Tadabbur Al-Qur’an: QS. Al-Qalam

0
219

Oleh: Dr. Saiful Bahri, MA

Mukaddimah: Sebuah Dukungan Rabbani

Surat al-Qalam termasuk surat yang pertama-tama diturunkan Allah di Makkah; menurut sebagian ahli tafsir diturunkan setelah surat al-’Alaq.

Saat Nabi Muhammad saw berdakwah, respon yang beliau terima dari kaumnya sangat mengecewakan. Bahkan lebih merupakan teror-teror psikis dan tak jarang juga terror fisik beliau terima, juga orang-orang yang mengikuti dakwah beliau.

Salah satu teror psikis yang beliau terima adalah stempel ”gila” yang diberikan kepada beliau. Padahal sebelum itu kaumnya sendiri yang menyematkan julukan ”al-Amin (yang terpercaya)” kepada beliau. Kini semua berbalik. Beliau dicap sebagai orang yang gila harta dan jabatan. Bahkan sebagian benar-benar menuduh gila dalam artian yang sebenarnya.

Dan Allah lah yang kemudian menjawab segala tuduhan di atas. “Dan sesunguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(QS. 68: 4)

Dukungan spiritual ini diberikan saat kaumnya menganggapnya gila ketika beliau menyampaikan risalah-Nya. Bahwa Allah juga tak henti-hentinya memberikan dukungan serta menjanjikan pahala yang tak putus-putus atas kesabaran yang ekstra dalam menghadapi kaumnya.

Sejenak kita tilik gaya bahasa yang dipakai al-Qur’an. ”la‘alâ khuluqin ’azhîm” pada ayat keempat, digunakan kata ”’alâ” (di atas) bukan dengan kata ”fî” (dalam). Hal ini mengindikasikan bahwa Nabi Muhammad saw memang berada di atas standar akhlak dan budi pekerti manusia pada umumnya.

Ketika beliau mendakwahi para pemuka kaumnya, Quraisy; saat itu Abdullah bin Ummi Maktum ra. -yang buta- masuk ke tempat tersebut. Seketika raut muka Rasulullah berubah sedikit muram, berubah masam. Beliau tak mengatakan apa-apa, memarahi, menghardik atau menegurnya. Hanya saja air wajah beliau menunjukkan agak terganggu dengan kehadiran Abdullah tersebut.

Seketika Allah menegur beliau “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?”. (QS. `Abasa: 1-4)

Barangkali bagi orang biasa, hanya bermuka masam seperti di atas mungkin belum terlalu dianggap kurang baik. Namun, kebersihan diri beliau serta pengawasan Allah lah yang menjadikan standar akhlak beliau memang benar-benar mulia. Di atas standar akhlak manusia biasa. Di atas akhlak orang yang paling mulia sekalipun, yang pada waktu itu ada dalam suku Quraisy atau suku-suku lain yang ada disekitarnya. Bahkan paling mulia di antara sekian makhluk Allah yang pernah ada dan yang akan ada.

Karena itu, tak ada alasan bagi Nabi Muhammad saw untuk larut dalam kesedihan memikirkan cemoohan dan berbagai teror dari kaumnya. Dan yang terbaik adalah meneruskan dakwah ini kepada kaumnya. ”Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat. Siapa di antara kamu yang gila. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya; dan Dia-lah yang paling mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. 68: 5-7). Karena terkadang orang gila tak merasa bahwa dirinya adalah orang gila. Dan ketika mereka sadar, keterlambatan itu sudah tiada berguna lagi untuk menghindarkan mereka dari siksaan Allah yang Maha Pedih.

Para Pendusta dan Pencela Nabi Muhammad saw

”Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah.  Yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa.  Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya. Karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak. Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kam, ia berkata: “(Ini adalah) dongeng-dongengan orang-orang terdahulu”. Kelak akan kami beri tanda dia di belalai(nya)”. (QS. 68: 8-16)

Ada perbedaan ahli tafsir, siapa yang dimaksud Allah dalam ayat ini. Karena ayat 10-16 diturunkan untuk menyindir seseorang. Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan beberapa riwayat [1]. Sebagian mufassirin berpendapat ayat-ayat ini diturunkan Allah untuk menyindir al-Walid bin Mughiroh [2], sebagian lagi berpendapat: al-Akhnas bin Syuraiq, atau al-Aswad bin Abdi Yaghuts.

Allah melarang mengikuti mereka (orang-orang kafir Quraisy). Orang-orang kafir dan mereka yang mencaci Rasulullah saw. Larangan ini semula diperuntukkan kepada Nabi Muhammad saw, namun ditujukan pula kepada kita, sebagai umat yang mengikuti ajaran yang beliau bawa.

Sifat pertama yang ditunjukkan Allah dalam ayat ini adalah “mendustakan”.  Mendustakan ayat-ayat-Nya, para utusannya, meskipun sebelumnya mereka dikenal kaumnya sebagai orang terpercaya lagi baik budinya. Ciri-ciri inilah yang memasukkan kaum Ad dan Tsamud serta Ashabu Madyan, dan Rass ke dalam kategori orang-orang yang kafir. Pembangkang serta memusuhi kekasih Allah. Dan pada gilirannya Allah menghancurkan mereka dengan tentara-tentara Allah. Angin topan yang menggulung kesombongan mereka. Menghabiskan kedustaan yang mereka lakukan kepada Allah dan para Rasul-nya

Mereka ingin dihargai sementara mereka tiada mau menghargai orang lain. Ingin diperlakukan dengan lunak dan lemah lembut, sementara mereka tidaklah demikian.

Diantara sifat al-Walid yang menonjol adalah banyak bersumpah. Namun sering ia langgar sendiri. Sungguh hina orang-orang yang mempermainkan sumpahnya. Selain itu suka mencela dan mencaci, menebar fitnah, menjadi provokator dan menghalangi kebaikan. Kasar dan sudah terlanjur dikenal keculasan dan kejahatannya. Padahal ia memiliki banyak anak dan harta. Tapi sekali-kali ia tak pernah insyaf dan bertaubat kepada Allah.

Di akhir peringatan ini Allah memberitahukan lagi salah satu ciri mereka. Yaitu mereka akan mengatakan kepada setiap orang yang mengajak mereka kepada kebaikan. “Itu hanyalah merupakan cerita-cerita orang terdahulu” hanyalah merupakan cerita-cerita orang terdahulu” hanyalah merupakan cerita-cerita orang terdahulu” hanyalah merupakan cerita-cerita orang terdahulu” hanyalah merupakan cerita-cerita orang terdahulu”. Mungkin kalau bahasa kita, setelah kita memperingatkan atau mengajak pada sesuatu yang ma`ruf. Mereka akan mengangganya ”lagu lama” yang disamakan dengan dongeng-dongeng serta cerita rakyat yang penuh mitos.

Mereka sudah terlebih dahulu mengklaim sesuatu yang disampaikan oleh Rasulullah. Padahal mereka tak mengetahui apa pun tentangnya. Bagaimana mungkin mereka akan menerimanya.

Allah akan menghinakannya juga kuffar Quraisy itu dengan memberi tanda khusus di hidung mereka [3]. Sebagai tanda kebohongan dan kedustaan mereka. Menghinakan mereka sebagaimana mereka menghinakan ayat-ayat Allah dan para Rasul-Nya.

Al-Qur`an menggambarkannya dengan kata-kata “belalai”. Kata-belalai sebagaimana lazimnya tak dipakai kecuali untuk binatang. Bukan untuk manusia. Tentunya hal tersebut dimaksudkan untuk semakin menghinakan serta menurunkan derajatnya sebagai manusia. Mereka sama dengan binatang. Bahkan lebih rendah darinya. Karena mereka mempunyai akal. Namun tak mereka gunakan untuk menerima dan memikirkan ayat-ayat Allah.

Kisah Para Pemilik Kebun

Dalam surat ini ada kandungan kisah tentang para pemilik kebun. Allah menurunkan adzab kepada mereka, dalam rangka memberi mukaddimah ancaman kepada para pencela dan pengejek Rasulullah saw. Jika mereka mengetahui atau setidaknya merasakan penyesalan dan kepedihan serta keputusasaan dalam kisah ini tentu mereka akan takut ditimpa dengan adzab yang lebih pedih dari itu, adzab akhirat.

Siapakah para pemilik kebun yang dimaksud dalam ayat-ayat ini ?[4]

Dikabarkan, mereka telah membagi-bagi dan mengkaplingkan hasil kebun mereka yang akan akan mereka tuai esoknya. Mereka memastikannya, bahkan telah bersumpah. Hasilnya untuk keperluan ini dan untuk keperluan itu.. Mereka sama sekali tak menyisakan bagian untuk kaum dhu`afa dan fakir miskin. Mereka juga sombong. Seolah merekalah yang memutuskan segalanya. Yang menjamin kelangsungan hidup hari esok. Sehingga mereka melupakan Allah. Tiada mensyukuri nikmat-Nya. Tak menyebutnya sama sekali. Bahkan mereka tak mau untuk sekedar mengatakan: “Insya Allah ”.

Adapun penafsiran ayat ke 18 memang berbeda-beda. Jika konteksnya berhubungan dengan kepercayaan pada Allah dan pemastian pembagian hasil kebun. Maka lebih pas untuk diartikan dengan “tidak mengatakan Insya Allah ”. Namun, jika konteksnya adalah amal kemanusiaan yang berhubungan dengan hak fakir miskin. Maka bisa diartikan,”Mereka tak memberikan bagian dari hasil tersebut serta menyisakannya untuk fakir miskin”. Padahal para pendahulu mereka, kakek dan bapak mereka mendermakan sebagian harta hasil dari perkebunan tersebut kepada fakir miskin. Sementara mereka mempunyai karakter yang sebaliknya, bakhil. Sangat memusuhi hati nurani kemanusiaan.

Penggambaran kebakhilan mereka terlihat dari ayat 24. Dimulai ketika mereka bangun dari tidur di waktu shubuh, mereka bergegas saling membangunkan, serta saling memanggil dan mengingatkan. Kemudian bertolak ke kebun mereka dengan diam-diam dan mengendap-endap dengan tujuan agar fakir miskin yang ada di kampung mereka tak mengetahuinya. Kemudian dikhawatirkan mereka meminta bagian dari hasil kebun tersebut.

Mereka tak mengetahui keadaan sesungguhnya. Mereka tak menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi pada kebun-kebun mereka. Mereka tak mengetahui apa yang Allah perbuat terhadap kebun mereka ketika mereka terlelap dalam tidur ketamakan semalaman. Ketika mereka mendekat, melihat dengan kedua mata mereka sendiri. Keadaan kebun-kebun mereka sungguh jauh di luar dugaan dan penggambaran mereka. Kebun-kebun mereka menghitam pekat. Sehitam hati mereka yang tetutupi hawa nafsu, cinta dunia dan kebakhilan sehingga menghalangi rasa kemanusiaan mereka.

Lenyaplah ribuan angan mereka. Hilanglah pembagian penghasilan yang mereka rancang sebelumnya. Terbanglah bayangan-banyangan kesenangan dunia.

Apakah mereka tak merasakan kesengsaraan serta penderitaan fakir miskin yang tak mendapat uluran kasih sayang dan bantuan dari mereka? Mereka telah menghalangi fakir miskin dari mendapatkan haknya dari harta mereka, padahal mereka mampu dan sanggup melakukannya.

Kemudian, ada seseorang yang masih mempunyai pemikiran baik diantara mereka mengingatkan. Bukankah aku telah mengatakan, sebaiknya kalian bertasbih kepada Tuhan kalian.

Peringatan, ajakan bertasbih ini. Tentulah sangat baik. Akan tetapi mereka mengucapkannya dengan bibir-bibir kering. Dengan keputusasaan. Dengan tertutupnya hati. Merekapun bertasbih. Namun, tak mengetahui hakikat makna dan kandungan tasbih tersebut. Hal ini terbukti dan terlihat dari fenomena permusuhan di antara mereka setelah itu. Mereka saling mencela. Saling menyalahkan di antara sesama mereka. Tiada menerima yang Allah cobakan kepada mereka

Penyesalan. Ribuan penyesalan. Bahkan tiada terhitung penyesalan yang mereka keluhkan. Mereka mengakui kelemahan dan kezhaliman mereka. Namun, penyesalan ini tidaklah sanggup mengembalikan kebun mereka kembali menghijau seketika itu. Kembali menjanjikan hasil dunia yang menggiurkan dan melenakan mereka.

Jika mereka benar-benar menyesalinya. Dan penyesalan seperti ini ketika masih ada kesempatan memperbaikinya. Tentul Allah akan menerimanya. Menerima taubat yang sungguh-sungguh dari hamba-hambaNya.

Namun, bukan penyesalan mereka. Penyesalan orang-orang kafir, para pencela Rasulullah. Penyesalan yang kelak baru mereka rasakan ketika adzab akhirat melucuti tubuh dan perasaan mereka. Jika mereka mengetahui dan menyelami kisah pemilik-pemilik kebun tersebut. Sungguh mereka akan cepat-cepat bertaubat dan memperbaiki diri. Dan barang siapa yang tidak mengetahuinya, ketahuilah bahwa adzab akhirat sangatlah pedih. Melebihi pedihnya adzab dan cobaan dunia. Tak terbayangkan oleh siapapun yang ada di dunia ini. Hanya Allah saja yang mengetahui kedahsyatannya.

Lihatlah akhir hidup Abu Jahal, seorang penjahat kelas kakap yang terbunuh dalam Perang Badar di tangan dua orang anak kecil, Muadz dan Muawidz  [5]. Lihat pula al-Walid bin Mughiroh. Justru anaknya Khalid bin Walid menjadi panglima besar Islam  juga saudara-saudaranya, membela dakwah Rasulullah. Maka yang demikian itu sangat menghinakan mereka.

Kabar Gembira

Dan sebaliknya Allah memberikan kabar gembira untuk orang-orang yang mau mengikuti risalah Rasulullah saw. ”Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) syurga-syurga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya. Maka apakah patut kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)?” (QS. 68: 34-35)

Tentu saja Allah tak menyamakan kedua golongan yang sangat jauh perbedaannya. Masing-masing telah Dia sediakan balasan yang setimpal sesuai dengan amal dan perbuatannya. Masing-masing dari manusia telah diberi kebebasan memilih jalan masing-masing. Hanya saja ia mesti mempertanggungjawabkan pilihannya kelak. Maka jika demikian halnya. Orang-orang yang bertakwa mengikuti jejak para Nabi Allah. Jejak yang jelas ujungnya, meski banyak duri serta cobaan berada disepanjang jalan pilihan tersebut.

Tunggulah sampai datang hari yang dijanjikan itu. ”Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa”. (QS. 68: 42)

Pada waktu itu orang-orang yang sombong tersebut dipanggil satu persatu. Mereka diinstruksikan untuk bersujud di hadapan Allah. Mereka pun tak kuasa melakukannya. Karena mereka tak pernah melakukannya di dunia. Atau jika melakukannya, hanya karena mereka terjangkit split personality. Hipokrit dan munafik, untuk meraup keuntungan dunia semata. Hari itu keadaan sesungguhnya menjadi nyata. Pamrih sesungguhnya dari apa yang ia lakukan menjadi jelas terlihat. Karena hati mereka tertutup oleh dunia dan segala kesenangannya.

Sujud merupakan suatu pekerjaan yang berat bagi hati yang tak khusyuk. Bagi hati yang keras. Hati yang dipenuhi oleh gengsi kedudukan dan status sosial. Sujud akan mudah dilakukan oleh hati yang lembut. Hati yang tunduk, khusyuk dengan penuh pengakuan di depan kebesaran yang Maha Hidup dan Mencipta kehidupan. Sehingga sujud merupakan wirid harian yang menjadi obat kegundahan dan kegelisahan menghadapi berbagai permasalahan dunia.

Hari itu mereka benar-benar ingin melakukannya. Namun mereka tak sanggup melakukannya. Sementara ketika mereka berada dalam kelapangan dan dalam keadaan yang sejahtera, mereka menolak ketika diseru untuk bersujud. Namun mereka cepat mengambil keputusan untuk menolak ajakan tersebut dan memutuskan sekali lagi untuk tidak akan melakukannya. Maka orang-orang yang berkelakuan demikian –kata Allah- serahkan saja segala urusannya kepada-Nya. Hanya Allah yang mampu memperlakukan mereka sesuai perbuatan yang mereka lakukan.

Wasiat Sakti

Tetaplah bersabar. Demikian Allah mewasiatkan kepada Nabi-Nya yang mulia Muhammad saw. Sebuah wasiat yang menjadi senjata pamungkas dalam menghadapi kelakuan orang-orang yang memusuhi dakwahnya.

Sabar dengan ketetapan Allah. Sabar untuk terus mendakwahkan kebenaran yang telah diyakini sebagai jalan benar. Sebagai pilihan yang tepat. Dan akan dipertanggungjawabkan. Serta janji Allah berupa balasan kemuliaan.

Allah menceritakan kisah pendahulu Nabi Muhammad ketika menghadapi kaumnya. Dikisahkan, Yunus bin Matta as diutus Allah ke daerah bernama Naynawa. Beliau mengajak kaumnya untuk menyembah Allah. Akan tetapi kaumnya membangkang dan bersikeras untuk tetap menjauhi ajakan Nabi Yunus as. Mereka memilih jalan kekafiran sebagai respon negatif terhadap dakwah Nabi Yunus. Yunus pun marah dan bermaksud meninggalkan kaumnya. Setelah beliau mengancam dengan turunnya adzab Allah kepada mereka. Sepeninggal Nabi Yunus dari kaumnya. Tanda-tanda ancaman siksa dari Allah terlihat oleh mereka. Mereka pun sadar dan meyakini kebenaran ajakan Nabi Yunus. Bertaubatlah mereka. Keluarlah mereka berbondong-bondong ke sebuah tanah lapang di padang pasir yang luas. Anak-anak mereka, Istri-istri mereka, yang tua dan yang muda serta dengan binatang peliharaan mereka. Semuanya bermunajat dengan khusyuk kepada Allah memohon ampunan dan agar adzab tersebut tak diturunkan kepada mereka. Sedangkan Yunus, telah pergi jauh meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah. Allah memuat cerita Yunus lebih terperinci dalam surat Ash Shaffât dari ayat 139 – 148.

Kesalahan yang dilakukan Nabi Yunus as adalah meninggalkan kaumnya. Meninggalkan tanggungjawabnya. Padahal kaumnya telah bertaubat dan hidup dalam keadaan mengimani dakwah yang ia serukan selama ini. Hanya saja beliau agak terburu-buru. Meninggalkan kaumnya dengan ancaman siksa Allah. Namun, Allah mengampuni mereka setelah semua bermunajat dengan sungguh-sungguh kepada-Nya.

Pelajaran kesabaran lah yang dimaksudkan di sini. Untuk menghadapi tingkah laku kaum yang tidak mengindahkan seruan dakwah. Bahkan melecehkannya. Hanya bersabar. Sampai datang keputusan dari Allah.

Ketika dalam perut ikan –menurut riwayat Auf al-A’raby sebagaimana dinukil Ibnu Katsir dalam tafsir Al Anbiya’ ayat 87-88- Yunus mengira bahwa dirinya telah mati. Kemudian ia menggerak-gerakkan kakinya. Kemudian bersujud seraya membisikkan dengan lemah “Ya Allah aku menjadikan tempat ini sebagai tempat sujud yang belum pernah dicapai seorang pun”. Dan beliau pun bertasbih kepada Tuhannya.

Tasbih yang diucapkan dan dimunajatkan oleh Yunus adalah tasbih khusyuk dan penuh tadharru’. Penuh ketenangan dan pengakuan akan kelemahan dan kezhaliman diri. Sehingga rintihan lemah ini di dengar oleh para malaikat-Nya. Sehingga Allah pun menitahkan pada ikan yang menelannya untuk memuntahkan kembali Yunus. Yunus pun selamat dan kembali ke kaumnya setelah bertaubat.

Berbeda dengan tasbih para pemilik kebun ketika salah seorang terbaik mereka menyeru untuk bertasbih. Mereka pun segera bertasbih. Namun, hanya menjadi hiasan bibir belaka. Ketidakikhlasan mereka terlihat, ketika masih ada kedengkian diantara mereka. Mereka saling mencaci sesamanya.

