Resign Setelah dapat THR

0
201

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz… Saya mau bertanya, begini Ustadz, tren beberapa karyawan saat ini resign setelah mereka mendapatkan THR. Bagaimana pandangan syariah terkait hal ini?

Bagaimana adab-adab resign? Terima kasih. — Alin, Bandung

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Jawaban

Oleh: Ustadz Dr. Oni Sahroni

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Kesimpulannya, resign setelah mendapatkan THR atau dalam kondisi lain itu terlarang dalam syariah selama resign tersebut melanggar perjanjian kerja antara pegawai dan perusahaan (tempat bekerja) dan adab atau akhlaqiyat.

Namun, resign setelah mendapatkan THR atau momentum lain itu menjadi dibolehkan dengan syarat memenuhi adab-adab berikut.

(1) Jangan ada perjanjian atau aturan perusahaan terkait yang dilanggar. Sebaliknya, harus memenuhi seluruh aturan dan perjanjian kerja hingga hari terakhir bekerja.

Karena lazimnya, setiap pegawai yang diterima bekerja di sebuah instansi atau lembaga, ia menyetujui dan terikat dengan perjanjian kerja (yang berisi hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pegawai dan perusahaan tempat bekerja).

Selain perjanjian tersebut, ia juga terikat dengan aturan perusahaan atau core of conduct perusahaan.

Kedua hal itu yang menjadi concern pegawai yang ingin resign. Tegasnya, pastikan saat ia resign tidak ada satu pun aturan atau perjanjian yang ia langgar.

Sebagaimana tuntunan terkait dengan kewajiban memenuhi kontrak dan perjanjian yang sudah disepakati. Di antaranya merujuk pada kaidah fikih:

‎العقد هو شريعة المتعاقدين، ما لم يخالف حكما شرعيا،

Perjanjian itu adalah kesepakatan pihak yang melakukan transaksi selama itu tidak bertentangan dengan ketentuan syariah.

Sebagaimana penjelasan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-Fatawa al-Kubra:

‎إذا كان حسن الوفاء ورعاية العهد مأمورا به، علم أن الأصل صحة العقود والشروط،
‎إذ لا معنى للتصحيح إلا ما ترتب عليه أثره وحصل به مقصوده، ومقصوده هو الوفاء به. اهـ

Jika memenuhi perjanjian dengan sebaik-baiknya, itu hal yang diperintahkan, maka kesimpulan selanjutnya adalah syarat dan perjanjian itu hukumnya sah karena sah yang dimaksud tidak bermakna kecuali memberikan akibat hukum dan targetnya tercapai.
Target yang dimaksud adalah komitmen memenuhi akad atau perjanjian.

(2) Terkait dengan motif dan iktikad. Pegawai memastikan bahwa pilihan resign (termasuk setelah Idul Fitri) ini adalah dilandasi niat ikhlas karena Allah SWT.
Ia telah mempertimbangkan kewajiban terhadap dirinya, terhadap mereka yang menjadi tanggung jawab nafkahnya (jika sudah berkeluarga) atau orang tua.

Pilihan resign dari pekerjaan bukan karena ada masalah di kantor, bukan pula karena rasa dan perasaan atau coba-coba.

(3) Resign dengan perencanaan. Maksudnya, pilihan resign dilakukan dengan perencanaan, termasuk terkait dengan tempat bekerja yang baru agar menjadi sumber nafkah yang halal dan cukup untuk diri dan keluarganya.

Sebaliknya, tidak boleh ia resign tanpa perencanaan sehingga ia melalaikan keluarga yang menjadi tanggung jawab nafkahnya.

(4) Terkait dengan waktu. Pastikan pilihan waktu resign tidak melanggar jangka waktu kerja di lembaga atau perusahaan tempat bekerja.

Lazimnya, di antara klausul perjanjian kerja yang disepakati oleh pegawai atau karyawan dengan perusahaan itu jangka waktu kerja. Misalnya, setahun atau tiga tahun di mana ia tidak boleh resign dari pekerjaan di sela-sela waktu tersebut.

Ihwal waktu yang dimaksud, ia tidak boleh resign sebelum waktu yang disepakati. Oleh karena itu, keinginan resign harus tersampaikan kepada perusahaan tempat bekerja sebelum waktu yang telah disepakati.

Sebagaimana Standar Syariah Internasional AAOIFI:

يجوز فسخ عقد الإجارة باتفاق الطرفين، ولا يحق لأحدهما فسخه إلا لعذر طارئ أو لظروف قاهرة….تنتهي الإجارة بانتهاء مدتها….

“Akad ijarah boleh di-fasakh (diberhentikan) dengan kesepakatan kedua belah pihak. Oleh karena itu, salah satu pihak tidak berhak untuk mem-fasakh-nya kecuali saat ada uzur mendadak atau kondisi memaksa…. Akad ijarah berakhir dengan berakhirnya masa waktu ijarah.” (Standar AAOIFI No 36 tentang Ijarah al-Asykhash).

Sebagaimana regulasi terkait, pekerja atau buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat: mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri, tidak terikat dalam ikatan dinas, dan
tetap melaksanakan kewajiban sampai tanggal mulai pengunduran diri. (Pasal 81 angka 45 Perppu Cipta Kerja).

(5) Terkait dengan tugas-tugas di perusahaan atau lembaga. Pastikan sebelum ia resign dari tempat bekerja, seluruh kewajiban yang menjadi tugasnya itu telah tertunaikan dan tuntas.

Sebaliknya, ia tidak boleh resign dari perusahaan sementara ia meninggalkan banyak PR atau kewajiban dan meninggalkan banyak masalah di perusahaan.

Rasulullah SAW telah menjadi teladan dalam bermuamalah dengan para mitranya dari sejak memulai kemitraan hingga berakhirnya, sebagaimana testimoni yang diberikan oleh As-Saib bin Abu as-Saib:

‎كُنْتَ شَرِيكِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَكُنْتَ خَيْرَ شَرِيكٍ لَا تُدَارِينِي وَلَا تُمَارِينِي

“Engkau adalah mitraku di masa jahiliyah, dan engkau adalah sebaik-baik mitra yang tidak mengkhianatiku dan mendebatku.” (HR Ibnu Majah).

(6) Resign dengan penuh tanggung jawab dan kesantunan. Di antara adab yang melekat dan terkait dengan resign adalah tanggung jawab dan kesantunan.

Pastikan ia bertanggung jawab terhadap pilihan resign dan memenuhi kewajiban terhadap perusahaan dengan seluruh konsekuensinya.
Kesantunan, di mana ia harus menjaga hubungan kemanusiaan dan ukhuwah antara ia (sebagai personal) dengan perusahaan. Meninggalkan reputasinya yang baik dengan perusahaan, karena kontrak kerja itu terbatas tetapi hubungan personal dan ukhuwah tidak terbatas.

Karena itu bagian dari pemenuhan dan tanggung jawab terhadap perjanjian (amanah) sebagaimana hadis Rasulullah SAW, “Tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayaimu dan jangan engkau mengkhianati orang yang mengkhianatimu!” (HR Tirmidzi).

(7) Jika resign berakibat sanksi, maka ia mematuhinya. Maksudnya, jika ia resign dari perusahaan karena melanggar aturan hingga perusahaan menjatuhkan sanksi, maka ia harus mematuhi dan memenuhi sanksi tersebut.

Sebagaimana merujuk kepada kaidah patuh terhadap perjanjian (al-wafa bil uhud), kaidah at-ta’wid (di mana pihak yang melakukan wanprestasi atau cedera janji dan mengakibatkan kerugian itu harus menggantinya).

Wallahu A’lam.

Sumber: Konsultasi syariah Republika online, 15 April 2024

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : https://www.instagram.com/majelis_manis/?igshid=YmMyMTA2M2Y%3D

Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/gabungmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here