KeluargaUstadz Menjawab

Kondisi yang Pantas Bagi Istri Untuk Bercerai

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadzah…
Sejauh mana Hukum Islam membenarkan sikap seorang Istri untuk pantas bercerai dengan suaminya jika seorang Istri sudah berusaha istiqomah melakukan amal Ibadah yang Rasulullah ajarkan, sedangkan suami masih santai untuk merealisasikan ajaran Rasulullah tersebut. Bahkan Istri menerima ikhlas jika suami selama hampir 15 tahun tidak diberi nafkah bathin di karenakan suami di vonis sulit memiliki keturunan. Di keluarga tersebut terlihat seakan-akan Istri berjuang sendiri untuk menjadi muslimah yang seutuhnya..

A_21

🌿🍁🌺🌸🍃🍁


Jawaban

Oleh: Ustadzah Dra. Indra Asih

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Dari pertanyaan di atas, alasan yang pertama relatif. Sedangkan alasan kedua lebih jelas. Terkait dengan kepuasan batin istri.

Allah berfirman,

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Wanita punya hak (yang harus ditunaikan suaminya sesuai ukuran kelayakan), sebagaimana dia juga punya kewajiban (yang harus dia tunaikan untuk suaminya).” (QS. al-Baqarah: 228)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan beberapa sahabatnya yang waktunya hanya habis beribadah, sehingga tidak pernah menjamah istrinya.

Diantaranya, peristiwa yang dialami Utsman bin Madz’un radhiyallahu ‘anhu. Sahabat yang menghabiskan waktunya untuk beribadah.

Aisyah Radhiyallahu Anhu bercerita,
Saya pernah menemui Khoulah bintu Hakim, istrinya Utsman bin Madz’un. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Khoulah suasananya kusam, seperti tidak pernah merawat dirinya. Beliaupun bertanya kepada A’isyah,

“Wahai Aisyah, Khoulah kok kusut kusam ada apa?”

Jawab Aisyah,
“Ya Rasulullah, wanita ini punya suami, yang setiap hari puasa, dan tiap malam Tahajjud. Dia seperti wanita yang tidak bersuami. Makanya dia tidak pernah merawat dirinya.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh seseorang untuk memanggil Utsman bin Madz’un. Ketika beliau datang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat,

“Wahai Utsman, kamu membenci sunahku?”
“Tidak Ya Rasulullah. Bahkan aku selalu mencari sunah Anda.” Jawab Ustman.

“Kalau begitu, perhatikan, aku tidur dan aku shalat tahajud, aku puasa dan kadang tidak puasa. Dan aku menikah dengan wanita. Wahai Utsman, bertaqwalah kepada Allah. Karena istrimu punya hak yang harus kau penuhi. Tamumu juga punya hak yang harus kau penuhi. Dirimu punya hak yang harus kau penuhi. Silahkan puasa, dan kadang tidak puasa. Silahkan tahajud, tapi juga harus tidur.” (HR. Ahmad).

Salman juga pernah berpesan kepada Abu Darda radhiyallahu ‘anhuma, karena beliau tidak pernah tidur dengan istrinya,

“Sesungguhnya dirimu punya hak yang harus kau tunaikan. Tamumu punya hak yang harus kau tunaikan. Istrimu punya hak yang harus kau tunaikan. Berikan hak kepada masing-masing sesuai porsinya.’
Pernyataan Salman ini dibenarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Turmudzi).

Suami tidak memenuhi nafkah bathin istrinya karena sakit, sementara istri tidak ridha, apakah istri memiliki hak untuk mengajukan khulu’ (gugat cerai)?

Ulama berbeda pendapat dalam hal ini,

1. istri berhak mengajukan gugat cerai di hakim. Selanjutnya hakim menunggu selama setahun. Jika dalam waktu selama setahun, suami masih tidak menggauli istrinya maka hakim berhak menfasakh (menceraikan) pernikahan.

Masa tunggu ini berlaku jika penyakit yang diderita suami, memungkinkan untuk disembuhkan. Sehingga jika penyakit itu tidak memungkinkan untuk disembuhkan maka tidak perlu menunggu.

2. istri berhak gugat cerai karena suami sakit. Kecuali jika penyakit ini bisa disembuhkan.

3. jika dipastikan suami sakit dan istri tidak ridha, maka istri berhak gugat cerai tanpa harus menunggu kesembuhan suaminya.

Ini pendapat Syakhul Islam dan Abu Bakr Abdul Aziz – ulama hambali -.

Beberapa ulama madzhab hambali berpendapat bahwa sang istri berhak untuk langsung gugat cerai.

Kesimpulannya, istri berhak untuk gugat cerai karena suami sakit. Tetapi, para ulama berbeda pendapat mengenai teknis dan tata caranya.

Tapi, alangkah lebih baiknya, istri mengevaluasi lebih dulu, apakah cara komunikasi masalahnya ke suami atau upaya tampil menarik di hadapan suami sudah optimal. Jika semua usaha dengan teknis yang pas sudah maksimal, bisa mengajukan khulu’ (gugat cerai)

Wallahu a’lam.

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial

Follow IG MANIS : https://www.instagram.com/majelis_manis/?igshid=YmMyMTA2M2Y%3D

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/gabungmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Iman Islam
No Rek BSI : 5512 212 725
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130

Related Posts

Leave A Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *