cropped-logo-manis-1.png

Hukum Membaca Asmaul Husna

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz… Saya mau bertanya mengenai

1. Bid’ah

2. Apakah membaca asmaul husna itu haram?

3. Memaksa anak untuk bangun pagi dan melaksanakan shalat apakah tidak boleh? Meskipun kita menyuruh secara hapus dan lembut, apakah ini masuk ke kategori paksaan?

A_11

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Bid’ah adalah hal baru dalam urusan agama, yang tidak ada dalam Al-Quran, atau As-Sunnah, atau ijma’, atau qiyas, atau qaul sahabat.

Jika salah satu sumber di atas mengakomodasi sebuah amal maka itu bukan bid’ah. Misal walau tidak ada dalam Al-Quran, tapi ada dalam sunnah, tidak ada dalam Al-Quran dan Sunnah tapi ada dalam ijma’, tidak ada dalam itu semua tapi ada dalam qiyas, atau qiyas pun tidak ada tapi ada dalam perilaku atau perkataan sahabat nabi, maka tidak boleh dikatakan bid’ah.

2. Membaca Asma’ul Husna itu perintah Allah dan Rasul-Nya, yaitu berdoa dengan menggunakan asmaul husna. Atau berdzikir dengan membaca asmaul husna, ini benar.

Hal ini berdasarkan ayat berikut:

وَلِلَّهِ ٱلۡأَسۡمَآءُ ٱلۡحُسۡنَىٰ فَٱدۡعُوهُ بِهَاۖ وَذَرُواْ ٱلَّذِينَ يُلۡحِدُونَ فِيٓ أَسۡمَٰٓئِهِۦۚ سَيُجۡزَوۡنَ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ

Dan Allah memiliki Asma’ul-Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutnya Asma’ul-Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.

-Surat Al-A’raf, Ayat 180

Rasulullah ﷺ pun melakukannya..

Telah menceritakan kepada Kami Abdurrahman bin ‘Ubaidullah Al Halabi, telah menceritakan kepada Kami Khalaf bin Khalifah dari Hafsh yaitu anak saudara Anas dari Anas bahwa ia duduk bersama Rasulullah shallAllahu wa’alaihi wa sallam dan terdapat seorang laki-laki yang melakukan shalat, kemudian ia berdoa; ALLAAHUMMA INNII AS-ALUKA BIANNA LAKAL HAMDU LAA ILAAHA ILLAA ANTA, Al MANNAANU, *BADII*’US SAMAAWAATI WAL ARDHI, YAA DZAL JALAALI WAL IKRAAM, *YAA HAYYU YAA QAYYUUM* (ya Allah, aku memohon kepadaMu bahwa bagiMu segala pujian, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Pemberi, Pencipta langit dan bumi. Wahai Dzat yang memiliki keagungan, serta kemuliaan, wahai Dzat yang Maha Hidup, lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya)). Kemudian Nabi ﷺ bersabda: “Sungguh ia telah berdoa kepada Allah dengan nama-Nya yang agung, yang apabila dipanjatkan doa kepada-Nya dengan nama tersebut maka Dia akan mengabulkannya, dan apabila Dia diminta dengan nama tersebut maka Dia akan memberinya.” (HR. Abu Daud no. 1495, Shahih)

Wallahu A’lam

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Wali Hakim

Wali Nikah Anak Angkat Perempuan

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz, saya mau bertanya, apakah untuk seorang anak angkat perempuan yang akan menikah perlu terlebih dahulu dicari orangtua kandungnya?

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Bismillahirrahmanirrahim

Salah satu rukun pernikahan adalah adanya wali bagi pengantin perempuan, yang tanpanya maka pernikahan tidak sah. Itulah pendapat mayoritas ulama, kecuali Hanafiyah.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لا نكاح الا بولى

Tidak ada pernikahan tanpa adanya wali. (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dll. Dihasankan Imam At Tirmidzi, sementara Imam Ibnu Hibban mengatakan Shahih)

Hadits lain:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ

Wanita mana pun yang nikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal. (HR. Ibnu Majah, Al Baihaqi, Sa’id bin Manshur, dll. Shahih)

Yang paling berhak menjadi wali adalah ayah kandung si wanita tersebut. Ada pun ayah angkat tidak berhak menjadi walinya. Oleh karena itu, sudah semestinya ayah kandung dicari keberadaannya.

