KeluargaMateri Kajian Manis

RELASI SUAMI ISTRI, SALING LEKAT SEPERTI PAKAIAN

🌹☘️🪷☘️🌹☘️🪷🌹

📝 Pemateri: Ustadz Cahyadi Takariawan

Seperti apakah seharusnya interaksi antara suami dan istri dalam kehidupan sehari-hari? Salah satu penggambaran yang sangat mendalam adalah, suami dan istri ibarat pakaian (libas).

Suami adalah pakaian bagi istri dan istri adalah pakaian bagi suami, sebagaimana firman Allah berikut:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka” (QS. Al-Baqarah: 187).

Sekarang coba perhatikan baik-baik, pakaian yang menempel di tubuh anda masing-masing. Rasakan, hayati, resapi, mengapa suami dan istri diibaratkan saling menjadi pakaian satu dengan yang lainnya. Apa yang kita rasakan dari pakaian yang menempel di tubuh kita?

Mengapa suami istri diibaratkan seperti libas atau pakaian? Dr. Salman Al-Audah (2014) menjelaskan beberapa makna pakaian, sebagai berikut:

Pertama, pakaian melekat pada tubuh pemakai

Pakaian adalah sesuatu yang melekat dengan tubuh pemakainya. Pakaian melekat secara fisik, tanpa ada penghalang. Lekat erat tak berjarak.

Hal ini menggambarkan begitu intim relasi suami istri. Melebihi keintiman hubungan kita dengan siapapun. Ketika interaksi dengan orangtua, anak atau saudara, masih ada aurat yang harus dijaga. Sedangkan kepada pasangan, tak ada batas sama sekali.

Pakaian melekat langsung dengan tubuh dan kulit kita. Menggambarkan kelekatan dan penyatuan dua jiwa, dalam ikatan pernikahan. Tak kan mudah terpisah dan ter

Kedua, pakaian menggambarkan kesetaraan dan keserasian

Pakaian menggambarkan kesetaraan dan keserasian terhadap pemakainya. Perhatikan bagaimana manusia mengenakan pakaian, pasti akan memilih yang sesuai dan serasi. Tak ada penindasan pakaian atas tubuh, atau tubuh atas pakaian.

Suami dan istri itu setara dan serasi, baik jiwa maupun raga. Suami dan istri masing-masing memiliki peran yang harus dituniakan. Laki-laki dan perempuan memiliki hak yang seimbang dalam membangun kehidupan pernikahan.

Tak ada superioritas laki-laki atas perempuan, karena yang paling mulia di antara hamba Allah adalah yang paling bertakwa.

Ketiga: pakaian adalah perhiasan

Pakaian akan menghias siapapun yang memakainya. Pakaian membuat seseorang tampak indah dan terhormat. Allah Subhanahu wa Taala berfirman:

“Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid” (QS. Al-A’raf: 31).

Perempuan adalah perhiasan terindah bagi suaminya, baik secara lahiriyah maupun batiniyah. Pun laki-laki adalah perhiasan terindah bagi istrinya, baik secara lahiriyah maupun batiniyah.

Secara lahiriyah, suami dan istri bisa saling menikmati keindahan dari perhiasan yang tersembunyi dari pasangannya. Tak seorang pun berhak menikmatinya.

Secara batiniyah, suami dan istri terikat dalam kesetiaan dan akhlak mulia, agar tercipta kehidupan rumah tangga harmonis sejahtera. Inilah perhiasan hakiki antara suami dan istri.

Keempat: pakaian adalah penutup aurat

Pakaian adalah penutup aurat, sebagaimana firman Allah, “Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratnya dan untuk perhiasan bagimu” (QS. Al-A’raf: 26).

Dalam relasi sehari-hari, suami dan istri menutupi diri dan pasangannya dengan sesuatu yang halal dari sesuatu yang haram. Misalnya, tidak membocorkan rahasia pasangan, tidak membongkar aib pasangan, tidak mengumbar kelemahan pasangan, dan lain sebagainya.

Suami dan istri berusaha menutupi berbagai aib dan cela diri serta pasangan. Allah teah berfirman,

“Sebab itu maka perempuan yang salih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)” (QS. An-Nisa: 34).

Kelima: pakaian adalah kebersihan dan kesucian

Pakaian menjadi simbol kebersihan dan kesucian. Allah berfirman, “Dan bersihkanlah pakaianmu” (QS. Al-Mudatsir: 4).

Interaksi pakaian dengan tubuh adalah interaksi yang bersih dan suci. Karena badan tak suka kotoran. Ia hanya mengizinkan pakaian yang bersih untuk melekat di tubuhnya.

Interaksi ini menjadi suci dan bersih. Tak saling melukai, tak saling menyakiti.

Ayat di atas menepis perasaan jijik untuk menikah, atau jijik terhadap hubungan suami istri, karena menganggap hal itu akan mengotori.

Allah menjadikan pernikahan sebagai bagian sunah para nabi, “Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan” (QS. Ar-Ra’du: 38).

Pakaian harus sering dicuci, sehingga selalu bersih, suci dan akan terlihat baru. Seperti halnya pakaian bisa terkena kotoran dan usang, kehidupan suami istri pun memerlukan pembaharuan. Maka suami istri harus pandai menciptakan kebaruan dalam kehidupan pernikahan mereka.

Keenam: pakaian adalah simbol kecukupan

Pakaian adalah simbol kecukupan. Dengan pilihan pakaian yang tepat, seseorang akan merasa cukup. Tak lagi memerlukan pakaian lainnya.

Allah berfirman, “Dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela” (QS. Al-Mukminun: 5-6).

Seseorang yang telah menikah akan merasa tenang, karena memiliki tempat untuk menyalurkan kebutuhan biologis dan psikologisnya di tempat yang baik. Dirinya juga merasa cukup terhadap pasangannya saja, tidak butuh melampiaskan kepada orang lain.

Ketujuh: pakaian adalah simbol kenikmatan

Suami istri itu saling memberikan kenikmatan. Sebagaimana pakaian yang melekat dalam tubuh manusia, adalah nikmat yang tampak jelas.

Allah menjadikan pakaian sebagai bagian dari kenikmatan para penghuni surga. “Dan pakaian mereka di dalamnya adalah sutera” (QS. Fathir: 33).

Allah juga berfirman, “Dan mereka memakai pakaian hijau dari sutera halus dan sutera tebal” (QS. Al-Kahfi: 31).

Ikatan suami istri adalah kenikmatan jiwa dan raga, yang mampu memberikan keseimbangan dalam kehidupan dan menghilangkan berbagai ketegangan.

Mereka yang terhalang dari kenikmatan pernikahan ini, umumnya mengalami duka, sedih, resah dan tidak tenang.

Kedelapan: pakaian adalah pelindung dan penghangat

Suami istri itu saling melindungi dan memberikan kehangatan satu dengan yang lain. Seperti halnya pakaian yang melindungi dan menghangatkan pemakainya.

Allah berfirman, “Dan Dia menjadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperanganmu” (QS. Al-Anbiya’: 80).

Diriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata, “Kadang Nabi mandi junub, kemudian beliau datang dan menghangatkan diri denganku, aku kemudian mendekat beliau, sementara aku tidak mandi” (HR. At-Tirmidzi).

Kesebelas: pakaian adalah privasi

Tak seorang pun mengenakan pakaian kita dan kita juga tak akan mengenakan pakaian orang lain. Demikian pula suami istri, yang corak relasi mereka sangat pribadi, sangat privasi.

Allah Subhanahu wa Taala berfirman: “Kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela” (QS. Al-Mukminun: 6).

Keduabelas: pakaian adalah simbol kebaruan dan variasi

Adakah di antara kita yang hanya memiliki satu pakaian saja? Hampir-hampir tidak ada. Pada umumnya manusia suka dengan kebaruan dan variasi. Anda saksikan iklan pakaian yang selalu menawarkan kebaruan dan variasi.

Demikian pula suami istri, harus pandai menghadirkan kebaruan dan variasi dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai terjebak dalam kehidupan yang monoton dan jumud. Pernikahan akan sangat membosankan jika monoton dan jumud.

Allah berfirman, “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki” (QS. Al-Baqarah: 237).

Nabi saw pernah ditanya tentang batasan seorang laki-laki bersenang-senang dengan istrinya. Beliau membolehkan berbagai bentuk kesenangan dengan istri, kecuali dua hal saja, yaitu menggauli dari dubur dan berhubungan seksual ketika istri sedang haid.

Beliau saw bersabda, “Lakukanlah segala sesuatu kecuali nikah (maksudnya ketika istri haid)” (HR. Muslim).

Sumber rujukan:
Dr. Salman Al-Audah, Wahai Putriku, Mutiara Publishing, 2014

🌹☘️🪷☘️🌹☘️🪷🌹


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130

Related Posts

Leave A Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *