Batasan Berhias untuk Wanita

0
72

Assalamuallaikum wr wb,                                        
Pertanyaannya :
Ustadz  Saya sdh sering dpt materi perhiasan muslimah…tp ga dalem pas yg ini. kalau batasan pemerah bibir dn pewarna pipi gmn ya dipublik? sy bbbrp liat ummahat/akhwat menggunakan. Sy sebut ummahat/akhwat krn ngaji rutin dn riwayat pend di sekolah islam. Bolehkah? Seberapa batasan tabaruj?

Innar S..manis A 08.        

JAWABANNYA.
Wa alaikum salam wr wb.

HIASAN KULIT DENGAN PEWARNAAN

Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Sesungguhnya didatangkan kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam seorang bencong yang telah mengkhidhob (mewarnai) kedua tangan dan kedua kakinya.

Maka NabiShollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:

مَا بَالُ هَذَا؟
“Ada apa dengan orang ini?”.

Dikatakan kepada beliau: “Wahai Rosululloh, dia meniru-niru perempuan”. Lalu beliau memerintahkannya untuk diasingkan ke An-Naqi’.

Orang-orang berkata kepada beliau: “Tidakkah kami membunuhnya?”. Beliau berkata:

إِنِّي نُهِيتُ عَنْ قَتْلِ الْمُصَلِّينَ

“Sesungguhnya aku dilarang membunuh orang yang menunaikan sholat”. (HR Abu Daud)

Hadits ini menunjukkan bahwa sudah merupakan sesuatu yang masyhur di kalangan shohabat kalau wanita menghiasi kaki dan tangannya dengan khidhob.

Ummul Mukminin ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha ditanya tentang boleh tidaknya wanita berkidhob dalam masa haid, maka dia menjawab:

قد كنا عند النبي صلى الله عليه وسلم ونحن نختضب فلم يكن ينهانا عنه

“Dahulu kami di sisi Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan kami berkhidhob, sementara beliau tidak melarangnya”. (HR Ibnu Majah)

Yang ingin kita petik dari hadits dan atsar-atsar di atas bahwasanya pewarnaan kulit dalam hiasan wanita, memiliki asal dalam syari’at ini selama bukan bersifat permanen (seperti tatto.

PEMERAH PIPI DI KALANGAN MUSLIMIN TERDAHULU

Sumber pembahasan yang bersinggungan dengan masalah ini bisa didapatkan di banyak kitab-kitab ulama terdahulu dari kalangan Hanabilah maupun Syafi’iyyah.

Adapun di kitab-kitab mazhab yang lain sejauh ini belum kami temukan pembahasan terkait.

1. Pembahasan Masalah Pemerah Pipi Di Mazhab Hanabilah

Masalah ini mereka gandengkan dengan masalah pengeritingan rambut, sebagian ulama Hanabilah ada yang menghukuminya dengan tadlis.

Namun larangan mereka tidak terkait tentang pembahasan hiasan yang singgung. Pembahasan ini terkait dengan penjualan budak wanita. Dan hukum tadlis tersebut juga bukan mereka tetapkan secara mutlak. Perkara tersebut mereka hukumi tadlis dalam kondisi apabila pemilik budak sengaja melakukan perkara tersebut untuk diperlihatkan ke calon pembeli karena rambut yang keriting dan pipi yang merah menunjukkan kekuatan pada budak tersebut. Sama halnya dengan menunggu menggumpalnya susu di dadanya kemudian menawarkannya kepada calon pembeli dalam kondisi tersebut. [Lihat: Al-Kaafi 2/48 dan Al-Mughny 7/217 karya Ibnu Qudamah (wafat 620), Al-Mubdi’ fi Syaril Muqni’ 4/80 karya Ibnu Muflih (wafat 884), Matholib Ulin Nuha 5/105 karya Ar-Ruhaibany (wafat 1243) dll]

Adapun jika pemerah pipi tersebut dilakukan bukan dengan tujuan mengibuli calon pembeli maka ada dua pendapat dalam mazhab, sekalangan tetap mengatakan tadlis sementara yang lain mengatakan tidak.[Lihat Al-Inshof fi Ma’rifatir Rojih Minal Khilaf 4/399 karya Al-Mardawy (wafat 885)]

2. Pembahasan Masalah Pemerah Pipi Di Mazhab Syafi’iyyah.

Disamping pembahasan yang sama dengan yang dibahas di kitab-kitab Hanabilah, pada kebanyakan kitab ulama Syafi’iyyah juga membahas permasalahan ini dari sisi yang terkait dengan hiasan wanita. Pemerah tonjolan pipi yang mereka pakai ketika itu adalah daun pacar.

Secara umum mereka membagi permasalahan ini kepada kedua kondisi:

Pertama, apabila perbuatan tersebut diizinkan suami atau pemilik budak perempuan, karena merekalah yang berhak untuk perkara tersebut.

Kedua, apabila perbuatan tersebut tidak diizinkan suami atau pemilik budak perempuan.

Dalam kedua kondisi ini para ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat, ada yang membolehkan dan ada yang melarang.

Alasan pelarangan ada dua: Hak suami ataupun tuan akan hiasan seorang wanita dan alasan pengubahan ciptaan Alloh.

Alasan pertama adalah cabang dari alasan pelarangan bahwa perkara tersebut adalah pengubahan ciptaan Alloh. Bagi yang berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah pengubahan ciptaan Alloh, mereka berbeda pendapat mengenai perlu tidaknya izin untuk itu. Mayoritas ulama Syafi’iyyah tidak menganggap bahwa pemerahan pipi tergolong pengubahan ciptaan Alloh.

Karena itulah perselisihan mereka pada kondisi pertama sangat lemah bahkan bisa dikatakan terabaikan.

Imam Abul Ma’aly Al-Juwainy Rahimahulloh (wafat 478) mengatakan: Sangat jauh kemungkinan adanya perselisihan dalam pemerahan wajah dengan izin suami, karena tidak adanya khabar (dalil yang melarang pemerahan pipi). Wajah bisa saja memerah karena faktor tertentu, seperti marah, gembira, lelah ataupun cepat dalam berjalan. [Nihayatul Mathlab fi Diroyatil Mazhab 2/319]

Bahkan Ar-Rofi’iy Rahimahulloh (wafat 623) mengatakan perkara tersebut boleh tanpa ada perselisihan. Sementara An-Nawawy menyatakan bahwa pembolehan pemereah pipi jika dilakukan seizin suami atau tuan adalah pendapat mazhab Syafi’i. [Fathul ‘Aziz bi Syarhil Wajiz 4/33, Roudhotul Tholibin 1/276 karya An-Nawawy]

[Lihat juga: Tuhfatul Muhtaj 2/128 karya Ibnu Hajar Al-Haitamy, Fathul Wahhab 1/201 karya Al-Qodhi Zakariya Al-Anshory]

PENGUBAHAN TAMPILAN WARNA KULIT DENGAN MAKE UP

Pendapat pertama:

adalah para ulama yang membolehkan.

Pendapat ini adalah pendapat para ulama Al-Lajnah Ad-Daa-imah yang terdiri dari: Syaikh Ibnu Baaz, Syaikh Abdurrozzaq ‘Afify, Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud, Syaikh ‘Abdulloh bin Ghudayyan, Syaikh Sholih Al-Fauzan, Syaikh Sholih Alusy Syaikh, dan Syaikh Bakr Abu Zaid Ghofarohumullohu.

Pendapat kedua:

adalah para ulama yang melarang pemakaiannya disebabkan bahaya dan dampak jelek yang ditimbulkannya.

Diantara ulama yang menyatakan alasan ini adalah Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin dan Syaikh Muqbil Ghofarohumullohu.

Pendapat ketiga:

adalah para ulama yang melarang pemakaiannya disebabkan -menurut mereka- menggunakan make up termasuk perbuatan tasyabbuh (menyerupai) wanita kafir maupun wanita fasik dari kalangan muslimin

Diantara yang berpendapat demikian adalah Syaikh Al-Albany dan Syaikh kami Jamil Ash-ShilwyGhofarohumallohu.

Apakah amalan ini tergolong tasyabbuh dengan wanita kafir atau fasik?

A. Pendapat pertama jelas mengatakan bahwa make up berada dalam hukum asal hiasan wanita muslimah yaitu boleh. Hal ini berdasarkan firman Alloh Ta’ala:

قل من حرم زِينَة الله الَّتِي أخرج لِعِبَادِهِ والطيبات من الرزق

“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?”. (QS Al-A’raf 32)

Maka orang yang menyatakan secara asalnya tidak boleh bagi wanita muslimah memakai make up, dialah yang dituntut mengemukakan alasan.

B. Pemilik pendapat kedua (bahaya bagi kesehatan kulit)

Pada dasarnya mencocoki pendapat ini, karena sesuai kaidah dalam penerapan hukum di syari’at ini:

“Al-Hukmu Yaduuru Ma’a ‘Illatihi”, yakni hukum-hukum itu berjalan sesuai dengan keberadaan ‘illah (sebab hukum)nya, apabila ‘illahnya tidak ada maka hukumnya tidak ada.

Jadi ketika mereka menetapkan yang menjadi ‘illah larangan adalah bahaya, maka konsekwensinya apabila bahaya bisa dihindari maka perkara ini tidak terlarang.

C. Adapun pemilik pendapat ketiga menilai bahwa make up itu sendiri tidak boleh dipakai oleh wanita muslimah karena berasal dari amalan wanita kafir ataupun fasik.

Alasan ini bisa mungkin bisa dijawab oleh dua kelompok sebelumnya,

1. Bahwa tasyabbuh terjadi apabila sebuah amalan merupakan kekhususan mereka, yaitu ciri yang mereka dikenal dengannya, artinya tidak dikenal yang memakai pewarna di wajah kecuali wanita kafir atau fasik. Apabila sebuah amalan muncul atau dimulai oleh orang kafir -dan pasti yang mempopulerkan adalah mereka, karena wanita baik-baik tidak akan memajang dirinya di media-media- tidak mesti dikatakan bahwa amalan tersebut merupakan kekhususan mereka. Berapa banyak amalan-amalan dan alat-alat yang muncul dari kafir dan mereka populerkan di media-media, namun para ulama tidak menghukuminya sebagai bentuk tasyabbuh.

Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan:

“Timbangan tasyabbuh adalah:

seorang melakukan penyerupaan dalam kekhususan orang yang diserupai. Tasyabbuh dengan orang kafir adalah seorang muslim melakukan seuatu yang merupakan kehususan mereka. Adapun perkara yang telah berkembang di kalangan muslimin sehingga orang kafir tidak bisa dibedakan dengannya, maka tidak terjadi tasyabbuh.Tidak juga haram karena tasyabbuh kecuali ada unsur keharaman di sisi lain. Apa yang kami sampaikan ini adalah konsekwensi yang ditunjukkan oleh kata (tasyabbuh) ini”.
[Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Al-‘Utsaimin 12/290]

Terlebih lagi meletakkan pewarna di tubuh wanita tidak ada larangan secara khusus, bahkan sebaliknya terdapat dalil tentang pemakaian celak di mata, ataupun inai di tangan dan kaki. Kecuali jika model hiasan wajah tersebut nyentrik, ataupun memboroskan harta maka yang seperti ini mungkin bisa digolongkan dalam kebiasaan mereka (orang-orang yang mengabaikan syari’at) karena syari’at ini melarang tindakan berlebih-lebihan, demikian juga jika make up itu dipertontonkan kepada lelaki yang bukan mahram. Tidak boleh bagi seorang wanita muslimah mengambil perkara terlarang sebagai sebuah kebiasaan.

2. Jawaban kedua,

Bahwasanya pemerah pipi bukanlah perkara yang baru di kalangan kaum muslimin. Masalah ini dicantumkan di kitab-kitab fiqih ulama terdahulu (sebagaimana telah lewat penyebutannya).

Alasan bahwa hiasan ini (make up) tidak diturunkan Alloh penjelasan tentangnya, mengandung konsekwensi -kalau dicermati- bahwa setiap hiasan yang dipakai wanita mesti ada dalilnya. Yakni hukumnya seperti ibadah yang tidak boleh dilakukan kecuali ada dalil. Hal tersebut jelas menyelisihi hukum asal akan bolehnya hiasan bagi wanita baik yang dahulu dikenal maupun tidak selama tidak ada faktor lain yang menyeretnya kepada keharaman, sesuai keumuman ayat.

Kesimpulan:

Semua pembahasan di atas, pembolehannya jika digunakan berhias untuk suami (mahram)

Untuk menggunakannya di publik, apalagi digunakan secara mencolok (merah yang menyala) dan diniatkan berhias untuk menarik pandangan dan perhatian laki-laki yang bukan mahromnya TIDAK BOLEH
Wallahu a’alam

Dra. Indra Asih
Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here