Tasbih sendiri mempunyai makna yang dalam, sehingga mempunyai pengaruh bila seseorang mengucapkannya dengan penuh penghayatan. “Maha Suci Engkau Wahai Allah, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim”.

Bagian pertama tasbih ini, mensucikan Allah dari segala kekurangan dan hal-hal yang tak layak bagi Tuhan dengan segala kebesaran-Nya. Kemudian bagian kedua menegaskan kelemahan diri dan kesalahan yang dilakukan dengan mengakui kezhaliman yang telah diperbuat.

Dua komponen ini merupakan bentuk penyesalan yang sempurna. Penyesalan yang diikuti keinginan untuk memperbaiki diri. Dan untuk memperbaiki diri tersebut kita memerlukan bantuan dari Allah. Minimalnya, bantuan netralisir kesalahan. Dengan menurunkan ampunan-Nya kepada kita atas segala kesalahan yang telah kita lakukan.

Inilah yang dilakukan kekasihnya dalam kegelapan lapis tiga. Dan sanggup menerobos sampai kelangit berlapis tujuh. Didengar oleh semua penduduk langit. Meski dengan suara yang sangat lemah dan pelan. Namun, terdengar sangat jelas. Jelas, karena mengakui kemahasucian Allah. Dan Allah memasukkan Yunus kedalam golongan hamba-hambaNya yang salih.

Ikhtitam: Berbahagialah yang Berani Mengambil Jalan Rasulullah

Ketika Nabi Muhammad saw. menyampaikan ayat-ayat Allah, orang-orang kafir mencibir dan melecehkannya. Bahkan, menganggap Muhammad telah benar-benar gila. Karena mereka tak mau menggunakan hati nurani untuk menerima ayat-ayat Allah.

Ketahuilah bahwa Al-Qur’an tak lain hanya merupakan peringatan bagi semua umat yang ada. Dan tugas Nabi Muhammad, juga tugas para penerusnya, para da’i hanya sekedar mengingatkan kaumnya. Mengingatkan umat yang diserunya untuk mengikuti dan memahami ayat-ayat tersebut. Hanya menyampaikan peringatan ini.

Jika mereka mencibirnya. Maka bersabarlah. Ketahuilah bahwa para pendahulu kita juga mendapat perlakuan yang tak jauh beda dari keumnya ketika mereka menyampaikan ayat-ayat yang mereka bawa dari Tuhan mereka.

Hanya menyampaikan dan telah kita sampaikan. Maka Allahlah yang menentukan. Memberi hidayah kepada mereka atau membiarkan mereka dalam kesesatan karena mereka telah memilihnya demikian. WalLâhu a’lam.


([1]) Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Bârî bi syarhi Shahih al-Bukhari, Cairo: Darul Hadits, Cet. I, 1998 M-1419 H Vol. VIII, hal. 815.

([2]) Ini pendapat jumhur ulama, seperti dikuatkan oleh Imam al-Qurthuby dalam tafsirnya al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Cairo: Darul Hadits, Cet. 2002 M – 1423 H, Vol. IX, hal. 451. Juga dalam tesis Magister penulis, Kitab Lawami’ al-Burhan wa Qawathi’u al-Bayan fi Ma’ani al-Qur’an li al-Ma’iny, Cairo: Universitas Al-Azhar-Jurusan Tafsir, 2006 M – 1427 H, Vol.II, hal. 685

([3]) lihat dalam ayat 16.

([4]) menurut riwayat Imam Ibnu Jarir at-Thabary dan Ibnu Mundzir mereka adalah sekelompok orang di negeri Yaman. Ini yang dirajihkan Imam Ibnu Katsir dalam Qashashul Qur’annyanyanya juga dipakai oleh jumhur mufassirin. Ada sebagian ahli tafsir yang meriwayatkan mereka berasal dari Habasyah (Etiophia)

([5]) Sebenarnya Abdullah bin Mas’ud lah yang berniat membunuh Abu Jahal. Tapi dua anak kecil tersebut mendahuluinya. Seperti yang diriwayatkan Imam Bukhori dalam Jami’ Shahihnyanyanya hadits ke-3962 (lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bârî, Ibid. Vol.VII, hal. 361).


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here