Meminta Nafkah Dari Harta Yang Tidak Baik

Assalamu’alaikum. Afwan jiddan, ustadz/ah. Ada pertanyaan dari saudara jauh saya pribadi. Begini, misalnya dia lagi sangat butuh uang untuk membayar beberapa kebutuhan dan tagihan, dia seorang pelajar, untuk membiayai diri sendiri dia belum sanggup, karena kemungkinan besar akan mengganggu studinya. Sementara dia ragu akan penghasilan keluarganya yang membuat jimat/azimat, namun karena kebutuhan, dia tetap menerima dan memakai penghasilan tersebut dengan berharap ampunan dan memohon hidayah Allah atas anggota keluarganya tersebut. Dan dia (pelajar ini) jika mempunyai keluarga lain yang mempunyai usaha kayu ilegal, dan ada juga menjual minyak wangi untuk perdukunan dan sepertinya bekerja dengan jin. Kadang jika kebutuhannya betul-betul mendesak dia meminta kiriman uang juga dari keluarganya tersebut.

Bagaimana menurut ustadz/ah dengan perkara ini. Sementara dia pernah berusaha mencari rezeki yang .halal lagi baik, insya Allah, namun sangat menyita waktu, tenaga dan fikirannya tidak bisa fokus dalam studi.

————-

JAWABAN:

Wa’alaikumussalam warahmarullahi wabarakaatuh…

Jika anak dalam keadaan terpaksa, lalu dia memanfaatkan penghasilan orang tua dan tidak ada cara lain untuk mencukupi kebutuhannya, maka tidak mengapa dan dosanya ditanggung orang tuanya saja dalam kondisi seperti itu..

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Baqarah: 173)

Dra.Indra Asih

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

Bacaan Basmalah

Izin bertanya ust..
1.apakah kata “bismillah” merupakan bagian dr surat al fatihah, atau merupakan pembuka surat seperti surat lainnya
2.dlm pembacaan ketika jd imam shalat berjamaah,apakah bismillah diucapkan keras atau pelan

Jawaban:

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulilkah wa ba’d:

 1. Bismillahirrahmanirrahim Termasuk Al Fatihah atau Bukan?

Terjadi perbedaan dalam hal ini:

– Ataukah dia termasuk bagian dari ayat pertama pada setiap surat ?
– Ataukah dia sebagai bagian dari AlFatihah tapi tidak bagi surat lainnya?
– Atau apakah dia adalah sebagai pembatas surat saja bukan ayat tersendiri?
– Apakah dia termasuk  AYAT TERPISAH yang ditulis di awal setiap surat.?
– Ataukah dia termasuk bagian dari surat dan ditulisnya di awal surat  sebagai ayat pertama?

Jika diringkas maka perbedaan ini menjadi tiga kelompok:

Kelompok pertama, mereka mengatakan Basmalah merupakan bagian dari surat Al Fatihah dan semua surat lainnya, kecuali surat Al Bara’ah (At Taubah). Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Az Zubeir, Abu Hurairah dan Ali. Di kalangan tabi’in: Atha, Thawus, Mak-hul, Said bin Jubeir, Az Zuhri, dan ini juga pendapat Ibnul Mubarak,       Asy Syafi’i,   Ahmad bin Hambal dalam satu riwayat darinya, Ishaq bin Rahawaih, dan Abdul Qasim bin Salam – Rahimahumullah.

Disebutkan  bahwa Imam Asy Syafi’i berpendapat pada sebagian  madzhabnyanya; bahwa Basmalah merupakan bagian dari Al Fatihah tapi bukan bagian surat lainnya. Dan diriwayatkan darinya pula bahwa Basmalah termasuk bagian dari sebagian surat dari keseluruhan surat yang ada. Imam Ibnu katsir mengatakan dua pendapat ini gharib (asing). (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/117)

            Mereka beralasan dengan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

 كان النبي صلى الله عليه وسلم  لَا يَعْرِفُ فَصْلَ السُّورَةِ حَتَّى تَنَزَّلَ عَلَيْهِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ        

            “Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah mengetahui batasan/pembagian surat , sampai turunlah  kepadanya: Bismillahirrahmanirrahim.” (HR.Abu Daud No. 788, Al Baihaqi dalamAs Sunannya No. 2206. Imam Ibnu Katsir mangatakan sanadnya shahih. Lihat Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/116. Dar Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’. Syaikh Al Albani juga menyatakan shahih dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 788)

            Dari sinilah kita bisa melihat bahwa Basmalah adalah bagian dari setiap surat –selain memang sebagai pembatas- kecuali pada surat Al Bara’ah. Masalah kenapa surat Al Bara’ah tidak menggunakan Basmalah, Insya Allah akan dibahas pada kesempatan lain.

            Kelompok ini juga berdalil dengan riwayat Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الحمد لله رب العالمين سبع آيات: بسم الله الرحمن الرحيم إحداهن، وهي السبع المثاني والقرآن العظيم، وهي أم الكتاب

            “Al Hamdulillahi Rabbil ‘alamin  (maksudnya: surat Al Fatihah) ada tujuh ayat:Bismillahirrahmanirrahim adalah salah satunya. Dia adalah tujuh ayat yang diulang-ulang, Al Quran yang agung, dan dia sebagai Ummul Kitab.”

            Hadits ini juga diriwayatkan juga oleh Ad Daruquthni dari Abu Hurairah secara marfu’ , dan Beliau mengatakan: semuanya tsiqat (terpercaya). (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/103)

            Hadits ini sangat jelas menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammemasukkan  Basmalah  sebagai bagian dari surat Al Fatihah. Maka, ini menjadi pendapat yang sangat kuat.

Kelompok kedua, mereka mengatakan bahwa Basmalah BUKAN bagian dari Al Fatihah dan bukan pula surat lainnya. Inilah pendapat dari  Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya.

            Mereka beralasan bahwa hadits di atas hanya menyebutkan fungsi. Basmalah sebagai pembeda dan pemisah surat , bukan menyebutkan bahwa Basmalah adalah bagian dari setiap surat .

Alasan lainnya adalah, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:  “Aku membagi Ash Shalah (yakni surat Al Fatihah) menjadi dua bagian, dan untuk hambaKu sesuai apa yang dia inginkan.” Ketika hamba berkata Al Hamdulillahi Rabbil ‘Alamin, maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: hamadani ‘abdiy -hambaKu telah memujiKu. Ketika hamba itu membaca Ar Rahmanirrahim, maka Allah ‘Azza wa Jallaberfirman: atsna ‘alayya ‘abdiy – hambaKu telah memujiKu. …. Dst. (HR. Muslim No. 395, At Tirmidzi No. 4027, Abu Daud No. 821, Ibnu Majah No. 3784, Ibnu Hibban No. 1784)

            Hadits ini menunjukkan bahwa tidak dibaca Basmalah  ketika membaca surat Al Fatihah. Ini menunjukkan bahwa Basmalah bukan bagian darinya.

            Hal ini juga diperkuat dari kisah Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu. Beliau ditanya oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

كيف تقرأ إذا افتتحت  الصلاة؟ قال: فقرأت عليه: { الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ }

            “Bagaimanakah bacaanmu  jika memulai shalat? Ubai menjawab: Aku membaca: Al Hamdulillahi Rabbil ‘Alamin.”

            Al Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah  mengomentari hadits ini:

            “Abu Said di sini bukanlah Abu Said bin Al Mu’alli sebagaimana yang diyakini oleh Ibnul ‘Atsir dalam Al Jami’ Al Ushul, dan orang-orang yang mengikutinya. Sebab, Ibnul Mu’alli adalah seorang sahabat Anshar dan yang ini adalah seorang tabi’in dari Khuza’ah, oleh karena itu hadits ini adalah muttashil shahih (bersambung lagi shahih). Hadits ini secara zhahir munqathi’ (terputus), jika Abu Said ini tidaklah mendengarkannya dari Ubai bin Ka’ab, namun jika dia mendengarkannya dari Ubai maka ini sesuai syarat Muslim. Wallahu A’lam. “ (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/104)

            Riwayat ini menunjukkan bahwa Basmalah tidaklah dibaca ketika membaca surat Al Fatihah dan ini menjadi dalil bahwa dia bukan bagian darinya.

Kelompok ketiga,  kelompok ini mengatakan Basmalah merupakan ayat tersendiri  dan terpisah dari semua surat , dia bukan bagian darinya. Inilah pendapat Daud Azh Zhahiri, diceritakan juga dari Imam Ahmad bin Hambal. Dan, Abu Bakar Ar Razi menceritakan dari Abul Hasan Al Karkhi dan keduanya merupakan pembesar madzhab Abu Hanifah. Perbedaan dengan kelompok kedua adalah kelompok ini menyebut Basmalah sebagai ayat yang tersendiri.

            Demikian. Jika kita perhatikan maka pendapat kelompok pertama lebih kuat dan jelas argumennya. Wallahu A’lam

2. Ketika Shalat, Dikeraskan atau Pelankan?

            Lalu, apa kaitannya pembahasan ini dengan pertanyaan ‘membaca basmalah di keraskan atau dipelankan?’  Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:

            “Ada pun yang terkait dengan menjaharkan Basmalah, maka perinciannya adalah sebagai berikut: bagi yang berpendapat bahwa Basmalah BUKAN bagian dari surat Al Fatihah maka mereka tidak menjaharkan, begitu juga menurut pihak yang mengatakan Basmalah adalah termasuk bagian ayat awal darinya.  Ada pun bagi kelompok yang mengatakan bahwa Basmalah adalah termasuk  bagian dari surat-surat di bagian awalnya. Maka mereka berbeda pendapat dalam hal ini.

            Imam Asy Syafi’i Rahimahullah berpendapat bahwa Basmalah  DIJAHARKAN (dikeraskan), juga pada surat lainnya. Inilah pendapat banyak golongan dari sahabat tabi’in, para imam kaum  muslimin, baik salaf dan khalaf. Dari kalangan sahabat yang menjaharkan adalah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Muawiyah.  Ibnu Abdil Bar dan Al Baihaqi menceritakan bahwa ini juga  dilakukan Umar dan Ali. Sedangkan Al Khathib menukil dari khalifah yang empat yakni Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Tapi riwayat ini gharib (asing/menyendiri). Dari kalangan tabi’in adalah Said bin Jubeir, Ikrimah, Abu Qilabah, Az Zuhri, Ali bin Al Husein dan anaknya Muhammad, Said bin Al Musayyib, Atha, Thawus, Mujahid, Salim, Muhammad bin Ka’ab Al Qurzhi, Abu Bakar bin Amru bin Hazm, Abu Wail, Ibnu Sirin, Muhammad bin Al Munkadir,  Ali bin Abdullah bin Abbas dan anaknya Muhammad, Nafi’, Zaid bin Aslam, Umar bin Abdul Aziz, Al Azraq bin Qais, Habib bin Abi Tsabit, Abu Sya’ tsa’, Makhul, dan Abdullah bin Ma’qil bin Muqarrin.

            Imam Al Baihaqi menambahkan: Abdullah bin Shafwan dan Muhammad bin Al Hanafiyah. Sementara Imam Ibnu Abdil Bar menambahkan: Amru bin Dinar. (Tafsir Al Quran Al Azhim, 1/117)

            Demikianlah, sangat banyak para sahabat, tabi’in dan imam kaum muslimin yang berpendapat dikeraskannya membaca Basmalah ketika shalat. Dalil-dalil mereka adalah:

–          Imam An Nasa’i dalam Sunannya, Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya masing-masing, Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya; dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa beliau shalat dan dia mengeraskan membaca Basmalah, lalu setelah shalat selesai, dia berkata: “Sesungguhnya saya menyerupakan untuk kalian shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Hadits ini dishahihkan oleh Ad Daruquthni, Al Khathib, Al Baihaqi, dan lainnya)

–          Imam Al Hakim meriwayatkan dalam Al Mustadraknya,  dari Ibnu AbbasRadhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengeraskan membaca Bismillahirrahmanirrahim. (Katanya: hadits ini shahih)

–          Imam Al Bukhari dalam Shahihnya, meriwayatkan bahwa Anas bin MalikRadhiallahu ‘Anhu ditanya tentang bacaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia menjawab: “Adalah bacaan Beliau itu diberikan jarak yang panjang, kemudian dia membaca  Bismillahirrahmanirrahim, dengan memanjangkan Bismillah, memanjangkan Ar Rahman dan memanjangkan Ar Rahim. (juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi No. 2451, Ibnu Majah No. 4215)

–          Imam Ahmad dalam Musnadnya dan Imam Abu Daud dalam Sunannya, Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, dan Imam Al Hakim dalam Al Mustadaraknya,  meriwayatkan: dari Ummu Salamah, dia berkata: “Bahwa Shalatnya RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam  membaca dengan diputus-putus; Bismillahirrahmanirrahim. Al Hamdulillahirabbil ‘alamin. Ar Rahmanirrahim. Malikiyaumiddin.”  (Imam Ad Daruquthni mengatakan: isnad hadits ini shahih)

–          Imam Asy Syafi’i dalam Musnadnya dan Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya meriwayatkan dari Anas Radhiallahu ‘Anhu; bahwa Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu shalat di Madinah dan dia tidak membaca Basmalah (mengecilkan suara), lalu orang Muhajirin yang hadir mengingkarinya, maka ketika dia shalat untuk kedua kalinya, maka dia membaca bismillah.”

–          Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya menyebutkan dari Nu’aim bin Al Majmar  katanya: Aku Shalat dibelakang Abu Hurairah, dia membaca Bismillahirrahmanirrahim kemudian membaca Ummul Kitab, hingga sampai Wa Ladhdhaallin, dia menjawab: Amin, dan manusia menjawab: Amin.” (HR. Ibnu Khuzaimah No. 499, Berkata Syaikh Al Abani: Al A’zhami berkata: sanadnya shahihseandainya Ibnu Abi Hilal tidak tercampur (hapalannya))

Demikianlah diantara dalil yang ada bagi kalangan yang mengatakan bahwa membaca Basmalah adalah dikeraskan. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah nampaknya memilih pendapat ini dengan menyebutnya sebagai: “hujjah yang mencukupi dan memuaskan.”  (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/118)

            Kelompok yang lain mengatakan bahwa membaca Basmalah TIDAK DIJAHARKAN. Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:

وذهب آخرون إلى أنه لا يجهر بالبسملة في الصلاة، وهذا هو الثابت عن الخلفاء الأربعة وعبد الله بن مغفل، وطوائف من سلف التابعين والخلف، وهو مذهب أبي حنيفة، والثوري، وأحمد بن حنبل.

            “Pendapat kelompok yang lainnya adalah bahwa tidaklah mengeraskan Basmalah dalam shalat. Dan, ini telah pasti (tsabit) dari khalifah yang empat dan Abdullah bin Mughaffal, dan banyak kelompok dari  pendahulu tabi’in dan khalaf. Ini juga pendapat Abu Hanifah, Ats Tsauri, dan Ahmad bin Hambal.” (Ibid)

            Kelompok ini berdalil sebagai berikut:

–          Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Abu Bakar, Umar, dan Utsman memulai bacaan dalam shalatnya dengan Alhamdulillahirabbil ‘alamin. (HR. Abu Daud No. 782. Syaikh Al Albani menyatakan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi DaudNo. 782)

–          Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya: “Saya telah shalat dibelakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman, dan tak satu pun dari mereka yang mengeraskan bacaan Basmalah.”  (HR. An Nasa’i No. 907, Syaikh Al Albani menyatakan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 907. Juga Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 495)

–          Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya: “Adalah shalatnya RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mereka memulainya dengan membaca: Al Hamdulillahirrabbil ‘alamin.” (HR. At Tirmidzi No. 246, katanya:hasan shahih. Syaikh Al Albani menyatakan shahih dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 246)

–          Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammemulai shalat dengan bertakbir lalu membaca: Alhamdulillahirabbil ‘Alamin.” (HR. Abu Daud No. 783, Syaikh Al Albani menyatakan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 783)

Demikianlah dalil-dalil bagi kelompok yang menyatakan bahwa membaca Basmalah tidak dikeraskan.

 Sementara Imam Malik berpendapat bahwa dalam shalat TIDAKLAH MEMBACA SAMA SEKALI bacaan Basmalah, baik keras (jahran) atau pelan (sirran). Beliau beralasan bahwa hadits-hadits di atas bukan menunjukkan sirr  (pélan), tetapi memang Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamtidak membaca Basmalah.  Alasan lainnya adalah:

–          Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah membaca Bismillahirrahmanirrahim, baik di awal dan di akhirnya. Yang seperti ini juga diriwayatkan dalam berbagai kitabSunan dari Abdullah bin Mughaffal Radhiallahu ‘Anhu.

 Tetapi, pendapat Imam Malik ini dianggap lemah, sebab dalam hadits-hadits di atas jelas sekali disebutkan kalimat: tak satu pun dari mereka yang mengeraskan bacaan Basmalah, artinya Basmalah tetaplah dibaca tetapi tidak keras. Ada pun hadits yang menyebutkan bahwa Nabi tidak membaca Basmalah, mesti ditakwil dan dikompromi dengan hadits lain,  yakni Beliau bukanlah tidak membaca tetapi   membacanya, hanya saja suaranya pelan seakan bagi pendengar tidak membacanya. Wallahu A’lam

Nah, dengan demikian ada dua pendapat yang kuat dan sama-sama ditopang oleh dalil-dalil yang shahih, yakni pendapat Pertama. membaca Basmalah secara keras. Pendapat kedua, membacanya secara pelan.

Kedua kelompok ini berdalil dengan hujjah yang sama-sama shahih, dan satu sama lain tidaklah dianggap merevisi (nasakh) yang lainnya, atau dianggap riwayat dhaif. Maka, pandangan yang paling seimbang adalah: Bahwa BENAR   Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengeraskan Basmalah sebagaimana yang diriwayatkan secara shahih oleh sahabat yang melihat dan mendengarnya seperti Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Ummu Salamah, dan BENAR pula bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah memelankan Basmalah sebagaimana yang diriwayatkan secara shahih pula dari sahabat yang melihat dan mendengarnya seperti Anas bin Malik dan ‘Aisyah.

Inilah metode yang ditempuh oleh para ulama muhaqqiq (peneliti) seperti ‘Alim Rabbani Al ‘Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah. Beliau berkata:

والإِنصاف الذي يرتضيه العالم المنصف، أنه صلى الله عليه وسلم جهر، وأسر، وقنت، وترك، وكان إسرارُه أكثَر من جهره، وتركه القنوتَ أكثر من فعله

“Pendapat yang bijak yang dibenarkan oleh para ulama yang objektif adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membaca secara keras dan pelan, pernah berqunut dan pernah meninggalkannya. Hanya saja memelankannya lebih banyak  dibanding mengeraskannya, dan meninggalkan qunut lebih banyak dibanding melakukannya.” (Imam Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, 1/272. Cet. 3. 1986M-1406H. Muasasah Ar Risalah. Beirut – Libanon)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

فهذه مآخذ الأئمة، رحمهم الله، في هذه المسألة وهي قريبة؛ لأنهم أجمعوا على صحة صلاة من جهر بالبسملة ومن أسر، ولله الحمد والمنة

Inilah jalannya para imam –Rahimahumullah- dalam masalah ini dan ini merupakan masalah yang bisa didekatkan, karena mereka sepakat bahwa sahnya shalat bagi yang mengeraskan dan memelankan. Walillahilhamd wa Minnah . (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/118)

Demikian pembahasan ini. Dari sini semoga kita bisa lebih arif dalam menyikapi bacaan  Basmalah ini. Membacanya, baik dikeraskan atau tidak, bukanlah bab permasalahan salah atau benar, sunah atau  bid’ah. tetapi, keduanya benar, hanya saja nabi lebih sering tidak mengeraskannya   Maka, tidak dibenarkan satu sama lain saling menyerang dan menyalahkan, apalagi sampai taraf menuduh sebagai pelaku bid’ah. Padahal duanya  merupakan perilaku nabi, sahabat tabi’in, dan imam kaum muslimin. Maka, jika kita berada di masjid yang biasa mengeraskan bacaan Basmalah, maka alangkah baik jika  kita mengikutinya -jika diminta menjadi imam- untuk menjaga persatuan hati dan menghilangkan kebencian. Begitu pula ditempat sebaliknya.  Inilah perilaku  ulama rabbani yang mendalam ilmunya yang sudah sepatutnya kita meneladaninya. Semoga bermanfaat.

Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

Seputar Pernikahan

Assalamualaikum.. Ustadz. Maaf saya mau bertanya. Saya seorang janda dua anak dan sedang menuju tahap menikah insyaallah setelah lebaran. Apakah saya termasuk istri yang baik atau tidak dengan kondisi seperti itu ya pak ustad…??

Yang ingin saya tanyakan… Apakah boleh setelah menikah kami tidak bisa setiap hari bertemu dikarenakan saya bekerja didaerah Daan Mogot dan calon suami di Cikarang. Setelah didiskusikan calon suami saya sih menerima kondisi yang ada?

JAWABAN:

Wa ‘alaikumussalaam warahmatullah,

Sebelumnya, kami tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata betapa bahagianya hati-hati ini mendengar berita bahagia yang hadir dari Ibu Penanya. Semoga ini cara Allah Swt memasukkan ibu ke Surga-Nya bersama semakin sempurnanya Din Ibu, dan akan semakin terbuka lebarnya kesempatan untuk melakukan amal-amal shalih yang tidak bisa dilakukan kecuali setelah dengan ibadah pernikahan nantinya.

Sehubungan dengan pertanyaan Ibu, perlu kami sampaikan bahwa jawaban atas pertanyaan ini bukanlah boleh ataupun tidak boleh, karena tentunya saya meyakini bahwa realitas kehidupanlah yang membawa rencana pilihan Ibu sebagaimana ditanyakan. Namun begitu, tentunya sebagai seorang Muslim dan Muslimah yang sentiasa berusaha untuk Istiqomah, dan meraih ridho Ilahi dan Cinta-Nya yang tertinggi, kita akan selalu rindu untuk dapat melakukan amalan yang paling prioritas, bahkan kemudian beranjak kepada amalan unggulan.

Bagi seorang wanita, pernikahan sejatinya adalah Cara Allah untuk memuliakannya, dan memberikan kesempatan baginya untuk meningkatkan derajatnya, maqam-nya. Ibu dapat membaca tulisan saya di 2 (dua) link berikut ini:
Pernikahan, Cara Allah Swt Memuliakan Wanita (1): http://supraha.com/?p=414
Pernikahan, Cara Allah Swt Memuliakan Wanita (2 – Selesai): http://supraha.com/?p=421

Seorang Muslim/ah hendaknya jangan pernah merasa puas dan berhenti pada titik yang sudah dianggap nyaman. Ia harus terus bergerak membawa dirinya kepada kondisi yang jauh lebih baik, terutama karena keyakinannya yang utuh akan janji Allah Swt. Di antara janji Allah Swt adalah,

وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang sudah layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan menjadikan mereka kaya mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32).

Sifat Qana’ah akan ditambahkan kepada hamba-Nya yang selalu mendahulukan untuk meyakini janji-Nya. Terlebih ketika ia meyakini bahwa dirinya akan memiliki potensi untuk berdo’a tanpa adanya hijab, jika pernikahan yang diniatkannya itu betul-betul diniatkan untuk menjaga kesuciannya, sebagaimana sabda Nabi Saw.,

وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ
“… seorang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya.” (HR. An Nasai)

Tentunya kita memahami betapa besar kemuliaan dan balasan nan agung bagi seorang istri yang membangunkan suaminya di malam hari untuk tahajjud, menyiapkan sarapan untuknya, memberikan senyuman dan kecupan terbaik tuk melepasnya mencari rizqi Allah, bergandengan bersamanya ke majelis ilmu, berdiskusi bersamanya dalam membaguskan kualitas keturunan mereka, menjaga rumahnya, memanajemen seisi rumahnya, dan segudang kebaikan yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan nikmat pernikahan.

Sungguh esensi pernikahan adalah kebersamaan. Bersama menjaga diri dari fitnah dunia, bersama saling menguatkan dalam suka dan duka, bersama dalam menghiasi dan menutupi aib dan kelemahan. Maka rencanakanlah kebersamaan yang mendekati kesempurnaan itu, susunlah tahapan yang terukur dan jelas agar hadir kesempurnaan dalam kebersamaan. Semoga Allah Swt memudahkan langkah di atas seluruh rencana kehidupan yang telah kita adukan kepada-Nya semata.

Wassalam,
supraha.com

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

Ustadz Menjawab: Kedudukan "Bismillah" dalam Surat Al Fatihah

Ustadz Menjawab
Bismillah..
Izin bertanya ust..
1. Apakah kata “bismillah” merupakan bagian dr surat al fatihah, atau merupakan pembuka surat seperti surat lainnya
2. Dalam pembacaan ketika jd imam shalat berjamaah, apakah bismillah diucapkan keras atau pelan
Hatur nuhun..🙏
Jawaban:
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulilkah wa ba’d:
1. Bismillahirrahmanirrahim Termasuk Al Fatihah atau Bukan?
Terjadi perbedaan dalam hal ini:
- Ataukah dia termasuk bagian dari ayat pertama pada setiap surat ?
- Ataukah dia sebagai bagian dari AlFatihah tapi tidak bagi surat lainnya?
- Atau apakah dia adalah sebagai pembatas surat saja bukan ayat tersendiri?
- Apakah dia termasuk  AYAT TERPISAH yang ditulis di awal setiap surat.?
- Ataukah dia termasuk bagian dari surat dan ditulisnya di awal surat  sebagai ayat pertama?
Jika diringkas maka perbedaan ini menjadi tiga kelompok: 
Kelompok pertama, mereka mengatakan Basmalah merupakan bagian dari surat Al Fatihah dan semua surat lainnya, kecuali surat Al Bara’ah (At Taubah). Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Az Zubeir, Abu Hurairah dan Ali. Di kalangan tabi’in: Atha, Thawus, Mak-hul, Said bin Jubeir, Az Zuhri, dan ini juga pendapat Ibnul Mubarak, Asy Syafi’i, Ahmad bin Hambal dalam satu riwayat darinya, Ishaq bin Rahawaih, dan Abdul Qasim bin Salam – Rahimahumullah.
Disebutkan  bahwa Imam Asy Syafi’i berpendapat pada sebagian  madzhabnyanya; bahwa Basmalah merupakan bagian dari Al Fatihah tapi bukan bagian surat lainnya. Dan diriwayatkan darinya pula bahwa Basmalah termasuk bagian dari sebagian surat dari keseluruhan surat yang ada. Imam Ibnu katsir mengatakan dua pendapat ini gharib (asing). (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/117)
Mereka beralasan dengan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
 كان النبي صلى الله عليه وسلم  لَا يَعْرِفُ فَصْلَ السُّورَةِ حَتَّى تَنَزَّلَ عَلَيْهِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ         
“Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah mengetahui batasan/pembagian surat , sampai turunlah  kepadanya: Bismillahirrahmanirrahim.” (HR.Abu Daud No. 788, Al Baihaqi dalamAs Sunannya No. 2206. Imam Ibnu Katsir mangatakan sanadnya shahih. Lihat Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/116. Dar Thayyibah Lin Nasyr wat Tauzi’. Syaikh Al Albani juga menyatakan shahih dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 788)
Dari sinilah kita bisa melihat bahwa Basmalah adalah bagian dari setiap surat –selain memang sebagai pembatas- kecuali pada surat Al Bara’ah. Masalah kenapa surat Al Bara’ah tidak menggunakan Basmalah, Insya Allah akan dibahas pada kesempatan lain.
Kelompok ini juga berdalil dengan riwayat Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الحمد لله رب العالمين سبع آيات: بسم الله الرحمن الرحيم إحداهن، وهي السبع المثاني والقرآن العظيم، وهي أم الكتاب
“Al Hamdulillahi Rabbil ‘alamin  (maksudnya: surat Al Fatihah) ada tujuh ayat:Bismillahirrahmanirrahim adalah salah satunya. Dia adalah tujuh ayat yang diulang-ulang, Al Quran yang agung, dan dia sebagai Ummul Kitab.”
Hadits ini juga diriwayatkan juga oleh Ad Daruquthni dari Abu Hurairah secara marfu’ , dan Beliau mengatakan: semuanya tsiqat (terpercaya). (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/103)
Hadits ini sangat jelas menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammemasukkan  Basmalah  sebagai bagian dari surat Al Fatihah. Maka, ini menjadi pendapat yang sangat kuat.
Kelompok kedua, mereka mengatakan bahwa Basmalah BUKAN bagian dari Al Fatihah dan bukan pula surat lainnya. Inilah pendapat dari  Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan para sahabatnya.
Mereka beralasan bahwa hadits di atas hanya menyebutkan fungsi. Basmalah sebagai pembeda dan pemisah surat , bukan menyebutkan bahwa Basmalah adalah bagian dari setiap surat .
Alasan lainnya adalah, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:  “Aku membagi Ash Shalah (yakni surat Al Fatihah) menjadi dua bagian, dan untuk hambaKu sesuai apa yang dia inginkan.” Ketika hamba berkata Al Hamdulillahi Rabbil ‘Alamin, maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: hamadani ‘abdiy -hambaKu telah memujiKu. Ketika hamba itu membaca Ar Rahmanirrahim, maka Allah ‘Azza wa Jallaberfirman: atsna ‘alayya ‘abdiy – hambaKu telah memujiKu. …. Dst. (HR. Muslim No. 395, At Tirmidzi No. 4027, Abu Daud No. 821, Ibnu Majah No. 3784, Ibnu Hibban No. 1784)
Hadits ini menunjukkan bahwa tidak dibaca Basmalah  ketika membaca surat Al Fatihah. Ini menunjukkan bahwa Basmalah bukan bagian darinya.
Hal ini juga diperkuat dari kisah Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu. Beliau ditanya oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
كيف تقرأ إذا افتتحت  الصلاة؟ قال: فقرأت عليه: { الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ }
“Bagaimanakah bacaanmu  jika memulai shalat? Ubai menjawab: Aku membaca: Al Hamdulillahi Rabbil ‘Alamin.”
Al Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah  mengomentari hadits ini:
“Abu Said di sini bukanlah Abu Said bin Al Mu’alli sebagaimana yang diyakini oleh Ibnul ‘Atsir dalam Al Jami’ Al Ushul, dan orang-orang yang mengikutinya. Sebab, Ibnul Mu’alli adalah seorang sahabat Anshar dan yang ini adalah seorang tabi’in dari Khuza’ah, oleh karena itu hadits ini adalah muttashil shahih (bersambung lagi shahih). Hadits ini secara zhahir munqathi’ (terputus), jika Abu Said ini tidaklah mendengarkannya dari Ubai bin Ka’ab, namun jika dia mendengarkannya dari Ubai maka ini sesuai syarat Muslim. Wallahu A’lam. “ (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/104)
Riwayat ini menunjukkan bahwa Basmalah tidaklah dibaca ketika membaca surat Al Fatihah dan ini menjadi dalil bahwa dia bukan bagian darinya.
Kelompok ketiga,  kelompok ini mengatakan Basmalah merupakan ayat tersendiri  dan terpisah dari semua surat , dia bukan bagian darinya. Inilah pendapat Daud Azh Zhahiri, diceritakan juga dari Imam Ahmad bin Hambal. Dan, Abu Bakar Ar Razi menceritakan dari Abul Hasan Al Karkhi dan keduanya merupakan pembesar madzhab Abu Hanifah. Perbedaan dengan kelompok kedua adalah kelompok ini menyebut Basmalah sebagai ayat yang tersendiri.
Demikian. Jika kita perhatikan maka pendapat kelompok pertama lebih kuat dan jelas argumennya. Wallahu A’lam
2. Ketika Shalat, Dikeraskan atau Pelankan?
Lalu, apa kaitannya pembahasan ini dengan pertanyaan ‘membaca basmalah di keraskan atau dipelankan?’  Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:
“Ada pun yang terkait dengan menjaharkan Basmalah, maka perinciannya adalah sebagai berikut: bagi yang berpendapat bahwa Basmalah BUKAN bagian dari surat Al Fatihah maka mereka tidak menjaharkan, begitu juga menurut pihak yang mengatakan Basmalah adalah termasuk bagian ayat awal darinya.  Ada pun bagi kelompok yang mengatakan bahwa Basmalah adalah termasuk  bagian dari surat-surat di bagian awalnya. Maka mereka berbeda pendapat dalam hal ini.
Imam Asy Syafi’i Rahimahullah berpendapat bahwa Basmalah  DIJAHARKAN (dikeraskan), juga pada surat lainnya. Inilah pendapat banyak golongan dari sahabat tabi’in, para imam kaum  muslimin, baik salaf dan khalaf. Dari kalangan sahabat yang menjaharkan adalah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Muawiyah.  Ibnu Abdil Bar dan Al Baihaqi menceritakan bahwa ini juga  dilakukan Umar dan Ali. Sedangkan Al Khathib menukil dari khalifah yang empat yakni Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Tapi riwayat ini gharib (asing/menyendiri). Dari kalangan tabi’in adalah Said bin Jubeir, Ikrimah, Abu Qilabah, Az Zuhri, Ali bin Al Husein dan anaknya Muhammad, Said bin Al Musayyib, Atha, Thawus, Mujahid, Salim, Muhammad bin Ka’ab Al Qurzhi, Abu Bakar bin Amru bin Hazm, Abu Wail, Ibnu Sirin, Muhammad bin Al Munkadir,  Ali bin Abdullah bin Abbas dan anaknya Muhammad, Nafi’, Zaid bin Aslam, Umar bin Abdul Aziz, Al Azraq bin Qais, Habib bin Abi Tsabit, Abu Sya’ tsa’, Makhul, dan Abdullah bin Ma’qil bin Muqarrin.
Imam Al Baihaqi menambahkan: Abdullah bin Shafwan dan Muhammad bin Al Hanafiyah. Sementara Imam Ibnu Abdil Bar menambahkan: Amru bin Dinar. (Tafsir Al Quran Al Azhim, 1/117)
Demikianlah, sangat banyak para sahabat, tabi’in dan imam kaum muslimin yang berpendapat dikeraskannya membaca Basmalah ketika shalat. Dalil-dalil mereka adalah:
- Imam An Nasa’i dalam Sunannya, Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya masing-masing, Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya; dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu bahwa beliau shalat dan dia mengeraskan membaca Basmalah, lalu setelah shalat selesai, dia berkata: “Sesungguhnya saya menyerupakan untuk kalian shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Hadits ini dishahihkan oleh Ad Daruquthni, Al Khathib, Al Baihaqi, dan lainnya)
- Imam Al Hakim meriwayatkan dalam Al Mustadraknya,  dari Ibnu AbbasRadhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengeraskan membaca Bismillahirrahmanirrahim. (Katanya: hadits ini shahih)
- Imam Al Bukhari dalam Shahihnya, meriwayatkan bahwa Anas bin MalikRadhiallahu ‘Anhu ditanya tentang bacaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia menjawab: “Adalah bacaan Beliau itu diberikan jarak yang panjang, kemudian dia membaca  Bismillahirrahmanirrahim, dengan memanjangkan Bismillah, memanjangkan Ar Rahman dan memanjangkan Ar Rahim. (juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi No. 2451, Ibnu Majah No. 4215)
- Imam Ahmad dalam Musnadnya dan Imam Abu Daud dalam Sunannya, Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, dan Imam Al Hakim dalam Al Mustadaraknya,  meriwayatkan: dari Ummu Salamah, dia berkata: “Bahwa Shalatnya RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam  membaca dengan diputus-putus; Bismillahirrahmanirrahim. Al Hamdulillahirabbil ‘alamin. Ar Rahmanirrahim. Malikiyaumiddin.”  (Imam Ad Daruquthni mengatakan: isnad hadits ini shahih)
- Imam Asy Syafi’i dalam Musnadnya dan Imam Al Hakim dalam Al Mustadraknya meriwayatkan dari Anas Radhiallahu ‘Anhu; bahwa Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu shalat di Madinah dan dia tidak membaca Basmalah (mengecilkan suara), lalu orang Muhajirin yang hadir mengingkarinya, maka ketika dia shalat untuk kedua kalinya, maka dia membaca bismillah.”
- Imam Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya menyebutkan dari Nu’aim bin Al Majmar  katanya: Aku Shalat dibelakang Abu Hurairah, dia membaca Bismillahirrahmanirrahim kemudian membaca Ummul Kitab, hingga sampai Wa Ladhdhaallin, dia menjawab: Amin, dan manusia menjawab: Amin.” (HR. Ibnu Khuzaimah No. 499, Berkata Syaikh Al Abani: Al A’zhami berkata: sanadnya shahihseandainya Ibnu Abi Hilal tidak tercampur (hapalannya))
Demikianlah diantara dalil yang ada bagi kalangan yang mengatakan bahwa membaca Basmalah adalah dikeraskan. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah nampaknya memilih pendapat ini dengan menyebutnya sebagai: “hujjah yang mencukupi dan memuaskan.”  (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/118)
Kelompok yang lain mengatakan bahwa membaca Basmalah TIDAK DIJAHARKAN. Berkata Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:
وذهب آخرون إلى أنه لا يجهر بالبسملة في الصلاة، وهذا هو الثابت عن الخلفاء الأربعة وعبد الله بن مغفل، وطوائف من سلف التابعين والخلف، وهو مذهب أبي حنيفة، والثوري، وأحمد بن حنبل.
“Pendapat kelompok yang lainnya adalah bahwa tidaklah mengeraskan Basmalah dalam shalat. Dan, ini telah pasti (tsabit) dari khalifah yang empat dan Abdullah bin Mughaffal, dan banyak kelompok dari  pendahulu tabi’in dan khalaf. Ini juga pendapat Abu Hanifah, Ats Tsauri, dan Ahmad bin Hambal.” (Ibid)
Kelompok ini berdalil sebagai berikut:
- Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Abu Bakar, Umar, dan Utsman memulai bacaan dalam shalatnya dengan Alhamdulillahirabbil ‘alamin. (HR. Abu Daud No. 782. Syaikh Al Albani menyatakan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi DaudNo. 782)
- Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya: “Saya telah shalat dibelakang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar dan Utsman, dan tak satu pun dari mereka yang mengeraskan bacaan Basmalah.”  (HR. An Nasa’i No. 907, Syaikh Al Albani menyatakan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 907. Juga Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 495)
- Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya: “Adalah shalatnya RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Abu Bakar, Umar, dan Utsman, mereka memulainya dengan membaca: Al Hamdulillahirrabbil ‘alamin.” (HR. At Tirmidzi No. 246, katanya:hasan shahih. Syaikh Al Albani menyatakan shahih dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 246)
- Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallammemulai shalat dengan bertakbir lalu membaca: Alhamdulillahirabbil ‘Alamin.” (HR. Abu Daud No. 783, Syaikh Al Albani menyatakan shahih. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 783)
Demikianlah dalil-dalil bagi kelompok yang menyatakan bahwa membaca Basmalah tidak dikeraskan.
Sementara Imam Malik berpendapat bahwa dalam shalat TIDAKLAH MEMBACA SAMA SEKALI bacaan Basmalah, baik keras (jahran) atau pelan (sirran). Beliau beralasan bahwa hadits-hadits di atas bukan menunjukkan sirr  (pélan), tetapi memang Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamtidak membaca Basmalah.  Alasan lainnya adalah:
- Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah membaca Bismillahirrahmanirrahim, baik di awal dan di akhirnya. Yang seperti ini juga diriwayatkan dalam berbagai kitabSunan dari Abdullah bin Mughaffal Radhiallahu ‘Anhu.
Tetapi, pendapat Imam Malik ini dianggap lemah, sebab dalam hadits-hadits di atas jelas sekali disebutkan kalimat: tak satu pun dari mereka yang mengeraskan bacaan Basmalah, artinya Basmalah tetaplah dibaca tetapi tidak keras. Ada pun hadits yang menyebutkan bahwa Nabi tidak membaca Basmalah, mesti ditakwil dan dikompromi dengan hadits lain,  yakni Beliau bukanlah tidak membaca tetapi   membacanya, hanya saja suaranya pelan seakan bagi pendengar tidak membacanya. Wallahu A’lam
Nah, dengan demikian ada dua pendapat yang kuat dan sama-sama ditopang oleh dalil-dalil yang shahih, yakni pendapat Pertama. membaca Basmalah secara keras. Pendapat kedua, membacanya secara pelan.
Kedua kelompok ini berdalil dengan hujjah yang sama-sama shahih, dan satu sama lain tidaklah dianggap merevisi (nasakh) yang lainnya, atau dianggap riwayat dhaif. Maka, pandangan yang paling seimbang adalah: Bahwa BENAR   Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengeraskan Basmalah sebagaimana yang diriwayatkan secara shahih oleh sahabat yang melihat dan mendengarnya seperti Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Ummu Salamah, dan BENAR pula bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah memelankan Basmalah sebagaimana yang diriwayatkan secara shahih pula dari sahabat yang melihat dan mendengarnya seperti Anas bin Malik dan ‘Aisyah.
Inilah metode yang ditempuh oleh para ulama muhaqqiq (peneliti) seperti ‘Alim Rabbani Al ‘Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah. Beliau berkata:
والإِنصاف الذي يرتضيه العالم المنصف، أنه صلى الله عليه وسلم جهر، وأسر، وقنت، وترك، وكان إسرارُه أكثَر من جهره، وتركه القنوتَ أكثر من فعله
“Pendapat yang bijak yang dibenarkan oleh para ulama yang objektif adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membaca secara keras dan pelan, pernah berqunut dan pernah meninggalkannya. Hanya saja memelankannya lebih banyak  dibanding mengeraskannya, dan meninggalkan qunut lebih banyak dibanding melakukannya.” (Imam Ibnul Qayyim, Zaadul Ma’ad, 1/272. Cet. 3. 1986M-1406H. Muasasah Ar Risalah. Beirut – Libanon)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:
فهذه مآخذ الأئمة، رحمهم الله، في هذه المسألة وهي قريبة؛ لأنهم أجمعوا على صحة صلاة من جهر بالبسملة ومن أسر، ولله الحمد والمنة
Inilah jalannya para imam –Rahimahumullah- dalam masalah ini dan ini merupakan masalah yang bisa didekatkan, karena mereka sepakat bahwa sahnya shalat bagi yang mengeraskan dan memelankan. Walillahilhamd wa Minnah . (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/118)
Demikian pembahasan ini. Dari sini semoga kita bisa lebih arif dalam menyikapi bacaan  Basmalah ini. Membacanya, baik dikeraskan atau tidak, bukanlah bab permasalahan salah atau benar, sunah atau  bid’ah. tetapi, keduanya benar, hanya saja nabi lebih sering tidak mengeraskannya   Maka, tidak dibenarkan satu sama lain saling menyerang dan menyalahkan, apalagi sampai taraf menuduh sebagai pelaku bid’ah. Padahal duanya  merupakan perilaku nabi, sahabat tabi’in, dan imam kaum muslimin. Maka, jika kita berada di masjid yang biasa mengeraskan bacaan Basmalah, maka alangkah baik jika  kita mengikutinya -jika diminta menjadi imam- untuk menjaga persatuan hati dan menghilangkan kebencian. Begitu pula ditempat sebaliknya.  Inilah perilaku  ulama rabbani yang mendalam ilmunya yang sudah sepatutnya kita meneladaninya. Semoga bermanfaat.
Wallahu A’lam
Dipersembahkan Oleh
Majelis Iman Islam
www.iman-islam.com

Ustadz Menjawab: Bagaimana Hukumnya Jika Menjenguk Teman Perempuan yang bukan Muhrimnya

👳🏻 Ustadz Menjawab
Oleh : Ustadz Farid Nu’man
Assalamu alaikum.. Saya mau bertanya Ustadz, bagaimana hukumnya kalau ada teman perempuan yg sakit dan mau di jenguk di rumah/kosannya ? Syukran
-01
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Jawaban:
Wa’alaikumussalam wa rahmatullah .., bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ba’d:
Wanita   dibolehkan menjenguk laki-laki yang sedang sakit atau kebalikannya. Hal ini tertera tegas dalam kitab Shahih-nya Imam Al Bukhari dalam Bab “Iyadatun Nisaa Ar Rijaal” yang artinya wanita menjenguk kaum laki-laki. Tertera di sana:
وَعَادَتْ أُمُّ الدَّرْدَاءِ، رَجُلًا مِنْ أَهْلِ المَسْجِدِ، مِنَ الأَنْصَارِ
Ummu Ad Darda menjenguk seorang laki-laki ahli masjid dari kalangan Anshar. (HR. Al Bukhari, 7/116)
Begitu pula ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, Beliau menjenguk ayahnya dan Bilal bin Rabah Radhiallahu ‘Anhu yang sedang demam.
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:
لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ، وُعِكَ أَبُو بَكْرٍ وَبِلاَلٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَتْ: فَدَخَلْتُ عَلَيْهِمَا، قُلْتُ: يَا أَبَتِ كَيْفَ تَجِدُكَ؟ وَيَا بِلاَلُ كَيْفَ تَجِدُكَ؟
Ketika Rasulullah ﷺ sampai di Madinah, Abu Bakar dan Bilal mengalami demam. Lalu aku masuk menemui keduanya. Aku berkata: “Wahai ayah, bagaimana keadaanmu? Wahai Bilal bagaimana keadaanmu?” (HR. Al Bukhari No. 5654)
Namun, pembolehan ini terikat oleh syarat bahwa tetap menutup aurat secara sempurna dan aman dari fitnah. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 10/118).
Syarat ini mesti ditambah yakni tidak tabarruj dan tidak khalwat (berdua-duaan), alias mesti ditemani oleh mahramnya atau orang lain yang bisa dipercaya.
Wallahu A’lam
FN
Dipersembahkan oleh
Majelis Iman Islam
www.iman-islam.com

Air di Bak Mandi Termasuk Air Me/ggenang?

Assalamu’alaikum.. Ustadzah. Saya mau tanya, Air yang menggenang apa termasuk air yang berada di bak mandi ya?

Seberapapun jumlah airnya tetap suci jika diambilnya menggunakan gayung ya?

Bila terkena najis,sementara baknya ukurannya besar bagaimana?

[Manis_A30]000
—————
JAWABAN:

Iya. Seperti air kolam renang. Ada juga kamar mandi yang ada bak rendam..seperti itu juga air tergenang. Kalau mau mandi di bak rendam, bersihkan hadasnya dulu.

Iya. Tidak ada batasnya asal tidak terkena najis. Asal tidak berubah warnanya, terbau najisnya, dan rasanya.

Bila ada 3 perubahan akibat najis airnya jadi mutanajis, tidak bisa untuk bersuci tapi boleh untuk mencuci, mengepel dll.

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

Mengambil SHU dari Hasil Bunga Koperasi

Dear Ust. Rikza Maulan rahimahullah…

Ana ada masalah yg cukup mengganjal tentang sebuah koperasi yang memberikan pinjaman kepada anggota dengan bunga yang mana bunga tersebut seutuhnya digunakan untuk perkembangan koperasi tersebut, termasuk bagi SHU untuk seluruh anggota. Apakah hal tersebut boleh?

Jazakallah khairan

[Erwan #I10] ————–

JAWABAN:

Waalaikumsalam Wr.Wb.
Bunga dari koperasi, apapun peruntukannya adalah riba. Termasuk yang dibagikan sebagai SHU ke seluruh anggota koperasi.
Sebaiknya dalam RAT diusulkan agar koperasinya dirubah mekanismenya menjadi koperasi syariah.
Wallahu A”lam.

Rikza Maulana

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

Berpura-pura Cerai

Assalaamu’alaikum wrwb.. Mohon maaf ustadz/ustadzah, ada beberapa hal penting yang ingin saya tanyakan :
1. Suami saya bermaksud mau membuat surat pernyataan cerai atas saya. Surat ini dia maksudkan hanya untuk membuktikan kepada istri pertamanya bahwa saya dan suami sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi. Tanpa punya niat benar-benar akan menceraikan saya.
Jika seperti ini bisa benar-benar jatuh talak atau tidak?

2. Bagaimanakah sebaiknya saya harus bersikap?
Memenuhi permintaan dari suami untuk menyembunyikan pernikahan ini atau saya ceritakan semuanya kepada istri pertamanya? Dengan resiko saya bisa diceraikan oleh suami.
Atau saya langsung meminta suami untuk menceraikan saya saja?

Mohon pencerahannya ya ustadza/ustadzah. Mudah-mudahan ustadz/ustadzah berkenan menjawabnya.
Terimakasih..

[Manis_A13] ————–

JAWABAN:

1. Iya, talaq akan jatuh.

2. Masalahnya bukan pada menceritakan atau tidak.. Tapi bila  ada tulisan pernyataan cerai berarti yaa sudah cerai/talaq.

 ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ
“Tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama dianggap serius:
(1) nikah,
(2) talak, dan
(3) rujuk”.
( HR. Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Jika seseorang menulis pesan kepada istrinya, maka talaknya jatuh.

Az Zuhri berkata, “Jika seseorang menuliskan pada istrinya kata-kata talak, maka jatuhlah talak. Jika suami mengingkari, maka ia harus dimintai sumpah”.

Ibrahim An Nakho’i berkata, “Jika seseorang menuliskan dengan tangannya kata-kata talak pada istrinya, maka jatuhlah talak”.

Ustadzah Dra. Indra Asih

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

Seputar Nafkah Keluarga

Bismillaah. . ustadz/ustadzah.. Saya memiliki pertanyaan
1. Jika seorang anak laki-laki menafkahi ibunya yang sudah janda, apakah itu kewajiban? Bagaimana jika anak perempuan?
2. Jika seorang anak laki-laki memiliki saudara laki-laki dan perempuan yang yatim, apakah wajib menafkahi?
3. Jika seorang anak perempuan memiliki saudara laki-laki dan perempuan yang yatim, apakah wajib menafkahi?

[Manis_A19] ————

JAWABAN:

Kewajiban anak laki-laki bila sudah mampu dalam hal ini memiliki pekerjaan maka wajib menafkahi sehingga bisa membiayai kehidupan ibunya seorang janda dan saudara kandungnya yang yatim pula.  Sedangkan seorang perempuan yatim dapat meminta bantuan kepada kerabatnya dalam menafkahi ibu dan saudara kandungnya yang yatim.

Anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan ayahnya karena meninggal sedang mereka belum mencapai usia baligh. Batasan ini mencakup yatim yang masih ada hubungan kekerabatan dengan si pemeliharanya, ataupun dari orang lain yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Salim bin Id Al Hilali hafizhahullah ketika mengomentari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:  كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ الرَّاوِيُ وَهُوَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى  “Pemelihara anak yatim, baik dari kerabatnya atau orang lain, aku dan dia (kedudukannya) seperti dua jari ini di surga nanti.” Dan perawi, yaitu Malik bin Anas berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya”. [1] Beliau hafizhahullah berkata, “Makna (لَهُ أوْ لِغَيْرِهِ ) adalah kerabatnya ataupun ajnabi (orang lain). Sedangkan (yang termasuk) kerabat di sini, ialah ibu sang yatim, atau saudara laki-lakinya ataupun pihak-pihak selain mereka yang memiliki kekerabatan dengannya. Wallahu a’lam.” [2] Sebagian fuqaha juga memasukkan dalam kategori anak yatim ini, yaitu mereka yang kehilangan orang tuanya karena sakit dalam waktu yang sangat lama, atau karena perceraian, safar, jihad, hilang dan sebab-sebab lainnya. Dan seorang anak yatim akan keluar dari batasannya sebagai yatim, ketika ia telah mencapai usia baligh, sesuai dengan hadits Nabi Shallallahju.  لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ  “Tidak ada keyatiman setelah baligh ……” [3] Kerabat ataupun keluarga serta pihak-pihak yang memiliki hubungan dengannya lebih berhak untuk berbuat baik kepada si yatim, memenuhi kebutuhannya, mendidik serta mengarahkannya, mengasihi, mengayomi, menyayanginya serta mengasuhnya hingga ia tumbuh menjadi pribadi yang baik dan matang, serta siap menghadapi hidup ketika ia telah dewasa. Meski demikian, syari’at Islam yang sempurna, tidak hanya membatasi kewajiban berbuat ihsan kepada anak yatim hanya pada kerabatnya saja, namun kewajiban ini juga berlaku umum bagi setiap kaum muslimin sesuai dengan kadar kemampuan mereka. Banyak nash-nash syar’i yang menegaskan keutamaan menyantuni anak yatim dan menjanjikan balasan yang agung bagi para pemelihara anak yatim. Di antaranya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحُُ لَّهُمْ خَيْرُُ وَإِن تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ  “Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah:”Mengurusi urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu”. [al Baqarah : 220]. Dalam menafsirkan ayat di atas, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata: Ketika turun ayat  إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرً  “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”. [An Nisa’: 10]. Ayat tersebut terasa berat bagi para sahabat. (Sehingga para sahabat) segera memisahkan makanan mereka dari makanan anak yatim, karena khawatir akan memakan harta mereka, meskipun sebelumnya mereka terbiasa menggabungkan harta mereka dengan harta anak yatim (yang berada dalam kepengasuhannya). Mereka kemudian bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu, maka Allah memberi kabar kepada mereka, bahwa maksud (ayat tersebut) adalah berbuat ishlah dalam masalah harta anak yatim, dengan cara menjaga harta tersebut dan mengembangkannya dalam perdagangan. Dan menggabungkan harta mereka dengan harta anak yatim dalam masalah makanan ataupun selain itu, hukumnya boleh, asalkan tidak merugikan sang yatim. Kerena mereka itu adalah saudara kalian juga. Dan (sudah menjadi keumuman), jika saudara bergaul dan berbaur dengan saudaranya sendiri. Parameter dalam hal ini adalah niat serta amal (sang pengasuh yatim). Allah Maha mengetahui siapa yang berniat untuk berbuat baik kepada anak yatim dan dia tidak memiliki keinginan untuk mendapatkan harta yatim tersebut. Jika ada yang termakan olehnya tanpa ada maksud demikian, maka ia tidak berdosa.  Allah Maha mengetahui pula siapa yang berniat buruk dalam penggabungan harta tersebut, yakni ia ingin mendapatkannya kemudian ia memakannya. Demikian inilah yang berdosa. Karena washilah (sarana) memiliki hukum yang sama dengan maksud (tujuannya). [4] Dalam satu haditsnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أنا وَ كَافِلُ اليَتِيْمِ في الجَنَّةِ هكَذَا وَ أشَارَ بَالسَبَابَةِ وَ الوُسْطَى وَ فَرَّجَ بَيْنَهُمَا “Aku dan pemelihara anak yatim di surga nanti, kedudukannya seperti (dua jari ) ini,” dan Beliau memberikan isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dan memisahkan keduanya”. [5] Dalam hadits tersebut, Rasulullah memberikan permisalan yang sangat gamblang tentang luhurnya kedudukan pemelihara anak yatim. Bahwa di surga nanti mereka memiliki kedudukan yang sangat dekat dengan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wallahu A’lam Bisshawab

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

Silaturahmi Atau Silaturahim?

1.Assalamu’alaikum…apakah artinya bahwa air yg ada di sumber air tetap suci walaupun ada najis di dalamnya?
Lalu bgaimana dgn air yg sdh di pindahkan ke bak  air yg kemasukan najis?”

2. Penulisan kalimat yg benar itu silaturrahim apa silaturahmi ustadz?

Jawaban Ustad Haidir

Wa ‘alaikumussalam wa rahmatullah ..
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala rasulillah wa ba’d:
 1. Kaidah yg sederhananya  ttg air yang terkena najis adalah…. jika tidak merubah warna rasa dan baunya… air itu suci dan dapat digunakan utk bersuci…. tinggal dicek saja airnya…

2. Yg lebih tepat sesuai ejaan bhs Arab adalah silaturrahim. Tapi ini bukan prinsip, yg menulis silaturrahmi juga dipahami maksudnya…. dan tdk perlu diingkari sedemikian rupa…

Wallahu A’lam. Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbhi Ajma’in.

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com