Allahu Robbul Alamin

Urgensi Dua Kalimat Syahadat (أهمية الشهادتين) (Bag-1)

Pemateri: Ustadz DR Wido Supraha

Materi ini mengingatkan kaum muslimin akan pentingnya dua kalimat syahadat yang telah sangat dikenal sejak pertama kali mengenal Islam, bahkan dihafal dan terus menerus diulang pengucapannya setiap hari.

Namun adakah di antara Anda yang memaknai untaian kalimat singkat namun penuh makna ini? Bukankah dua kalimat ini kita lafazhkan setiap harinya?

Bagaimana sesungguhnya urgensi dari kalimat yang merupakan gerbang pertama seseorang untuk masuk ke dalam agama Islam?

Aqidah berasal dari kata ‘aqoda, bermakna ma’qudah (yang terikat).

Aqidah bagaikan ikatan perjanjian yang teguh dan kuat, karena ia terpatri dalam hati dan tertanam di dalam lembah hati yang paling dalam. Aqidah adalah iman dengan semua rukunnya yang enam.

Rukun pertamanya adalah mengucapkan syahadatain, dua kalimat syahadat.[1]

Tegaknya Islam wajib didahului tegaknya rukun Islam. Tegaknya Rukun Islam wajib didahului tegaknya syahadah.

Maka sedemikian pentingnya syahadah ini sehingga ia perlu mendapatkan perhatian khusus agar mendapatkan pemaknaan yang shahih, menentukan kebahagiaan hidup kita, dunia dan akhirat.

Bersama syahadat, kita saksikan generasi awal pemeluk agama ini (السَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ) memiliki kesabaran di atas rata-rata ketika disiksa, ditawan, dipukuli, dan berhijrah.

Syahadatain, dua kalimat syahadat, dua kalimat yang diucapkan sebagai persaksian seorang Muslim.

Kalimat pertama menegaskan bahwa ‘Tidak Ada Tuhan yang disembah dengan sebenar-benarnya selain Allah’, dan kalimat kedua menegaskan bahwa ‘Muhammad Saw. adalah benar utusan Allah Swt.’.[2] Yang dimaksud dengan kalimat ini adalah makna hakikinya bukan sekedar lafazhnya.

Maka kemudian, kedua kalimat ini melahirkan loyalitas (wala’) dan penolakan (bara’), sebagai wujud kelurusan tauhid.

Muslim pun akan tergerak untuk hanya mengesakan Allah, selalu bergantung kepada Allah, mengingkari dan berlepas diri dari segalah sesuatu yang disembah selain Allah. [3]

Berkata Ibn Qayyim al-Jauziyyah, “Tauhid itu mengandung kecintaan kepada Allah, ketundukan dan merendahkan diri kepada-Nya, patuh dengan sebenarnya untuk ta’at kepada-Nya, memurnikan ibadah hanya kepada-Nya, menghendaki pertemuan dengan wajah-Nya Yang Maha Tinggi dengan segenap perkataan dan perbuatan, memberi dan menahan, mencinta dan marah karena-Nya, serta menghindarkan diri dari segala sesuatu yang menyeret pada kedurhakaan kepada-Nya.”[4]

Begitu pentingnya pemaknaan yang benar akan konsep syahadat, dan melihat begitu banyak penyimpangan dalam sejarah pengembangan agama ini, maka lahirlah disiplin ilmu tauhid.

Kehadiran ilmu tauhid ini merupakan salah satu bentuk perhatian terhadap aqidah Islam, baik dari sisi pemahaman, penarikan konklusi dalil, ataupun pembelaan terhadap ragam serangan yang telah pernah terjadi di masanya.

Ragam serang itu muncul karena lahirnya ragam pemikiran menyimpang sehingga membutuhkan upaya untuk pelurusan dan penguatan kembali.[5]

Bersyukurlah kita berada dalam keyakinan Islam. Islam dengan akidah ketuhanan menjadi penyempurna dan perbaikan bagi setiap akidah yang telah mendahuluinya dalam berbagai aliran keagamaan ataupun filsafat yang membahas masalah ketuhanan.[6]

Syahadatain merupakan awal sekaligus inti dari ber-Islam.
Syahadatain adalah akidah itu sendiri. Syahadatain adalah sesuatu yang kepadanya segala bentuk ketundukan sebagaimana makna ad-Din. Maka Islam adalah akidah, agama, dan manhaj hidup seorang mukmin.[7]

Syahadatin menjadi inti dan sumber motivasinya. Konsep ini membawa kita kepada keimanan dengan cara yang benar bahwa hanya kepada Allah kita beribadah, dan bahwa hanya Allah yang memiliki hak membuat syariat untuk manusia.[8]

Allah Swt. berfirman dalam Surat Al-Baqarah/2 ayat 143:

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan [95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”

Kata wasathan hanya satu kali ditemukan dalam Al-Qur’an, namun ada 4 kata lain yang menggunakan dasar kata yang sama didapati, dengan satu kata sebagai kata kerja.

Ummat wasathan adalah umat terbaik, sebagaimana dikatakan ‘Rasulullah wasathan fi qaumihi‘, dan sebagaimana Shalat Wustha adalah shalat terbaik. Ketika Allah menjadikan Ummat ini sebagai ummatan wasathan maka Dia memberikan kekhususan kepadanya dengan syari’at yang paling sempurna, jalan yang paling lurus, dan paham yang paling jelas.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Sa’id, juga disebutkan oleh Rasulullah bahwa kata al-wasath juga bermakna al-‘adl, adil dan pilihan.[9]

Kata syahadah dengan ragam bentuknya dapat ditemukan sebanyak 160 kata di dalam Al-Qur’an, 107 kata benda, dan 53 kata kerja. Sebagaimana kata ‘syahiidan’, dalam Surat An-Nisa’/4 ayat 41:

“Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu.:

1. Pintu Masuk ke dalam Islam

Memasuki agama Islam sangatlah mudah, hanya dengan memformalkan pengucapan syahadatain di atas keimanan.

Namun sesuatu yang mudah ini sangat sulit dilakukan oleh kafir Quraisy yang sangat memahami makna di balik kalimat yang mudah diucapkan tersebut. Kandungan dan konsekuensi logis di balik kalimat tersebut telah menahan mereka untuk kembali ke jalan Islam, jalan hidayah nan penuh kasih.

Dikatakan ‘kembali’, karena asasinya, manusia telah pernah berjanji di alam ruh, untuk sentiasa menyembah Allah semata.

Allah Swt. berfirman dalam Surat Al-A’raf/7 ayat 172;

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”.

(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata- kan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”,

Atau agar kamu tidak mengatakan:
“Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?”

Menurut Imam Jalaluddin Muhammad al-Mahalli, kata ‘min zhuhurihim‘ merupakan badal isytimal (kata ganti yang mencakup) dari kata-kata sebelumnya, ‘min bani Adam‘ dengan mengulang penyebutan huruf jar ‘min‘.[10]

Maka kemudian kita menyaksikan bagaimana Nabi Muhammad Saw. telah berupaya mengislamkan seluruh isi bumi ini semaksimal kemampuan yang ada saat tersebut, sebagaimana hadits ke-8 Arba’in An-Nawawiyah berikut ini:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم قَالَ : أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكاَةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَـهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ تَعَالىَ [رواه البخاري ومسلم

Dari Ibnu Umar radhiallahuanhuma sesungguhnya Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda:

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu maka darah dan harta mereka akan dilindungi kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah ta’ala. (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Allah Swt. juga berfirman dalam Surat Muhammad/47 ayat 19,

“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu’min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.”

Kalimat ‘wastaghfir li dzanbika‘ mengikuti untaian kalimat tauhid menunjukkan bahwa ketidakkonsistenan antara pernyataan dan perbuatan merupakan dosa.

Maka selain menjaga kemurnian kalimat tauhid dengan amal ibadah yang shahih, seorang Muslim juga dituntut untuk tidak menyombongkan diri di atas kalimat tersebut, sebagaimana firman Allah dalam Surat Ash-Shaffat/37 ayat 35:

“Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah) mereka menyombongkan diri.

Maka hanya dengan ilmu-lah, seorang Muslim akan terhindar dari kesombongan diri, dan bersyahadat dalam arti yang sebenarnya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surat Ali ‘Imran/3 ayat 18,

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu  (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Perlu diketahui bahwa kata paduan qa-sin-tha ini digunakan dalam 27 kata di dalam Al-Qur’an, dengan 14 kata di antaranya adalah kata ‘bil qisth‘. 24 kata darinya adalah kata benda, dan 3 kata merupakan kata kerja

2. Intisari Ajaran Islam

Syahadatain menjadi inti dari ajaran Islam.
Keimanan sebagai motivator kehidupan sekaligus asas amal. Gerak hati menjadi lebih penting daripada gerak jasmani.

Sebab hati sumber dan pengarah amal. Jika hati penuh dengan keimanan, keikhlasan, ketakwaan, maka amal jasmani mendapat ridha dan pahala dari-Nya. Maka wajib setiap Muslim untuk memperbaiki ibadah hati. [11]

Allah Swt. berfirman dalam Surat Al-Anbiya/21 ayat 25,

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”.

Allah Swt. juga berfirman dalam Surat Al-Jasiyah/45 ayat 18,

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.”

Maka prinsip syahadatain yang menjadi intisari ajaran Islam adalah sebagai pernyataan penghambaan dan ibadah hanya kepada Allah. Pernyataan bahwa Rasulullah menjadi teladan dalam penghambahan dan ibadah tersebut.

Pernyataan bahwa penghambaan dan ibadah itu meliputi seluruh aspek kehidupan.

Bersambung


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *