الأَوَّلِ وَنُصْحِ نَبِيِّهِمُ الثَّانِي. فَالتَّبَعَةُ عَلَيْهِمْ أَوَّلًا وَعَلَى رَاعِيهِمْ بَعْدَ ذَلِكَ ثُمَّ عَلَى صَاحِبِ الْفِتْنَةِ وَالْغَوَايَةِ أَخِيرًا.

Nabi Musa tidak langsung mengarahkan kemarahannya kepada Samiri, karena kaumnyalah yang bertanggung jawab (atas diri mereka sendiri) untuk tidak mengikuti semua seruan penyesat.

Sedangkan Harun dialah mas-ul yang bertanggung jawab menghalangi mereka dari keinginan mengikuti kesesatan, dan ia adalah pemimpin yang diamanahi atas mereka.

Adapun Samiri, dosanya datang belakangan karena ia tidak menyesatkan mereka dengan kekuatan (paksaan), juga tidak menghilangkan akal mereka. Tetapi ia hanya mengajak mereka lalu mereka menyambut kesesatannya. Mereka tetap memiliki pilihan untuk tsabat (teguh) di atas petunjuk Nabi mereka yang pertama dan mengikuti nasihat Nabi mereka yang kedua.

Jadi tanggung jawab tetap pada mereka pertama kali, kemudian di pundak pemimpin mereka, kemudian terakhir adalah tanggung jawab pemilik (ide) kerusakan dan kesesatan (Samiri). (Fi Zhilal Al-Quran: 4/2348).

Wallahu a’lam

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here