Fiqih IbadahUstadz Menjawab

Beramal dengan Hadits Dhaif

Pertanyaan

Assalamu’alaikum, ustadz/ustadzah ….
apa hukumnya mengamalkan hadits dhaif? Karena saya pernah dengar ceramah tak boleh tapi di lain waktu bilang tak apa untuk fadhilah amal?.

🌿🍁🌺 


Jawaban

Oleh: Ustadz Slamet Setiawan

‌و عليكم السلام و رحمة الله و بركاته

Sebelum masuk ke pembahasan, kita ketahui dahulu pengertian hadits dhaif.

Pengertian hadits dhaif secara bahasa, hadits dhaif berarti hadits yang lemah. Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah saw disebabkan karena dalam periwayatannya memiliki ketidak sempurnaan, misal ada perawi yang terputus, atau ada perawi yang tidak tsiqah dan pernah berdusta. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut : “ Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat/menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.

Dalam menyikapi permasalahan beramal dengan hadits dhaif, ada beberapa pendapat ulama:

Pendapat Pertama : Menurut Al-Bukhari, Muslim, Abu Bakar Ibnul ‘Araby, Ibnu Hazm dan segenap pengikut Dawud Adz-Dzahiry: kita tidak boleh mengamalkan hadits dhaif dalam bidang apapun juga walaupun untuk menerangkan fadha‘ilul a’mal, supaya orang tidak mengatas namakan Nabi saw, perkataan/perbuatan yang tidak disabdakan/diperbuat oleh beliau. Sebagaimana peringatan dari beliau dalam masalah ini : “Barangsiapa menceritakan sesuatu hal daripadaku, padahal ia tahu bahwa hadits itu bukanlah dariku, maka orang itu termasuk golongan pendusta.” (HR. Muslim) dan hadits lain : “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Pendapat Kedua : Sedangkan menurut imam An-Nawawi dan sebagian ulama hadits dan para fuqaha: kita boleh mempergunakan hadits yang dhaif untuk fadha‘ilul a’mal, baik untuk yang bersifat targhib maupun yang bersifat tarhib, yaitu sepanjang hadits tersebut belum sampai ke derajat maudhu (palsu). Imam An-Nawawi memperingatkan bahwa diperbolehkannya hal tersebut bukan untuk menetapkan hukum, melainkan hanya untuk menerangkan keutamaan amal, yang hukumnya telah ditetapkan oleh hadits shahih, setidak-tidaknya hadits hasan.

Menurut Imam Asy-Syarkhawi dalam kitab Al-Qaulul Badi’, bahwa Ibnu Hajar memperbolehkan untuk mengamalkan hadits dhaif dalam bidang targhib dan tarhib dengan tiga syarat berikut:

1. Kedhaifan hadits tersebut tidaklah seberapa, yaitu: hadits itu tidak diriwayatkan oleh orang-orang yang dusta, atau yang tertuduh dusta atau yang sering keliru dalam meriwayatkan hadits.

2. Keutamaan perbuatan yang terkandung dalam hadits dhaif tersebut sudah termasuk dalam dalil yang lain (baik Al-Qur’an maupun hadits shahih) yang bersifat umum, sehingga perbuatan itu tidak termasuk perbuatan yang sama sekali tidak mempunyai asal/dasar.

3. Tatkala kita mengamalkan hadits dhaif tersebut, janganlah kita mengi’tiqadkan bahwa perbuatan itu telah diperbuat oleh Nabi saw atau pernah disabdakan beliau, yaitu agar kita tidak mengatas namakan sesuatu pekerjaan yang tidak diperbuat atau disabdakan oleh Nabi saw.

Pendapat Ketiga : Diriwayatkan dari sebagian besar fuqaha’ yaitu kebolehan beramal dengan hadits dhaif secara mutlak, jika tidak ditemukan hadits selainnya dalam sebuah tema atau pembahasan. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah, Syafi’i, Malik dan Ahmad. Meskipun khusus untuk imam Ahmad, pendapat seperti ini bisa dipahami karena menurut beliau pembagian hadits adalah Shahih dan Dhaif saja, sehingga sangat memungkinkan yang dimaksud imam Ahmad di sini adalah hadits dhaif yang bernilai hasan.

Beberapa perbedaan di atas dapat kita simpulkan dengan pendapat Imam As-Suyuthi dalam Tadrib Ar-Rawy Syarh Taqrib An-Nawawi,
Boleh meriwayatkan dan mengamalkan hadits dhaif dengan syarat:
1. Bukan pada masalah aqidah; tentang sifat Allah swt, tentang perkara yang boleh dan mustahil bagi Allah swt, penjelasan firman Allah swt.
2. Bukan pada hukum halal-haram. Boleh pada kisah-kisah, fahilah amal dan nasihat.
3. Tidak terlalu dhaif.
4. Bernaung di bawah hadits shahih.
5. Tidak diyakini sebagai ketetapan. Hanya diyakini sebagai bentuk kehati-hatian.

Wallahu a’lam.

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial

Follow IG MANIS : https://www.instagram.com/majelis_manis/?igshid=YmMyMTA2M2Y%3D

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/gabungmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Iman Islam
No Rek BSI : 5512 212 725
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130

Related Posts

Leave A Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *