KeluargaUstadz Menjawab

Uang Suami Itu Uang Istri?

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz saya mau bertanya, beredar pemahaman di masyarakat bahwa uang atau pendapatan suami juga menjadi milik istri, sedangkan uang istri itu miliknya sendiri. Apakah benar seperti itu Ustadz? Mohon penjelasan Ustadz.

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃


Jawaban

Oleh: Ustadz DR. Oni Sahroni

‌و عليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Walaupun pendapatan suami itu hasil kerja dan keringatnya, tetapi harus diperuntukkan sebagai nafkah keluarga dengan cara atau teknis sesuai hasil kesepakatan atau kearifan lokal setiap keluarga.

Kesimpulan tersebut akan dijelaskan dalam poin-poin berikut.

Pertama, suami memiliki dzimmah maliyah (hak dan tanggung jawab) yang terpisah dari istri. Saat ia bekerja kemudian mendapatkan salary atau pendapatan, maka itu menjadi hak miliknya sebagai personal yang memiliki dzimmah maliyah yang terpisah dari keluarga atau istri.

Hal ini merujuk pada konsep dzimmah maliyah; layaknya entitas istri yang memiliki dzimmah maliyah terpisah, di mana mahar menjadi hak miliknya, bukan hak milik keluarga atau suami saat ia menerimanya pada akad nikah.

Sebagaimana dijelaskan oleh Wahbah Az-Zuhaili. “Istri memiliki hak atas materi berupa mahar dan nafkah; dan hak nonmateri berupa perlakuan yang baik, interaksi yang menyenangkan, dan keadilan.” (Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuh, 7/327).

Sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), “Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya. Demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.” (Kompilasi Hukum Islam, Pasal 86).

Kedua, walaupun itu hasil kerja dan buah tangannya, tetapi ia bukan orang lain. Ia adalah suami dari istri, ayah dari anak-anak, dan kepala dari satu keluarga yang melakukan pekerjaan itu amanah dari statusnya sebagai suami yang pendapatannya itu harus diperuntukkan sebagai nafkah.

Nafkah keluarga menjadi tanggung jawab suami (ayah) selama berstatus suami istri. Hal ini karena selain kapasitas suami sebagai pemimpin, tanggung jawab itu juga adalah amanah Alquran dan sunnah.

Di antaranya, “Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya…” (QS an-Nisa: 34).

Sebagaimana tuntunan Rasulullah SAW saat menikahkan putrinya, Fatimah RA, dengan Ali bin Abi Thalib RA. “Engkau (wahai Ali) punya tanggung jawab bekerja dan ia (Fathimah) punya tanggung jawab rumah.”

Juga sebagaimana hadis Rasulullah SAW. Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “…Seorang suami adalah pemimpin atas anggota keluarganya dan akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang istri adalah pemimpin atas rumah tangga dan anak-anaknya dan akan ditanya perihal tanggung jawabnya…” (HR Muslim).

Ketiga, setiap pendapatan yang diterimanya harus dipastikan (menjadi kewajiban) diperuntukkan guna memenuhi nafkah keluarga terlebih dahulu, yaitu kebutuhan dasar istri, anak-anak, dan keluarga. Pada saat ia mendapatkan salary atau komisi atau bonus, maka dipastikan dengannya kebutuhan keluarga terpenuhi.

Saat ada surplus dari kewajiban nafkah keluarga, maka itu menjadi domain musyawarah keluarga karena fikih hanya memberikan kaidah-kaidah umum seperti kebutuhan dasar harus terpenuhi, nafkah menjadi kewajiban suami, dan seterusnya.

Sedangkan, fikih memberikan ruang bagi para keluarga untuk menentukan sesuai dengan kesepakatan karena setiap keluarga cara pandang, teknis, mekanisme, dan life style yang berbeda-beda.

Keempat, kesimpulan tersebut di atas juga didasarkan pada pandangan yang menyeluruh (komprehensif/integral/syumuli) terhadap permasalahan tersebut dengan merujuk pada prinsip dzimmah maliyah terhadap suami sebagai individu.

Sebagaimana dijelaskan dalam konsep dzimmah maliyah dalam fikih, tetapi juga mempertimbangkan maslahat keluarga dan keberadaan suami sebagai pemimpin keluarga dan tanggung jawabnya di mana ia mencari nafkah, bukan kapasitasnya sebagai individu, tetapi atas mandat dan amanah dari keluarga.

Oleh karena itu, sesungguhnya kesimpulan bahwa pendapatan suami itu adalah pendapatan suami secara mutlak juga tidak sesuai dengan tuntunan. Hal ini karena walaupun ia sebagai entitas sendiri, tetapi ia adalah suami, bukan orang lain.

Ia bekerja itu karena menunaikan amanah keluarga sehingga pendapatannya harus ditunaikan untuk kebutuhan yang ada dalam tanggung jawab nafkahnya.

Wallahu a’lam.

Republika, 17 Maret 2023

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130

Related Posts

Leave A Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *