Shalat Tidak Khusyu…Mestikah Ulang?

Ustadz Farid Nu’man Hasan

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
إذا مات الإنسان انقطع عنه عمله إلا من ثلاثة إلا من صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له

“Jika manusia wafat maka semua amalnya terputus kecuali tiga: Sedekah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak shalih yang mendoakannya “. (HR. Muslim No. 1631)

Imam As Suyuthi Rahimahullah mengatakan tentang “ilmu yang bermanfaat”:

قالوا هي التعليم والتصنيف وذكر القاضي تاج الدين السبكي أن التصنيف في ذلك أقوى لطول بقائه على ممر الزمان

“Mereka (Para ulama) mengatakan itu adalah mengajar dan menyusun karya tulis. Al Qadhi Tajuddin As Subki menyebutkan bahwa menyusun tulisan dalam hal ini lebih kuat karena lebih panjang dan berkelanjutan melewati zaman”. (Ad Dibaj ‘Ala Muslim, 4/226)

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:

وبيان فضيلة العلم والحث على الاستكثار منه والترغيب في توريثه بالتعليم والتصنيف والإيضاح وأنه ينبغي أن يختار من العلوم الأنفع فالأنفع

Hadits ini berisi penjelasan tentang keutamaan ilmu dan dorongan untuk memperbanyaknya dan anjuran mewariskannya dengan mengajar, menyusun karya tulis, dan memberikan penjelasan. (Oleh karena itu) hendaknya memilih ilmu-ilmu yang mendatangkan manfaat. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 11/85)

Sementara itu tertulis dalam Al Mu’tashar:

ومن جمع هذه الثلاثة فقد جمع خير الدنيا والآخرة

Barang siapa yang menggabungkan tiga jenis kebaikan ini maka dia telah mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat. (Al Mu’tashar minal Mukhtashar min Musykilil Atsar,   2/168)

Wallahul Muwafiq ila Aqwamith Thariq …

Fatwa Imam Ibnul Qayyim Tentang Mengucapkan Selamat Natal

Ustadz Farid Nu’man Hasan

◈ Berikut ini fatwa  Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullah tentang sekedar mengucapkan selamat hari raya agama lain –yang sebenarnya lebih ringan dibanding ikut merayakannya:

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ولا يدري قبح ما فعل فمن هنأ عبدا بمعصية أو بدعة أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه

“Adapun memberi ucapan selamat (tahniah) pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, imlek, waisak, dll, pen) adalah  hal yang diharamkan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.

Misalnya, memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan yang semacamnya. Kalau memang orang yang mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, namun  itu termasuk dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar dosanya di sisi Allah Ta’ala. Ucapan selamat semacam ini lebih dimurkai Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut, dan dia tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat.

Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia  layak mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”

◈ Imam Ibnul Qayyim, Ahkam Ahlu Adz Dzimmah, Hal. 162. Cet. 2. 2002M-1423H. Darul Kutub Al-‘Ilmiyah.


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Mengucapkan Selamat Natal

Ustadz Farid Nu’man Hasan

Assalaamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

🍃🌻Fatwa Imam Ibnul Qayyim Tentang Mengucapkan Selamat Natal🌻🍃

Berikut ini fatwa  Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah tentang sekedar mengucapkan selamat hari raya agama lain –yang sebenarnya lebih ringan dibanding ikut merayakannya:

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ولا يدري قبح ما فعل فمن هنأ عبدا بمعصية أو بدعة أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه

“Adapun memberi ucapan selamat (tahniah) pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, imlek, waisak, dll, pen) adalah  hal  yang diharamkan berdasarkan  kesepakatan  kaum muslimin.  

Misalnya memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan yang semacamnya.  Kalau memang orang yang mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, namun  itu termasuk dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dimurkai Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut, dan dia tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat.

Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia  layak mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”

© Imam Ibnul Qayyim, Ahkam Ahlu Adz Dzimmah, Hal. 162. Cet. 2. 2002M-1423H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah

Belajar Memaafkan

Ustadz Farid Nu’man

Assalamualaikum ustadz/ah…
mau nanya ttg bagaimana supaya bisa memaafkan orang lain..saya sering memaafkan tp kalo terlalu sering jd tidak mau memaafkan lg. Syukron

Jawaban

و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
Memaafkan atau tdk memaafkan, kita yg berhak, jika memang kita pd posisi yg benar. Mau memilih membalas, itu boleh …, mau memilih memaafkan, itu lebuh baik dan berpahala ..

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (Qs. Asy Syura: 40)

Dalam konteks memberikan pelajaran, agar org itu berubah, bs jd tidak memaafkan lebih pas sampai nanti dia berubah barulah dimaafkan .. hal inu sama dgn kejahatan yg mesti dihukumm walau pelakunya sudah tobat, hukuman tetap jalan, barulah dia mendapatkan remisi ..

Tp, kalau mau memilih selalu memaafkan, khususnya dalam kesalahan2 ranah pribadi, bukan kesalahan pd agama … maka sangat bagus memaafkan itu ..

Wallahu a’lam

Larangan Memakai Atribut Natal Bagi Muslim dan Muslimah

Pemateri: Ustadz Farid Nu’man Hasan.S.S.

_Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya._ (QS. Al Isra: 36)

📚 *Muqadimah*
 
Biasanya menjelang perayaan Natal, marak para pelayan mall, pertokoan, dan penginapan, menggunakan atribut natal. Biasanya mereka menggunakan topi Sinterklas. Umumnya mereka muslim dan muslimah, bahkan bisa jadi ada yang rajin shalatnya, muslimahnya pun ada yang berjilbab. Jilbab yes, Sinterklas Ok.   Entah karena paksaan atasan, atau memang ketidaktahuannya. Yang jelas, dari sudut pandang apa pun, baik aqidah, akhlak, dan hukum, Islam melarang tegas hal ini. Baik ikut-ikutan apalagi menyerupai. Bukan ini saja, tapi lainnya seperti April Mop, Valentine, Hallowen, dan sebagainya.
 
Allah Ta’ala berfirman:
 
📌Wahai orang-orang beriman, jika kalian ikuti sekelompok orang-orang yang diberikan Al Kitab (Yahudi dan Nasrani) nisaya mereka akan memurtadkan kamu menjadi kafir lagi setelah kamu beriman. (QS. Ali Imran: 100)

📚 *Isyarat Kenabian*
 
Sejak 15 abad lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah mengisyaratkan akan datangnya masa-masa umat Islam mengekor kehidupan Yahudi dan Nasrani. Pemikiran, budaya, mode, dan sebagainya. Minimal   umat Islam sudah kehilangan identitasnya, tidak bangga dengan Islamnya, justru malu, dan lebih suka dan senang dengan identitas khusus kekufuran, dan paling  tinggi adalah murtad.
 
Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Kalian benar-benar akan mengikuti jalan hidup orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai mereka masuk ke lubang biawak pun kalian tetap mengikuti mereka.” Kami bertanya: “Apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Siapa lagi?” (HR. Bukhari No. 3456, 7320, Muslim No. 2669)
 
Isyarat ini begitu mengerikan. Sebab, umat Islam akan mengikuti mereka sebegitu jauh. Sampai walau mereka masuk lubang biawak, umat Islam akan mengikuti juga. Artinya, walau tidak layak, tidak pantas dan tidak patut diikuti, tetaplah diikuti. Tentunya lubang biawak dengan tubuh manusia lebih besar tubuh manusia, namun tetap kita akan memasukinya karena mengikuti mereka. Artinya, begitu memaksakan untuk tetap mengikuti mereka walau tidak pantas dan menyakitkan, sebagaimana tubuh manusia yang tidak pantas dan tidak pas untuk memasuki lubang biawak.
 
Asy Syaikh Al Ustadz Mushthafa Al Bugha menjelaskan:

Betapa indah pemisalan ini, yang menunjukan benarnya mu’jizat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kita menyaksikan generasi umat ini begitu taklid (ikut-ikutan) terhadap bangsa-bangsa kafir di dunia. Baik berupa akhlak yang tercela, kebiasaan yang rusak, yang memancarkan bau yang busuk yang berputar dalam hidung manusia, di rawa penuh lumpur yang kotor, jahat lagi berdosa, dan menjadi peringatan bagi manusia di mana-mana. (Syarh wa Ta’liq ‘Alash Shahih Al Bukhari, 3/1283)

📚 *Mengikuti dan Menyerupai Mereka (Orang Kafir) Maka Bukan Golongan Kami*

Kami sampaikan dua hadits untuk menegaskan hal ini.

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

📌“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.” (HR. Abu Daud No. 4031, Ahmad No. 5115, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf  No.33016, dll) (1)

Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

📌Bukan golongan kami orang yang menyerupai selain kami, janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani.(HR. At Tirmdizi No. 2695, Al Qudha’i, Musnad Asy Syihab No. 1191) (2)

Ketika menjelaskan hadits-hadits di atas, Imam Abu Thayyib mengutip dari Imam Al Munawi dan Imam Al ‘Alqami  tentang hal-hal yang termasuk penyerupaan dengan orang kafir:

🔹“Yakni berhias seperti perhiasan zhahir mereka, berjalan seperti mereka, berpakaian seperti mereka, dan perbuatan lainnya.” (Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim, ‘Aunul Ma’bud, 11/51)

Imam Abu Thayyib Rahimahullah juga mengatakan:

🔹Lebih dari satu ulama berhujjah dengan hadits ini bahwa dibencinya segala hal terkait dengan kostum yang dipakai oleh selain kaum muslimin.(Ibid, 11/52)

🔑 Demikianlah keterangan para ulama bahwa berhias dan menggunakan pakaian yang menjadi ciri khas mereka –seperti topi Sinterklas, kalung Salib, topi Yahudi, peci Rabi Yahudi- termasuk makna tasyabbuh bil kuffar – menyerupai orang kafir yang begitu terlarang dan dibenci oleh syariat Islam.

*Ada pun pakaian yang bukan menjadi ciri khas agama, seperti kemeja, celana panjang, jas, dasi, dan semisalnya, para ulama kontemporer berbeda pendapat apakah itu termasuk menyerupai orang kafir atau bukan.*  Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah menganggap kostum-kostum ini termasuk menyerupai orang kafir, maka ini hal yang dibenci dan terlarang, bahkan menurutnya termasuk jenis kekalahan secara psikis umat Islam terhadap bangsa-bangsa penjajah. Sedangkan menurut para ulama di Lajnah Daimah kerajaan Saudi Arabia seprti Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, dan lainnya, menganggap tidak apa-apa pakaian-pakaian ini. Sebab jenis pakaian ini sudah menjadi biasa di Barat dan Timur. Bukan menjadi identitas agama tertentu.

🔑Pendapat kedua inilah yang lebih tepat, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam riwayat shahih, pernah memakai Jubah Romawi yang sempit. Sebutan “Jubah Romawi” menunjukan itu bukan pakaian kebiasaannya, dan merupakan pakaian budaya negeri lain (Romawi), bukan pula pakaian simbol agama, dan Beliau memakai jubah Romawi itu walau agama bangsa Romawi adalah Nasrani.

Dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakai jubah Romawi yang sempit yang memiliki dua lengan baju.(HR. At Tirmidzi No. 1768, katanya: hasan shahih. Ahmad No. 18239. Al Baghawi, Syarhus Sunnah No. 3070. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Al Albani, dan lainnya)

Sementara dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengenakan Jubbah Syaamiyah (Jubah negeri Syam).  Riwayat ini tidak bertentangan dengan riwayat Jubbah Rumiyah. Sebab, saat itu Syam termasuk wilayah kekuasaan Romawi.

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan:

Banyak terdapat dalam riwayat Shahihain dan lainnya tentang Jubbah Syaamiyah, ini tidaklah menafikan keduanya, karena Syam saat itu masuk wilayah pemerintahan kerajaan Romawi. (Tuhfah Al Ahwadzi, 5/377)

Syaikh Al Mubarkafuri menerangkan, bahwa dalam keterangan lain,  saat itu terjadi ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang safar. Ada pun dalam riwayat Malik, Ahmad, dan  Abu Daud, itu terjadi ketika perang Tabuk, seperti yang dikatakan oleh Mairuk. Menurutnya hadits ini memiliki pelajaran bahwa bolehnya memakai pakaian orang kafir, sampai-sampai walaupun terdapat najis, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakai Jubah Romawi tanpa adanya perincian (apakah baju itu ada najis atau tidak). (Ibid)

📚 *Mengambil Ilmu Dari Mereka (Orang Kafir) Bukan Termasuk Tasyabbuh (penyerupaan)*

Begitu pula mengambil ilmu dan maslahat keduniaan yang berasal dari kaum kuffar, maka ini boleh. Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menggunakan cara Majusi dalam perang Ahzab, yaitu dengan membuat Khandaq (parit) sekeliling kota Madinah. Begitu pula penggunakaan stempel dalam surat, ini pun berasal dari cara kaum kuffar saat itu, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengikutinya.
 
Oleh karena itu, memakai ilmu keduniaan dari mereka, baik berupa penemuan ilmiah, fasilitas elektronik, transportasi, software, militer, dan semisalnya, tidak apa-apa mengambil manfaat dari penemuan mereka. Ini bukan masuk kategori menyerupai orang kafir. Sebab ini merupakan hikmah (ilmu) yang Allah Ta’ala titipkan melalui orang kafir, dan seorang mu’min lebih berhak memilikinya dibanding penemunya sendiri, di mana pun dia menjumpai hikmah tersebut.
             
🔑Jadi, tidak satu pun ketetapan syariat yang melarang mengambil kebaikan dari pemikiran teoritis dan pemecahan praktis non muslim dalam masalah dunia selama tidak bertentangan dengan nash yang jelas makna dan hukumnya serta kaidah hukum yang tetap. Oleh karena hikmah adalah hak muslim yang hilang, sudah selayaknya kita merebutnya kembali. Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan –dengan sanad dhaif- sebuah kalimat, “Hikmah adalah harta dari seorang mu’min, maka kapan ia mendapatkannya, dialah yang paling berhak memilikinya.”

Meski sanadnya dhaif, kandungan pengertian hadits ini benar. Faktanya sudah lama kaum muslimin mengamalkan dan memanfaatkan ilmu dan hikmah yang terdapat pada umat lain. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr, bahwa Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu pernah berkata, “Ilmu merupakan harta orang mu’min yang hilang, ambil-lah walau dari orang-orang musyrik.” (3) Islam hanya tidak membenarkan tindakan asal comot terhadap segala yang datang dari Barat tanpa ditimbang di atas dua pusaka yang adil, Al Qur’an dan As Sunnah.

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

***

*Catatan:*

1] Imam As Sakhawi mengatakan ada kelemahan dalam hadits ini,   tetapi hadits ini memiliki penguat (syawahid), yakni hadits riwayat Al Bazzar dari Hudzaifah dan Abu Hurairah, riwayat Al Ashbahan dari Anas bin Malik, dan riwayat Al Qudha’i dari Thawus secara mursal.(Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 215).

Sementara, Imam Al ‘Ajluni mengatakan, sanad hadits ini shahih menurut Imam Al ‘Iraqi dan Imam Ibnu Hibban, karena memiliki penguat yang disebutkan oleh Imam As Sakhawi di atas.(Imam Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa, 2/240). Imam Ibnu Taimiyah mengatakan hadits ini jayyid (baik). Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan sanadnya hasan.(Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim, Aunul Ma’bud, 11/52). Syaikh Al Albani mengatakan hasan shahih. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4031)

2] Sebagaimana kata Imam AtTirmidzi, Pada dasarnya hadits ini dhaif, karena dalam sanadnya terdapat Ibnu Luhai’ah seorang perawi yang terkenal kedhaifannya. Namun, hadits ini memiliki berapa syawahid (penguat), sehingga Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menghasankan hadits ini dalam berbagai kitabnya. (Shahihul Jami’ No. 5434, Ash Shahihah No. 2194). Begitu pula yang dikatakan Syaikh Abdul Qadir Al Arna’uth, bahwa hadits ini memiliki syawahid yang membuatnya menjadi kuat.(Raudhatul Muhadditsin No. 4757)

3] Hadits: “Hikmah adalah kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja dia menemukannya maka dialah yang paling berhak memilikinya.”

Hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi dalam sunannya, pada Bab Maa Ja’a fil Fadhli Fiqh ‘alal ‘Ibadah, No. 2828. Dengan sanad: Berkata kepada kami Muhammad bin Umar Al Walid Al Kindi, bercerita kepada kami Abdullah bin Numair,  dari Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi, dari Sa’id Al Maqbari, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: …. ( lalu disebut hadits di atas).

Imam At Tirmidzi mengomentari hadits tersebut: “Hadits ini gharib (menyendiri dalam periwayatannya), kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini. Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi adalah seorang yang dhaif fil hadits (lemah dalam hadits).”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Kitab Az Zuhud Bab Al Hikmah, No. 4169. Dalam sanadnya juga terdapat Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi.

Imam Ibnu Hajar mengatakan, bahwa Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi adalah Abu Ishaq Al Madini, dia seorang yang Fahisyul Khatha’ (buruk kesalahannya). (Al Hafizh Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 1/14. Mawqi’ Al Warraq). Sementara Imam Yahya bin Ma’in menyebutnya sebagai Laisa bi Syai’ (bukan apa-apa). (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 1/105. Mawqi’ Ya’sub)

Sederetan para Imam Ahli hadits telah mendhaifkannya. Imam Ahmad mengatakan: dhaiful hadits laisa biqawwifil hadits (haditsnya lemah, tidak kuat haditsnya). Imam Abu Zur’ah mengatakan: dhaif. Imam Abu Hatim mengatakan: dhaifulhadits munkarulhadits (hadisnya lemah dan munkar). Imam bukhari mengatakan: munkarul hadits. Imam An Nasa’imengatakan: munkarul hadits, dia berkata ditempat lain: tidak bisa dipercaya, dan haditsnya tidak boleh ditulis. Abu Al Hakim mengatakan: laisa bil qawwi ‘indahum (tidak kuat menurut mereka/para ulama). Ibnu ‘Adi mengatakan: dhaif dan haditsnya boleh ditulis, tetapi menurutku tidak boleh berdalil dengan hadits darinya.

Ya’qub bin Sufyan mengatakan bahwa hadits tentang “Hikmah” di atas adalah hadits Ibrahim bin Al Fadhl yang dikenal dan diingkari para ulama. Imam Ibnu Hibban menyebutnya fahisyul khatha’ (buruk kesalahannya).  Imam Ad Daruquthni mengatakan: matruk (haditsnya ditinggalkan), begitu pula menurut Al Azdi. (Lihat semua dalam karya Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 1/131 .DarulFikr. Lihat juga Al Hafizh Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 2/43.Muasasah ArRisalah. Lihat juga Imam Adz Dzahabi, Mizan Al I’tidal, 1/52.Darul Ma’rifah. Lihat juga Imam Abu Hatim ArRazi, Al JarhwatTa’dil, 2/122. Dar Ihya AtTurats. Lihat juga Imam Ibnu ‘Adi Al Jurjani, Al Kamilfidh Dhu’afa, 1/230-231.Darul Fikr. Imam Al ‘Uqaili, Adh Dhuafa Al Kabir, 1/60. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Syaikh Al Albani pun telah menyatakan bahwa hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), lantaran Ibrahim ini. (Dhaiful Jami’ No. 4302. Dhaif Sunan At Tirmidzi, 1/320)

Ada pula yang serupa dengan hadits di atas:

“Hikmah adalah kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja seorang mukmin menemukan miliknya yang hilang, maka hendaknya ia menghimpunkannya kepadanya.”

Imam As Sakhawi mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Al Qudha’i dalam Musnadnya, dari hadits Al Laits, dari Hisyam bin Sa’ad, dari Zaid bin Aslam, secara marfu’. Hadits ini mursal. (Imam AsSakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, 1/105. Imam Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa’, 1/363)

Ringkasnya, hadits mursal adalah hadits yang gugur di akhir sanadnya, seseorang setelah tabi’in. Kita lihat, riwayat Al Qudha’i ini, Zaid bin Aslam adalah seorang tabi’in, seharusnya dia meriwayatkan dari seorang sahabat nabi, namun sanad hadits ini tidak demikian, hanya terhenti pada Zaid bin Aslam tanpa melalui sahabat nabi. Inilah mursal. Jumhur (mayoritas) ulama dan Asy Syafi’i mendhaifkan hadits mursal.

Ada pula dengan redaksi yang agak berbeda, bukan menyebut Hikmah, tetapi Ilmu. Diriwayatkan oleh Al ‘Askari, dari‘Anbasah bin Abdurrahman, dari Syubaib bin Bisyr, dari Anas bin Malik secara marfu’:

“Ilmu adalah barang mukmin yang hilang, dimana saja dia menemukannya maka dia mengambilnya.”

Riwayat ini juga dhaif. ‘Anbasah bin Abdurrahman adalah seorang yang matruk (ditinggal haditsnya), dan Abu Hatim menyebutnya sebagai pemalsu hadits.(Taqribut Tahdzib, 1/758)

Ibnu Abi Hatim bertanya kepada ayahnya (Abu Hatim) tentang ‘Anbasah bin Abdurrahman, beliau menjawab: matruk dan memalsukan hadits. Selain itu, Abu Zur’ahjuga ditanya, jawabnya: munkarul hadits wahil hadits (haditsnya munkar dan lemah). (Al JarhwatTa’dil, 6/403)

Ada pun Syubaib bin Bisyr, walau pun Yahya bin Ma’in menilainya tsiqah (bisa dipercaya), namun Abu Hatimdan lain-lainnya mengatakan: layyinulhadits. (haditsnya lemah). (Imam Adz Dzahabi, MizanulI’tidal, 2/262)

Ada pula riwayat dari Sulaiman bin Mu’adz, dari Simak, dari ‘ikrimah, dariIbnu Abbas, di antara perkataannya:

“Ambillah hikmah dari siapa saja kalian mendengarkannya, bisa jadi ada perkataan hikmah yang diucapkan oleh orang yang tidak bijak, dan dia menjadi anak panah yang bukan berasal dari pemanah.”

Ucapan ini juga dhaif. Lantaran kelemahan Sulaiman bin Muadz.

Yahya bin Ma’in mengatakan tentang dia: laisa bi syai’ (bukan apa-apa). Abbas mengatakan, bahwa Ibnu Main mengatakan: dia adalah lemah. Abu Hatim mengatakan: laisa bil matin (tidak kokoh). Ahmad menyatakannya tsiqah (bisa dipercaya).Ibnu Hibban mengatakan: dia adalah seorang rafidhah (syiah) ekstrim, selain itu dia juga suka memutar balikan hadits. An Nasa’i mengatakan: laisa bil qawwi (tidak kuat). (Mizanul I’tidal, 2/219)

Catatan:

Walaupun ucapan ini dhaif, tidak ada yang shahih dari RasulullahShallallahu ‘AlaihiwaSallam. Namun, secara makna adalah shahih. Orang beriman boleh memanfaatkan ilmu dan kemajuan yang ada pada orang lain, sebab hakikatnya dialah yang paling berhak memilikinya. Oleh karena itu, ucapan ini tenar dan sering diulang dalam berbagai kitab para ulama. Lebih tepatnya, ucapan ini adalah ucapan dari beberapa para sahabat dan tabi’in dengan lafaz yang berbeda-beda.

Dari Al Hasan bin Shalih, dari ‘Ikrimah, dengan lafaznya:

“Ambil-lah hikmah dari siapa pun yang engkau dengar, sesungguhnya ada seorang laki-laki yang berbicara dengan hikmah padahal diabukan seorang yang bijak, dia menjadi bagaikan lemparan panah yang keluar dari orang yang bukan pemanah.” (Al Maqashid Al Hasanah, 1/105)

Ucapan ini adalah shahih dari ‘Ikrimah, seorang tabi’in senior, murid Ibnu Abbas. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, Al Hasan bin Shalih bin Shalih bin Hay adalah seorang tsiqah, ahli ibadah, faqih, hanya saja dia dituduh tasyayyu’ (agak condong ke syi’ah). (Taqribut Tahdzib,  1/205)

Waki’ mengatakan Al Hasan bin Shalih adalah seseorang yang jika kau melihatnya kau akan ingat dengan Said bin Jubeir.  Abu Nu’aim Al Ashbahani mengatakan aku telah mencatat hadits dari 800 ahli hadits, dan tidak satu pun yang lebih utama darinya. Abu Ghasan mengatakan, Al Hasan bin Shalih lebih baik dari Syuraik. Sedangkan Ibnu ‘Adi mengatakan, sebuah kaum menceritakan bahwa hadits yang diriwayatkan dari nya adalah mustaqimah, tak satu pun yang munkar, dan menurutnya Al Hasan bin Shalih adalah seorang yang ahlushshidqi (jujur lagi benar).  Ibnu Hibban mengatakan, Al Hasan bin Shalih adalah seorang yang faqih, wara’, pakaiannya lusuh dan kasar, hidupnya diisi dengan ibadah, dan agak terpengaruh syi’ah (yakni tidak meyakini adanya shalatJumat). Abu Nu’aim mengatakan bahwa Ibnul Mubarak mengatakan Al Hasan bin Shalih tidak shalat Jumat, sementara Abu Nu’aim menyaksikan bahwa beliau shalat Jum’at.  Ibnu Sa’ad mengatakan dia adalah seorang ahli ibadah, faqih, dan hujjah dalam hadits shahih, dan agak tasyayyu’. As Saji mengatakan Al Hasan bin Shalih adalah seorang shaduq (jujur). Yahya bin Said mengatakan, tak ada yang sepertinya di Sakkah. Diceritakan dari Yahya bin Ma’in, bahwa Al Hasan bin Shalih adalah tsiqatun tsiqah (kepercayaannya orang terpercaya). (Tahdzibut Tahdzib, 2/250-251)

Hanya saja Sufyan Ats Tsauri memiliki pendapat yang buruk tentangnya. Beliau pernah berjumpa dengan Al Hasan bin Shalih di masjid pada hari Jum’at, ketika Al Hasan bin Shalih sedang shalat, Ats Tsauri berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari khusyu’ yang nifaq.” Lalu dia mengambil sendalnya dan berlalu. Hal ini lantaran Al Hasan bin Shalih –menurut At Tsauri- adalah seseorang yang membolehkan mengangkat pedang kepada penguasa (memberontak). (Ibid, 2/249) Namun, jarh (kritik) ini tidak menodai ketsiqahannya, lantaran ulama yang menta’dil (memuji) sangat banyak.

Selain itu, telah shahih dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

“Ilmu adalah barang mukmin yang hilang, maka ambil-lah walau berada di tangan orang-orang musyrik, dan janganlah kalian menjauhkan diri untuk mengambil hikmah itu dari orang-orang yang mendengarkannya.” (IbnuAbdil Bar, Jami’  Bayan Al ilmi wa Fadhlihi, 1/482. Mawqi’ Jami Al Hadits)

Selesai

Repost http://www.manis.id/2015/12/larangan-memakai-atribut-natal-bagi.html#ixzz4TK6PvoA4

Fatwa Imam Ibnul Qayyim Tentang Mengucapkan Selamat Natal

Pemateri: Ustadz Farid Nu’man Hasan.S.S.

Berikut ini fatwa  Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah tentang sekedar mengucapkan selamat hari raya agama lain –yang sebenarnya lebih ringan dibanding ikut merayakannya:

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه. وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ولا يدري قبح ما فعل فمن هنأ عبدا بمعصية أو بدعة أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه

“Adapun memberi ucapan selamat (tahniah) pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, imlek, waisak, dll, pen) adalah  hal  yang diharamkan berdasarkan  kesepakatan  kaum muslimin.  

Misalnya memberi ucapan selamat pada hari raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan yang semacamnya.  Kalau memang orang yang mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, namun  itu termasuk dari perkara yang diharamkan. Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan itu lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih dimurkai Allah dibanding seseorang memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa, berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang paham agama terjatuh dalam hal tersebut, dan dia tidak mengetahui kejelekan dari amalan yang mereka perbuat.

Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka dia  layak mendapatkan kebencian dan murka Allah Ta’ala.”

📚 Imam Ibnul Qayyim, Ahkam Ahlu Adz Dzimmah, Hal. 162. Cet. 2. 2002M-1423H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah

Khathib Jum’at Melawak

Ustadz Farid Nu’man Hasan

Khathib Jum’at Melawak

Assalamu’alaikum.. Ustadz Farid Nu’man Hasan -semoga Allaah SWT senantiasa menjaga Ustadz sekeluarga. Ana mau bertanya,

1. Bagaimana dengan Khatib Shalat Jum’at yang bercerita lucu sampai membuat sebagian besar jama’ah tertawa (bahkan sampai 2 kali)?

2. Tentang tidak bolehnya memisahkan 2 orang yang sedang duduk pada shalat jum’at, bagaimanakah hukumnya? apakah mutlak, apapun keadaannya tidak boleh atau gimana? soalnya jamaah jum’at banyak yang tidak mengisi shaf depan terlebih dahulu.

Jazakumullaah khairan katsir. (STIS47)

Jawaban:
__________

Wa’Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh..

Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d.

Semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

1⃣. Khutbah Jum’at adalah momen yang bagus bagi para du’aat untuk mengingatkan manusia kepada Allah Ta’ala, mengingatkan mereka kepada ukhuwah, ibadah, akhirat, kondisi umat, dan semisalnya, yang bisa menggiring manusia pada opini yang positif dan semangat dalam beragama. Oleh karenanya, mestilah hal itu menggunakan kata-kata yang baik, serius, dan dapat dimengerti.

Hendaknya momen ini tidak diisi dengan hal-hal yang dapat mengaburkan itu semua, dengan selingan-selingan yang tidak perlu bahkan melalaikan, ngawur, dan melantur, dan tidak berbekas di hati manusia, sehingga umat lupa dengan maksud dan materi khutbah. Di sisi lain, membuat nilai khutbah tersebut menjadi rusak dan  tidak sempurna, walau tidak sampai membatalkannya.

⇨ Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika berkhutbah, memerah matanya, suaranya meninggi, emosinya begitu nampak, seakan Beliau sedang memperingatkan pasukan yang berkata: siap siagalah kalian pagi dan sore!” (HR. Muslim No. 867)

⇨ Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata:

يستحب كون الخطبة فصيحة بليغة مرتبة مبينة من غير تمطيط ولا تقعير ولا تكون الفاظا مبتذلة ملففة فانها لا تقع في النفوس

“Khutbah disunahkan dengan kata-kata yang fasih dan lancar, tersusun dan teratur rapi, mudah dimengerti jangan terlalu tinggi, dan bertele-tele, atau melantur sebab hal itu tidak berbekas dihati. Seharusnya Khathib memilih kata-kata yang mudah, singkat dan berisi.” (Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab,  4/528)

⇨ Imam Shiddiq Hasan Khan Rahimahullah berkata:

ثم اعلم أن الخطبة المشروعة هي ما كان يعتاده صلى الله تعالى عليه وآله وسلم من ترغيب الناس وترهيبهم فهذا في الحقيقة روح الخطبة الذي لأجله شرعت

“Ketahuilah, bahwa khutbah yang disyariatkan adalah yang biasa dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, yaitu memberikan kabar gembira dan menakut-nakuti manusia. Inilah hakikat yang menjadi jiwa sebuah khutbah yang karenanya khutbah menjadi disyariatkan.” (Imam Shiddiq Hasan Khan, Ar Raudhah An-Nadiyah, 1/137)

2⃣. Tidak ada larangan kita duduk di antara dua orang, jika memang dua orang itu renggang dan kita pun ada ruang yang cukup untuk duduk di antara mereka. Dengan kata lain, shaff yang ada sangat longgar. Maka, duduknya kita di antara mereka justru   bagus karena mengisi kekosongan shaf. Jika hal itu dilarang, tentu shaff tidak akan pernah penuh karena duduknya mereka  takut dianggap memisahkan di antara dua orang. Tentu tidak demikian.

Yang terlarang adalah jika kita melewati atau berjalan di antara bahu manusia yang berdekatan secara kasar, tergesa-gesa,  atau kita duduk di antara mereka secara paksa padahal tidak ada ruang yang cukup, dan saat itu khutbah sedang berlangsung. Hal itu dilakukan supaya kita bisa dapat shaff yang di depan.  Maka hal itu menyakitkan mereka, oleh karenanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarangnya.

⇨ Abdullah bin Busr Radhiallahu ‘Anhu, berkata:

  جَاءَ رَجُلٌ يَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ

Datang seorang laki-laki yang melangkah di antara bahu manusia, pada hari Jumat, saat itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang berkhutbah, maka Beliau bersabda kepadanya: “Duduklah, engkau telah menyakiti (orang lain, pen).” (HR. Abu Daud No. 1118, An Nasa’i dalam As -Sunan Al-Kubra No. 1704, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa No. 294, Ibnu Khuzaimah No. 1811, Ath Thabarani dalam Musnad Asy-Syamiyin No. 1954. Syaikh Al-A’zhami mengatakan: shahih. Lihat Shahih Ibnu Khuzaimah No. 1811, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak No. 1061, katanya: shahih sesuai syarat Muslim. Disepakati oleh Imam Adz Dzahabi. Imam Al-‘Aini mengatakan: isnadnya jayyid. Lihat ‘Umdatul Qari, 10/101)

⇨ Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr Hafizhahullah menjelaskan:

ولا يجوز لإنسان أن يتخطى رقاب الناس يوم الجمعة وكذلك في غير الجمعة، وعلى الإنسان أن يأتي مبكراً ويجلس في الأماكن المتقدمة دون أن يتخطى رقاب الناس، لا أن يأتي متأخراً ثم يتخطى رقاب الناس من أجل أن يجلس في مكان متقدم، ولتتم الصفوف الأول فالأول، ولا ينشأ الصف الثاني إلا إذا امتلأ الصف الأول، ولا ينشأ الصف الثالث إلا إذا امتلأ الصف الثاني، ولا ينشأ الصف الرابع إلا إذا امتلأ الصف الثالث وهكذا، وبذلك يكون كل من جاء يجلس حيث ينتهي به المجلس، أو يقف حيث ينتهي به الموقف

“Tidak boleh bagi manusia melangkah di antara bahu orang lain pada hari (shalat) Jumat dan juga pada selain Jumat.  Mestinya manusia datang bersegera dan duduk di tempat-tempat terdepan dengan tidak melangkahi bahu manusia, bukannya memperlambat kemudian dia melangkah di antara bahu manusia dengan harapan bisa duduk di tempat terdepan, dan untuk menyempurnakan shaff yang pertama. Janganlah dia mengisi shaff kedua, kecuali jika shaff yang pertama sudah penuh, dan jangan dia memenuhi shaff ketiga, kecuali jika telah penuh shaff yang kedua, dan jangan dia memnuhi shaff keempat kecuali jika telah penuh shaff yang ketiga, begitu seterusnya. Dengan demikian setiap orang yang datang akan duduk ditempat akhir dari majelis, atau berhenti di bagian akhir orang berhenti.” (Syarh Sunan Abi Daud,  6/394)

Demikian. Wallahu A’lam

Emansipasi

Ustadz Farid Nu’man

Assalamualaikum ustadz/ah..Menurut ana emansipasilah yang mengubah pola wanita muslim. Kesetaraan yang membuat wanita sering berada diluar rumah, menjadikan berbagai sektor penghasilan dan penghidupan bersaing dengan pria.

Setelah mempunyai penghasilan pada akhirnya minta peran di rumah dan alhasil
menjadi wanita-wanita karier….

Apa yang harus diakukan dalam mengembalikan wanita pada kodratnya Alloh Ta’ala?
Jazakalloh khoir

🌷🌷🌷Jawaban

و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
Wanita barat sudah menujuh rumah mereka, setelah dahulu mereka bangga dgn emansipasi. Sebaliknya dgn wanita muslimah sdg berbondong2 keluar rumah meninggalkan anak2nya, dan dianggapnya itu standar modernitas dan dampak globalisasi.. bapak dan ibunya kerja, anak lbh dekat dgn kakek/nenek bahkan lbh dekat dgn asisten rumah tangga ..

Wanita aktif diluar tdk masalah, selama memang ada hajat syar’i, tetap menjaga aurat, menjaga diri, dan pekerjaan yg bs tetap menjaga kemuliaan wanita .. dahulu Asma pernah membantu Zubeir bin Awwam bekerja dgn membawakan  barang2 dagangannya ..

Wanita bekerja bukan fardhu, bukan sunnah, tp mubah dgn syarat2 di atas, apalagi jika suami tdk berdaya, atau dia janda .. tdk ada yg menafkahinya kecuali diri sendiri ..

Sdgkan laki2 mencari nafkah itu wajib, sebab menafkahi anak n istri bagi laki2 adalah kewajiban agama, bukan budaya ..
Wallahu a’lam

Doa Bagi Muslim Aleppo (Al Halab)

Pemateri: Ustadz Farid Nu’man Hasan
اللَّهُمَّ عَلَيْكَ بِبَشَّارِ الْأَسَدِ وَأَعْوَانِهِ الْمُعْتَدِيْنَ، الَّذِيْنَ قَتَلُوْا إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْنَ فِيْ حَلَبٍ خَاصَّةً، وَفِيْ سُوْرِيَا عَامَّةً.
“Ya Allah turunkanlah hukuman-Mu pada Bashar Asad dan para penolongnya yang telah melakukan kezhaliman dengan membunuh saudara-saudara kami kaum muslimin di Aleppo khususnya, dan di Suriah umumnya.”
اللَّهُمَّ عَلَيْكَ بِهِمْ فَإِنَّهُمْ لاَ يُعْجِزُونَكَ، اللَّهُمَّ شَتِّتْ شَمْلَهُمْ، وَفَرِّقْ جَمْعَهُمْ، وَاجْعَلِ الدَّائِرَةَ عَلَيْهِمْ.
“Ya Allah hukumlah mereka, sesungguhnya mereka tak mampu melemahkan-Mu. 
Ya Allah cerai beraikan mereka, porak porandakan kesatuan mereka,
Dan turunkanlah balasan-Mu atas mereka.”
اللَّهُمَّ أَحْصِهِمْ عَدَداً، وَاقْتُلْهُمْ بَدَداً، وَلاَ تُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَداً.
“Ya Allah kumpulkanlah dan binasakanlah mereka dan jangalah Engkau sisakan seorang pun dari mereka.”
اللَّهُمَّ أَنْزِلْ عَلَيْهِمْ وَعَلىَ مَنْ عَاوَنَهُمْ بَأْسَكَ الَّذِي لاَ يُرَدُّ عَنِ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ.
“Ya Allah turunkanlah atas mereka dan semua pihak yang membantu mereka balasan-Mu yang tidak dapat ditolak oleh kaum yang berbuat kezhaliman.”
اَللَّهُمَّ أَنْجِ إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِيْنَ الْمُسْتَضْعَفِيْنَ فِيْ سُوْرِيَا، اَللَّهُمَّ الْطُفْ بِهِمْ وَارْحَمْهُمْ وَأَخْرِجْهُمْ مِنَ الضِّيْقِ وَالْحِصَارِ.
“Ya Allah selamatkanlah saudara-saudara kami kaum muslimin yang lemah di Suriah. 
Ya Allah sayangi dan kasihilah mereka dan keluarkanlah mereka dari pengepungan dan keadaan sempit yang mereka alami saat ini.”
اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْهُمُ الشُّهَدَاءَ وَاشْفِ مِنْهُمُ الْمَرْضَى وَالْجَرْحَى، اللَّهُمَّ كُنْ لَهُمْ وَلاَ تَكُنْ عَلَيْهِمْ، فَإِنَّهُ لاَ حَوْلَ لَهُمْ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِكَ
“Ya Allah terimalah syuhada mereka dan sembuhkanlah yang sakit dan terluka dari kalangan mereka. 
Ya Allah karuniakanlah kebaikan pada mereka dan janganlah Engkau timpakan keburukan pada mereka karena tiada daya dan kekuatan bagi mereka kecuali dengan pertolongan-Mu.”
اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنَ فِيْ سُوْرِيَا، اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنَ فِيْ فِلِسْطِيْنَ، اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنَ فِيْ الْيَمَنِ، اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنَ فِيْ أَفْرِيْقِيَا، اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنَ فِيْ أَفْغَانِسْتَانَ، اَللَّهُمَّ انْصُرِ الْمُجَاهِدِيْنَ فِيْ كُلِّ بِقَاعِ الأَرْضِ.
“Ya Allah turunkanlah pertolongan-Mu pada mujahidin di Suriah. 
Ya Allah turunkanlah pertolongan-Mu pada mujahidin di Palestina. 
Ya Allah turunkanlah pertolongan-Mu pada mujahidin di Yaman. 
Ya Allah turunkanlah pertolongan-Mu pada mujahidin di Afrika. 
Ya Allah turunkanlah pertolongan-Mu pada mujahidin di Afghanistan. 
Ya Allah turunkanlah pertolongan-Mu pada mujahidin di seluruh permukaan bumi.”
اللَّهُمَّ انْصُرْهُمْ عَلَى أَعْدَاءِهِمْ وَمَنْ عَاوَنَهُمْ مِنَ الْمُنَافِقِيْنَ، اللَّهُمَّ سَدِّدْ رَمْيَهُمْ وَوَحِّدْ صُفُوْفَهُمْ، وَاجْمَعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الْحَقِّ، يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ.
“Ya Allah tolonglah mereka menghadapi kaum musuh-musuh mereka dan para penolong musuh mereka dari kalangan orang-orang munafik. 
Ya Allah tepatkanlah bidikan mereka, satukanlah barisan perjuangan mereka, dan satukanlah kalimat mereka di atas kebenaran, Ya Hayyu, Ya Qayyum.”
اَللَّهُمَّ مَنْ أَرَادَ بِالْمُسْلِمِيْنَ سُوْءًا وَمَكْرًا وَكَيْدًا فَرُدَّ عَلَيْهِمْ مَكْرَهُمْ أَجْمَعِيْنَ.
“Ya Allah siapa saja yang menginginkan keburukan, rencana jahat, dan tipu daya kepada kami dan kaum muslimin, maka kembalikan kepada mereka seluruh tipu daya mereka.”
اَللَّهُمَّ إِنَّا نَشْكُوْ إِلَيْكَ ضَعْفَنَا وَقِلَّتِنَا وَهَوَانِنَا عَلَى النَّاسِ.
“Ya Allah, kami mengadu kepada-Mu akan kelemahan kami, sedikitnya jumlah kami, dan kehinaan kami di hadapan manusia.”
وَصَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَآخِرُ دَعْوَانَا أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
“Dan Allah bersholawat atas Nabi kita, Muhammad SAW dan kepada keluarga dan sahabat beliau semuanya. Akhir doa kami, kami ucapkan segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam.”
اللهم انصر المسلمين و 
المجاهدين في حلب وفي 
سوريا وفي كل بلد الإسلام يا 
رب العالمين 
اللهم ثبت اقدامهم اللهم قوي 
عزائمهم اللهم صبرهم على 
مصيبتهم اللهم تقبل شهدائهم
Aamiin Yaa Robbal Aalamiin. ..

Khathib Jum’at Melawak

Ustadz Farid Nu’man

Assalamu’alaikum.. Ustadz Farid Nu’man Hasan -semoga Allaah SWT senantiasa menjaga Ustadz sekeluarga. Ana mau bertanya,

1. Bagaimana dengan Khatib Shalat Jum’at yang bercerita lucu sampai membuat sebagian besar jama’ah tertawa (bahkan sampai 2 kali)?

2. Tentang tidak bolehnya memisahkan 2 orang yang sedang duduk pada shalat jum’at, bagaimanakah hukumnya? apakah mutlak, apapun keadaannya tidak boleh atau gimana? soalnya jamaah jum’at banyak yang tidak mengisi shaf depan terlebih dahulu.

Jazakumullaah khairan katsir. (STIS47)

Jawaban:
__________

Wa’Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh..

Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi wa Man waalah, wa ba’d.

Semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

1⃣. Khutbah Jum’at adalah momen yang bagus bagi para du’aat untuk mengingatkan manusia kepada Allah Ta’ala, mengingatkan mereka kepada ukhuwah, ibadah, akhirat, kondisi umat, dan semisalnya, yang bisa menggiring manusia pada opini yang positif dan semangat dalam beragama. Oleh karenanya, mestilah hal itu menggunakan kata-kata yang baik, serius, dan dapat dimengerti.

Hendaknya momen ini tidak diisi dengan hal-hal yang dapat mengaburkan itu semua, dengan selingan-selingan yang tidak perlu bahkan melalaikan, ngawur, dan melantur, dan tidak berbekas di hati manusia, sehingga umat lupa dengan maksud dan materi khutbah. Di sisi lain, membuat nilai khutbah tersebut menjadi rusak dan  tidak sempurna, walau tidak sampai membatalkannya.

⇨ Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلَا صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika berkhutbah, memerah matanya, suaranya meninggi, emosinya begitu nampak, seakan Beliau sedang memperingatkan pasukan yang berkata: siap siagalah kalian pagi dan sore!” (HR. Muslim No. 867)

⇨ Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata:

يستحب كون الخطبة فصيحة بليغة مرتبة مبينة من غير تمطيط ولا تقعير ولا تكون الفاظا مبتذلة ملففة فانها لا تقع في النفوس

“Khutbah disunahkan dengan kata-kata yang fasih dan lancar, tersusun dan teratur rapi, mudah dimengerti jangan terlalu tinggi, dan bertele-tele, atau melantur sebab hal itu tidak berbekas dihati. Seharusnya Khathib memilih kata-kata yang mudah, singkat dan berisi.” (Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab,  4/528)

⇨ Imam Shiddiq Hasan Khan Rahimahullah berkata:

ثم اعلم أن الخطبة المشروعة هي ما كان يعتاده صلى الله تعالى عليه وآله وسلم من ترغيب الناس وترهيبهم فهذا في الحقيقة روح الخطبة الذي لأجله شرعت

“Ketahuilah, bahwa khutbah yang disyariatkan adalah yang biasa dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, yaitu memberikan kabar gembira dan menakut-nakuti manusia. Inilah hakikat yang menjadi jiwa sebuah khutbah yang karenanya khutbah menjadi disyariatkan.” (Imam Shiddiq Hasan Khan, Ar Raudhah An-Nadiyah, 1/137)

2⃣. Tidak ada larangan kita duduk di antara dua orang, jika memang dua orang itu renggang dan kita pun ada ruang yang cukup untuk duduk di antara mereka. Dengan kata lain, shaff yang ada sangat longgar. Maka, duduknya kita di antara mereka justru   bagus karena mengisi kekosongan shaf. Jika hal itu dilarang, tentu shaff tidak akan pernah penuh karena duduknya mereka  takut dianggap memisahkan di antara dua orang. Tentu tidak demikian.

Yang terlarang adalah jika kita melewati atau berjalan di antara bahu manusia yang berdekatan secara kasar, tergesa-gesa,  atau kita duduk di antara mereka secara paksa padahal tidak ada ruang yang cukup, dan saat itu khutbah sedang berlangsung. Hal itu dilakukan supaya kita bisa dapat shaff yang di depan.  Maka hal itu menyakitkan mereka, oleh karenanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarangnya.

⇨ Abdullah bin Busr Radhiallahu ‘Anhu, berkata:

  جَاءَ رَجُلٌ يَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ

Datang seorang laki-laki yang melangkah di antara bahu manusia, pada hari Jumat, saat itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang berkhutbah, maka Beliau bersabda kepadanya: “Duduklah, engkau telah menyakiti (orang lain, pen).” (HR. Abu Daud No. 1118, An Nasa’i dalam As -Sunan Al-Kubra No. 1704, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa No. 294, Ibnu Khuzaimah No. 1811, Ath Thabarani dalam Musnad Asy-Syamiyin No. 1954. Syaikh Al-A’zhami mengatakan: shahih. Lihat Shahih Ibnu Khuzaimah No. 1811, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak No. 1061, katanya: shahih sesuai syarat Muslim. Disepakati oleh Imam Adz Dzahabi. Imam Al-‘Aini mengatakan: isnadnya jayyid. Lihat ‘Umdatul Qari, 10/101)

⇨ Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Abbad Al-Badr Hafizhahullah menjelaskan:

ولا يجوز لإنسان أن يتخطى رقاب الناس يوم الجمعة وكذلك في غير الجمعة، وعلى الإنسان أن يأتي مبكراً ويجلس في الأماكن المتقدمة دون أن يتخطى رقاب الناس، لا أن يأتي متأخراً ثم يتخطى رقاب الناس من أجل أن يجلس في مكان متقدم، ولتتم الصفوف الأول فالأول، ولا ينشأ الصف الثاني إلا إذا امتلأ الصف الأول، ولا ينشأ الصف الثالث إلا إذا امتلأ الصف الثاني، ولا ينشأ الصف الرابع إلا إذا امتلأ الصف الثالث وهكذا، وبذلك يكون كل من جاء يجلس حيث ينتهي به المجلس، أو يقف حيث ينتهي به الموقف

“Tidak boleh bagi manusia melangkah di antara bahu orang lain pada hari (shalat) Jumat dan juga pada selain Jumat.  Mestinya manusia datang bersegera dan duduk di tempat-tempat terdepan dengan tidak melangkahi bahu manusia, bukannya memperlambat kemudian dia melangkah di antara bahu manusia dengan harapan bisa duduk di tempat terdepan, dan untuk menyempurnakan shaff yang pertama. Janganlah dia mengisi shaff kedua, kecuali jika shaff yang pertama sudah penuh, dan jangan dia memenuhi shaff ketiga, kecuali jika telah penuh shaff yang kedua, dan jangan dia memnuhi shaff keempat kecuali jika telah penuh shaff yang ketiga, begitu seterusnya. Dengan demikian setiap orang yang datang akan duduk ditempat akhir dari majelis, atau berhenti di bagian akhir orang berhenti.” (Syarh Sunan Abi Daud,  6/394)

Demikian. Wallahu A’lam