Pemateri: Ustadz Aus Hidayat Nur
📚 Definisi Iman menurut Al Qur-an
Al Qur-an mendefinisikan Iman dengan ayat-ayat yang sangat jelas tentang ciri-ciri orang-orang beriman.
Jika kita cermati ayat-ayat ini selalu menghubungkan iman sebagai aktifitas hati dengan amal saleh (kerja yang baik atau amalan produktif) sebagai aktifitas.
1. Orang-orang yang memiliki kecintaan kepada Allah dan Kitab Suci-Nya sehingga selalu membaca Al Qur-an , mengkaji kandungannya, dan mengamalkan isinya. Mereka juga menunaikan rukun Islam : menegakkan syahadat, mendirikan sholat, berzakat, dan lain-lain.
Firman Allah:
{إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ –
الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ [الأنفال : 2-3]
Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (AL Anfaal: 2-3)
2. Mereka yang tidak ragu dalam keyakinannya dengan dibuktikan selalu siap berjihad (berjuang) di jalan Allah,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ [الحجرات : 15]
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. (Al Hujaarat: 15)
3. Mereka yang komitmen untuk taat dan patuh kepada Allah (Al Qur-an) dan Rasul-Nya (as sunnah),
Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
4. Mereka yang beriman kepada Allah, Para Malaikat, Kitab-kitab, dan Rasul-rasul-Nya, meyakini hari Akhirat dengan sikap mendengar dan mentaati setiap perintah Allah dan Rasul-Nya..
{آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ ۚ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ ۚ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۖ غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ – (البقرة : 285)
Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami taat.” (Mereka berdoa): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (Al Baqarah: 285)
📚Definisi Iman menurut Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wa Sallam.
Para ulama umumnya berpendapat bahwa iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan.
Para ulama salaf –semoga Allah merahmati mereka- menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang.
Dalam mendefinisikan iman Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam bersabda,
Iman adalah pengetahuan (keyakinan) di dalam hati, ungkapan lisan, dan amal dengan anggota badan (HR. Ibnu Majah)
Jibril bertanya ”katakan kepadaku tentang iman!?”
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-NyaKitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan Hari Akhir, juga engkau beriman kepada taqdir yang baik maupun yang buruk. (HR. Muslim)
Penjelasan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam tentang iman dalam hadits di atas disepakati oleh ulama sebagai Arkanul Iman (rukun iman) yang enam.
Selanjutnya Nabi juga menyebutkan tentang kualitas iman
“Iman itu terdiri 69 atau 79 bagian cabang atau lebih, bagian yang tertinggi adalah ucapan “Laailaha illa-Llah dan yang paling rendah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan dan”. Dan malu (berbuat keburukan) sebagian dari iman” (HR. Bukhari).
Iman dalam Islam tidak hanya “percaya” di lisan tetapi wajib diiringi dengan hati yang membenarkan serta pembuktian kata-kata dan amal perbuatan.
Iman bukan hanya aktifitas hati atau lisan, atau amal tetapi ketiganya sekaligus.
Jika Anda menyingkirkan batu di jalan karena sadar bahwa ini merupakan kewajiban yang diajarkan Nabi – bukan semata menghindarkan orang dari gangguan – maka itulah iman dengan tingkat paling rendah.
Sedangkan ucapan kalimat tawhid “laa ilaha illa-Llah” khususnya yang dibaca dalam tasyahud setiap sholat merupakan bentuk iman yang paling tinggi.
Karena itu, tidak dapat dikatakan beriman orang-orang yang sengaja meninggalkan sholat lima waktu atau mengingkari kewajiban sholat lima waktu. Atau tidak menyesal dan sedih manakala dia tidak mendirikan sholat berjamaah.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam mengatakan ,
“Sholat seseorang berjamaah di Masjid lebih tinggi nilainya 27 derajat tenimbang sholatnya sendirian di tempat dia berkerja atau di rumahnya” (HR. Bukhari)
Di hadits lain disebutkan bahwa satu derajat dengan lainnya berjarak 500 tahun atau sama dengan lima abad!
27 Derajat artinya 13.500 tahun (13,5 abad) di setiap sholat yang dikerjakan. Inilah pernyataan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam yang wajib Kita imani. Bayangkan mereka yang sholat jamaahnya rutin 5 waktu dalam sehari derajatnya naik 67.500 tahun, bagaimana jika dihitung dalam setahun.
Tentu orang yang sholat sendirian dan sering telat seolah-olah tidak sholat dibanding mereka yang selalu berjamaah di masjid.
Namun dalam kenyataannya, banyak yang melalaikan sholat berjamaah di Masjid dan menganggap bahwa tidak ada perbedaan antara shalat di berjamaah dengan shalat sendirian.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam telah menentukan tingginya nilai berbakti kepada dua orangtua sebagai realisasi dari keimanan Allah.
Namun Anak-anak sekarang lebih menghormati teman-teman gaulnya tenimbang orangtuanya. Ada seorang ibu yang sedang sakit minta ditemani berobat ditolak oleh anak lelakinya dengan alasan dia mau ketemu wanita yang akan menjadi pasangan hidupnya (pacar).
Dia bahkan berani memarahi orang tuanya untuk mendapatkan keredhaan orang yang belum menjadi pasangannya. Jasa orangtua puluhan tahun membesarkan dan mendidiknya seakan tidak berarti demi meraih keingan hawa nafsunya. Padahal memenuhi panggilan orang tua, apalagi sedang sakit sangat besar nilainya di sisi Allah.
Di zaman Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam ada seorang pemuda yang ingin turut berjihad bersama Nabi. Namun ditolak oleh Beliau karena ibunya lebih memerlukan perawatan dan perhatian anak muda tersebut.
Apakah anak itu telah lupa sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam
“Al jannatu tahta aqdaamil ummahaat”
(Syurga itu berada di bawah telapak kaki ibu), dan
“ridhollah fi ridhol walidain”
(Keredhaan Allah berada dalam keredhaan dua orangtua)?
Wallahu A’lam