Jika tidak ada ayah kandung (misal sudah wafat atau tidak bisa didatangkan karena belum ketemu atau tidak diketahui keberadaannya), maka wali bisa pamannya dari jalur ayah, jika tidak ada juga maka saudara kandungnya yang laki-laki.

Jika tidak ada juga, maka wali hakim yaitu penghulu atau petugas KUA.

Ini sesuai hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

السلطان ولي من لا ولي لها

Sultan (negara) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali. (HR. At Tirmidzi, Abu Daud, dll. Hasan)
Demikian. Wallahu a’lam.

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Hukum Asal Air

Percikan Air Kencing Ke Kolam

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz… Bagaimana cara menyucikan air bak mandi yang kurang dari 2 qullah yang terkena percikan kencing?

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d.

Sebelumnya yang perlu dibahas adalah percikan air kencing ke air kolam, apakah membuat air kolam itu berubah najis juga? Kata “percikan” mengesankan tidak banyak, berbeda dgn menumpahkan air kencing ke dalam kolam tentu beda lagi.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

“Sesungguhnya air itu suci, dan tidak ada suatu apa pun yang bisa menajiskannya.” [1]

Jika kita pakai hadits ini saja, tentu kita akan berpikir air tidak bisa jadi najis, apa pun yang terjadi pada air itu. Tapi tidak demikian kenyataannya. Sebab, kita dapati riwayat lain:

وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ اَلْبَاهِلِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ – صلى الله عليه وسلم – إِنَّ اَلْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ, إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ, وَلَوْنِهِ – أَخْرَجَهُ اِبْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ

Dari Abu Umamah Al Baahili Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Bersabda Rasulullah ﷺ: “Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang menajiskannya, kecuali apa-apa yang bisa mengubah baunya, rasanya, dan warnanya.” [2]

Walau hadits ini dhaif tapi secara makna shahih, Imam Ash Shan’ani Rahimahullah berkata:

قال ابن المنذر: قد أجمع العلماء: على أن الماء القليل والكثير إذا وقعت فيه نجاسة فغيرت له طعماً، أو لوناً، أو ريحاً فهو نجس، فالإجماع هو الدليل على نجاسة ما تغير أحد أوصافه، لا هذه الزيادة

“Berkata Ibnul Mundzir: “Para ulama telah ijma’ (sepakat) bahwa air yang sedikit dan banyak, jika terkena najis lalu berubah rasa, warna, dan aroma, maka dia menjadi NAJIS.” Maka, ijma’ adalah merupakan dalil atas kenajisan sesuatu yang telah berubah salah satu sifat-sifatnya, bukan berdalil pada kalimat tambahan hadits ini. “ [3]

Jadi, yang menjadi standar adalah apakah air itu berubah sifatnya atau tidak. Jika ada perubahan aroma, atau warna, atau rasa, maka air tersebut menjadi najis.

Dalam Al Mausu’ah tertulis:

اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الْمَاءَ إِذَا خَالَطَتْهُ نَجَاسَةٌ، وَغَيَّرَتْ أَحَدَ أَوْصَافِهِ، كَانَ نَجِسًا، سَوَاءٌ أَكَانَ الْمَاءُ قَلِيلاً أَمْ كَثِيرًا. قَال ابْنُ الْمُنْذِرِ: أَجْمَعَ أَهْل الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ الْمَاءَ الْقَلِيل وَالْكَثِيرَ إِذَا وَقَعَتْ فِيهِ نَجَاسَةٌ، فَغَيَّرَتْ لِلْمَاءِ طَعْمًا أَوْ لَوْنًا أَوْ رَائِحَةً أَنَّهُ نَجِسٌ مَا دَامَ كَذَلِكَ.وَاخْتَلَفُوا فِي الْمَاءِ إِذَا خَالَطَتْهُ نَجَاسَةٌ وَلَمْ تُغَيِّرْ أَحَدَ أَوْصَافِهِ عَلَى قَوْلَيْنِ:

Ahli fiqih sepakat bahwa air yang tercampur najis dan berubah salah satu sifatnya maka itu menjadi najis, baik air itu sedikit atau banyak. Ibnul Mundzir mengatakan: “Ulama sepakat bahwa air yang sedikit dan banyak jika terjatuh padanya najis lalu ada perubahan rasa, atau warna, atau aroma, maka itu najis selama keadaannya seperti itu. Para ulama berbeda pendapat jika air bercampr dengan yang najis tapi TIDAK BERUBAH SIFAT SALAH SATU AIR tersebut, dalam hal ini ada dua pendapat:

الْقَوْل الأْوَّل: أَنَّ الْمَاءَ إِذَا خَالَطَتْهُ نَجَاسَةٌ وَلَمْ تُغَيِّرْ أَحَدَ أَوْصَافِهِ، فَهُوَ طَاهِرٌ سَوَاءٌ أَكَانَ كَثِيرًا أَمْ قَلِيلاً، وَهَذِهِ رِوَايَةٌ عَنْ مَالِكٍ، وَإِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أَحْمَدَ، وَبِهِ قَال بَعْضُ الشَّافِعِيَّةِ، وَإِلَيْهِ ذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ … الْقَوْل الثَّانِي: يُفَرِّقُ بَيْنَ كَوْنِهِ قَلِيلاً وَبَيْنَ كَوْنِهِ كَثِيرًا، فَإِنْ كَانَ الْمَاءُ قَلِيلاً يَنْجُسُ، وَإِنْ كَانَ كَثِيرًا لاَ يَنْجُسُ. وَإِلَى هَذَا ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ، وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ مَالِكٍ، وَالْمَذْهَبُ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ، وَالْمَشْهُورُ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ، وَهُوَ رَأْيُ جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ

Pertama.

Air yang bercampur najis dan tidak ada perubahan salah satu sifatnya maka itu TETAP SUCI baik air itu sedikit atau banyak. Ini adalah salah satu riwayat dari Imam Malik, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, dan pendapat sebagian Syafi’iyyah, dan segolongan sahabat dan tabi’in. …..

Kedua.

Dibedakan dulu antara sedikit dan banyaknya air, jika airnya sedikit maka itu najis, jika airnya banyak maka tidak najis. Inilah pendapat Hanafiyah, salah satu riwayat Imam Malik, dan madzhab Syafi’i, pendapat terkenal dari Hanabilah, ini juga pendapat segolongan sahabat dan tabi’in. (Al Mausu’ah, 39/367-368)

Jadi, jika air kolam tersebut tidak ada perubahan apa pun dari salah satu dari tiga (aeoma, rasa, warna), maka dia tetap suci menurut sebagian ulama dan tidak perlu membuang dan mengurasnya.

Ada pun jika sudah berubah, maka cara membersihkannya jika Hendaknya dikuras, disikat dindingnya karena dindingnya pasti bersentuhan dengan najisnya air kolam tersebut, lalu bilas, dan diganti air baru.

Kesimpulan:

– Jika cipratan kencing itu tidak merusak air, air itu tetap tidak berubah sifat dasarnya, yaitu aroma, rasa, dan warna, maka dia tetap suci, baik air itu jumlahnya sedikit atau banyak.

– Sementara Syafi’iyyah mensyaratkan jika sudah dua qullah maka itu tetap suci, tapi jika tidak mencapai dua qullah maka tidak mensucikan.

Demikian. Wallahu a’lam

☆☆☆
[1] HR. Abu Daud no. 67

[2] HR. Ibnu Majah no. 521. Para ulama mendhaifkan hadits ini seperti Imam Asy Syafi’iy, Imam An Nawawi, Imam Ibnul Mulaqin, dll

[3] Imam Ash Shan’aniy, Subulus Salam, 1/19

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

logo manis4

Shalat Istikharah Bolehkah Dilakukan Setiap Hari?

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz, saya mau bertanya, shalat istikharah bolehkah dilakukan tiap hari?
Kapan Waktu yg di sunnah utk sholat istikharah? Junlah rakat yg sesuai sunnah brp?

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Shalat istikharah itu shalat ada sebab, yaitu dikala kita bingung akan sebuah keputusan atau memilih sesuatu .. Silahkan dilakukan tiap hari jika memang ada hajat, dan itu sunnah, tapi jika tdk ada perlu, tidak ada urusan apa-apa, maka jangan lakukan. Sebaiknya lakukan sunnah mutlak atau sunnah lain.

Imam Badruddin Al ‘Aini mengatakan:

فإن قلت : هل يستحب تكرار الاستخارة في الأمر الواحد إذا لم يظهر له وجه الصواب في الفعل أو الترك ما لم ينشرح صدره لما يفعل. قلت : بلى، يستحب تكرار الصلاة والدعاء لذلك

Jika anda berkata: bolehkah mengulang-ulang shalat istikharah dalam urusan yang sama jika memang belum jelas mana yang benar dalam sebuah urusan baik untuk melakukannya atau meninggalkannya, dan hati belum lapang terhadapnya? Aku jawab: Tentu boleh, itu sunnah mengulang-ulang shalat dan doa dalam hal itu.

(‘Umdah Al Qari, 7/235)

Sunnahnya 2 rakaat, bacaan surat bebas, waktunya bebas asalkan jgn diwaktu2 terlarang.. Bagus dimalam2 terakhir..

Doanya:

اللهم انى أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ ، وَتَعْلَمُ وَلاَ أَعْلَمُ ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ ، اللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ هَذَا الأَمْرَ – ثُمَّ تُسَمِّيهِ بِعَيْنِهِ – خَيْرًا لِى فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – قَالَ أَوْ فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – فَاقْدُرْهُ لِى ، وَيَسِّرْهُ لِى ، ثُمَّ بَارِكْ لِى فِيهِ ، اللَّهُمَّ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّهُ شَرٌّ لِى فِى دِينِى وَمَعَاشِى وَعَاقِبَةِ أَمْرِى – أَوْ قَالَ فِى عَاجِلِ أَمْرِى وَآجِلِهِ – فَاصْرِفْنِى عَنْهُ ، وَاقْدُرْ لِىَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ، ثُمَّ رَضِّنِى بِهِ

Allahumma inni astakhiruka bi ‘ilmika, wa astaqdiruka bi qudratika, wa as-aluka min fadhlika, fa innaka taqdiru wa laa aqdiru, wa ta’lamu wa laa a’lamu, wa anta ‘allaamul ghuyub. Allahumma fa-in kunta ta’lamu hadzal amro (sebut nama urusan tersebut) khoiron lii fii ‘aajili amrii wa aajilih (aw fii diini wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii) faqdur lii, wa yassirhu lii, tsumma baarik lii fiihi. Allahumma in kunta ta’lamu annahu syarrun lii fii diini wa ma’aasyi wa ‘aqibati amrii (fii ‘aajili amri wa aajilih) fash-rifnii ‘anhu, waqdur liil khoiro haitsu kaana tsumma rodh-dhinii bih.

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku beristikhoroh pada-Mu dengan ilmu-Mu, aku memohon kepada-Mu kekuatan dengan kekuatan-Mu, aku meminta kepada-Mu dengan kemuliaan-Mu. Sesungguhnya Engkau yang menakdirkan dan aku tidaklah mampu melakukannya. Engkau yang Maha Tahu, sedangkan aku tidak. Engkaulah yang mengetahui perkara yang ghoib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini (sebut urusan tersebut) baik bagiku dalam urusanku di dunia dan di akhirat, (atau baik bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku), maka takdirkanlah hal tersebut untukku, mudahkanlah untukku dan berkahilah ia untukku. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara tersebut jelek bagi agama, penghidupan, dan akhir urusanku (baik bagiku dalam urusanku di dunia dan akhirat), maka palingkanlah ia dariku, takdirkanlah yang terbaik bagiku di mana pun itu sehingga aku pun ridho dengannya.

Wallahu A’lam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Menghilangkan Keraguan

Pro Kontra Hipnoterapi, Bagaimana Menyikapinya?

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz, saya mau bertanya, soal hypnotherapy. Apa boleh muslim melakukan ini? Halalkah?

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Bismillahirrahmanirrahim..

Hipnoterapi adalah salah satu terapi (pengobatan) alternatif dengan menggunakan metode relaksasi, konsentrasi intens, dan perhatian yang terfokus agar terciptanya kesadaran yang lebih tinggi atau disebut juga dengan ‘trance’. Konon, hal ini untuk meningkatkan fokus seseorang, terutama agar lebih menerima sugesti dari terapisnya. Efeknya adalah tidurnya sistem syaraf, sehingga org tersebut sering tidak menyadari dan tidak merasakan apa yang dialaminya.

Sebagian orang ada yang menggunakannya untuk kejahatan seperti mencopet, menipu, dan ada juga untuk kebaikan seperti pengobatan, menghilangkan stress, dan memudahkan persalinan saat melahirkan.

Cara seperti ini mirip seperti sihir, sama-sama menghilangkan kesadaran orang yang disihir. Yg berbeda adalah metodenya. Sihir biasanya dibarengi dgn rapalan mantera dan alat-alat seperti benang, jarum, dll, dengan mendatangkan jin. Sedangkan Hipnoterapi menggunakan kata-kata yg mensugesti, dan pikiran fokus pasiennya. Oleh karena itu, Hipnoterapi dgn hipnosis sebagai dasarnya dianggap nau’un minas sihr (salah satu jenis dr sihir) menurut sebagian ulama.

Maka, muncullah pro dan kontra. Sebagian ulama mengharamkannya, baik dipakai dalam kebaikan, apalagi buat kejahatan. Sebagian lain membolehkan dgn syarat benar-benar bebas dari unsur yang mengandung dan mengundang syirik.

Jalan terbaik adalah tetap menghindarinya. Jika sebuah terapi alternatif seperti Hipnoterapi ini masih kontroversi secara fiqih, pihak yang membolehkan pun memberikan sejumlah syarat, sementara masih banyak cara lain yang jelas halal dan bolehnya, maka pakailah cara-cara yang jelas jalal dan bolehnya.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:

َدَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ

Tinggalkan apa-apa yang membuat kamu ragu, beralihlah kepada apa-apa yang membuat kamu tidak ragu.

(HR. At Tirmidzi no. 2518, shahih)

Dalam hadits lainnya:

فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ

Maka barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang meragukan, maka selamatlah agama dan harga dirinya, tetapi siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman. Tak ubahnya seperti gembala yang menggembala di tepi pekarangan, dikhawatirkan ternaknya akan masuk ke dalamnya.

(HR. Muslim no. 1599)

Demikian. Wallahu a’lam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

wanita yang paling baik

Taati Suami, Jangan Durhaka Kepada Orang Tua

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz, saya mau bertanya, saya menikah tahun 2020 dg duda 2 anak, selama ini kami LDM Jkt-Smg sebulan sekali kami bertemu. yg kecil ikut sy krn bth sosok ibu, sedangkan kakaknya sekolah SD menemani ayahnya disana. lambat laun kami merasa memang hrs satu atap bagaimanapun jg anak2 butuh keluarga yg lengkap. namun hal ini tidak diizinkan ibu sy sampai2 suami hrs menceraikan sy jika bersikeras sy pindah ke Jkt, alasannya krn dulu diijinkan menikah dg syarat hrs hidup di Smg. Saat ini suami tinggal dg orangtua, khawatirnya ibu saya mungkin saya kesulitan ekonomi dg sy keluar pekerjaan dan meninggalkan rumah pribadi di Smg. Sy 2 bersaudara, kakak sypun menentang sy pindah ke Jkt. Mohon pencerahannya ust/ ustadzah atas permasalahan yg sy alami, sy merasa sedih dan berserah diri kepada Alloh, namun sy msh bimbang harus bagaimana 🙏🏻

A/34

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Bismillahirrahmanirrahim..

“Taati suami, jangan durhaka kepada orang tua”, ini yang perlu di jaga. Yakinkan kepada ibu dan saudara-saudara, bahwa kebersamaan dengan suami tidak akan menelantarkan ortua. Sehingga taat kepada suami dapat berjalan, dan memerhatikan ibu pun juga tidak dilupakan.

Bagaimana pun juga wanita yang telah bersuami, kewajiban kepada suami lebih besar setelah kewajiban kepada Allah Ta’ala. Ini perlu dipahami oleh semuanya.

Semoga Allah Ta’ala memberikan kemudahan dan kekuatan..

Wallahu A’lam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Hadiah dari Non Muslim

Menyikapi Hadiah Non Muslim kepada Kita

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz…
Bagaimana sikap terbaik dalam islam, terhadap tentangga kita yang akan merayakan natal
Mereka tetangga yang baik dan santun
Ketika lebaran, mereka berkunjung ke rumah kami.
Terkadang memberi makanan, apa boleh kami makan?
Kami belum tau makanan itu pesan atau buat sendiri, dan tidak tau apakah mereka mengkonsumsi yang diharamkan dalam islam.
Mohon penjelasan ustadz.

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d.

Hendaknya tetap berbuat baik dalam momen yang lain, yang bukan ritual keagamaan.

Menerima hadiah dari mereka saat hari raya mereka, selama makanan halal, barang halal, bukan makanan acara ritualnya, tidak apa-apa.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid mengatakan:

أما قبول الهدية من الكافر في يوم عيده ، فلا حرج فيه ، ولا يعد ذلك مشاركة ولا إقرارا للاحتفال ، بل تؤخذ على سبيل البر ، وقصد التأليف والدعوة إلى الإسلام ، وقد أباح الله تعالى البر والقسط مع الكافر الذي لم يقاتل المسلمين ، فقال : ( لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ ) الممتحنة/8
لكن البر والقسط لا يعني المودة والمحبة ؛ إذ لا تجوز محبة الكافر ولا مودته ، ولا اتخاذه صديقا أو صاحبا

Ada pun menerima hadiah dari mereka saat hari rayanya, tidak apa-apa. Itu tidak dinilai ikut serta dalam perayaan dan menyetujui acara mereka.

Bahkan itu bisa dijadikan sarana kebaikan dan ajakan kepada Islam. Allah Ta’ala telah membolehkan berbuat baik dan adil kepada orang yang tidak memerangi kaum muslimin:

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al Mumtahanah: 8)

Tetapi berbuat baik dan adil bukan berarti menumbuhkan kasih sayang dan Mahabbah (cinta), sebab kasih sayang dan cinta terlarang kepada orang kafir, serta terlarang menjadikan sebagai sahabat dekat.
(Fatawa Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 85108)

Imam Ibnu Taimiyah mengatakan:

وأما قبول الهدية منهم يوم عيدهم فقد قدمنا عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه أنه أتي بهدية النيروز فقبلها

Ada pun menerima hadiah dari mereka saat hari raya mereka, dulu kami telah jelaskan dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu bahwa dia diberikan hadiah pada hari raya Nairuz, dan dia menerimanya (Iqtidha Shirath al Mustaqim, Hal. 251)

Ibnu Abi Syaibah menceritakan:

أن امرأة سألت عائشة قالت إن لنا أظآرا [جمع ظئر ، وهي المرضع] من المجوس ، وإنه يكون لهم العيد فيهدون لنا فقالت : أما ما ذبح لذلك اليوم فلا تأكلوا ، ولكن كلوا من أشجارهم

Bahwa ada seorang wanita bertanya kepada Aisyah, katanya: “Kami memiliki wanita-wanita yang menyusui anak kami, dan mereka Majusi, mereka memberikan kami hadiah.”

Aisyah menjawab: “Ada pun makanan yang disembelih karena hari raya itu (makanan ritual), maka jangan kalian makan, tetapi makanlah yang sayuran.” (Ibid)

♦️Bagaimana kalau kita yg memberikan hadiah?

Jika tidak terkait hari raya tidak apa-apa, bahkan bagus untuk mendakwahkan mereka. Dahulu Aisyah Radhiyallahu ‘Anha membawakan makanan kepada ibunya yang masih musyrik, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membolehkannya.

Tapi pemberian itu jika terkait hari raya, itu tidak boleh.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid menjelaskan:

يجوز للمسلم أن يهدي للكافر والمشرك ، بقصد تأليفه ، وترغيبه في الإسلام ، لاسيما إذا كان قريبا أو جارا ، وقد أهدى عمر رضي الله عنه لأخيه المشرك في مكة حلة (ثوبا) . رواه البخاري (2619)

Boleh bagi seorang muslim memberikan hadiah kepada orang kafir dan musyrik, dengan tujuan mengikat hatinya dan mengajaknya kepada Islam. Apalagi jika dia kerabat dekat atau tetangga. Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhu pernah memberikan hadiah kepada saudaranya yang musyrik di Mekkah. (HR. Bukhari no. 2619)

لكن لا يجوز أن يهدي للكافر في يوم عيد من أعياده ، لأن ذلك يعد إقرارا ومشاركة في الاحتفال بالعيد الباطل

Tapi tidak boleh memberikan hadiah kepada orang kafir di hari raya mereka. Sebab itu dihitung sebagai ikut serta dan pengakuan atas acara hari raya mereka yg batil.

وإذا كانت الهدية مما يستعان به على الاحتفال كالطعام والشموع ونحو ذلك ، كان الأمر أعظم تحريما ، حتى ذهب بعض أهل العلم إلى أن ذلك كفر

Jika hadiah itu dapat membantu perayaan tersebut baik berupa makanan, minuman, dan lainnya. Maka, itu keharamannya besar, sampai ada sebagian ulama berpendapat ini adalah kafir.

