Fikih I’tikaf (Bag. 8)

📆 Sabtu,  13 Ramadhan 1437 H / 18 Juni 2016 M

📚 Fiqih dan Hadits

📝 *Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.*

📋 *Fikih I’tikaf  (Bag. 8)*

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

📚 *_Aktifitas Yang Diperbolehkan Selama I’tikaf_*

  Berikut ini aktifitas yang diperbolehkan selama I’tikaf (diringkas dari Fiqhus Sunnah):

1⃣.  Tawdi’  (melepas keluarga yang mengantar), sebagaimana yang nabi lakukan thdp Shafiyyah

 2⃣.    Menyisir dan mencukur rambut, sebagaimana yang ‘Aisyah lakukan terhadap nabi

4⃣.  Keluar untuk memenuhi hajat manusiawi, seperti buang hajat

4⃣.  Makan, minum, dan tidur ketika I’tikaf di masjid, atau mencuci pakaian, membersihkan najis, dan perbuatan lain yang tidak mungkin dilakukan di masjid.

   Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, dan shalat jumat bagi yang I’tikafnya di masjid ghairu jami’, antara yang membolehkan dan yang mengatakan batal I’tikafnya. Wallahu A’lam

📚 *_Pembatal-Pembatal I’tikaf_*

  Pembatal-pembatal tersebut antara lain:
1⃣. Secara sengaja Keluar dari masjid tanpa ada keperluan walau sebentar
 2⃣.  Murtad
 3⃣. Hilang akal
 4⃣. Gila
 5⃣. Mabuk
 6⃣. Jima’  (hubungan badan). (Lihat semua dalam Fiqhus Sunnah, 1/481-483)

📚 *_Aktifitas Selama I’tikaf_*

Hendaknya para mu’takifin memanfaatkan waktunya selama I’tikaf untuk aktifitas ketaatan, seperti membaca Al Quran, dzikir dengan kalimat yang ma’tsur,  muhasabah, shalat sunnah mutlak,  boleh saja diselingi dengan kajian ilmu.
Berbincang dengan tema yang membawa manfaat juga tidak mengapa, namun hal itu janganlah menjadi spirit utama. Tidak sedikit orang yang I’tikaf berjumpa kawan lama, akhirnya mereka ngobrol urusan dunianya; nanya kabar, jumlah anak, kerja di mana, dan seterusnya, atau disibukkan oleh SMS, WA, telegram, yang keluar masuk tanpa hajat yang jelas, akhirnya membuatnya lalai dari aktifitas ketaatan.

Syaikh Ibnul Utsaimin Rahimahullah mengomentari hal ini, katanya:

وقوله: «لطاعة الله» اللام هنا للتعليل، أي: أنه لزمه لطاعة الله، لا للانعزال عن الناس، ولا من أجل أن يأتيه أصحابه ورفقاؤه يتحدثون عنده، بل للتفرغ لطاعة الله عزّ وجل.
وبهذا نعرف أن أولئك الذين يعتكفون في المساجد، ثم يأتي إليهم أصحابهم، ويتحدثون بأحاديث لا فائدة منها، فهؤلاء لم يأتوا بروح الاعتكاف؛ لأن روح الاعتكاف أن تمكث في المسجد لطاعة الله ـ عزّ وجل ـ، صحيح أنه يجوز للإنسان أن يتحدث عنده بعض أهله لأجل ليس بكثير كما كان الرسول صلّى الله عليه وسلّم يفعل ذلك

“Perkataannya (untuk ketaatan kepada Allah) huruf Lam di sini adalah untuk menunjukkan sebab (‘ilat- istilahnya lam ta’lil), yaitu bahwa dia menetap di masjid dalam rangka ketaatan kepada Allah, bukan untuk memisahkan diri dari manusia, bukan pula karena ingin mengunjungi sahabat-sahabatnya, kerabatnya, lalu berbincang dengan mereka, tetapi untuk memfokuskan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Dengan inilah kita tahu bahwa mereka sedang i’tikaf di masjid. Lalu, datang kepada mereka sahabat-sahabat mereka, dan ngobrol dengan tema pembicaraan yang tidak berfaidah, mereka ini datang tidak dengan ruh (spirit) untuk beri’tikaf, karena ruh yang ingin beri’tikaf, berdiamnya di masjid adalah dalam rangka ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Benar, bahwa manusia boleh saja berbincang kepada sebagian anggota keluarganya  tetapi tidaklah memperbanyaknya, sebagaimana yang dilakukan Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”

Ada pun untuk menuntut ilmu di majelis I’tikaf, beliau berkata:

لا شك أن طلب العلم من طاعة الله، لكن الاعتكاف يكون للطاعات الخاصة، كالصلاة، والذكر، وقراءة القرآن، وما أشبه ذلك، ولا بأس أن يَحضر المعتكف درساً أو درسين في يوم أو ليلة؛ لأن هذا لا يؤثر على الاعتكاف، لكن مجالس العلم إن دامت، وصار يطالع دروسه، ويحضر الجلسات الكثيرة التي تشغله عن العبادة الخاصة، فهذا لا شك أن في اعتكافه نقصاً، ولا أقول إن هذا ينافي الاعتكاف.

“Tidak ragu bahwa menuntut ilmu termasuk ketaatan kepada Allah, tetapi i’tikaf terdapat ketaatan khusus, seperti shalat, dzikir, membaca Al Quran, dan yang serupa itu. Tidak apa-apa mu’takif menghadiri satu pelajaran atau dua dalam sehari atau malam, sebab itu tidak mempengaruhi I’tikafnya, tetapi jika majelis ilmu diadakan terus menerus, akan membuatnya mengkaji materinya, menghadiri berbagai majelis yang memalingkannya dari ibadah khusus, ini tidak ragu lagi membuatMajelis Ilmu Farid Nu’man:
I’tikafnya berkurang, di sini saya tidak katakan menganulir I’tikafnya. (Lihat semua dalam Syarhul Mumti’,  6/163)

🔸Bersambung🔸

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

Fikih I’tikaf (Bag. 8)

📆 Sabtu,  13 Ramadhan 1437 H / 18 Juni 2016 M

📚 Fiqih dan Hadits

📝 *Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.*

📋 *Fikih I’tikaf  (Bag. 8)*

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

📚 *_Aktifitas Yang Diperbolehkan Selama I’tikaf_*

  Berikut ini aktifitas yang diperbolehkan selama I’tikaf (diringkas dari Fiqhus Sunnah):

1⃣.  Tawdi’  (melepas keluarga yang mengantar), sebagaimana yang nabi lakukan thdp Shafiyyah

 2⃣.    Menyisir dan mencukur rambut, sebagaimana yang ‘Aisyah lakukan terhadap nabi

4⃣.  Keluar untuk memenuhi hajat manusiawi, seperti buang hajat

4⃣.  Makan, minum, dan tidur ketika I’tikaf di masjid, atau mencuci pakaian, membersihkan najis, dan perbuatan lain yang tidak mungkin dilakukan di masjid.

   Para ulama berselisih pendapat tentang kebolehan menjenguk orang sakit, mengantar jenazah, dan shalat jumat bagi yang I’tikafnya di masjid ghairu jami’, antara yang membolehkan dan yang mengatakan batal I’tikafnya. Wallahu A’lam

📚 *_Pembatal-Pembatal I’tikaf_*

  Pembatal-pembatal tersebut antara lain:
1⃣. Secara sengaja Keluar dari masjid tanpa ada keperluan walau sebentar
 2⃣.  Murtad
 3⃣. Hilang akal
 4⃣. Gila
 5⃣. Mabuk
 6⃣. Jima’  (hubungan badan). (Lihat semua dalam Fiqhus Sunnah, 1/481-483)

📚 *_Aktifitas Selama I’tikaf_*

Hendaknya para mu’takifin memanfaatkan waktunya selama I’tikaf untuk aktifitas ketaatan, seperti membaca Al Quran, dzikir dengan kalimat yang ma’tsur,  muhasabah, shalat sunnah mutlak,  boleh saja diselingi dengan kajian ilmu.
Berbincang dengan tema yang membawa manfaat juga tidak mengapa, namun hal itu janganlah menjadi spirit utama. Tidak sedikit orang yang I’tikaf berjumpa kawan lama, akhirnya mereka ngobrol urusan dunianya; nanya kabar, jumlah anak, kerja di mana, dan seterusnya, atau disibukkan oleh SMS, WA, telegram, yang keluar masuk tanpa hajat yang jelas, akhirnya membuatnya lalai dari aktifitas ketaatan.

Syaikh Ibnul Utsaimin Rahimahullah mengomentari hal ini, katanya:

وقوله: «لطاعة الله» اللام هنا للتعليل، أي: أنه لزمه لطاعة الله، لا للانعزال عن الناس، ولا من أجل أن يأتيه أصحابه ورفقاؤه يتحدثون عنده، بل للتفرغ لطاعة الله عزّ وجل.
وبهذا نعرف أن أولئك الذين يعتكفون في المساجد، ثم يأتي إليهم أصحابهم، ويتحدثون بأحاديث لا فائدة منها، فهؤلاء لم يأتوا بروح الاعتكاف؛ لأن روح الاعتكاف أن تمكث في المسجد لطاعة الله ـ عزّ وجل ـ، صحيح أنه يجوز للإنسان أن يتحدث عنده بعض أهله لأجل ليس بكثير كما كان الرسول صلّى الله عليه وسلّم يفعل ذلك

“Perkataannya (untuk ketaatan kepada Allah) huruf Lam di sini adalah untuk menunjukkan sebab (‘ilat- istilahnya lam ta’lil), yaitu bahwa dia menetap di masjid dalam rangka ketaatan kepada Allah, bukan untuk memisahkan diri dari manusia, bukan pula karena ingin mengunjungi sahabat-sahabatnya, kerabatnya, lalu berbincang dengan mereka, tetapi untuk memfokuskan ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Dengan inilah kita tahu bahwa mereka sedang i’tikaf di masjid. Lalu, datang kepada mereka sahabat-sahabat mereka, dan ngobrol dengan tema pembicaraan yang tidak berfaidah, mereka ini datang tidak dengan ruh (spirit) untuk beri’tikaf, karena ruh yang ingin beri’tikaf, berdiamnya di masjid adalah dalam rangka ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Benar, bahwa manusia boleh saja berbincang kepada sebagian anggota keluarganya  tetapi tidaklah memperbanyaknya, sebagaimana yang dilakukan Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”

Ada pun untuk menuntut ilmu di majelis I’tikaf, beliau berkata:

لا شك أن طلب العلم من طاعة الله، لكن الاعتكاف يكون للطاعات الخاصة، كالصلاة، والذكر، وقراءة القرآن، وما أشبه ذلك، ولا بأس أن يَحضر المعتكف درساً أو درسين في يوم أو ليلة؛ لأن هذا لا يؤثر على الاعتكاف، لكن مجالس العلم إن دامت، وصار يطالع دروسه، ويحضر الجلسات الكثيرة التي تشغله عن العبادة الخاصة، فهذا لا شك أن في اعتكافه نقصاً، ولا أقول إن هذا ينافي الاعتكاف.

“Tidak ragu bahwa menuntut ilmu termasuk ketaatan kepada Allah, tetapi i’tikaf terdapat ketaatan khusus, seperti shalat, dzikir, membaca Al Quran, dan yang serupa itu. Tidak apa-apa mu’takif menghadiri satu pelajaran atau dua dalam sehari atau malam, sebab itu tidak mempengaruhi I’tikafnya, tetapi jika majelis ilmu diadakan terus menerus, akan membuatnya mengkaji materinya, menghadiri berbagai majelis yang memalingkannya dari ibadah khusus, ini tidak ragu lagi membuatMajelis Ilmu Farid Nu’man:
I’tikafnya berkurang, di sini saya tidak katakan menganulir I’tikafnya. (Lihat semua dalam Syarhul Mumti’,  6/163)

🔸Bersambung🔸

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

Fikih I’tikaf (Bag. 6)

📆 Jumat,  12 Ramadhan 1437 H / 17 Juni 2016 M

📚 Fiqih dan Hadits

📝 *Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.*

📋 *Fikih I’tikaf (Bag. 6)*

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

📚 *Tentang Hadits Todak ada I’tikaf selain di tiga masjid*

❣ *Bunyi hadits:*

لا اعتكاف إلا في المساجد الثلاثة

“Tidak ada i’tikaf kecuali pada 3 masjid.” (HR. Ath Thahawi, Syarh Musykilul Atsar No. 2771. Al Baihaqi , 4/316) yaitu masjidil haram, masjid nabawi, dan masjidil aqsha

Syaikh Utsaimin mengatakan: hadits ini dhaif (lemah). (Syarhul Mumti’, 6/164).

Sementara Syaikh Al Albani mengatakan:

و هذا إسناد صحيح على شرط الشيخين

Isnad hadits ini shahih sesuai syarat syaikhain (Bukhari-Muslim). (As Silsilah Ash Shahihah No. 2786)

 Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu memaknai bahwa hadits di atas, hanya mengingkari kesempurnaan I’tikaf saja, tidak sampai mengingkari keabsahan I’tikaf di masjid lain.

 Syaikh Al Albani mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud mentakwil demikian, Katanya:

لا اعتكاف كاملا ، كقوله صلى الله عليه وسلم : ” لا إيمان لمن لا أمانة له ، و لا دين لمن لا عهد له ” و الله أعلم

“I’tikafnya tidak sempurna, sebagaimana Sabdanya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Tidak ada iman bagi yang tidak menjaga amanah, dan tidak beragama bagi yang tidak menepati janji.” Wallahu A’lam (Ibid)

Syaikh Utsaimin Rahimahullah juga memahami demikian, katanya:

إن صح هذا الحديث فالمراد به لا اعتكاف تام، أي أن الاعتكاف في هذه المساجد أتم وأفضل، من الاعتكاف في المساجد الأخرى، كما أن الصلاة فيها أفضل من الصلاة في المساجد الأخرى. ويدل على أنه عام في كل مسجد قوله تعالى: {{وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ}} [البقرة: 187] .فقوله تعالى: {{فِي الْمَسَاجِدِ}} (الـ) هنا للعموم….

Jika hadits ini shahih, maka maksudnya adalah I’tkafnya tidak sempurna, yaitu sesungguhnya I’tikaf di masjid-masjid ini adalah lebih sempurna dan afdhal dibanding I’tikaf di masjid lain sebagaimana shalat di dalamnya lebih afdhal dibanding shalat di masjid lain.

Hal yang menunjukkan bahwa ini berlaku untuk semua masjid adalah firmanNya: (Janganlah kalian mencampuri mereka sedangkan kalian I’tikaf di masjid-masjid), firman Allah fil Masajid (di masjid-masjid), Al (alif lam) di sini menunjukkan umum … (Ibid)

Beliau melanjutkan:

ثم كيف يكون هذا الحكم في كتاب الله للأمة من مشارق الأرض ومغاربها، ثم نقول: لا يصح إلا في المساجد الثلاثة؟! فهذا بعيد أن يكون حكم مذكور على سبيل العموم للأمة الإسلامية، ثم نقول: إن هذه العبادة لا تصح إلا في المساجد الثلاثة، كالطواف لا يصح إلا في المسجد الحرام. فالصواب أنه عام في كل مسجد، لكن لا شك أن الاعتكاف في المساجد الثلاثة أفضل، كما أن الصلاة في المساجد الثلاثة أفضل.

Lalu, bagaimana bisa hukum yang terdapat dalam kitabullah yang berlaku bagi umat di timur dan barat, lalu kita mengatakan kepada mereka: tidak sah kecuali di tiga masjid?

Ini adalah sangat jauh, jika hukum tersebut diterapkan secara umum bagi semua umat Islam. Kemudian kita mengatakan ibadah ini tidak sah kecuali di tiga masjid, seperti thawaf tidak sah kecuali di masjidil haram.

Yang benar adalah bahwa ini berlaku umum pada setiap masjid, tetapi tidak ragu lagi I’tikaf di tiga masjid tersebut lebih utama, sebagaimana shalat di dalamnya lebih utama. (Ibid)

Hanya saja Syaikh Utsaimin menegaskan, bahwa yang disebut masjid adalah yang di dalamnya ditegakkan shalat berjamaah dan shalat Jumat, jika tidak ada shalat Jumat, maka itu bukan masjid.

Dengan kata lain, beliau sebenarnya berada pada kelompok pertama, yaitu hanya membolehkan I’tikaf pada masjid jami’, hanya saja beliau tidak mengistilahkannya dengan masjid jami’

🔹Bersambung🔹

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

Zakat, Infaq, Dan Shadaqoh Bagaimana seharusnya???

👳Ustadz Menjawab👳
✏Ustadz Farid Nu’man

📆Rabu, 15 Juni 2016 M
                 11 Ramadhan 1437 H
🌿🌺🍁🌻🍀🍄🌸🌷🌹

Assalamu ‘alaikum wrwb..
Bagaimana seharusnya menurut syari’at tentang pembayaran infaq, sedekah dan zakat apakah setelah pemotongan kebutuhan tiap bulan atau disisihkan dl untuk infaq, sedekah dan zakat?
Member MANIS A23

🍃🍃Jawaban🌾🌾

و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته ،
📌 Sedekah dan Infaq ada sedikit perbedaan.

📌Sedekah itu ibadah harta dan non harta

📌 Utk yg harta, seperti ayat:
“khudz min amwaalihim shadaqatan – ambillah dr harta mereka sedekahnya (zakat) ..”

📌Dalam hadits Abu Daud, Ahmad, dll, dari Sa’ad bin ‘Ubadah, “Beliau bertanya: ayyu shadaqah afdhal? – sedekah apa yang paling baik?, nabi menjawab: saqiyul maa’ – memberikan air.”

📌 untuk yg non harta, sebagaimana dalam beberapa hadits, misal

dlm Shahih Muslim:
“inna fi budh’i ahadikum shadaqah – dikemaluan kalian ada sedekah.”

 Atau dalam Shahih Bukhari:
“kalimatuth thayyibah shadaqah – perkataan yang baik adalah sedekah.”

📌 Sedangkan infaq adalah ibadah harta saja. Seperti ayat:
“wa mimma razaqnaahum yunfiquun – dan orang2 yang menginfakan apa yang Kami rezekikan …”

📌atau hadits doa malaikat:
“Allahumma a’thi munfiqan khalafa – Ya Allah, berikanlah ganti bagi org yg berinfaq.” (HR. Bukhari)

📌 Persamaannya adalah pada keduanya ada yang *WAJIB* dan *SUNNAH*.

📌 Yang Wajib seperti zakat dan belanja dari suami kepada istri, juga sedekah yg  dinadzarkan, kaffarat, dan semisalnya.

📌 yang Sunnah, seperti sedekah dan infaq kepada org yang sedang kesulitan, sumbangan membangun masjid, dll.

📌 mana yang di dahulukan? Maka yg wajib didahulukan dibanding yang sunnah

📌 Jika sama2 wajib, seperti zakat dan nafkah kpd keluarga, maka zakat didahulukan, sebab sedekah yang membawa manfaat pribadi dan org banyak secara bersamaan didahulukan dibanding sedekah yg bermanfaat utk diri sndiri. TAPI ini terjadi jika sudah *NISHAB dan HAUL*,  jika belum maka kebutuhan keluarga didahulukan.
Wallahu a’lam

🌿🌺🍁🍄🌸🌻🌷🌹

Dipersembahkam oleh:
www.iman-islam.com

💼Sebarkan! Raih Bahagia…

Fikih I’tikaf (Bag. 5)

📆 Kamis,  11 Ramadhan 1437 H / 16 Juni 2016 M

📚 Fiqih dan Hadits

📝 *Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.*

📋 *Fikih I’tikaf (Bag. 5)*

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

📚 _*I’tikaf Wajib di Masjid; Masjid yang bagaimanakah ?*_

 Di masjid adalah syarat sahnya I’tikaf sesuai petunjuk Al Quran Al Baqarah ayat 187, juga contoh dari sunah Rasululah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

 Disebutkan dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah:

أَجْمَعَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ لاَ يَصِحُّ لِلرَّجُل أَنْ يَعْتَكِفَ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ } ، وَلأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَعْتَكِفْ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ .
وَأَمَّا الْمَرْأَةُ فَقَدْ ذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى أَنَّهَا كَالرَّجُل لاَ يَصِحُّ أَنْ تَعْتَكِفَ إِلاَّ فِي الْمَسْجِدِ ، مَا عَدَا الْحَنَفِيَّةَ فَإِنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّهَا تَعْتَكِفُ فِي مَسْجِدِ بَيْتِهَا لأَِنَّهُ هُوَ مَوْضِعُ صَلاَتِهَا ، وَلَوِ اعْتَكَفَتْ فِي مَسْجِدِ الْجَمَاعَةِ جَازَ مَعَ الْكَرَاهَةِ التَّنْزِيهِيَّةِ .

  “Fuqaha telah ijma’ bahwa tidak sah bagi laki-laki yang beri’itikaf kecuali di masjid, sesuai firmanNya Ta’ala: sedang kalian sedang   I’tikaf di masjid. (QS. Al Baqarah : 187), dan  karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak beri’tikaf kecuali di masjid.

  Ada pun wanita, jumhur ulama mengatakan bahwa mereka sama dengan laki-laki; tidak sah I’tikaf kecuali di masjid, kecuali menurut Hanafiyah, mereka mengatakan bahwa waita I’tikaf di masjid di rumahnya, karena di sanalah tempat shalat mereka, dan seandainya mereka I’tikaf   di masjid, boleh saja namun makruh tanzih (makruh yang mendekati boleh).” (Al Mausu’ah, 37/213)

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani Rahimahullah:

وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى مَشْرُوطِيَّة الْمَسْجِدِ لِلِاعْتِكَافِ ، إِلَّا مُحَمَّدَ بْن عُمَر اِبْن لُبَابَةَ الْمَالِكِيَّ فَأَجَازَهُ فِي كُلِّ مَكَانٍ ، وَأَجَازَ الْحَنَفِيَّةُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَعْتَكِفَ فِي مَسْجِدِ بَيْتِهَا وَهُوَ الْمَكَان الْمُعَدُّ لِلصَّلَاةِ فِيهِ

“Ulama telah sepakat atas pensyaratan masjid untuk I’tikaf, kecuali Muhammad bin Umar bin Lubabah Al Maliki yang membolehkan di setiap tempat. Kalangan Hanafiyah membolehkan kaum wanita I’tikaf di masjid rumahnya, yaitu tempat yang dipersiapkan untuk shalat di dalamnya.” (Fathul Bari, 4/272. Darul Fikr)

Demikian kesepakatannya, ada pun adanya pendapat yang menyendiri yang bertabrakan dengan mainstream dalam hal ini, tidaklah dianggap. Namun walau mereka bersepakat tentang keharusan di masjid, mereka berselisih pendapat tentang jenis masjidnya.

Beliau melanjutkan:

وَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَة وَأَحْمَد إِلَى اِخْتِصَاصه بِالْمَسَاجِدِ الَّتِي تُقَام فِيهَا الصَّلَوَات ، وَخَصَّهُ أَبُو يُوسُف بِالْوَاجِبِ مِنْهُ وَأَمَّا النَّفْل فَفِي كُلّ مَسْجِد ، وَقَالَ الْجُمْهُور بِعُمُومِهِ مِنْ كُلّ مَسْجِد إِلَّا لِمَنْ تَلْزَمهُ الْجُمُعَةُ فَاسْتَحَبَّ لَهُ الشَّافِعِيّ فِي الْجَامِع ، وَشَرَطَهُ مَالِكٌ لِأَنَّ الِاعْتِكَافَ عِنْدهمَا يَنْقَطِعُ بِالْجُمُعَةِ ، وَيَجِبُ بِالشُّرُوعِ عِنْد مَالِك ، وَخَصَّهُ طَائِفَةٌ مِنْ السَّلَف كَالزُّهْرِيِّ بِالْجَامِعِ مُطْلَقًا وَأَوْمَأَ إِلَيْهِ الشَّافِعِيّ فِي الْقَدِيم ، وَخَصَّهُ حُذَيْفَةُ بْن الْيَمَانِ بِالْمَسَاجِدِ الثَّلَاثَة ، وَعَطَاءٌ بِمَسْجِدِ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ وَابْنُ الْمُسَيِّبِ بِمَسْجِدِ الْمَدِينَةِ ، وَاتَّفَقُوا عَلَى أَنَّهُ لَا حَدَّ لِأَكْثَرِهِ

“Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad  berpendapat dikhususnya I’tikaf hanya pada *masjid yang di dalamnya dilaksanakan berbagai shalat, Imam Abu Yusuf mengkhususkan pada shalat wajib saja, ada pun shalat sunah bisa di semua masjid. Mayoritas (jumhur) berpendapat sesuai keumumannya pada semua masjid, kecuali bagi orang yang juga sekalian shalat Jumat, maka kalangan Imam Asy Syafi’i menyunnahkan di masjid Jami’, ada pun Imam Malik mensyaratkan hal itu (Masjid Jami’) karena menurut mereka berdua, I’tikaf menjadi terputus karena shalat Jumat. Imam Malik mewajibkan hal itu (keberadaan di masjid Jami’) sejak permulaan I’tikaf. Sebagian salaf seperti Az Zuhri mengkhususkan masjid jami’ secara mutlak, hal itu juga diisyaratkan Imam Asy Syafi’i dalam pendapat lamanya.

Sedangkan Hudzaifah bin Yaman mengkhususkan di tiga masjid saja (Masjidil Haram, Masjid Nabawi, Masjidil Aqsha), Atha’ mengkhususkan pada masjid di Mekkah dan Madinah, Said bin Al Musayyib mengkhususkan masjid di Madinah, dan mereka sepakat tidak ada batasan dalam hal banyaknya.” (Ibid)

Dari penjelasan Al Hafizh, kita bisa simpulkan, bahwa para fuqaha berselisih tentang jenis masjid yang boleh dilakukan i’tikaf di dalamnya:

1⃣.  Sahnya I’tikaf hanya di masjid yang di dalamnya dilakukan shalat yang lima dan shalat Jumat (Istilahnya: masjid jami’). Inilah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, Abu Tsaur, Malik, dll

2⃣.  I’tikaf sah di lakukan di semua masjid, termasuk masjid yang tidak mendirikan shalat Jumat. (istilahnya: masjid ghairu Jami’ – surau), inilah pendapat, Syafi’i, Daud,   dll. Inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama).   Imam Bukhari juga mengikuti pendapat ini, beliau menulis dalam Shahihnya:

بَاب الِاعْتِكَافِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ وَالِاعْتِكَافِ فِي الْمَسَاجِدِ كُلِّهَا

  Bab I’tikaf di 10 Hari terakhir dan I’tikaf Masjid-Masjid Seluruhnya. (lalu beliau mengutip Al Baqarah 187)

3⃣.  I’tikaf hanya sah dilakukan di tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjidil Aqsa. Ini pendapat Hudzaifah bin Yaman Radhiallahu ‘Ahu, ini yang nampak dari  pendapat Syaikh Al Albani Rahimahullah, dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 2786.

4⃣.  Hanya  masjid di Mekkah dan Madinah, apa pun masjid itu. Ini pendapat ‘Atha

5⃣  Hanya masjid di Madinah, apa pun masjid itu. Ini pendapat Sa’id bin Al Musayyib

Nampak bahwa pendapat jumhur adalah pendapat yang lebih kuat, sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnul Utsaimin pada pembahasan selanjutnya.

Bersambung

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

Fiqih I’tikaf (Bag. 4)

📆 Rabu,  10 Ramadhan 1437 H / 15 Juni 2016 M

📚 Fiqih dan Hadits

📝 Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.

📋  *Fiqih I’tikaf (Bag. 4)*
🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

📚 *Bolehkah I’tikaf Selain Ramadhan dan Tanpa Puasa?*

Dalam hal ini terjadi khilafiyah, Syaikh Utsaimin berkata:

فالذي يظهر لي أن الإنسان لو اعتكف في غير رمضان، فإنه لا ينكر عليه بدليل أن الرسول صلّى الله عليه وسلّم أذن لعمر بن الخطاب أن يوفي بنذره ولو كان هذا النذر مكروهاً أو حراماً، لم يأذن له بوفاء نذره، لكننا لا نطلب من كل واحد أن يعتكف في أي وقت شاء، بل نقول خير الهدي هدي محمد صلّى الله عليه وسلّم، ولو كان الرسول صلّى الله عليه وسلّم يعلم أن في الاعتكاف في غير رمضان، بل وفي غير العشر الأواخر منه سنة وأجراً لبينه للأمة حتى تعمل به

“Yang nampak benar bagi saya, bahwa manusia jika i’tikaf pada selain Ramadhan, hal itu tidaklah   diingkari berdasarkan dalil bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengizinkan Umar bin Al Khathab menepati nazarnya.

Seandainya nazar tesebut makruh atau haram, niscaya Beliau tidak akan mengizinkan memenuhi nazarnya. Tetapi, kami tidak menuntut setiap orang untuk beri’tikaf pada bulan apa saja semaunya dia, bahkan kami katakan sebaiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam . Seandainya Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan I’tikaf selain Ramadhan, bahkan diluar 10 hari terakhir adalah sunah dan berpahala, niscaya Beliau akan menjelaskan kepada umat sehingga umat mengerjakannya.” (Syarhul Mumti’, 6/164. Mawqi’ Ruh Al Islam)

    Hadits yang dimaksud oleh Syaikh Utsaimin, yakni Dari Ibnu Umar, bahwa Umar bin Khatab berkata:

يا رسول الله إني نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام. فقال: أوف بنذرك

“Wahai Rasulullah, saya bernazar pada masa jahiliyah untuk i’tikaf pada malam hari di masjidil haram.” Beliau bersabda: “Penuhi nazarmu.” (HR. Bukhari No. 1927, 1937,1938)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

ففى أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم له بالوفاء بالنذر دليل على ان الصوم ليس شرطا في صحة الاعتكاف، إذ أنه لا يصح الصيام في الليل.

Maka, pada perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepadanya  (Umar) untuk memenuhi nazar, merupakan dalil bahwa berpuasa bukanlah syarat bagi sahnya i’tikaf, mengingat bahwa tidak sahnya berpuasa malam hari. (Fiqhus Sunnah, 1/478)

Inilah pendapat Ali, Ibnu Mas’ud, Al Hasan Al Bashri, Asy Syafi’i, dll. Sedangkan ‘Aisyah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Sa’id bin Al Musayyib,  Urwah bin Zubeir, Az Zuhri,  Al Auza’i, Malik, Abu Hanifah, menyatakan bahwa I’tikaf tidak sah tanpa berpuasa. (Ibid, 1/479)

Faktanya, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah I’tikaf pada bulan Syawwal, yaitu 10 hari terakhir bulan Syawwal, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dalam kitab Shahihnya:
بَاب الِاعْتِكَافِ فِي شَوَّالٍ

  Bab I’tkaf Pada Bulan Syawwal

Maka, pandangan yang lebih kuat adalah bahwa I’tikaf tetap sah dilakukan tanpa puasa dan sah pula di luar Ramadhan. Jika ditambah puasa maka itu afdhal.

Wallahu A’lam

🔹Bersambung 🔹

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

Fiqih I’tikaf (Bag. 3)

📆 Selasa,  9 Ramadhan 1437 H / 14 Juni 2016 M

📚 Fiqih dan Hadits

📝 Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.

📋  *Fiqih I’tikaf (Bag. 3)*
🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

📚 *I’tikaf Kaum Wanita*

Dari ‘Aisyah Radiallahu ‘Anha:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

📌Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatkan Allah, kemudian istri-istrinya pun I’tikaf setelah itu.(HR. Bukhari, No. 2026, Muslim No. 1171, Abu Daud No. 2462. Ahmad No. 24613, dan lainnya)

Syaikh Al Albani Rahimahullah mengomentari hadits ini:

وفيه دليل على جواز اعتكاف النساء أيضا ولا شك أن ذلك مقيد بإذن أوليائهن بذلك وأمن الفتنة والخلوة مع الرجال للأدلة الكثيرة في ذلك والقاعدة الفقهية : درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

📌Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya I’tikaf bagi wanita juga, dan tidak ragu bahwa kebolehan itu terikat dengan izin para walinya, atau aman dari fitnah, dan aman dari berduaan dengan laki-laki lantaran banyak dalil yang menunjukkan hal itu, juga kaidah fiqih: menolak kerusakan lebih diutamakan dibanding mengambil maslahat. (Qiyamur Ramadhan, Hal. 35. Cet. 2. Maktabah Islamiyah, ‘Amman. Jordan)

  Selain itu, hendaknya wanita I’tikaf di masjid yang memungkinkan dan kondusif bagi mereka.

 Berkata Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah:

وإذا اعتكفت المرأة في المسجد، استحب لها أن تستتر بشيء؛ لأن أزواج النبي صلّى الله عليه وسلم لما أردن الاعتكاف أمرن بأبنيتهن، فضربن في المسجد، ولأن المسجد يحضره الرجال، وخير لهم وللنساء ألا يرونهن ولا يرينهم.

  📌“Jika wanita I’tikaf di masjid, dianjurkan dia membuat penutup dengan sesuatu, karena para isteri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika hendak i’tikaf, Beliau memerintahkan mereka untuk menjaga diri, lalu mereka mendirikan kemah di masjid, karena masjid dihadiri kaum laki-laki, dan itu lebih baik bagi mereka (kaum laki-laki) dan bagi wanita, sehingga kaum laki-laki   tidak melihat mereka dan sebaliknya.” (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 3/125)

📚 *Keutamaannya*

  Tidak ada riwayat shahih yang mendefinitkan keutamaan I’tikaf secara khusus. Namun, adanya berita shahih bahwa nabi, para isterinya, dan para sahabat yang senantiasa melakukannya setiap Ramadhan menunjukkan keutamaan I’tikaf. Sebab, tidak mungkin mereka merutinkan amalan yang dianggap ‘biasa saja.’

  Syaikh Sayyid Sabiq  Rahimahullah menulis sbb:

قال أبوداود: قلت لاحمد رحمه الله: تعرف في فضل الاعتكاف شيئا؟ قال: لا، إلا شيئا ضعيفا.

📌  Berkata Abu Daud: Saya berkata kepada Ahmad Rahimahullah: “Apakah engkau mengatahui tentang keutamaan I’tikaf?” Beliau berkata: “Tidak, kecuali suatu riwayat yang dhaif.” (Fiqhus Sunnah, 1/475)

📚 *Syarat-Syarat I’tikaf*

ويشترط في المعتكف أن يكون مسلما، مميزا طاهرا من الجنابة والحيض والنفاس، فلا يصح من كافر ولا صبي غير مميز ولاجنب ولاحائض ولا نفساء.

📌Syarat bagi orang yang beri’tikaf adalah: muslim, mumayyiz (sudah mampu membedakan salah benar, baik buruk), suci dari junub, haid, dan nifas, tidak sah jika kafir, anak-anak yang belum mumayyiz, junub, haid, dan nifas. (Fiqhus Sunnah, 1/477)

📚 *Rukun-Rukun I’tikaf*

Berikut ini keterangannya:

أركانه: حقيقة الاعتكاف المكث في المسجد بنية التقرب إلى الله تعالى، فلو لم يقع المكث في المسجد أو لم تحدث نية الطاعة لا ينعقد الاعتكاف.

📌Rukun-rukunnya: hakikat dari I’tikaf adalah tinggal di masjid dengan niat taqarrub ilallah Ta’ala. Seandainya tidak menetap di masjid atau tidak ada niat melaksanakan ketaatan, maka tidak sah disebut i’tikaf . (Ibid)

🔑Jadi, ada dua rukun: niat untuk ibadah dan menetap di masjid.

🔸Bersambung 🔸

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

Fiqih I’tikaf (Bag. 2)

📆 Senin,  8 Ramadhan 1437 H / 13 Juni 2016 M

📚 Fiqih dan Hadits

📝 *Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.*

📋  *Fiqih I’tikaf (Bag. 2)*
🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

📚 *Hukumnya*

  Hukumnya adalah sunnah alias tidak wajib, kecuali I’tikaf karena nazar.

Imam Asy Syaukani Rahimahullah mengatakan:

وقد وقع الإجماع على أنه ليس بواجب ، وعلى أنه لا يكون إلا في مسجد

📌Telah terjadi ijma’ bahwa I’tikaf bukan kewajiban, dan bahwa dia tidak bisa dilaksanakan kecuali di masjid. (Fathul Qadir, 1/245)

Namun jika ada seorang yang bernazar untuk beri’tikaf, maka wajib baginya beri’tikaf.

  Khadimus Sunnah Asy Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan:

الاعتكاف ينقسم إلى مسنون وإلى واجب، فالمسنون ما تطوع به المسلم تقربا إلى الله، وطلبا لثوابه، واقتداء بالرسول صلوات الله وسلامه عليه، ويتأكد ذلك في العشر الاواخر من رمضان لما تقدم، والاعتكاف الواجب ما أوجبه المرء على نفسه، إما بالنذر المطلق، مثل أن يقول: لله علي أن أعتكف كذا، أو بالنذر المعلق كقوله: إن شفا الله مريضي لاعتكفن كذا.
وفي صحيح البخاري أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” من نذر أن يطيع الله فليطعه “

📌  I’tikaf terbagi menjadi dua bagian; sunah dan wajib. I’tikaf sunah adalah I’tikaf yang dilakukan secara suka rela oleh seorang muslim dalam rangka taqarrub ilallahi (mendekatkan diri kepada Allah), dalam rangka mencari pahalaNya dan mengikuti sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hal itu ditekankan pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sebagaimana penjelasan sebelumnya.

  I’tikaf wajib adalah apa-apa yang diwajibkan seseorang atas dirinya sendiri, baik karena nazar secara mutlak, seperti perkataan: wajib atasku untuk beri’tikaf sekian  karena Allah. Atau karena nazar yang mu’alaq (terkait dengan sesuatu), seperti perkataan: jika Allah menyembuhkan penyakitku saya akan I’tikaf sekian ..

  Dalam shahih Bukhari disebutkan, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang bernazar untuk mentaati Allah maka taatilah (tunaikanlah).” (Fiqhus Sunnah, 1/475)

🔸Bersambung 🔸

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

FIQIH I’TIKAF (Bag. 1)

📆 Ahad,  7 Ramadhan 1437 H / 12 Juni 2016 M

📚 Fiqih dan Hadits

📝 *Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.*

📋 *FIQIH I’TIKAF (Bag. 1)*

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

📚 *Definisi*

📕 *Secara Bahasa (Lughah):*

I’tikaf adalah Al Mulaazim artinya  berdiam, membiasakan, menetapi (Lihat Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 1/244. Mawqi’ Ruh Al Islam)

يقال عكف على الشيء : إذا لازمه

    Dikatakan, ‘akafa ‘ala Asy Syai’  (Dia menetap di atas sesuatu), artinya dia selalu bersamanya. (Ibid)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

الاعتكاف لزوم الشئ وحبس النفس عليه، خيرا كان أم شرا

I’tikaf adalah menetapi sesuatu dan menutup  diri, dalam hal baik atau buruk . (Fiqhus Sunnah, 1/475)

📕 *Secara Istilah (Syara’)* :

 والاعتكاف في الشرع : ملازمة طاعة مخصوصة على شرط مخصوص

Secara syara’: menetap dalam rangka taat secara khusus dengan syarat khusus pula. (Fathl Qadir, 1/245)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:

والمقصود به هنا لزوم المسجد والاقامة فيه بنية التقرب إلى الله عزوجل.

Yang dimaksud I’tikaf di sini adalah menetapi masjid dan menegakkan shalat di dalamnya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. (Fiqhus Sunnah, 1/475)

📕 *Dasar Hukum*

🌸 *Al Quran*

وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

Janganlah kalian    mencampuri  mereka (Istri), sedang kalian sedang   I’tikaf di masjid. (QS. Al Baqarah : 187)

🌸 *As Sunnah*

Dari ‘Aisyah Radiallahu ‘Anha:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan sampai beliau diwafatka Allah, kemudian istri-istrinya pun I’tikaf setelah itu.(HR. Bukhari, No. 2026, Muslim No. 1171, Abu Daud No. 2462. Ahmad No. 24613, dan lainnya)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam I’tikaf di setiap Ramadhan 10 hari, tatkala pada tahun beliau wafat, beliau I’tikaf 20 hari. (HR. Bukhari No. 694, Ahmad No. 8662, Ibnu Hibban No. 2228,  Al Baghawi No. 839, Abu Ya’la No. 5843,  Abu Nu’aim dalam Akhbar Ashbahan, 2/53)

🌸 *Ijma’*

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menceritakan adanya ijma’ tentang  syariat I’tikaf:

وقد أجمع العلماء على أنه مشروع، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في كل رمضان عشرة أيام، فلما كان العام الذي قبض فيه اعتكف عشرين يوما.

Ulama telah ijma’ bahwa I’tikaf adalah disyariatkan, Nabi  Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beri’tikaf setiap Ramadhan 10 hari, dan 20 hari ketika tahun beliau wafat. (Fiqhus Sunnah, 1/475)

🔹Bersambung🔹

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

Kumpulan Hadits-Hadits Shahih Tentang Shaum dan Ramadhan (Bag. 5)

📆 Sabtu,  6 Ramadhan 1437 H / 11 Juni 2016 M

📚 Fiqih dan Hadits

📝 *Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.*

📋 *Kumpulan Hadits-Hadits Shahih Tentang Shaum dan Ramadhan (Bag. 5)*

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

2⃣8⃣  *Doa ketika Lailatul Qadar*

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengajarkan doa khusus  untuk kita baca ketika Lailatul Qadar.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

  Dari ‘Aisyah dia berkata “Aku berkata: Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku mengetahui bahwa pada suatu malam adalah Lailatul Qadar, apa yang aku ucapkan?” Beliau menjawab: “Ucapkanlah, ‘Allahumma innaka ‘afuwwun karim tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni.”

 (HR. At Tirmidzi No. 3513, At Tirmidzi berkata: hasan shahih. Ibnu Majah No. 3850. Syaikh Al Albani menshahihkannya. Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 3337, Shahihul Jami’ No. 4423, dan lainnya)

2⃣9⃣  *Orang yang tidak berpuasa tanpa alasan*

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, secara marfu’:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلَا مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ

Barang siapa yang  tidak berpuasa pada Ramadhan tanpa adanya uzur, tidak pula sakit, maka tidaklah dia bisa menggantikannya dengan puasa sepanjang tahun, jika dia melakukannya. (HR. Bukhari No. 1934)

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

عرى الاسلام، وقواعد الدين ثلاثة، عليهن أسس الاسلام، من ترك واحدة منهن، فهو بها كافر حلال الدم: شهادة أن لا إله إلا الله، والصلاة المكتوبة، وصوم رمضان
             
Tali Islam dan kaidah-kaidah agama ada tiga, di atasnyalah agama Islam difondasikan, dan barangsiapa yang meninggalkannya satu saja, maka dia kafir dan darahnya halal ( untuk dibunuh), (yakni):  Syahadat Laa Ilaaha Illallah, shalat wajib, dan puasa Ramadhan.”

(HR. Abu Ya’ala No. 2349, Alauddin Al muttaqi Al Hindi dalam Kanzul ‘Ummal No. 23, juga Ad Dailami dan dishahihkan oleh Imam Adz Dzahabi. Berkata Hammad bin Zaid: aku tidak mengetahui melainkan hadits ini  telah dimarfu’kan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Al Haitsami mengatakan sanadnya hasan, Majma’ Az Zawaid, 1/48. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Tetapi didhaifkan oleh Syaikh Al Albani Rahimahullah)

Berkata Imam Adz Dzahabi Rahimahullah:

وعند المؤمنين مقرر:  أن من ترك صوم رمضان بلا مرض، أنه شر من الزاني، ومدمن الخمر، بل يشكون في إسلامه، ويظنون به الزندقة، والانحلال.

“Bagi kaum mukminin telah menjadi ketetapan bahwa meninggalkan puasa Ramadhan padahal tidak sakit adalah lebih buruk dari pezina dan pemabuk, bahkan mereka meragukan keislamannya dan mencurigainya sebagai zindiq dan tanggal agamanya.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/434. Lihat juga Imam Al Munawi, Faidhul Qadir, 4/410. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

3⃣0⃣  *Puasa adalah tameng dari Api Neraka*

Dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنَ النَّارِ
“Puasa adalah tameng, orang berpuasa akan melindungi dirinya dari api neraka.” (HR. Ahmad dalam Musnadnya No. 14669)

Imam Al Haitsami mengatakan: isnadnya hasan. (Majma’ Az Zawaid, No. 5077)

Berkata Syaikh Syu’aib Al Arnauth:

حديث صحيح بطرقه وشواهده وهذا إسناد حسن

 “Hadits shahih dengan berbagai jalur dan penguatnya. Isnad hadits ini hasan.” (Ta’liq Musnad Ahmad No. 14669, Jadi sanad hadits ini hasan, namun terangkat menjadi shahih karena banyaknya jalan. Demikian menurut Syaikh Syu’aib Al Arnauth. Syaikh Al Albani juga menghasankan hadits ini. Lihat Shahihul Jami’ No. 4308)
Wallahu A’lam

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…