🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹
📝 Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I
Pemaparan materi ini tidak bermaksud mempertentangkan antara Al-Qur’an dan tafsirnya. Kami menurunkan sejumlah pembahasan yang berusaha membedakan istilah-istilah yang sering dirancukan pemahamannya di dalam masyarakat, seperti antara fanatik dan radikal, antara jihad dan teroris, antara ajaran Islam dan budaya Arab, antara syariah dan fiqih, antara Al-Qur’an dan terjemah/tafsirnya, dan antara agama dan pemahaman agama. Ini semata-mata hanya untuk mengajak umat kita untuk lebih kritis dan tidak simplistik, seolah-olah yang berbeda dengan kebiasaan dan persepsinya semuanya dianggap salah, dan dengan fanatik berusaha mempertahankan persepsi tersebut dengan berbagai cara, termasuk melakukan tindakan-tindakan yang destruktif, seperti radikal dan teroris. Jika demikian adanya maka kerugian bukan hanya untuk orang-orang yang bersangkutan, atau umat Islam, tetapi citra Islam itu sendiri.
Contoh yang bisa kita lihat adalah ayat,
يا ايها النبي جاهل الكفار والمنافقين واغلظ عليهم وماواهم جهنم وبئس المصير
“Wahai Nabi, berjihadlah melawan orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.’ (QS. At-Taubah: 73)
Kata “berjihadlah” bisa ditafsirkan macam-macam, baik oleh ulama tafsir sendiri maupun ulama lain. Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam kitab tafsirnya Jami Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, menafsirkan kata “jihad” yaitu berjihad terhadap orang-orang yang memperlihatkan sikap-sikap kemunafikan. Jika tidak tampak tanda-tanda itu maka interaksi dengan mereka tetap terjalin sebagaimana dengan kaum muslimin pada umumnya. Hal tersebut akan berbeda kondisinya jika mereka murtad atau lalim terhadap komunitas kaum muslimin, atau menghalang-halangi usaha pelaksanaan syiar Islam dan rukunnya.
Lain halnya dengan Sayid Qutub dalam Fii Zilalil Quran, menafsirkan ayat tersebut dengan pemahaman bahwa Al-Qur’an menegaskan golongan munafik yang mengucapkan kata-kata kufur dan memperlihatkan kekufurannya setelah sebelumnya beriman, maka mereka menjadi sasaran jihad. Terdapat dua perintah dalam ayat ini, yaitu berjihad (jahid) dan bersikap keras (waghluzh). Ar Razi dalam kitab tafsirnya, Mafatih Al-Gharib menjelaskan bahwa kata jihad dalam ayat di atas bermakna mengerahkan segenap usaha (badzl al-juhd). Ayat ini sama sekali tidak menyebutkan praktik jihad tersebut; apakah dengan pedang, lisan atau dengan cara lain. Keterangan tentang praktik jihad ini diperoleh dari dalil lain. Yang jelas ayat ini mewajibkan jihad terhadap dua golongan, yaitu kafir dan munafik. Tentang apa penafsiran kata kafir dan munafik sendiri panjang lagi perdebatannya di dalam kitab-kitab tafsir.
Poin yang ditekankan di sini adalah betapa perlunya memahami mekanisme penetapan makna ayat. Para ulama tafsir memiliki wawasan dan metodologi yang relatif sama saja bisa melahirkan penafsiran yang berbeda, apalagi mereka yang hanya sebagai pemaham atau mufahim Al-Qur’an, yaitu mereka yang non disiplin ilmu tafsir, tentu berbeda lagi. Jadi kita tidak boleh fanatik terhadap suatu pendapat, sebab siapa tahu pendapat lain yang lebih tepat. Namun kita tidak boleh juga tanpa pendapat, karena itu bisa lebih repot. Minimum kita punya pendapat pribadi atau mengikuti pendapat ulama yang kita percaya.
Lebih dari itu, kehadiran umat ideal atau khaira ummah harus diobsesikan. Dasawarsa terakhir sedang terjadi jarak antara ajaran agama dan lingkungan pacunya. Bahkan dirasakan agama juga semakin berjarak dengan pemeluknya. Tidak sedikit orang yang merasa asing dengan ajaran agamanya. Berbagai kontradiksi sedang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Idealisasi ajaran agama dirasakan tidak simetris lagi dengan idealisasi kehidupan nyata di dalam masyarakat. Ajaran agama dirasakan semakin dogmatis, normatif, berorientasi masa lampau, konservatif, statis, tradisional, tekstual, kualitatif, dan deduktif.
Sementara lingkungan pacu kehidupan dirasakan semakin rasional, bahkan liberal, bebas, berorientasi masa depan, dinamis, mobile, kontekstual, kuantitatif, dan induktif. Ajaran agama semakin terasa membebani, membatasi, dan mengikat pemeluknya. Akibatnya ajaran agama dikesankan kehilangan zona nyaman dan syahdu. Agama tidak banyak lagi menjanjikan ketenangan, kesahduhan, dan kepuasan batin. Sementara lingkungan pacu kehidupan semakin menantang manusia untuk berani melakukan terobosan memotong jalan mencapai tujuan dan kebahagiaan, terlepas itu kebahagiaan semu atau bukan.
Suasana batin di rumah-rumah ibadah seperti di masjid, gereja, pure, klenteng dan lainnya terasa sangat lain dengan suasana di kantor, pasar, dan tempat kerja. Akibatnya agama bukan saja tidak mampu memberikan tuntunan, tetapi tidak connect antara keduanya. Padahal justru agama diharapkan memberikan tuntunan di dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Jika jarak ini tidak terselesaikan, maka dikhawatirkan menimbulkan dampak kepura-puraan dan kepribadian ganda. Bahkan yang lebih buruk lagi ialah bisa melahirkan paham garis keras yang pada akhirnya melahirkan kelompok radikal dan teroris.
Pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an di dalam masyarakat lebih menonjol sebagai kitab hukum ketimbang tuntunan moral. Akibatnya ayat-ayat yang seharusnya menjadi pedoman moral dipaksakan menjadi ayat-ayat hukum. Akibatnya lebih lanjut yang terbentuk ialah umat yang religiousness, suatu kondisi di mana umat seperti berada di dalam kungkungan agama. Dalam kondisi seperti ini nilai-nilai agama lebih banyak dikesankan membebani umat, sehingga banyak yang meninggalkan ajaran agama meskipun masih tetap konsisten berkeyakinan seperti kolom agama yang ada di KTP mereka.
Reartikulasi penafsiran Al-Qur’an diharapkan menciptakan umat yang religious mindedness, suatu kondisi di mana umat selalu berada di dalam keadaan menggenggam, dan bukannya mereka yang digenggam oleh nilai-nilai agama. Dalam kondisi seperti ini nilai-nilai agama dirasakan sebagai sebuah kebutuhan dan dijadikan sebagai habit oleh para pemeluknya. Dalam kondisi ini juga nilai-nilai agama tampil sebagai motivator dalam menjalani kehidupan. Tokoh-tokoh agama dihargai dan diapresiasi sebagai sang pencerah ketimbang sebagai mufti yang menentukan hitam putihnya sebuah kehidupan.
Cara menghargai kitab suci selama ini masih identik dengan pengultusan teks dan manuskrip Al-Qur’an. Tidak heran jika Al-Qur’an dicetak dalam edisi yang sangat luxury, lalu disimpan di dalam lemari terdepan dan paling atas, akibatnya jarang disentuh dan didalami maknanya. Cara memuliakan Al-Qur’an ialah mengamalkan isi dan kandungannya. Dengan cara seperti ini maka Al-Qur’an akan tampil sebagai hudan linnas warahmatan (petunjuk hidup bagi manusia dan rahmah). Reaktualisasi penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an adalah sebuah jawaban untuk menghadirkan khaira ummah.
Para pemikir dan pemimpin umat diharapkan terus berusaha menyelesaikan persoalan yang mendasar ini. Langkah pertama yang bisa diambil adalah menjembatani jarak antara teks ajaran dan konteks kehidupan masyarakat. Agama dan realitas kehidupan yang akhir-akhir ini dirasakan, seolah-olah dua dunia yang berdiri sendiri. Tidak heran jika kita sering melihat pola hidup yang kontradiktif di dalam masyarakat. Satu sisi seorang praktisi agama seperti seorang haji, alim, dan rajin menggunakan atribut agama, tetapi pada sisi lain ia tetap lancar mengambil hak orang lain dan hidup di dalam bisnis gelap yang tak beretika.
Ironisnya masyarakat kelihatannya tidak peduli dengan pola hidup seperti ini. Ini bukan soal kesalahan individu yang tidak berbanding lurus dengan kesalahan sosial tetapi di sini ada masalah teologis. Seseorang yang sholeh secara individu tetapi tetap kikir dan egois itu dianggap lumrah, manusiawi, dan terjadi di mana-mana. Mungkin hal ini bisa diselesaikan dengan penyadaran dan tobat. Akan tetapi kepribadian ganda yang seolah mendapatkan legitimasi di masyarakat tidak sederhana dalam penyelesaiannya. Sudah pasti di situ ada yang salah.
Seolah-olah proses dan logika pembumian Al-Qur’an yang selama ini diperkenalkan hanya melegitiimasi kelemahan dan subjektivitas manusia tanpa menunjukkan solusi untuk keluar dari kelemahan itu.
Di sinilah pentingnya melakukan artikulasi nilai-nilai ajaran agama agar bisa sinkron dengan realitas kehidupan. Kita tidak boleh berhenti hanya sampai tataran bagaimana membumikan Al-Qur’an, tetapi juga bagaimana melangitkan manusia. Tidak ada artinya kita berbicara pembumian Al-Qur’an tanpa melangkitkan manusiaanya. Al-Qur’an diturunkan untuk manusia, karena itu semua ayat-ayatnya harus dapat dijangkau oleh manusia.
Wallahu A’lam Bishshowab
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis
Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial
📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/gabungmanis
💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130