QS. Al-Ma’arij (Bag. 2)

Oleh: Dr. Saiful Bahri, M.A

Bag. 1: http://goo.gl/hSlS9f

Mengobati Sifat-Sifat Buruk Manusia

Manusia, sebagai makhluk yang dipercaya Allah untuk mengelola bumi-Nya, selain dibekali keistimewaan ia pun memiliki kekurangan yang tidak sedikit. Kekurangan-kekurangan ini dimaksudkan supaya manusia tak merasa sombong dan takabbur. Dan lebih penting dari itu, ia akan senantiasa merasa perlu kepada Allah sehingga bisa merasakan kebesaran dan kasih sayang-Nya serta pengampunan-Nya yang maha luas.

Dalam surat ini dua sifat yang disoroti Allah; kikir ([6])dan suka berkeluh kesah.

”Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir”. (QS. Al-Ma’ârij: 19-21)

Penyakit yang secara spesifik ini diterjemahkan melalui sabda Rasul saw yang diriwayatkan Abu Hurairah ra, ”Kejelekan yang ada dalam diri seseorang: kikir yang mencekik dan jiwa pengecut” (HR. Abu Dawud) ([7]). Meskipun sebenarnya kecintaan terhadap harta adalah fitrah. Tapi jika berlebihan akan menjelma menjadi egoisme yang berlebihan dan ia akan cenderung berpikir bagaimana memperkaya diri sendiri, kemudian menjadi tidak peka terhadap lingkungannya ([8]).

Tapi Allah Maha Asih dan Sayang. Pada ayat selanjutnya, penyakit kronis di atas bisa diobati dengan terapi praktis. Setidaknya ada enam cara untuk mengobati dua penyakit kejiwaan yang sering menimpa kita selama ini.

1. Pertama, menjaga konsistensi dalam melaksanakan ibadah shalat

”Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya”. (QS. Al-Ma’arij: 22-23).

Shalat merupakan mi’raj orang beriman, seperti tutur Nabi Muhammad dalam salah satu sabdanya. Karena itu saat Usman bin Affan ra. terkepung, menjelang syahidnya terbunuh oleh para pemberontak, dengan tenang beliau pun melaksanakan shalat dengan penuh kepasrahan. Imam al-Bukhary merekam perkataan beliau seperti yang diriwayatkan Ubaidillah bin ’Adiy,”Shalat adalah sesuatu yang terbaik yang dikerjakan manusia. Jika mereka berbuat baik padamu maka berbuat baiklah pada mereka. Jika mereka memperlakukanmu dengan buruk, maka jauhkanlah dirimu untuk menyakiti mereka” ([9]). Dengan menjaga konsistensinya akan membuat hati ini menjadi stabil, mendidik disiplin dan teratur serta detil dalam merencanakan sesuatu.

Khusus masalah shalat ini Allah mengulanginya lagi dalam surat ini dalam ayat ke-34. Ini menandakan pentingnya posisi shalat. Dan jika dilakukan dengan benar akan membuat hidup seseorang menjadi baik, bahkan ia akan mampu meraih kebahagiaan dan kesuksesan. Seperti disitir Allah di permulaan surat al-Mu`minûn.

”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya”. (QS. Al-Mu`minûn: 1-2)

Imam Muhammad bin Husein al-Ma’iny ([10]) memiliki penafsiran bahwa orang yang mampu menjaga shalatnya sepanjang waktu, melaksanakan rukun-rukunnya dengan khusyu’ dan disertai dengan pengharapan yang tinggi pada Allah ([11]), orang yang demikian akan mudah melepaskan dirinya dari sifat kikir dan suka mengeluh.

2. Kedua, suka dan rela mendermakan harta untuk orang-orang yang membutuhkan

Baik mereka meminta atau orang fakir yang iffah, yang tak mau meminta-minta meskipun mereka sangat membutuhkan pertolongan.

”Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)”. (QS. Al-Ma’ârij: 24-25)

Sebelumnya Allah juga menyebut ”as-sâ`il wa al-mahrûm” dalam ayat 19, surat adz-Dzâriyât. Orang-orang yang dermawan, menyediakan dan meluangkan waktunya serta harta yang diberikan Allah padanya berbagi dengan kaum dhu’afa. Jika mereka meminta dan kita tahu dia sangat membutuhkan bantuan, maka selayaknya kita membantunya. Sahabat Husein bin Ali ra meriwayatka hadits Rasulullah saw,”Bagi seorang peminta hak (untuk ditolong) meskipun dia datang dengan mengendarai kuda” (HR. Abu Dawud dari Sufyan Ats-Tsaury) ([12]). Apalagi orang-orang fakir yang kita tahu ia sangat perlu bantuan, meskipun lidahnya tak mengucapkan satu kata pun. Kita sangat perlu dan wajib mengulurkan bantuan padanya.

3. Ketiga, mempercayai dan meyakini adanya hari pembalasan

”Dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan”. (QS. Al-Ma’ârij: 26)

Dengan meyakini adanya hari pembalasan seseorang akan mudah mengikis penyakit kikirnya, juga dia akan berusaha meninggalkan keluh kesah setiap ditimpa sesuatu yang kurang mengenakkan jiwanya. Dia yakin itu adalah cobaan dari Allah, maka lebih baik ia bersabar dan mendapatkan ganjaran yang tak terhitung. Minimalnya hatinya takkan lelah terbebani.

4. Keempat, menjaga kehormatan

”Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”. (QS. Al-Ma’ârij: 26)

Karena kelak setiap manusia akan mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah. Dan karena di balik perintah ini ada banyak hikmah. Di antaranya, menjaga nasab dan keturunan supaya tidak tercampur. Sehingga kehidupan sosial manusia akan baik, seimbang dan tertata bagus.

Bersambung

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Pro Kontra Maulid Nabi

Oleh: Ust. Farid Nu’man Hasan

Pertanyaan:

– Apakah ada kemuliaan hari kelahiran Nabi menurut Nabi sendiri? Bukan hanya perkataan orang-orang.

– Bagaimana peringatan hari kelahiran Nabi, apakah ada dasarnya? (GRUP MANIS)

Jawaban:

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa Ba’d:

Tidak ada penceritaan secara detil kelahiran Nabi ﷺ oleh Nabi sendiri, kecuali hadits berikut:

Dari Abu Qatadah Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ قَالَ ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ

Nabi ditanya tentang puasa di hari senin. Beliau menjawab: “Itu adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus menjadi rasul, atau diturunkan kepadaku (wahyu).” (HR. Muslim No. 1162)

Bahkan di hari Senin pula Beliau ﷺ diwafatkan.

 Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa dia ditanya:

أَيِّ يَوْمٍ تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ

Hari apakah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat? Beliau menjawab: “Hari senin.” (HR. Bukhari No. 1387)

Ini sangat wajar sebab keluhuran budi pekerti Beliau ﷺ tidak memungkinkan  menceritakan kehebatan, keunggulan, dan kemuliaan hari lahirnya sendiri. Seorang Nabi apalagi sayyidul anbiya’ mustahil memiliki sifat ‘ujub. Sehingga jika ada yang mengatakan “Nabi ﷺ tidak pernah memuliakan hari kelahirannya sendiri” adalah benar adanya. Akhirnya, kitalah umatnya yang memuliakan dan menampakkan kegembiraan atas kelahiran Nabi ﷺ, sebagaimana firman Allah ﷻ tentang kegembiraan Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam atas lahirnya Nabi Ismail ‘Alaihissalam.

  Allah  ﷻ  berfirman:
فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلامٍ حَلِيمٍ

“ Maka Kami beri dia (Nabi Ibrahim) kabar gembira dengan (lahirnya) seorang anak yang amat sabar (yakni Nabi Ismail)” (QS. Ash Shafat (37): 101)

Jadi, sebagaimana kelahiran Nabi Ismail ‘Alaihissalam adalah sebuah kegembiraan bagi ayahnya, maka kegembiraan pula bagi kaum muslimin atas kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Oleh karena itu jangan diingkari kebahagiaan kaum muslimin atas kelahirannya, pujian-pujian kepadanya, sebab Allah ﷻ pun memujinya dalam Al Quran, demikian juga para sahabatnya, para ulama dan orang-orang utama, maka kaum muslimin layak memberikan pujian yang berlimpah kepadanya,  selama  tidak ada pensifatan ketuhanan kepada Rasulullah ﷺ.

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata –seperti yang dikutip oleh Imam Ibnu Hajar Al Haitami Rahimahullah:

وَأَيُّ نِعْمَةٍ أَعْظَمُ مِنْ النِّعْمَةِ بِبُرُوزِ هَذَا النَّبِيِّ الَّذِي هُوَ نَبِيُّ الرَّحْمَةِ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ

Dan, nikmat apakah yang paling besar dibanding nikmat kelahiran Nabi yang mulia ini, dialah Nabi yang menjadi rahmat pada hari itu. (Tuhfatul Muhtaj, 31/377)

Pro-Kontra Haflah Maulid Nabi ﷺ

Kita dapati di media sosial, perdebatan tentang peringatan Maulid Nabi ﷺ. Ada yang melarang secara mutlak, apa pun isi dan bentuknya, ada pula yang membolehkan secara mutlak, dan ada pula yang membolehkan dengan perincian dan syarat-syarat. Bahkan perdebatan tersebut tidak jarang menyulut permusuhan, caci maki, saling tuduh, dan tabdi’, tafsiq, satu sama lain.

Ini bukanlah perdebatan baru, jika abad ini adalah abad 15 Hijriyah, maka perselisihan ini sudah terjadi sejak belasan abad yang lalu, khususnya setelah tiga abad terbaik. Pihak yang pro dan kontra sama-sama sepakat bahwa haflah ini tidak ada pada masa Nabi, sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Bahkan mereka juga sepakat tentang memuliakan Rasulullah ﷺ, kapan pun, tidak harus menunggu momen 12 Rabi’ul Awal. Tetapi, mereka tidak sepakat kapankah haflah maulid itu muncul? Sebagian ada yang menguatkan bahwa ini dimulai dan diinisiatifkan Syiah Daulah Fathimiyyah, ada pula yang mengatakan pada masa Shalahuddin Al Ayyubi, ada yang mengatakan dimunculkan oleh Malik Muzhafar Abu Sa’id bin Zainuddin (ini yang dikuatkan oleh Imam As Suyuthi), dan versi lainnya, dan seterusnya. Selain itu, -dan ini yang paling menyita energi kita- mereka juga tidak sepakat tentang keabsahannya, boleh atau tidak, seperti yang kami sebutkan di atas.

Berikut ini adalah pandangan dua kelompok tersebut.

Pertama. Pihak Yang Melarang dan Alasan-Alasannya

Para ulama yang melarang memiliki sejumlah alasan, di antaranya:

1. Peringatan maulid Nabi ﷺ tidak pernah dilakukan oleh Nabi ﷺ, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, bahkan imam empat madzhab. Sebagaimana ini diakui pula oleh pihak yang membolehkan. Padahal mereka lebih layak melakukan itu sebab kecintaan mereka, ittiba’nya mereka kepada Nabi ﷺ, serta ilmunya, melebihi manusia-manusia setelahnya.

2. Lau kaana khairan lasabaquuna ilaih – seandainya itu baik niscaya mereka akan mendahului melakukannya. Ini kaidahnya. Jika memang acara Maulid itu baik, kenapa bisa luput kebaikan ini dari generasi terbaik umat ini? Tidak mungkin mereka tidak mengenal kebaikan walau sekecil apa pun, apalagi sampai melewatinya begitu saja. Jika maulid tidak ada pada masa itu, itu menunjukkan memang itu tidak dipandang baik oleh mereka.

3. Agama ini telah sempurna, sebagaimana firmanNya:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah Aku sempurnakan atasmu nikmatKu, dan Aku ridha Islam adalah agama bagi kamu. (QS. Al Maidah: 3)

Jadi, apa pun yang dahulunya bukan bagian dari agama, maka selamanya dia bukan bagian dari ajaran agama. Tidak seorang pun berhak memasukkannya sebagai bagian dari agama. Sebab kesempurnaan agama ini telah final, tidak dibutuhkan lagi penambahan walau  dipandang baik oleh manusia.

4. Rasulullah ﷺ melarang kita untuk mengada-ada urusan agama. Umumnya para pelaku acara Maulid menganggap ini adalah peringatan keagamaan. Maka, jika itu dianggap bagian dari agama  maka  mereka wajib mendatangkan dalil, jika tidak ada maka tertolak. Sebagaimana hadits berikut:

عَنْ أُمِّ المُؤمِنِينَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهَا – قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : (مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ)   رواه البخاري ومسلم

Dari Ummul Mu’minin, Ummu Abdillah, ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata: “Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam urusan kami ini (yakni Islam), berupa apa-apa yang bukan darinya, maka itu tertolak.”  (HR. Bukhari dan Muslim).

Aqwaal Para Ulama Yang Melarang

Berikut ini adalah perkataan para ulama yang melarang peringatan Maulid Nabi ﷺ.

1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Beliau berkata:

وللنبي صلى الله عليه وسلم خطب وعهود ووقائع في أيام متعددة: مثل يوم بدر، وحنين، والخندق، وفتح مكة، ووقت هجرته، ودخوله المدينة، وخطب له متعددة يذكر فيها قواعد الدين. ثم لم يوجب ذلك أن يتخذ أمثال تلك الأيام أعيادًا. وإنما يفعل مثل هذا النصارى الذين يتخذون أمثال أيام حوادث عيسى عليه السلام أعيادًا، أو اليهود، وإنما العيد شريعة، فما شرعه الله اتبع. وإلا لم يحدث في الدين ما ليس منه.
وكذلك ما يحدثه بعض الناس، إما مضاهاة للنصارى في ميلاد عيسى عليه السلام، وإما محبة للنبي صلى الله عليه وسلم، وتعظيمًا. والله قد يثيبهم   على هذه المحبة والاجتهاد، لا على البدع- من اتخاذ مولد النبي صلى الله عليه وسلم عيدًا. مع اختلاف الناس في مولده. فإن هذا لم يفعله السلف، مع قيام المقتضي له وعدم المانع منه لو كان خيرًا. ولو كان هذا خيرًا  محضا، أو راجحًا لكان السلف رضي الله عنهم أحق به منا، فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيمًا له منا، وهم على الخير أحرص.

“Rasululullah ﷺ telah melakukan berbagai  peristiwa penting dalam sejarah beliau, seperti khutbah-khutbah dan perjanjian-perjanjian beliau pada hari Badar, Hunain, Khandaq, Fathu Makkah, Hijrah, Masuk Madinah. Beliau pun memiliki berbagai khutbah yang mengandung banyak kaidah-kaidah agama. Lalu, hari-hari seperti itu tidak sepantasnya dijadikan sebagai perayaan.  karena yang melakukan seperti itu adalah  Umat Nasrani yang menjadikan peristiwa yang dialami ‘Isa ‘Alaihissalam adalah sebagai perayaan, atau juga dilakukan Yahudi.   Hari raya merupakan bagian dari syariat, maka apa yang disyariatkan Allah itulah yang diikuti, kalau tidak maka sama saja telah membuat sesuatu yang baru dalam  agama.

Maka apa yang dilakukan oleh sebagian orang,  baik karena menyerupai tradisi Nasrani yang memperingati kelahiran ‘Isa ‘Alaihissalam,  baik karena cinta dan memuliakan Rasulullah ﷺ, maka Allah  akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad itu, tapi tidak atas bid’ah dengan menjadikan maulid nabi sebagai hari raya. Padahal manusia berselisih tentang kapan hari lahirnya. Sesungguhnya ini  tidak dilakukan para salaf, padahal mereka punya alasan untuk melakukannya dan tidak ada halangan untuk melakukannya jika memang itu baik. Seandainya itu baik, bersih,  dan argumentatif,  niscaya para salaf lebih berhak melakukannya dibanding kita. Sebab mereka adalah generasi yang paling kuat cinta dan pemuliaaanya kepada Rasulullah ﷺ dibanding kita, dan mereka sangat bersemangat dalam mengerjakan kebaikan. (Iqtidha Shirathal Mustaqim, 2/123)

2. Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy Syaikh Rahimahullah

Beliau berkata:

لاشك أن الإحتفال بمولد النبي صلى الله عليه وسلم من البدع المحدثة في الدين، بعد أن انتشر الجهل في العالم الإسلامي وصار للتضليل والإضلال والوهم والإيهام مجال، عميت فيه البصائر وقوي فيه سلطان التقليد الأعمى، وأصبح الناس في الغالب لا يرجعون إلى ما قام الدليل على مشروعيته، وإنما يرجعون إلى ما قاله فلان وارتضاه علان، فلم يكن لهذه البدعة المنكرة أثر يذكر لدى أصحاب رسول الله ولا لدى التابعين وتابعيهم، وقد قال صلى الله عليه وسلم ” عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي، تمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة “

Tidak ragu lagi bahwa acara maulid Nabi ﷺ termasuk bid’ah baru dalam agama, setelah menyebarnya kebodohan di dunia Islam, merebaknya kesesatan dan khayalan, yang membutakan mata dan menguatkan taklid buta. Umumnya manusia tidak merujuk kepada dalil-dalil yang mensyariatkannya, tapi mereka hanya mengikuti perkataan si Fulan dan si Alan. Tidak pernah ada bid’ah munkarah ini dalam atsar para sahabat Nabi ﷺ, tabi’in, dan pengikutnya. Padagal Nabi ﷺ telah bersabda: “Peganglah sunahku dan sunah khulafa ar rasyidin yang mendapatkan petunjuk setelahku, peganglah itu dan gigitlah dengan geraham kalian, takutlah terhadap perkara-perkara yang baru, sebab setiap  perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat.” (Fatawa wa Rasail, 3/54)

3. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah

Beliau berkata:

نعم الاحتفال بالموالد بدعة، فلا يجوز الاحتفال بالموالد، لا مولد النبي صلى الله عليه وسلم، ولا غيره، لأن الرسول صلى الله عليه وسلم، قال: «إياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة  » وقال عليه الصلاة والسلام: في خطبة يوم الجمعة: «أما بعد فإن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم، وشر الأمور محدثاتها، وكل بدعة ضلالة  » والاحتفال بالموالد بدعة، ما فعله الرسول صلى الله عليه وسلم، ولا أصحابه رضي الله عنهم وأرضاهم، ويكفي المؤمن التأسي بسنته صلى الله عليه وسلم، والسير على منهاجه وعدم الإحداث فمحبة النبي صلى الله عليه وسلم ليست بالبدع، ولكن باتباع طريقه عليه الصلاة والسلام، وامتثال أوامره، وترك نواهيه

Ya, acara maulid itu bid’ah, tidak boleh mengadakan acara maulid-maulid, baik itu maulid Nabi ﷺ dan yang lainnya, karena Nabi ﷺ bersabda: “Takutlah terhadap perkara-perkara yang baru, sebab setiap  perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat.” Juga sabdanya saat khutbah Jumat: “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk  Muhammad ﷺ, dan seburuk-buruknya perkara adalah hal-hal yang baru, dan setiap bid’ah itu sesat.” Acara maulid itu bid’ah, dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi ﷺ, para sahabatnya Radhiallahu ‘Anhum, dan cukuplah seorang mu’min mengikuti sunahnya dan berjalan di atas manhajnya, dan menghilangkan perkara-perkara yang baru. Mencintai Nabi ﷺ bukanlah dengan melakukan bid’ah, tapi dengan mengikuti  jalannya ﷺ, menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. (Fatawa Nur ‘Ala Ad Darb, 3/42)

Dan, masih banyak lagi dari para ulama yang melarangnya,  semisal Imam Fakihani, Imam Asy Syuqairi, Syaikh Shalih Al Fauzan, Syaikh Utsaimin, dan lainnya.

Kedua. Pihak Yang Membolehkan dan Alasan-Alasannya

Pihak yang membolehkan mengutarakan sejumlah alasan, yakni sebagai berikut:

Al Quran Al Karim

Allah ﷻ berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا

            “Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira”. (QS.Yunus: 58)

Bagi seorang muslim, tentunya dengan sadar  akan mengatakan bahwa karunia dan rahmat Allah ﷻ terbesar bagi umat manusia adalah kelahiran Nabi ﷺ, yang menjadi suluh hidayah bagi segenap manusia. Peringatakan maulid nabi ﷺ merupakan perwujudan kebahagiaan atas karunia terbesar tersebut.

Ayat lainnya:
لَقَدْ كَانَ فِي قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.  (QS. Yusuf:111)

Kisah kehidupan Nabi ﷺ, sejak kelahirannya, perjuangannya, da’wahnya, sampai wafatnya adalah kisah dan potret terbaik kehidupan manusia. Maka, hal yang sangat baik mengambil pelajaran darinya. Maulid Nabi ﷺ adalah sarana untuk itu.

As Sunnah

Untuk dalil As Sunnah, kelompok yang membolehkan punya beberapa dalil:

Pertama. Dari Abu Qatadah Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ قَالَ ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ

Nabi ditanya tentang shaum di hari senin. Beliau menjawab: “Itu adalah hari aku dilahirkan, hari aku diutus menjadi rasul, atau diturunkan kepadaku (wahyu).” (HR. Muslim No. 1162)

Hadits ini menunjukkan bolehnya menapaktilasi dan menghormati hari lahirnya Nabi ﷺ dengan amal-amal kebaikan, sebab Nabi ﷺ sendiri yang menyontohkan. Beliau berpuasa di hari Senin, karena itulah hari dirinya dilahirkan.

Kedua.  Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة فرأى اليهود تصوم عاشوراء.
فقال: ” ما هذا؟ ” قالوا: يوم صالح، نجى الله فيه موسى وبني السرائيل من عدوهم، فصامه موسى فقال صلى الله عليه وسلم: ” أنا أحق بموسى منكم ” فصامه، وأمر بصيامه

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa ‘Asyura. Beliau bertanya: “Apa ini?” mereka menjawab: “Ini hari baik, Allah telah menyelamatkan pada hari ini Musa dan Bani Israel dari musuh mereka, maka Musa pun berpuasa.” Maka, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Saya lebih berhak terhadap Musa dibanding kalian.” Maka, beliau pun beruasa dan memerintahkan untuk berpuasa (‘Asyura).” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Hadits ini menunjukkan kebolehan memperingati hari-hari bersejarah yang dilalui umat terdahulu dalam rangka mengambil pelajaran darinya, bahkan Nabi ﷺ mengisinya dengan ibadah. Hadits ini dijadikan dalil oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah tentang bolehnya acara Maulid Nabi ﷺ, dan diisi dengan amal kebaikan,  sebagaimana yang akan kami sampaikan nanti.

Ketiga. Kisah peringanan siksaan bagi Abu Lahab setiap  hari Senin lantaran dia bergembira saat hari kelahiran Nabi ﷺ, Abu Lahab menampakkan kegembiraannya dengan membebaskan budak bernama Tsuwaibah.

Imam  Abu Bakar Ad Dimyathi Asy Syafi’i Rahimahullah:

ورحم الله القائل وهو حافظ الشام شمس الدين محمد بن ناصر حيث قال إذا كان هذا كافرا جاء ذمه وتبت يداه في الجحيم مخلدا أتى أنه في يوم الإثنين دائما يخفف عنه للسرور بأحمد فما الظن بالعبد الذي كان عمره بأحمد مسرورا ومات موحدا

Semoga Allah merahmati orang yang mengatakan – yaitu Haafizh Syamsuddin Muhammad bin Naashir – ketika dia berkata: jika hal ini terjadi pada orang kafir (yakni Abu Lahab) yang telah dicela dan dibinasakan kedua tangannya di neraka yang abadi, bahwa dia (Abu Lahab) diringankan siksaannya pada setiap hari senin karena kebahagiaan dengan memujinya (kelahiran nabi, red), maka apalagi dengan seorang hamba yang  sepanjang umurnya berbahagia dengan kelahirannya dan dia mati dalam keadaan bertauhid. (I’anatuth Thalibin, 3/364)

Al Haafizh Syamsuddin Muhammad bin Naashir mengatakan kisah ini shahih. (Imam As Suyuthi, Al Hawi Lil Fatawi, 1/230)

Sederhananya, jika Abu Lahab saja yang memusuhi Nabi ﷺ, yang nerakanya abadi, mendapat keringanan setiap hari Senin karena kebahagiaannya menyambut kelahiran Nabi ﷺ, apalagi seorang muslim yang mencintainya sepanjang hayatnya, tentu dia lebih layak mendapatkan keistimewaan itu.

Maslahat Mursalah, yaitu aktifitas yang secara hakiki memiliki maslahat, baik kepada agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Syariat Islam sangat memperhatikan penjagaan terhadap hal-hal ini. Walau aktifitas tersebut tidak memiliki dalil khusus dalam Al Quran dan As Sunnah, tapi juga tidak ada dalil yang membatalkannya. Kaidah ini dimotori oleh Malikiyah, disetujui Hambaliyah, tapi tidak dipakai oleh Hanafiyah dan Syafi’iyah. Bagi kelompok yang membolehkan maulid, acara maulid nabi termasuk perwujudan maslahat mursalah dan bukan bid’ah, dalam rangka menjaga agama dan syiar-syiarnya. Sebagaimana pengumpulan mushaf Al Quran pada masa Utsman, ilmu tajwid, dan semisalnya.

Aqwaal Ulama Yang Membolehkannya

Berikut ini kami sampaikan berbagai perkataan (aqwaal)  para imam kaum muslimin, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang membolehkan acara maulid Nabi ﷺ.

1. Imam Nashirus Sunnah (pembela Sunnah), Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu

Berikut ini keterangannya:

قال الشافعى رحمه الله من جمع لمولد النبى صلى الله عليه وسلم اخوانا وتهياء لهم طعاما وعملا حسانا بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين

“Barangsiapa yang mengumpulkan orang untuk melaksanakan perayaan Maulid Nabi karena persaudaraan secarJa berjama’ah dengan menyediakan makanan dan berlaku baik, niscaya Allah bangkitkan di hari kiamat beserta para ahli kebenaran, syuhada dan para shalihin”. (Madarijus Su’uud, Hal. 16)

Perkataan dari Imam Asy Syafi’i ini sulit diverifikasi sebab tidak disebutkan sanadnya. Sehingga sulit menentukan kepastiannya, ditambah lagi menurut pengakuan Al Hafizh Ibnu Hajar peringatakan maulid baru ada setelah tiga abad terbaik, sedangkan Imam Asy Syafi’i hidup pada masa tabi’ut tabi’in alias abad ke-2 Hijriyah.

2. Imam As Suyuthi Rahimahullah

حسن المقصد في عمل المولد
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وسلام على عباده الذين اصطفى ، وبعد فقد وقع السؤال عن عمل المولد النبوي في شهر ربيع الأول ما حكمه من حيث الشرع ؟ وهل هو محمود أو مذموم ؟ وهل يثاب فاعله أولاً ؟ .
والجواب : عندي أن أصل عمل المولد الذي هو اجتماع الناس وقراءة ما تيسر من القرآن ورواية الأخبار الواردة في مبدأ أمر النبي صلى الله عليه وسلّم وما وقع في مولده من الآيات ثم يمد لهم سماط يأكلونه وينصرفون من غير زيادة على ذلك هو من البدع الحسنة التي يثاب عليها صاحبها لمافيه من تعظيم قدر النبي صلى الله عليه وسلّم وإظهار الفرح والاستبشار بمولده الشريف

Maksud Baik Pada Amalan Maulid

Pertanyaan: “Segala puji bagi Allah dan salam sejahtera untuk hamba pilihanNya, wa ba’d: telah datang pertanyaan tentang perbuatan maulid nabi pada bulan Rabi’ul Awwal, apa hukumnya menurut pandangan syariat? apakah itu terpuji atau tercela? apakah mendapatkan pahala atau tidak, bagi si pelakunya?”

Jawaban:

Bagi saya, dasar dari maulid nabi adalah berkumpulnya manusia, membaca yang mudah dari Al Quran, dan membaca kisah-kisah yang warid  tentang konsepsi riwayat kehidupan  Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan membaca apa-apa yang terjadi pada hari kelahirannya berupa tanda-tanda kemuliaannya, dan menyediakan makanan buat mereka, lalu selesai tanpa ada tambahan lain, maka itu adalah bid’ah hasanah, dan diberikan pahala bagi yang melakukannya karena di dalamnya terdapat pemuliaan terhadap kedudukan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan menampakan kebahagiaan dan rasa senang dengan kelahirannya yang mulia. (Imam As Suyuthi, Al Hawi Lil Fatawi, 1/181-182. Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Tuhfah Al Muhtaj, 31/376)

3. Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah

Perkataan Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani dikutip oleh  Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki  berikut ini:

 أَنَّهُ سُئِلَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ حَافِظُ الْعَصْرِ أَبُو الْفَضْلِ أَحْمَدُ بْنُ حَجَرٍ عَنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ فَأَجَابَ بِمَا نَصُّهُ أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنْ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنْ الْقُرُونِ الثَّلَاثَةِ وَلَكِنَّهَا مَعَ ذَلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا فَمَنْ تَحَرَّى فِي عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَ بِدْعَةً حَسَنَةً وَمَنْ لَا فَلَا

Bahwasanya Syaikhul Islam Haafizh Al ‘Ashr Abul Fadhl Ahmad bin Hajar ditanya tentang hukum  Maulid, beliau menjawab: “Pada dasarnya maulid adalah bid’ah dan tidaklah dinukil satu pun dari salafush shalih yang ada pada tiga zaman, namun demikian pada acara tersebut terkandung di dalamnya kebaikan-kebaikan dan juga sebaliknya. maka, siapa saja yang pada acara itu hanya melakukan hal-hal yang baik dan menjauhi yang buruk, maka itu adalah bid’ah hasanah, dan jika tidak demikian, maka tidak boleh. (Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Tuhfatul Muhtaj, 31/378)

Al Haafizh Ibnu Hajar  memberikan alasannya sebagai berikut:

قَالَ وَقَدْ ظَهَرَ لِي تَخْرِيجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ وَهُوَ مَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ مِنْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَسَأَلَهُمْ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ أَغْرَقَ اللَّهُ فِيهِ فِرْعَوْنَ وَنَجَّى فِيهِ مُوسَى فَنَحْنُ نَصُومُهُ شُكْرًا لِلَّهِ تَعَالَى } فَيُسْتَفَادُ مِنْهُ فِعْلُ الشُّكْرِ لِلَّهِ عَلَى مَا مَنَّ بِهِ فِي يَوْمٍ مُعَيَّنٍ مِنْ إسْدَاءِ نِعْمَةٍ وَدَفْعِ نِقْمَةٍ وَيُعَادُ ذَلِكَ فِي نَظِيرِ ذَلِكَ الْيَوْمِ مِنْ كُلِّ سَنَةٍ وَالشُّكْرُ لِلَّهِ يَحْصُلُ بِأَنْوَاعِ الْعِبَادَةِ كَالسُّجُودِ وَالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ وَالتِّلَاوَةِ وَأَيُّ نِعْمَةٍ أَعْظَمُ مِنْ النِّعْمَةِ بِبُرُوزِ هَذَا النَّبِيِّ الَّذِي هُوَ نَبِيُّ الرَّحْمَةِ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ

Telah nampak bagiku riwayatnya pada pijakan yang kokoh, yaitu yang terdapat dalam Shahihain bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang ke Madinah, dia mendapatkan orang-orang Yahudi sedang berpuasa pada hari ‘Asyura, lalu dia menanyakan mereka. Mereka menjawab: “Ini adalah hari di mana Allah menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai ungkapan syukur kepada Allah Ta’ala.”  Maka, faidah dari kisah ini adalah melakukan perbuatan syukur kepada Allah atas karunia yang diberikanNya di hari tertentu  berupa nikmat dan dijauhi dari bencana, dan mengulangi hal itu pada hari tersebut di setiap tahunnya. Bersyukur kepada Allah bisa dilakukan dengan bermacam-macam ibadah seperti sujud, puasa, sedekah, dan tilawah. Dan, nikmat apakah yang paling besar dibanding nikmat kelahiran Nabi yang mulia ini, dialah Nabi yang menjadi rahmat pada hari itu. (Ibid, 31/377)

4. Imam Abu Syamah Rahimahullah (guru Imam An Nawawi)

Imam Ad Dimyathi mengatakan:

قال الإمام أبو شامة شيخ النووي ومن أحسن ما ابتدع في زماننا ما يفعل كل عام في اليوم الموافق ليوم مولده صلى الله عليه وسلم من الصدقات والمعروف وإظهار الزينة والسرور فإن ذلك مع ما فيه من الإحسان للفقراء مشعر بمحبة النبي صلى الله عليه وسلم وتعظيمه في قلب فاعل ذلك وشكر الله تعالى على ما من به من إيجاد رسول الله صلى الله عليه وسلم الذي أرسله رحمة للعالمين

Berkata Imam Abu Syamah (guru dari Imam An Nawawi): di antara bid’ah terbaik yang ada pada zaman kita adalah apa yang dilakukan pada setiap tahun di hari bertepatan dengan kelahiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, mereka  bersedekah, melakukan hal yang ma’ruf, menampilkan keindahan dan kebahagian, sebab yang demikian itu selain merupakan bukti  berbuat baik kepada para fuqara juga merupakan wujud mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan memuliakannya di hati pelakunya, yang telah bersyukur kepada Allah Ta’ala atas karunia kehadiran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang diutusNya sebagai rahmat bagi semesta. (Imam Abu Bakar bin As Sayyid Ad Dimyathi, I’anatuth Thalibin, 3/364)

5. Al Imam Al Muhaddits As Sakhawi Rahimahullah

Imam Ad Dimyathi mengatakan:

قال السخاوي إن عمل المولد حدث بعد القرون الثلاثة ثم لا زال أهل الإسلام من سائر الأقطار والمدن الكبار يعملون المولد ويتصدقون في لياليه بأنواع الصدقات ويعتنون بقراءة مولده الكريم ويظهر عليهم من بركاته كل فضل عميم

Berkata As Sakhawi: sesungguhnya amalan maulid baru terjadi setelah tiga zaman (maksudnya zaman nabi, sahabat, dan tabi’in), kemudian penduduk Islam di seluruh penjuru dan kota-kota besar melakukannya dan mereka bersedekah pada malam harinya dengan berbagai macam sedekah dan secara khusus membaca kisah kelahirannya yang mulia, dan nampaklah keberkahan bagi mereka pada setiap keutamaannya. (I’anathuth Thalibin, 3/364)

6. Imam – Imam Besar zaman dahulu

Berikut perkataan Imam  Ad Dimyathi Asy Syafi’i:

ورحم الله القائل وهو حافظ الشام شمس الدين محمد بن ناصر حيث قال إذا كان هذا كافرا جاء ذمه وتبت يداه في الجحيم مخلدا أتى أنه في يوم الإثنين دائما يخفف عنه للسرور بأحمد فما الظن بالعبد الذي كان عمره بأحمد مسرورا ومات موحدا قال الحسن البصري قدس الله سره وددت لو كان لي مثل جبل أحد ذهبا لأنفقته على قراءة مولد الرسول
 قال الجنيدي البغدادي رحمه الله من حضر مولد الرسول وعظم قدره فقد فاز بالإيمان
 قال معروف الكرخي قدس الله سره من هيأ لأجل قراءة مولد الرسول طعاما وجمع إخوانا وأوقد سراجا ولبس جديدا وتعطر وتجمل تعظيما لمولده حشره الله تعالى يوم القيامة مع الفرقة الأولى من النبيين وكان في أعلى عليين

Semoga Allah merahmati orang yang mengatakan –dia adalah Haafizh Syamsuddin Muhammad bin Naashir – ketika berkata: jika hal ini terjadi pada orang kafir (yakni Abu Lahab) yang telah dicela dan dibinasakan kedua tangannya di neraka yang abadi, bahwa dia (Abu Lahab) diringankan siksaannya pada setiap hari senin karena kebahagiaan dengan memujinya (kelahiran nabi, red), maka apalagi dengan seorang hamba yang  sepanjang umurnya berbahagia dengan kelahirannya dan dia mati dalam keadaan bertauhid.

Berkata Al Hasan Al Bashri  -semoga Allah mensucikan rahasianya: “Ingin sekali aku seandainya memiliki emas semisal gunung Uhud, akan aku infaq-kan kepada orang yang membacakan Maulid Ar Rasul.”

Berkata Al Junaid Al Baghdadi Rahimahullah: “Barangsiapa yang menghadiri Maulid Ar Rasul dan mengagungkan kedudukannya, maka dia telah beruntung dengan keimanannya.”

Berkata Ma’ruf Al Karkhi Rahimahullah –semoga Allah mensucikan rahasianya: “Barangsiapa menyediakan makanan, mengumpulkan saudara-saudara, menyiapkan lampu, memakai pakaian baru, memakai wangian dan menghias dirinya untuk  mengagungkan  kelahiran Rasul, maka kelak di hari kiamat Allah akan mengumpulkannya bersama   orang-orang pada barisan pertama dari golongan para nabi, dan dia akan ditempatkan di `Illiyyin yang paling tinggi.”  (I’anatuth Thalibin, 3/364)

Lalu Imam Abu Bakar Ad Dimyathi juga mengutip dari imam lainnya:

وقال الإمام اليافعي اليمنى من جمع لمولد النبي صلى الله عليه وسلم إخوانا وهيأ طعاما وأخلى مكانا وعمل إحسانا وصار سببا لقراءة مولد الرسول بعثه الله يوم القيامة مع الصديقين والشهداء والصالحين ويكون في جنات النعيم
 وقال السري السقطي من قصد موضعا يقرأ فيه مولد النبي صلى الله عليه وسلم فقد قصد روضة من رياض الجنة لأنه ما قصد ذلك الموضع إلا لمحبة الرسول
 وقد قال عليه السلام من أحبني كان معي في الجنة قال سلطان العارفين جلال الدين السيوطي في كتابه الوسائل في شرح الشمائل ما من بيت أو مسجد أو محلة قرىء فيه مولد النبي صلى الله عليه وسلم الا حفت الملائكة بأهل ذلك المكان وعمهم الله بالرحمة والمطوقون بالنور يعني جبريل وميكائل وإسرافيل وقربائيل وعينائيل والصافون والحافون والكروبيون فإنهم يصلون على ما كان سببا لقراءة مولد النبي صلى الله عليه وسلم قال وما من مسلم قرىء في بيته مولد النبي صلى الله عليه وسلم إلا رفع الله تعالى القحط والوباء والحرق والآفات والبليات والنكبات والبغض والحسد وعين السوء واللصوص عن أهل ذلك البيت فإذا مات هون الله تعالى عليه جواب منكر ونكير وكان في مقعد صدق عند مليك مقتدر

Berkata Imam Al Yafi’i Al Yamani: “Barangsiapa mengumpulkan teman-temannya, mempersiapkan hidangan, menyediakan tempat, melakukan kebaikan untuk maulid Nabi dan semua itu menjadi sebab pembacaan maulid Rasul, maka di hari kiamat kelak Allah akan membangkitkannya bersama orang-orang yang shiddiq, para syuhada dan kaum shalihin. Dan kelak ia akan berada di surga-surga yang penuh kenikmatan”.

  Berkata As Sari As Suqthi, bahwa siapa yang bermaksud menuju tempat yang di dalamnya dibacakan Maulid Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi  Wa Sallam, maka dia telah menuju taman di antara taman-taman surga, karena tidak ada yang mendorong dia ketempat itu kecuali karena kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Telah bersabda Nabi Shallallahu ‘Alahis wa Salam: barangsiapa yang mencintaiku maka dia bersamaku di surga. Sulthanul ‘Arifin, Al Imam Jalaluddin As Suyuthi berkata dalam kitabnya Al Wasaail Fi Syarh Asy Syamaail berkata: “Tidaklah sebuah rumah, atau masjid, atau tanah yang tandus, di dalamnya dibacakan Maulid Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melainkan malaikat mengelilingi mereka yang ada di tempat itu, dan Allah meratakan rahmatNya, meliputi sekeliling mereka dengan cahaya yakni Jabril, Mikaail, Israafil, Qurbaail, ‘Aynaail, dan mereka berbaris, berada di tepi dan mendekat, dan mendoakan apa-apa saja yang menjadi sebab dibacakannya Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.    Dia berkata: “Tidaklah seorang muslim yang di rumahnya dibacakan Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melainkan akan Allah angkat masa pacekliknya, wabah, kebakaran, penyakit,   musibah bencana, amarah, dengki, pandangan mata jahat, pencurian terhadap pemilik rumah tersebut. Jika dia wafat Allah Ta’ala akan mudahkan keluarnya ruh baginya menjawab Munkar dan Nakir, dan dia ditempatkan sebagai orang yang benar di sisi Allah, Sang Pemiliki Kekuasaan.” (Ibid, 3/365)

7. Al Imam Al Haafizh Al Qasthalani Rahimahullah

Beliau berkata:

من جواز الاحتفال بالمولد النبوي بما هو مشروع لا منكر فيه

Diantara kebolehan mengadakan acara maulid nabi adalah dengan perbuatan-perbuatan yang masyru’ (sesuai syariat), bukan perbuatan yang munkar … (Mawahib Al Laduniyah, 1/148)

Jadi, jika isinya masyru’ (sesuai syariat) menurut Beliau boleh, sedangkan jika isinya diisi kemungkaran maka tidak boleh.

8. Al Imam Al Haafizh Zainuddin Al ‘Iraqi Rahimahullah

Beliau mengatakan:

إن اتخاذ الوليمة وإطعام الطعام مستحب في كل وقت، فكيف إذا انضم إلى ذلك الفرح والسرور بظهور نور النبي صلى الله عليه وسلم في هذا الشهر الشريف، ولا يلزم من كونه بدعة كونه مكروها، فكم من بدعة مستحبة بل قد تكون واجب

“Sungguh melakukan perayaan (walimah) dan memberikan makan disunnahkan pada setiap waktu, apalagi jika padanya disertai dengan kesenangan dan kegembiraan dengan kehadiran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada bulan yang mulia ini, dan tidaklah setiap bid’ah itu makruh (dibenci), betapa banyak bid’ah yang disunnahkan bahkan diwajibkan” (Ad Durar As Saniyah, Hal. 19)

Demikian. Masih banyak lagi para ulama yang membolehkan, seperti Syaikh Mutawalli Asy Sya’rawi, Syaikh Hasanain Makhluf, Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Syaikh  Ahmad Asy Syurbasyi, Syaikh ‘Athiyah Saqr, Syaikh Al Qaradhawi, dan lain-lain.

Lalu, Bagaimana?

Sebagaimana perbedaan dan perselisihan lainnya, maka ambil-lah sikap toleran dan lapang. Silahkan ambil dan yakini pendapat yang kita anggap lebih kuat dan lebih dekat dengan dalil, tapi jangan ingkari saudara kita yang berbeda. Jika beradu dalil dan argumentasi, maka pada sudut pandang masing-masing pihak akan merasa dirinya yang paling benar. Itu tentunya tidak akan menyelesaikan masalah. Maka, tetap bersaudara, jangan berpecah, kita masih bisa berjalan bersama pada bagian-bagian pokok agama ini yang memang kita memiliki pandangan yang sama. Sebab masalah ini sudah didebatkan lebih dari seribu tahun lamanya, yang para imam pun bersepakat untuk tidak sepakat.

Syaikh Dr. Umar bin Abdullah Kamil berkata:

لقد كان الخلاف موجودًا في عصر الأئمة المتبوعين الكبار : أبي حنيفة ومالك والشافعي وأحمد والثوري والأوزاعي وغيرهم . ولم يحاول أحد منهم أن يحمل الآخرين على رأيه أو يتهمهم في علمهم أو دينهم من أجل مخالفتهم .

“Telah ada perselisihan sejak lama pada masa para imam besar panutan: Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Ats Tsauri, Al Auza’i, dan lainnya. Tak satu pun mereka memaksa yang lain untuk mengubah agar mengikuti pendapatnya, atau melemparkan tuduhan terhadap keilmuan mereka, atau terhadap agama mereka, lantaran perselisihan itu.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al Hiwar wal Qawaid Al Ikhtilaf, hal. 32. Mauqi’ Al Islam)

Imam Hasan Al Banna Rahimahullah menjelaskan:

إذ إن أصول الإسلام آيات وأحاديث وأعمال تختلف في فهمها وتصورها العقول و الأفهام ، لهذا كان الخلاف واقعاً بين الصحابة أنفسهم ومازال كذلك، وسيظل إلى يوم القيامة، وما أحكم الإمام مالك ـ رضي الله عنه ـ حين قال لأبي جعفر وقد أراد أن يحمل الناس على الموطأ: “إن أصحاب رسول الله ص تفرقوا في الأمصار وعند كل قوم علم، فإذا حملتهم على رأي واحد تكون فتنة”، وليس العيب في الخلاف ولكن العيب في التعصب للرأي والحجر على عقول الناس وآرائهم، هذه النظرة إلى الأمور الخلافية جمعت القلوب المتفرقة على الفكرة الواحدة، وحسب الناس أن يجتمعوا على ما يصير به المسلم مسلماً كما قال زيد ـ رضي الله عنه

 “Hal itu terjadi  karena dasar-dasar Islam dibangun dari ayat-ayat, hadits-hadits dan amal, yang kadang difahami beragam oleh banyak pikiran. Karena itu, maka perbedaan pendapat tetap terjadi pada masa sahabat dulu. Kini masih terjadi dan akan terus terjadi sampai hari kiamat. Alangkah bijaknya Imam Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala “Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik): Ingatlah bahwa para sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu. Maka apabila kamu memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah fitnah sebagai akibatnya.”
Bukanlah aib dan cela manakala kita berbeda pendapat. Tetapi yang aib dan cela adalah sikap fanatik (ta’ashub) dengan satu pendapat saja dan membatasi ruang lingkup berpikir manusia. Menyikapi khilafiyah seperti inilah yang akan menghimpun hati yang bercerai berai kepada satu pemikiran. Cukuplah manusia itu terhimpun atas sesuatu yang menjadikan seorang muslim adalah muslim, seperti yang dikatakan oleh Zaid Radhiallahu ‘Anhu. (Majmu’ah Ar Rasail, Mu’tamar Khamis, hal. 187)

Wallahu A’lam. Wa Shallallahu ‘ Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa sallam.

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Bolehkah Penjual Menentukan Harga?

Oleh: Ust. DR Wido Supraha

1. Ligayati(A96)

Pertanyaan:

Adik laki-laki sy bekerja di perusahaan retail. Kadang kl jual barang hrgnya tdk sesuai dg hrg yg sudah dtentukan perusahaan.
Apakah boleh jual beli seperti itu?

Jawaban:

Dalam hal ini dikembalikan kepada akad kepada perusahaan agar terjadi kepastian hukum.

Diskusikan dengan perusahaan, apakah boleh menjual harga di bawa harga yang ditentukan untuk tujuan tertentu, dan apakah boleh menjual harga di atas harga pasar dengan kehendak, kelebihannya menjadi milik penjual.

Jika perusahaan mengizinkannya, maka seluruhnya menjadi harta yang halal bagi penjual.

Wallaahu a’lam

***

2. Setyaning(A95)

Pertanyaan:

Mohon penjelasan ttg larangan beda harga dalam menjual, seperti apa ya?

Ada beda harga antara kredit dan cash. Ada beda harga akibat tawar menawar. Ada beda harga karena beda waktu.

Apa itu juga dilarang?
#pengen dagang yg tdk melanggar syariat#

Jzkhr atas penjelasannya.

Jawaban:

Harga saat kredit adalah sebuah harga yang sah dalam jual beli, dan harga saat cash adalah sebuah harga yang sah dalam akad jual beli yang lain.

Dalam setiap akad, dibebaskan pagi pengusaha untuk membuat harga yang berbeda, dan perubahan harga dapat dilakukan dalam setiap transaksi kapanpun.

Semoga dagangan ibu, kami do’akan melahirkan keberkahan dalam harta-hartanya.

Wallahu A’lam

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

KELUARGA HARMONIS, BUKAN BERARTI TANPA PERTENGKARAN (Bag-2)

Pemateri: Ustadzah Dra. Indra Asih

Materi sebelumnya: http://goo.gl/XsjLL6

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati agar:

2. Menghindari caci-maki

Siapapun kita, tidak akan bersedia ketika dicaci maki. Karena itulah, syariat hanya membolehkan hal ini dalam satu keadaan, yaitu ketika seseorang didzalimi. Syariat membolehkan orang yang didzalimi itu untuk membalas kedzalimannya dalam bentuk cacian atau makian.

Allah berfirman,

لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ

Allah tidak menyukai Ucapan buruk (caci maki), (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. (An-Nisa: 148)

Dalam ikatan rumah tangga, syariat memotivasi kaum muslimin untuk menciptakan suasana harmonis. Sehingga walaupun sampai terjadi masalah, balasan dalam bentuk caci maki harus dihindari. Karena kalimat cacian dan makian akan menancap dalam hati, dan bisa jadi akan sangat membekas. Sehingga akan sangat sulit untuk bisa mengobatinya. Jika semacam ini terjadi, sulit untuk membangun keluarga yang sakinah.

Karena itulah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan jangan sampai seseorang mencaci pasangannya. Apalagi membawa-bawa nama keluarga atau orang tua, yang umumnya bukan bagian dari masalah.

Beliau bersabda, “jangan kamu menjelekannya”

Dalam Syarh Sunan Abu Daud dinyatakan,

لَا تَقُلْ لَهَا قَوْلًا قَبِيحًا وَلَا تَشْتُمْهَا وَلَا قَبَّحَكِ اللَّهُ

“Jangan kamu ucapkan kalimat yang menjelekkan dia, jangan mencacinya, dan jangan doakan keburukan untuknya..” (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Daud).

Perlu kita ingat bahwa cacian dan makian kepada pasangan yang dilontarkan tanpa sebab, termasuk menyakiti orang mukmin atau mukminah yang dikecam dalam Al-Qur’an. Allah berfirman,

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

Orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 58)

Marah kepada suami atau marah kepada istri, bukan alasan pembenar untuk mencaci orang tuanya. Terlebih ketika mereka sama sekali tidak bersalah. Allah sebut tindakan semacam ini sebagai dosa yang nyata.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati agar:

3. Tetap Menjaga Rahasia Keluarga

Bagian ini penting untuk kita perhatikan. Hal yang perlu disadari bagi orang yang sudah keluarganya, jadikan masalah keluarga sebagai rahasia anda berdua. Karena ketika masalah itu tidak melibatkan banyak pihak, akan lebih mudah untuk diselesaikan.

Terkait tujuan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,

وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْت

“jangan kamu boikot istrimu kecuali di rumah”

Ketika suami harus mengambil langkah memboikot istri karena masalah tertentu, jangan sampai boikot ini tersebar keluar sehingga diketahui banyak orang. Sekalipun suami istri sedang panas emosinya, namun ketika di luar, harus menampakkan seolah tidak ada masalah. Kecuali jika anda melaporkan kepada pihak yang berwenang, dalam rangka dilakukan perbaikan.

Pihak yang berwenang adalah pihak yang posisinya bisa mengendalikan dan memberi solusi atas masalah keluarga. Dalam hal ini bisa KUA, hakim, ustadz yang amanah, atau mertua. Mertua, karena dia berwenang untuk mengendalikan putra-putrinya. Dan ini tidak berlaku sebaliknya.

Ketika suami melakukan kesalahan, tidak selayaknya sang istri melaporkan kesalahan suami ini kepada orang tua istri. Tapi hendaknya dilaporkan kepada orang yang mampu mengendalikan suami, misalnya tokoh agama yang disegani suami atau orang tua suami. Demikian pula ketika sumber masalah adalah istri. Hendaknya suami tidak melaporkannya kepada orang tuanya, tapi dia laporkan ke mertuanya (ortu istri).

Solusi ini baru diambil ketika masalah itu tidak memungkinkan untuk diselesaikan sendiri antara suami-istri.

Hindari Pemicu Adu Domba

Bagian ini perlu kita hati-hati. Ketika seorang istri memiliki masalah dengan suaminya, kemudian dia ceritakan kepada orang tua istri, muncullah rasa kasihan dari orang tuanya. Namun tidak sampai di sini, orang tua istri dan suami akhirnya menjadi bermusuhan. Orang tua istri merasa harga dirinya dilecehkan karena putrinya didzalimi anak orang lain, sementara suami menganggap mertuanya terlalu ikut campur urusan keluarganya. Bukannya solusi yang dia dapatkan, namun masalah baru yang justru lebih parah dibandingkan sebelumnya.

Selanjutnya, jadilah keluarga yang bijak, yang terbuka dengan pasangannya, karena ini akan memperkecil timbulnya dugaan buruk (suudzan) antar-sesama.

Semoga Allah SWT mudahkan upaya sungguh-sungguh kita membangun keluarga harmonis yang sesungguhnya, yang penuh kedewasan, bukan harmonis yang semu dan melelahkan. (Selesai)

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Ribakah Listrik Pascabayar?

Oleh: Ust. Rikza Maulan Lc. MAg.
       
Pertanyaan: I-09.

Mohon pencerahan tentang tulisan berikut Ustadz:

Masya Allah Riba ada di mana-mana
Asslmlaikum Pagi ini saya mendengarkan Tausiyah Oleh Habib Novel Alaydrus yaitu siaran Ulang Majelilis Ta’lim Riyadlul Jannah Bahwa Beliau menyebutkan Listrik yg bayarnya di belakang ( Bukan Pulsa) itu dinamakan jual beli sistem Hutang, jika terlambat Bayar di denda, jika beberapa Bulan tidak bayar maka akan di cabut, Maka di namakan Sistem Jual beli RIBA-WI, jadi Listriknya Riba, kalau ngajinya pakai listrik tersebut berarti Ngajinya Riba, Jika Masak Menggunakan listrik yg seperti itu makanan nya mengandung Riba, Jika mandi, Minum, Wudlu dan lain-lain menggunakan listrik tersebut maka mengandung RIBA, Termasuk PDAM yg bayarnya belakangan maka Airnya Juga RIBA, Bagaimana Do’anya bisa terkabul dan Dosanya di Ampuni…?

Jawaban Ustadz Rikza:

Riba itu terkait dua hal; hutang piutang dan barter.

Semua hutang yg ada tambahan dari pokok hutangnya adalah riba, lebih tepatnya riba nasi’ah.

Dan segala bentuk tukar menukar antara barang sejenis dengan kuantitas yg tdk sama, adalah riba fadhl.

Contohnya adalah menukar uang receh Rp 100 ribu dengan uang biasa Rp 110 ribu.

Adapun pembayaran listrik yg apabila terlambat dikenakan denda, bukanlah yg termasuk dalam definisi riba.

Walaupun memang ada unsur kesalahannya, yaitu pengenaan denda akibat keterlambatan, dan dana denda tsb diakui sebagai pendapatan.

Kategorinya yg lebih tepat adalah mengambil harta orang dengan batil, bukan riba.

Wallahu A’lam

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Jika Engkau…

Oleh: Ustadz DR. Saiful Bahri, M.A.

Jika engkau lelah,
rebahkan dirimu dalam pangkuan-Nya.
Niscaya kan kau temukan berjuta ketenangan.

Jika engkau gundah, dinginkanlah dengan bacaan ayat-ayat-Nya.

Jika engkau gelisah, temuilah orang-orang shalih yang engkau percaya.

Jika engkau tak tau harus apa, bacalah buku.
Sinarilah hidupmu dengan membaca dan menuntut ilmu.
Dimanapun.

Jika engkau merasa sendiri, hitunglah orang-orang yang mencintaimu, menghargaimu dan berjasa dalam hidupmu.

Jika engkau merasa tak tau apa yang kau rasakan…. Renungilah ayat-ayat kauniyah.
Fenomena alam.
Hewan-hewan dan tumbuhan semua bertasbih dengan riang.

Maka bagaimanapun kondisimu usahakan bermanfaatlah bagi orang disekelilingmu.

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

SABAR, Bahan Bakar Dakwah Yang Tidak Boleh Berkurang

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir Lc.

Bahan bakar yang tidak boleh berkurang di jalan dakwah, apalagi di saat-saat genting  adalah sabar.

Sebab, berdakwah artinya kita akan berhadapan dengan berbagai macam  goncangan dan badai yang menghadang.

Meskipun dakwah mengusung ajaran Islam rahmatan lil aalamiin, justeru demi hal tersebut, ada pohon kebatilan yang harus tumbang, kekuatan zalim yang harus hilang dan pengusung kesesatan yang harus hengkang.

Maka, pastinya dia akan menghadapi perlawanan, karena tidak semua orang dapat menerima rahmat sebagai rahmat, justeru menganggapnya sebagai bahaya dan ancaman  kuat.

Tak heran, jika kemudian mereka melancarkan  ejekan, intimidasi, hingga pengumuman perang. Ini memang tabiat dakwah yang tak pernah berubah, sejak dahulu hingga sekarang, sejak Nabi pertama hingga rasul akhir zaman.

Maka bersabar adalah bekal penting yang harus dimiliki di jalan ini agar gerbong dakwah terus melaju, berjalan menyusuri lorong kehidupan,  menembus badai tantangan.

Suatu saat Rasulullah saw mendapatkan pengaduan yang tidak mengenakkan tentang prasangka buruk yang dialamatkan kepada dirinya.

Seketika itu dia ingat dengan kesabaran Nabi Musa alaihissalam  yang menghadapi kedegilan kaumnya, maka beliau bersabda,

رَحِمَ اللَّهُ مُوسَى قَدْ أُوذِيَ بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ

“Semoga Allah merahmati Musa, dia telah disakiti lebih dari ini, namun dia bersabar,” (Muttafaq alaih)

Jika Nabi yang begitu mulianya, sempurna kepribadiannya, lembut perangainya  masih menghadapi cemoohan, berbagai prasangka hingga tindak kekerasan, apalagi kita sebagai umatnya?!

Boleh jadi kita harus mengevaluasi hal-hal yang harus diperbaiki. Tapi jangan sekali-kali mengira bahwa semua itu membuat jalan dakwah ini lurus dan lempang tanpa onak duri menghadang.

Sabar di sini tentu bukan bersifat pasif, juga bukan menganut prinsip gereja ‘Apabila pipi kananmu ditampar, maka berikan pipi kirimu’.

🌟Tapi yang dituntut adalah sabar  yang:
– mendatangkan keteguhan,
– tidak mudah goyah dan lemah oleh tekanan,
– tegar menjawab berbagai tuduhan, baik dengan lisan atau perbuatan, dan
– tidak pernah surut mengayuh langkah di jalan perjuangan.

Sementara di sisi lain, emosi tetap terjaga dan tidak hilang kendali diri.

Inilah gambaran kesabaran yang Allah simpulkan dari pribadi para Nabi dan pengikutnya,

وَكَأَيِّن مِّن نَّبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُواْ لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَمَا ضَعُفُواْ وَمَا اسْتَكَانُواْ وَاللّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ (سورة آل عمران: 146

“Berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikutnya yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, tidak lesu dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 146)

Ketahuilah, tidak ada yang paling menyenangkan musuh-musuh dakwah, kecuali mereka melihat para dai menjadi lesu dan tidak berani lagi mengusung dakwah akibat benturan yang mereka hadapi.

Atau, mereka berharap aktifis dakwah menjadi kalap, emosi liar dan melakukan tindakan merusak tak terkendali sehingga menjadi amunisi berharga bagi mereka untuk membangun opini memojokkan  dakwah.

Sebaliknya, tidak ada yang paling membuat musuh-musuh dakwah merana dan nestapa, kecuali para pengusung dakwah tetap tegar meniti  jalan dakwah walaupun berbagai ujian berat menerpa serta tetap dapat mengendalikan emosi dan tidak terseret pada tindakan di luar kendali.

Maka, langkah pertama menghadapi guncangan  di jalan dakwah adalah bersabar, berikutnya, bersabar dan seterusnya, bersabar.

Apapun yang terjadi di jalan dakwah ini, jika sabar selalu menyertai, sesungguhnya kemenangan sudah kita bukukan dan kemenangan-kemenangan berikutnya kian mendekati kenyataan.

Insya Allah…

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

QS. Al-Ma’arij (Bag. 1)

Oleh: Dr. Saiful Bahri, M.A

Mukaddimah: Batas-Batas Ciptaan Allah

Surat Al-Ma’ârij diturunkan Allah setelah Surat Al-Hâqqah, juga seperti urutannya dalam mushaf usmany. Penamaan surat al-Ma’ârij diambil dari ayat ketiga yang memuat kata tersebut. Yaitu bentuk plural (jama’) darial-mi’raj yang berarti tempat naik ([1]).

Allah pernah menidurkan Nabi Uzeir as. selama seratus tahun, tapi menurut perkiraan beliau hanya sehari atau beberapa hari ([2]). Demikian juga Ashabul Kahfi, pemuda-pemuda beriman yang tangguh di zaman kejayaan Romawi itu ditidurkan Allah selama 300 tahun penanggalan matahari atau sama dengan 309 tahun penanggalan bulan ([3]). Sebelumnya, mereka mengira bahwa mereka tertidur dalam gua selama setengah hari, sehari atau sehari semalam. Tapi di luar gua terjadi jutaan peristiwa. Lebih dari 40 Kaisar Romawi berganti memegang kekuasaan. Yang di dalam gua tiada mengetahui apa yang terjadi di luar gua. Yang di luar gua tiada sedikit pun tahu apa yang terjadi di dalam gua. Sehari bagi mereka sama dengan tiga ratus tahun bagi manusia di luar gua.

Allahlah yang menyetandarkan batasan waktu tersebut. Bahkan menghilangkan limit antara waktu dan peristiwa. Karena waktu merupakan salah satu makhluk ciptaan-Nya.

Ketika seorang kafir meminta diturunkan adzab yang bila datang ia tak kuasa menahannya. Allah yang akan menurunkannya. Lidah para rasul-Nya hanya sebagai penyambung risalah dari Tuhan mereka. Dialah yang mempunyai tempat naik (al-mi`raj). Malaikat-malaikat-Nya perlu waktu satu hari untuk sampai di sana yang kadarnya sama dengan limapuluh ribu tahun bagi manusia ([4]). Atau seribu tahun minimalnya bila kita hitung-hitung dengan perhitungan kita sebagai manusia([5]).

Jarak antara Masjidil Haram (Makkah) dan Masjidil Aqsha (Al-Quds) berbilang bulan bila ditempuh dengan kendaraan unta. Hamba Allah, Muhammad bin Abdullah hanya dengan setengah malam menempuhnya atas titah-Nya. Itu belum dengan perjalanan lengkap ke tujuh langit dan sidratul muntaha yang juga memakan waktu setengah malam saja. Kemudian kembali ke tempat semula sebelum sang fajar menyingsing.

Saat itu, ribuan manusia terlelap dalam mimpi malam, tiada tahu apa yang terjadi. Kepergian anak yatim dari kaum mereka dalam perjalanan panjang yang singkat setelah dirundung duka dengan kepergian dua kekasihnya; Paman dan Istri tercinta. Allah karuniakan ketenangan kepadanya, sebagai pelipur lara. Sitar yang menjadi pembatas antara hakikat dan kehidupan manusia yang bernama waktu malam itu tak berlaku, telah dihilangkan penciptanya. Sehingga setengah malam saja sudah cukup untuk menempuh jarak yang setidaknya menurut perhitungan manusia, jutaan bahkan milyaran mil, bahkan jutaan tahun cahaya menurut takaran para ilmuwan.

Satu hari sama dengan 100 tahun. Satu hari sama dengan 300 tahun. Satu hari sama dengan 1000 tahun. Satu hari sama dengan 5000 tahun. Pembatas itu  hanya Allah saja yang mengetahui.

Kesabaran yang Baik

Pada ayat selanjutnya Allah memerintahkan “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik”. (QS. Al-Ma`arij: 5) Petuah ini tidaklah mengada-ada karena kesabaran manusia yang yakin akan kekuasaan Tuhannya merupakan penangkal kebiasaan dan sifat-sifat buruk berkeluh kesah lagi amat kikir (sebagaimana dijelaskan lebih lanjut pada ayat 19-21). Dan secara khusus, terutama bagi Nabi Muhammad dan para pengikutnya yang tak henti-henti menerima tekanan dan teror fisik dan psikis dari kaum kuffar Quraisy. Itulah bedanya, beda sudut pandang antara orang yang beriman dan kaum pembangkang. Yaitu anggapan tentang jeda waktu yang diberikan pada manusia. Tentang azab bagi mereka yang memintanya sendiri. Atau tentang kemenangan dan janji Allah untuk orang-orang yang mau mengimaninya.

“Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil). Sedangkan Kami memandangnya dekat (pasti terjadi)”.(QS. Al-Ma`arij:6-7)

Karena Allah sajalah yang membuat limit waktu tersebut bahkan menghilangkannya. Sedang manusia dengan segala keterbatasannya terikat oleh limit kehidupan bernama waktu.

Hari yang pasti itu tergambar jelas di mata orang-orang bertakwa. Bahkan ketakutan mereka melebihi orang-orang yang seharusnya lebih takut akan hari kebinasaan itu.

📌”Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak. Dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (berterbangan). Dan tak ada seorang teman akrabpun menanyakan temannya. Sedang mereka saling memandang. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari azab hari itu dengan anak-anaknya. Dan isterinya serta saudaranya, juga familinya yang melindunginya (di dunia). Dan orang-orang di atas bumi seluruhnya kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya”. (QS. Al-Ma’ârij:8-14)

Guratan sesal yang nyata. Bagi orang-orang yang mendustakannya, bahkan menganjurkan orang-orang untuk tidak mempercayainya.

Nantinya, setelah semuanya dihisab dan ditentukan tempat akhirnya, mereka masih terus berharap ada tebusan yang bisa menghindarkan mereka dari kemurkaan Allah. Atau setidaknya dapat mengurangi siksaan yang akan mereka dapatkan sebagai pembalasan perbuatan buruk mereka.

”Sekali-kali tidak dapat, Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergolak. Yang mengelupas kulit kepala. Yang memanggil orang yang membelakangi dan yang berpaling (dari agama). Serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya”. (QS. Al-Ma’ârij: 15-18)

Bersambung

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Memahami Konsep Jihad

Pemateri: Ustadz Syamsuddin Arif

Tidak ada istilah paling sering disebut orang belakangan ini kecuali kata ‘terorisme’ dan ‘jihad’.

Pengaburan dan kejahilan sebagian orang membuat kesan seolah-olah dua kata ini sinonim atau sama artinya.

Karena gagal atau salah memahami konsep jihad dan bahkan melupakan sama sekali konteks sejarah, hukum, rukun, syarat dan adab-adabnya, terjadilah berbagai macam aksi dan reaksi yang merugikan, distorsi dan disfungsi yang kontraproduktif.

Menurut Sayyid Sabiq, ‘jihad’ berasal dari kata ‘juhd’, artinya upaya, usaha, kerja keras dan perjuangan.

Seseorang dikatakan berjihad apabila ia berusaha mati-matian dengan mengerahkan segenap kemampuan fisik maupun materiil dalam memerangi dan melawan musuh agama (lihat: Fiqh as-Sunnah, Beirut: Mu’assasat ar-Risalah, 1422 H/2002, 3:79).

Dengan kata lain, berjihad sama dengan berperang (qital), seperti dimaksud dalam imperatif ini: jaahidi l-kuffar wa l-munafiqin (QS 9:73 dan 66:9).

Adapun hadis riwayat Imam al-Bayhaqi dan al-Baghdadi yang menyatakan bahwa perang melawan hawa nafsu adalah ‘jihad akbar’, sebagian ulama seperti az-Zayn al-‘Iraqi dan Ibn Hajar al-‘Asqalani menilainya sebagai hadits lemah.

Dalam sejarah Islam, perintah jihad dalam arti qital baru turun di Madinah, pada tahun ke-2 Hijriah, atau kurang lebih 14 tahun setelah beliau berdakwah, mengajak orang kepada Islam, memperkenalkan dan mengajarkannya baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

Selama lebih dari satu dekade di Mekkah Rasulullah SAW diperintahkan untuk menghindari konfrontasi dengan kaum pagan.

Beliau disuruh bersabar dan memaafkan mereka yang tidak henti-hentinya melakukan intimidasi dan teror.

Seperti kita ketahui, teroris-teroris semacam Abu Jahl ibn Hisyam dan Abu Lahab tidak hanya menolak, tapi juga merintangi dan berusaha melumpuhkan dakwah Islam, seringkali bahkan dengan kekerasan dan penyiksaan (torture). Namun Allah berfirman, fa-shfah ‘anhum wa qul salam, maafkan mereka dan katakanlah salam perdamaian! (QS 43:89).

Beritahukan kaum beriman, hendaklah mereka mengampuni orang-orang yang tidak mengharapkan hari-hari Allah (QS 45:14).

Kaum Muslim pada masa itu juga dilarang membalas kekerasan dengan kekerasan.

Mereka dipuji karena mampu bersabar dan membalas kejahatan dengan kebaikan, wa yadra’una bi l-hasanati s-sayyi’ah (QS 13:22).

Yang menjadi prioritas pada masa itu adalah pembinaan individu dan pembentukan jamaah Muslim yang solid (Imam Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Beirut, al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1416 H/1995, jilid 3, hlm. 213).

Penindasan, kezaliman dan teror kaum kafir Quraisy terhadap komunitas Muslim mencapai klimaksnya ketika Rasulullah SAW dan para pengikutnya mulai dipersekusi.

Saat itu di Mekkah hampir tidak ada lagi ruang yang tersisa untuk kaum Muslim menghirup kebebasan beragama.

Sejumlah petinggi-petinggi Quraisy telah berkonspirasi untuk ‘menghabisi’ Nabi Muhammad SAW, once and for all. Hanya ada dua pilihan bagi kaum Muslim pada waktu itu: bertahan di Mekkah tetapi keluar dari Islam, atau pun bertahan dalam Islam tetapi keluar dari Mekkah. Dan mereka memilih yang kedua: hijrah ke Madinah (lihat Imam Ibn Katsir, as-Sirah an-Nabawiyyah, ed. Mushthafa Abdul Wahid, Beirut, Dar al-Fikr, 1398 H/1978, jilid 2, hlm. 213-266).

Di Madinah, Rasulullah SAW melakukan penataan ke dalam dan perluasan sayap dakwah Islam ke luar. Beliau mendirikan masjid, memimpin shalat jum’at, mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, melakukan diplomasi, negosiasi dan ekspedisi dakwah, baik dengan komunitas lokal (seperti kaum Yahudi dengan membuat Perjanjian Madinah), maupun dengan komunitas internasional (dengan para kepala negara di sekelilingnya).

Kemudian turun pula perintah adzan, menyeru orang untuk shalat berjama’ah, dan perintah berpuasa di bulan Ramadhan. Dan tidak lama kemudian turunlah perintah berjihad (QS 22:39-41; 2:190-193 dan 2:216-218).

Dalam ayat-ayat tersebut di atas dijelaskan mengapa dan untuk apa jihad dilakukan. Yaitu, apabila orang Islam diperangi, dizalimi, dihalau dari kampung halamannya sendiri, semata-mata karena agama yang diyakininya itu.

Jihad diizinkan apabila jalan dakwah disekat, kaum Muslim dimusuhi dan diserang, dijajah dan dirampas hak-hak asasinya.

Apabila kaum kafir melancarkan ‘udwan, muqatalah, zhulm dan fitnah terhadap Islam dan umat Islam.

Oleh karena itu, tujuan jihad jelas,
– untuk mempertahankan diri dan menangkis serangan lawan,
– menegakkan agama Allah,
– melepaskan Umat Islam dari belenggu penindasan,
– menjamin dan melindungi hak-hak mereka,
– mengakhiri kezaliman dan permusuhan, demi terciptanya kedamaian dan keadilan (QS 4:75).

Musuh tidak dicari, namun kalau bertemu pantang lari.

Begitulah prinsip yang diajarkan (QS 8:15 dan 47:4).

Jihad hanya dihentikan jika musuh berhenti menyerang dan setuju berdamai, jika mereka berjanji tidak akan menekan dan memusuhi Umat Islam lagi (QS 2:193 dan 8:61).

Sudah barang tentu, jihad memerlukan kalkulasi yang cermat dan persiapan yang matang (QS 8:60), koordinasi yang mantap serta strategi yang tepat dan jitu (QS 61:4 dan 3:200).

Berjihad tidak boleh sembrono atau asal-asalan, tidak boleh membabi-buta dan mengikuti hawa nafsu belaka.

Perkara-perkara dalam berjihad

Ada banyak perkara yang perlu diperhatikan oleh seorang mujahid.

1. Pertama, niat yang betul, yakni li-i‘la’i kalimatillah, bukan untuk gagah-gagahan, cari popularitas, dan tujuan duniawi lainnya.

2. Kedua, harus dibawah komando seorang imam dan setelah ada deklarasi perang.

3. Ketiga, harus seizin kedua orangtua.

4. Keempat, harus banyak berzikir, berdoa dan bersabar.

5. Kelima, harus memberi kesempatan terakhir kepada musuh sebelum berperang dengan mengajak mereka masuk Islam atau membayar jizyah.

6. Keenam, dilarang membunuh kaum wanita, anak-anak, dan orang-orang lanjut usia.

7. Ketujuh, tidak boleh merusak lingkungan hidup, rumah-rumah ibadah dan fasilitas umum (lihat Abu Bakr al-Jaza’iri, Minhajul Muslim, Kairo, Dar al-Aqidah, hlm. 272-275).

Berjihad merupakan fardhu kifayah. Artinya, tidak perlu semuanya pergi ke medan perang. Harus ada juga yang ditugaskan membangun Umat di sektor-sektor lain, terutama pendidikan (QS 9:122).

Jihad bisa menjadi fardhu ayn apabila kampung halaman kita diserang dan diduduki musuh (seperti terjadi pada zaman kolonial dahulu, sekarang, maupun yang akan datang).

Namun demikian, terdapat puluhan ayat al-Qur’an dan hadits Nabi SAW yang menerangkan keutamaan jihad dan penghargaan yang akan diperoleh oleh seorang mujahid, apalagi untuk mereka yang gugur sebagai syuhada’ (Imam an-Nawawi, Riyadh as-Shalihin, Damaskus: Dar Ibn Katsir, 1422 H/2002, 415-435).

Dalam konteks Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya dewasa ini, dimana Islam belum secara total direalisasikan, para tokoh gerakan Islam umumnya berpendapat bahwa agenda utama yang mesti didahulukan saat ini adalah membina individu dan organisasi Muslim serta membangun kekuatan Umat pada semua lini.

Dengan kata lain, belum tiba masanya bagi orang Islam sekarang ini untuk melakukan konfrontasi militer melainkan dalam kasus-kasus yang kita semua maklum (lihat: Husayn ibn Muhammad ibn Ali Jabir, at-Thariq ila Jama’at al-Muslimin, Dar al-Wafa’, 1407 H/1987).

Wallahu a’lam.

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

KELUARGA HARMONIS, BUKAN BERARTI TANPA PERTENGKARAN (Bag-1)

Pemateri: Ustadzah Dra. INDRA ASIH

Keluarga harmonis bukanlah keluarga yang menghindari konflik atau pertengkaran tapi justru menghadapinya dan mengkomunikasikannya. Menghargai perbedaan pendapat dan menyesuaikan satu sama lain, tanpa ada penghakiman di dalamnya.

Karena dari konflik atau pertengkaran dan perbedaan yang timbul, kita jadi lebih mengenal satu sama lain.

Selanjutnga perbedaan yang ada tersebut  bisa berpotensi untuk menguatkan hubungan karena kedua belah pihak berusaha untuk saling menyesuaikan satu sama lain.

Menjadi bahaya jika konflik dihindari atau salah satu pihak terus mengalah. Hubungan akan melelahkan dan suasana harmonis yang sesungguhnya sulit tercipta.

Tapi, memang banyak orang salah memandang konflik sehingga orang cenderung menghindari konflik dan tidak mengkomunikasikannya. Akibatnya, salah persepsi yang ada bisa terus berlanjut antara satu sama lain. Hal seperti ini tidak sehat. Harmonis bukanlah tidak ada perbedaan tetapi bagaimana mengharmonisasikan setiap perbedaan yang ada menjadi hubungan yang sehat dan kuat.

☝Ketika Pertengkaran Terjadi

Dalam keluarga harmonis pertengkaranpun kadang terjadi diantara mereka. Sebagaimana hal ini juga mungkin terjadi di keluarga kita. Hanya saja, pertengkaran yang terjadi di keluarga yang dewasa sangat berbeda dengan pertengkaran yang terjadi di keluarga yang tidak dewasa.

Keluarga yang tidak dewasa, mereka bertengkar tanpa aturan. Satu sama lain saling menguasi dan saling mendzalimi. Sedikitpun tidak ada upaya untuk mencari solusi. Yang penting aku menang, yang penting aku mendapat hakku. Tak jarang pertengkaran semacam ini sampai memunculkan caci-maki, kekerasan, atau bahkan pembunuhan.

Berbeda dengan keluarga yang dewasa, sekalipun mereka bertengkar, pertengkaran mereka dilakukan tanpa melanggar aturan. Sekalipun mereka saling sakit hati, mereka tetap menjaga jangan sampai mendzalimi pasangannya. Dan mereka berusaha untuk menemukan solusinya dari pertengkaran ini. Umumnya sifat semacam ini muncul pada keluarga yang lemah lembut, memahami aturan syariat dalam fikih keluarga, dan sadar akan hak dan kewajiban masing-masing.

Apapun kesedihan yang ditimbulkan dari pertengakaran yang kita alami, yakinlah bahwa hal itu merupakan bagian dari ujian hidup.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidak ada satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung, sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di badannya, kecuali Allah jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari).

Renungkan pula bahwa bisa jadi pertengkaran ini disebabkan dosa yang pernah kita lakukan. Kemudian Allah memberikan hukuman batin dalam bentuk masalah keluarga. Perlu untuk menghadirkan perasaan bahwa Allah akan menggugurkan dosa-dosa kita dengan kesedihan yang kita alami. Lalu kita bertaubat dan memohon ampun kepada Allah SWT.

Yang Harus Dihindari dalam Pertengkaran Rumah Tangga

Dalam hadis dari Hakim bin Muawiyah Al-Qusyairi, dari ayahnya, bahwa beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kewajiban suami kepada istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، أَوِ اكْتَسَبْتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْت

“Kamu harus memberi makan kepadanya sesuai yang kamu makan, kamu harus memberi pakaian kepadanya sesuai kemampuanmu memberi pakaian, jangan memukul wajah, jangan kamu menjelekannya, dan jangan kamu melakukan boikot kecuali di rumah.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Hadis ini merupakan nasehat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para suami. Tentu saja, beberapa larangan yang disebutkan dalam hadis ini juga berlaku bagi wanita.

Dari hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati agar:

1. Menghindari kekerasan

Dalam Al-Quran Allah membolehkan seorang suami untuk memukul istrinya ketika sang istri membangkang. Sebagaimana firman Allah di surat An-Nisa:

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan tidak tunduk, nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya..(QS. An-Nisa: 34)

Namun ini izin ini tidak berlaku secara mutlak. Sehingga suami bebas melampiaskan kemarahannya dengan menganiaya istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan batasan lain tentang izin memukul,

A. Tidak boleh di daerah kepala

Sebagaimana sabda beliau, “jangan memukul wajah.” Mencakup kata wajah adalah semua kepala. Karena kepala manusia adalah hal yang paling penting. Ada banyak organ vital yang menjadi pusat indera manusia.

B. Tidak boleh menyakitkan

Batasan ini disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbah beliau ketika di Arafah.

إِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ

“Jika istri kalian melakukan pelanggaran itu, maka pukullah dia dengan pukulan yang tidak menyakitkan.” (HR. Muslim)

Atha’ bin Abi Rabah pernah bertanya kepada Ibnu Abbas,

قلت لابن عباس : ما الضرب غير المبرح ؟ قال : السواك وشبهه يضربها به

Saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Apa maksud pukulan yang tidak menyakititkan?’ Beliau menjawab, “Pukulan dengan kayu siwak (sikat gigi) atau semacamnya.” (HR. At-Thabari).

Termasuk makna pukulan yang tidak menyakitkan adalah pukulan yang tidak meninggalkan bekas, seperti memar, atau bahkan menimbulkan luka dan mengeluarkan darah. Karena sejatinya, pukulan itu tidak bertujuan untuk menyakiti, tapi pukulan itu dalam rangka mendidik istri.

Namun, meskipun ada izin untuk memukul ringan, tidak memukul tentu jauh lebih baik. Karena wanita yang lemah bukanlah lawan yang seimbang bagi lelaki yang gagah. Lawan bagi suami yang sesunguhnya adalah emosinya. Suami yang mampu menahan emosi, sehingga tidak menyikiti istrinya, itulah lelaki hebat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ

“Orang yang hebat bukahlah orang yang sering menang dalam perkelahian. Namun orang hebat adalah orang yang bisa menahan emosi ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Seperti itulah yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

A’isyah menceritakan,

مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ، وَلَا امْرَأَةً، وَلَا خَادِمًا، إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul wanita maupun budak dengan tangan beliau sedikitpun. Padahal beliau berjihad di jalan Allah. (HR. Muslim).

Maksud pernyataan A’isyah, “Padahal beliau berjihad di jalan Allah” untuk membuktikan bahwa sejatinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok yang pemberani. Beliau pemberani di hadapan musuh, bukan pemberani di hadapan orang lemah.

Beliau tidak memukul wanita atau orang lemah di sekitarnya. Karena memukul orang lemah bukan bagian dari sifat ‘pemberani’.

2. ….bersambung pekan depan, insyaa Allah

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…