Pertanyaan
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Ustadz…saya mau bertanya… baru-baru ini ada diskusi di lembaga legislatif dan eksekutif terkait pemberlakuan PPN 12 persen. Jadi saat seseorang membeli barang atau jasa tertentu, maka ia harus membayar PPN 12 persen yang dibebankan oleh penjual dan selanjutnya ia disalurkan kepada pemerintah. Sebenarnya, dari sisi fikih, bagaimana pemberlakuan pajak atas kebutuhan pokok (mendasar) bagi masyarakat umum dengan kemampuan ekonomi pas-pasan? Mohon penjelasan Ustaz! –Rian, Sukabumi.
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸
Jawaban
Oleh: Ustadz Dr. Oni Sahroni
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Jawaban atas pertanyaan tersebut akan dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Sebelum menjelaskan tentang ketentuan hukumnya menurut fikih, perlu ditegaskan dua hal penting berikut.
(1) Penjelasan saya ini hanya dari sudut pandang fikih. Selanjutnya, pandangan yang komprehensif merujuk pada kebijakan pemerintah yang telah melalui musyawarah dan persetujuan dari lembaga legislatif di negeri ini yang lebih paham akan maslahat (hajat atau kepentingan) rakyat.
(2) Jika yang dimaksud dalam pertanyaan (yang menjadi objek bahasan) adalah saat pajak diberlakukan atas setiap barang dan jasa yang menjadi kebutuhan mendasar para konsumen (dengan tingkat kemampuan ekonomi pas-pasan), seperti beras, telur, dan minyak.
Jika menelaah tuntunan nash Alquran atau hadis, sirah Rasulullah SAW dan sahabat, pendapat ulama salaf dan khalaf, serta otoritas fatwa di beberapa negara, maka bisa disimpulkan bahwa menurut fikih, pajak hanya diberlakukan untuk para hartawan.
Oleh karena itu, pajak tidak boleh diberlakukan untuk masyarakat dhuafa dan masyarakat dengan kemampuan ekonomi pas-pasan, apalagi dibebankan pada barang atau jasa yang menjadi kebutuhan primer atau mendasar mereka.
Hal ini didasarkan pada:
Pertama, pajak hanya boleh diberlakukan dalam kondisi khusus (darurat) berikut, ada kebutuhan yang riil dan nyata, tidak ada sumber dana atau surplus dana untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dengan besaran nominal pajak yang adil, wajar, dan tidak membebani serta disalurkan untuk kebutuhan masyarakat atau warga negara.
Kriteria ini sebagaimana ditegaskan oleh lembaga dan ahli fikih kontemporer. Di antaranya Lembaga Fatwa Negara Mesir, al-Lajnah ad-Daimah Saudi Arabia No 9/285, dan putusan Muktamar ke-2 Lembaga Riset Islam al-Azhar pada Mei 1965, Syekh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq saat menjadi Mufti Mesir (dalam fatwanya No 18/1980), Syekh Abdul Lathif Hamzah Mufti Mesir, dan para Mufti Mesir pada umumnya, Syekh ‘Athiyah Saqr, dan Syekh al-Qardhawi.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka pemberlakuan pajak untuk warga negara dengan kemampuan ekonomi pas-pasan, apalagi untuk kebutuhan pokok mereka, itu tidak sesuai dengan kriteria pemberlakuan pajak menurut fikih di atas.
Kedua, penjelasan otoritas fatwa dan ulama internasional. (a) Sebagaimana Putusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia,
“(1) MUI mengharapkan hendaknya pemerintah menerapkan pungutan pajak yang adil dan seringan mungkin terhadap masyarakat yang berpendapatan rendah dengan tidak membebani tarif pajak yang bertumpuk dan pembebasan tarif pajak bagi yang usahanya belum menghasilkan keuntungan. Selain itu mengurangkan zakat atas pajak terhutang bukan nilai pendapatan kena pajak.
(2) Di sisi lain, mendorong pemerintah untuk mencari sumber-sumber pendapatan negara yang lain selain pajak agar rakyat tidak terbebani dengan pajak yang tinggi. Untuk itulah, MUI memberikan dukungan sepenuhnya terhadap kebijakan Kementerian Agraria dan Tata Ruang yang akan menghapuskan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) mulai tahun 2016.
(3) Seiring dengan itu, pemerintah harus menguasai faktor-faktor utama ekonomi untuk kepentingan rakyat sebagaimana diamanatkan undang-undang.”
(Keputusan Komisi C Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V tahun 2015 tentang Pajak Jangan Membebani Rakyat).
(b) Penjelasan Jabhah Ulama Al-Azhar.
كيف تفرض ضرائب على سكن خاص أُعد لتكوين أُسرة أو أُعد ليأوى الرجل أهله فهذا أمر لا يعقله أحد، مضيفاً أن الزكاة وحدها هى التى يخرج المسلم من أجلها المال لأنها حق معلوم للسائل والمحروم، وهذا ما يجب فى مال الإنسان.
“Bagaimana mungkin pajak diberlakukan untuk rumah yang menjadi tempat tinggal masyarakat, untuk tempat tinggal yang digunakan sebagai tempat tinggalnya dan sebagai tempat tinggal keluarganya. Pemberlakuan ini tidak logis. Dan karena zakat yang dibebankan atas aset setiap Muslim, karena itu menjadi hak yang sudah diwajibkan as-sail wa al-mahrum (orang miskin yang meminta dan yang tidak meminta).”
(c) Penjelasan Otoritas Fatwa Mesir.
الضرائب مادامت تفرض بنوع من المشورة لحاجة الأمة إليها ، وتنفق في المصارف العامة ،فلا مانع شرعًا من فرضها ، وللحاكم المسلم أن يفرض على الناس أزيد من مال الزكاة إذا دعت الضرورة إلى ذلك.
“Pemberlakuan pajak selama didasarkan pada musyawarah otoritas terkait dan kebutuhan masyarakat, disalurkan untuk infrastruktur masyarakat, maka itu tidak dilarang dalam syariah. Oleh karena itu, otoritas boleh memberlakukan pajak jika ada kondisi darurat yang menuntut hal tersebut.”
(d) Penjelasan Otoritas Fatwa Libya.
تُؤخذ من فضل المال، أو ما يزيد عن حاجة الناسِ الأساسية، فمَن كان عنده فضلٌ عن إشباع حاجاته الأساسية؛ أُخذت الضريبةُ مِن هذا الفضلِ، ومَن كانَ لا فضلَ عنده بعد هذا الإشباع للحاجات الأساسية؛ فلا يؤخذ منه شيءٌ.
“Pajak itu diberlakukan atas surplus harta yang menjadi kebutuhan mendasar rakyat. Oleh karena itu, bagi mereka yang memiliki surplus atas kebutuhan mendasar tersebut, maka diberlakukan pajak. Tetapi bagi mereka yang tidak memiliki surplus, maka tidak diberlakukan pajak.”
(e) Al-Imam asy-Syatibi menegaskan,
يقول الشاطبي إذا قررنا إمامًا مطاعًا مفتقدًا على تكثير الجنود لسد حاجة الثغور، وحماية الملك المتسع الأقطار، وخلا بيت المال، وارتفعت حاجات الجند إلى ما لا يكفيهم، فللإمام إذا كان عدلاَ أن يوظف على الأغنياء ما يراه كافيًا لهم في الحال إلى أن يظهر مال في بيت المال، ثم إليه النظر في توظيف ذلك على الغلات والثمار وغير ذلك.
“Jika diputuskan pimpinan yang harus ditaati yang membutuhkan untuk memperbanyak pasukan untuk memenuhi kebutuhan kekurangan prajurit, memberikan perlindungan terhadap kedaulatan negara yang begitu luas. Pada saat yang sama APBN tidak cukup untuk membiayai kebutuhan tersebut, dan kebutuhan pasukan itu meningkat, maka otoritas jika bisa berlaku adil boleh untuk memberlakukan pajak kepada para hartawan dengan nilai yang cukup hingga APBN tersedia anggaran untuk membiayainya.”
(f) Saat kebutuhan pemerintah akan budgeting itu lebih besar, maka memilih untuk memanfaatkan sumber pendapatan negara dari aset-aset milik negara atau lainnya di luar yang membebani masyarakat itu menjadi pilihan.
Sebagaimana dijelaskan Prof Dr Syekh Wahbah az-Zuhaili,
الأصل أن يكون تمويل ميزانية الدولة من إيرادات الأملاك العامة وغيرها من الموارد المالية المشروعة، فإذا لم تكف هذه الموارد جاز لولي الأمر أن يوظف الضرائب بصورة عادلة لمقابلة نفقات الدولة التي لا يجوز الصرف عليها من الزكاة، أو لسد العجز في إيرادات الزكاة عن كفاية مستحقيها.
“Pada dasarnya, sumber pendapatan anggaran negara itu berasal dari pendapatan aset-aset negara dan sejenisnya yang legal menurut syariah. Saat sumber pendapatan tersebut belum mencukupi, maka otoritas boleh memberlakukan pajak tetapi dengan cara yang adil sebagai kompensasi atas biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara yang tidak mungkin dibiayai dari dana zakat atau untuk menutupi kekurangan yang bersumber dari pendapatan zakat.” (Al-Fiqhu al-Islam wa Adilatuhu, juz 10, hlm 96).
Wallahu A’lam.
Sumber: Konsultasi syariah Republika Online, 03 Januari 2025
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial
Follow IG MANIS : https://www.instagram.com/majelis_manis/?igshid=YmMyMTA2M2Y%3D
📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/gabungmanis
💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Iman Islam
No Rek BSI : 5512 212 725
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287891088812







