Pemateri: Rikza Maulan, Lc., M.Ag
Materi sebelumnya bisa dibuka di sini:
http://www.iman-islam.com/2015/12/bab-larangan-jual-beli-gharar.html?m=1
Taujih Nabawi
Hadits #1
عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شِرَاءِ مَا فِيْ بُطُوْنِ اْلأَنْعَامِ حَتَّى تَضَعَ، وَعَنْ بَيْعِ مَا فِيْ ضُرُوْعِهَا إِلاَّ بِكَيْلٍ، وَعَنْ شِرَاءِ الْعَبْدِ وَهُوَ آبِقٌ، وَعَنْ شِرَاءِ الْمَغَانِمَ حَتَّى تُقْسَمَ، وَعَنْ شِرَاءِ الصَّدَقَاتِ حَتَّى تُقْبَضُ، وَعَنْ ضَرْبَةِ الْغَائِصِ (رواه أحمد وابن ماجه والترمذي)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli hewan yang dalam kandungan induknya hingga dilahirkan, jual beli apa yang ada dalam kelenjar susu hewan kecuali dengan takaran, jual beli budak yang lari, jual beli harta ghanimah hingga ia dibagikan, jual beli harta sedekah hingga digenggam, dan jual beli hasil temuan penyelam.”
(HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Hadits # 2
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُبَاعَ ثَمَرٌ حَتَّى يُطْعَمَ أَوْ صَوْفٌ عَلَى ظَهْرٍ أَوْ لَبَنٍ فِيْ ضَرْعٍ، أَوْ سَمْنٌ فِيْ لَبَنٍ (رواه الدارقطنى)
Dari Ibnu Abbas ra berkata bahwa Rasulullah SAW melarang menjual buah, hingga (bisa) dimakan, atau bulu domba yang masih berada di punggung hewan, atau susu dalam tetenya, atau lemak dalam susu. (HR. Ad-Daruquthni)
Takhrij Hadits
Hadits #1,
Dari Abi Sa’id Al-Khudri ra diriwayatkan oleh :
Ibnu Majah dalam Sunannya, Kitab At-Tijarat, Bab An-Nahyi an Syira’ ma fi buthunil An’am wa dhuru’iha wa dharbatil gha’ish, hadits no 2187.
Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya, dalam Musnad Abi Sa’id Al-Khudri ra, hadits no 10950.
Hadits tersebut juga dikuatkan dengan hadits yang memiliki jalur sanad lain, yaitu dari Ibnu Abbas diriwayatkan oleh Imam Nasa’i dan dari Abu Hurairah diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud.
Hadits #2
Dari Ibnu Abbas ra diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, hadits no 2874.
1. Jual beli hewan dalam kandungan.
Jual beli pertama dalam hadits-hadits ini yang dilarang adalah jual beli hewan dalam kandungan.
Imam Syaukani mengemukakan, hadits ini merupakan dasar tidak sahnya jual beli hewan dalam kandungan. Dan hal ini merupakan kesepakatan seluruh ulama.
Adapun illat (sebab) tidak diperbolehkannya jual beli hewan dalam kandungan adalah karena adanya gharar (ketidakjelasan) dan tidak bisa diserah terimakan.
Dalam hadits di atas, Nabi SAW memberikan solusi yaitu “kecuali setelah dilahirkan”.
Artinya, ketika hewan tersebut telah lahir dan telah jelas bentuknya, jenis kelaminnya, sehat atau sakitnya, maka ia boleh diperjual belikan.
2. Jual beli susu dalam kelenjar susu hewan.
Hadits di atas juga menggambarkan tentang larangan jual beli susu yang masih terdapat dalam kelenjar susu hewan.
Imam Syaukani bahkan mengatakan bahwa hal ini sudah menjadi kesepakatan seluruh ulama, bahwa tidak sah jual beli susu dalam kelenjar susu hewan.
Illat dari larangan jual beli susu dalam kelenjar susu hewan adalah karena faktor gharar (ketidakjelasan) dan jahalah (ketidaktahuan atas objek akad).
Kecuali apabila susu tersebut telah dikeluarkan dari kelenjar susunya dan ditakar dengan takaran yang jelas, seperti literan, dsb maka hal tersebut diperbolehkan, sebagaimana sabda Nabi SAW.
3. Jual beli hewan yang lari (kabur).
Hal ketiga yang dilarang diperjual belikan berdasarkan hadits di atas adalah jual beli budak yang lari, atau kabur atau hilang.
Karena pada dasarnya objek akadnya tidak ada ; hilang. Oleh karenanya tidak boleh diperjual belikan.
Pada awal mula datangnya Islam, masih ada perbudakan dan budak diperjual belikan.
Namun Islam menghapus kan perbudakan sedikit demi sedikit, hingga akhirnya hilang sama sekali. Adapun kini, maka perbudakan telah tidak ada.
Objek apapun yang hilang atau tidak ada, maka tidak boleh diperjual belikan, seperti kendaraan yang hilang, binantang piaraan yang hilang, dsb.
Hal tersebut karena objeknya tidak ada dan tidak bisa diserahterimakan.
4. Jual Beli ghanimah (harta rampasan perang).
Harta rampasan perang (ghanimah), diantara yang berhak mendapatkannya adalah para mujahid yang ikut berjihad dalam peperangan tersebut.
Namun umumnya harta tersebut dikumpulkan terlebih dahulu, kemudian setelah itu baru dibagikan.
Harta ghanimah yang belum dibagikan, artinya belum menjadi hak milik mujahid tersebut. Oleh karenanya belum bisa diperjualbelikan.
Sebagai contoh bahwa diantara barang ghanimah yang akan dibagikan adalah kuda. Selama senapan tersebut belum dibagikan, maka tidak boleh diperjual belikan.
Ketika telah dibagikan dan digenggam dalam genggamannya, maka barulah pada saat tersebut ia boleh memperjualbelikannya.
5. Jual beli harta sedekah.
Jual beli harta sedekah, sebelum sedekah tersebut diterima atau digenggam adalah tidak sah.
Maksud dari hadits ini adalah apabila seseorang dijanjikan akan mendapatkan sedekah, dan sedekahnya berupa barang (seperti beras, pakaian, dsb) atau berupa hewan (misalnya kambing, domba, ayam, dsb), maka ia tidak boleh memperjualbelikannya kecuali apabila ia telah benar-benar “menggenggam” harta sedekah tersebut.
Karena sebelum sedekah tersebut diterima, kepemilikan terhadap barang sedekah tersebut, belum menjadi miliknya.
Dan karena belum menjadi miliknya, maka tidak boleh diperjualbelikan.
6. Jual beli hasil temuan penyelam.
Yang dimaksud dengan jual beli hasil temuan penyelam adalah, (sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam As-Syaukani), seorang penyelam mengatakan kepada orang lain, ‘apa yang akan aku dapatkan dari penyelaman di sini aku jual kepadamu dengan harga sekian.’
Sementara apa yang akan didapatkan oleh penyelam tersebut belum diketahui.
Jual beli seperti ini adalah tidak boleh, karena mengandung unsur gharar dan ketidaktahuan (jahalah).
Pembeli tidak tahu apa yang akan didapatkan oleh penyelam, dan bahkan penyelam pun tidak mengetahui apa yang akan di dapatkannya.
Hal ini dapat menimbulkan potensi kerugian pada salah satu pihak atau bahkan kedua belah pihak yang berakad.
7.bJual beli buah-buahan, hingga ia layak untuk dimakan.
Hadits di atas digambarkan tentang larangan menjual buah-buahan yang masih sangat kecil, atau yang dikenal dengan istilah ijon.
Jual beli ini dilarang, karena beberapa alasan :
Ada unsur (gharar) ketidakpastian berkenaan dengan buah tersebut, apakah ia akan matang atau akan membusuk dan mati?
Di samping itu juga terdapat unsur (jahalah) ketidakjelasan berkenaan dengan ukuran dan timbangannya, menjadi berapa kilo, berapa kwintal, dsb. Kemudian juga adanya ketidakpastian dalam serah terimanya. Karena serah terimnya adalah ketika buah sudah besar dan matang.
Sementara ada kemungkinan buah tersebut matang atau membusuk.
8. Jual beli bulu domba yang masih terdapat di punggungnya.
Jual beli ini termasuk yang dilarang, selama bulu tersebut masih melekat di punggung domba.
Hal ini adalah karena adanya unsur jahalah (ketidaktahuan) seberapa banyak bulu yang ada dan juga karena berpotensi menimbulkan konflik, yaitu batasan memotong bulu dombanya.
Adapun apabila telah dipotong dari dombanya, dan ditakar sesuai dengan takaran yang umum digunakan, maka boleh diperjualbelikan.
9. Jual beli minyak yang masih terdapat dalam susu.
Ada indikasi, orang Arab mengambil lemak atau minyak dari susu untuk dimanfaatkan bagi keperluan sehari-hari.
Namun apabila lemak atau minyak yang berasal dari susu tersebut belum dipisahkan dari susunya, maka tidak boleh diperjualbelikan.
Hal tersebut karena adanya unsur jahalah atau ketidaktahuan berapa jumlah minyak yang bisa didapatkan dan seperti apa kualitas minyaknya.
Serta adanya unsur gharar, karena bisa jadi dalam susu tersebut tidak terdapat minyak sama sekali.
Oleh karena itulah, transaksi sepeti ini dilarang dan tidak boleh dilakukan.
Kesimpulan:
Bahwa Nabi SAW melarang kita untuk melakukan transaksi jual beli yang mengandung unsur gharar (ketidakjelasan), adalah karena beberapa alasan :
Jual beli gharar bisa merugikan salah satu pihak
Jual beli gharar berpotensi menimbulkan konflik dan pertikaian diantara pihak yang berakad.
Jual beli gharar dapat merusak iklim dan sistim perekonomian secara umum
Jual beli gharar dilarang adalah dalam rangkan menjaga kemaslahatan umum dan menghormati kepemlikian dalam Islam.
Oleh karenanya, sebagai seorang muslim, kita wajib untuk mentaati perintah dan larangan Nabi SAW.
Dan insya Allah menghindari transaksi-transaksi di atas akan mendapatkan pahala mengikuti sunnah Nabi SAW.
Akan tetapi, apabila illat (penyebab) dari gharar atau ketidakjelasan tersebut dapat dihilangkan, maka jual belinya diperbolehkan.
Diantaranya sebagaimana digambarkan dalam hadits, jual beli hewan dalam kandungan adalah tidak boleh.
Namun ia boleh apabila telah dilahirkan.
Demikian juga susu yang masih terdapat dalam kelenjar susu hewan, tidak diperbolehkan diperjualbelikan, kecuali apabila telah ditakar dengan takaran umum (seperti literan, dsb).
Jika kita mengamalkan sunnah dari sisi muamalah ini, maka insya Allah akan diberikan keberkahan oleh Allah SWT dan mengamalkan sunnah-sunnah Nabi SAW dari sisi muamalah.
والله تعالى أعلى وأعلم بالصواب
والحمد لله رب العالمين
Dipersembahkan:
www.iman-islam.com
Sebarkan! Raih pahala…