(Fatawa Al Islam Su’aal wa Jawaab no. 85108)

♦️Jadi, kesimpulannya:

– Secara umum menerima atau memberi hadiah kepada non muslim boleh, selama barang dan makanan halal

– Termasuk menerima hadiah dari mereka saat hari raya mereka, selama harta dan makanan halal, bukan barang dan makanan ritual. Ini tidak termasuk ikut membantu acara mereka.

– Kecuali memberikan hadiah saat mereka hari raya, ini terlarang. Sebab termasuk membantu mensukseskan acara mereka.

Demikian. Wallahu a’lam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Jika Allah Hendak Mewafatkan Mematikan Seseorang

Memikul Jenazah Dipundak, Sunnahkah?

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz mau tanya, apa memikul jenazah dipundak itu sunnah, kenapa tidak pakai meja yang ada rodanya didorong, apa tidak berat yang mikulnya? A/06

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Bismillahirrahmanirrahim..

Bagi yang sudah pernah ke kubur pasti tahu, secara teknis tidak mungkin ke kubur pakai meja dorong yang pakai roda. Karena kuburan di Indonesia itu tanah, bebatuan kerikil, rerumputan, dan tentu menyulitkan. Bahkan yang sudah pakai batu konblok pun tetap tidak mudah. Meja dorong lancar jika lantainya licin seperti di rumah sakit.

Masalah ini tanpa harus pakai dalil Insya Allah sudah clear sebenarnya. Dari rumah duka ke kubur tentu tidak mungkin digotong-gotong jika jauh kuburannya, biasanya pakai ambulan. Sesampainya di depan pemakaman, barulah digotong dan itu lebih cepat sampai dibanding pakai meja dorong roda yang akan tersendat-sendat oleh krikil, batu, tanah, rumput, lubang.

Ada pun salah satu dalil menggotong jenazah adalah, Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu berkata:

مَنْ اتَّبَعَ جِنَازَةً فَلْيَحْمِلْ بِجَوَانِبِ السَّرِيرِ كُلِّهَا فَإِنَّهُ مِنْ السُّنَّةِ ثُمَّ إِنْ شَاءَ فَلْيَتَطَوَّعْ وَإِنْ شَاءَ فَلْيَدَعْ

“Barangsiapa mengiring jenazah hendaklah ia panggul pada setiap sisinya karena hal itu termasuk sunnah, Barangsiapa mau memanggulnya hendaklah ia lakukan, dan jika tidak ia boleh meninggalkannya. ”

(HR. Ibnu Majah no. 1478)

Demikian. Wallahu a’lam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Suami Wajib Menafkahi

Keseimbangan Memberi Nafkah Antara Istri, Anak Dan Orang Tua

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz/ah saya mau bertanya, saya seorang Istri dengan 2 anak.
Bersuamikan pekerja buruh harian dengan kisaran gaji tidak UMR, sebesar 2,5 jt dimana gaji itu hanya diperuntukkan untuk kontrakan 2jt + listrik 200 (itupun saya sebagai istri masih suka nombok) + 300 bekal suami kerja (itupun sering minta sama saya juga karena gak cukup).

Suami memiliki keluarga yaitu Ibu, Bapak, 1 adik laki2 usia 25th, 1 adik perempuan usia 20th.
Keadaannya, bapaknya sudah tua dan 2 adiknya pengangguran susah sekali disuruh cari nafkah untuk orangtua dikarenakan selalu menunggu ada yang laku terjual dikarenakan Bapak punya banyak kebon, sawah dan ada mobil.
Mereka sehari-hari saat ini, mengandalkan dari rental mobil dan uang kontrakan yang ada.

❓Hal yang saya ingin tanyakan adalah :

1. Saya sebagai istri selalu bantu suami, untuk makan sehari-hari dan keperluan anak (baju, susu, jajan, bayar spp sekolah dll). Saya anak yatim dari kecil jadi tidak punya Ayah. Hanya punya Ibu, itupun membantu merawat anak tanpa dikasih imbalan uang. Hanya biaya hidup saya tanggung karna Ibu saya tinggal bersama kami. Sudah tua juga, sekitar usia 60th. Karna saya diharuskan kerja makanya tidak bisa merawat anak dirumah sendiri.
Bagaimana dengan kondisi ini?
Apa suami berdosa karena tidak memberi nafkah full dikarenakan saya kadang tidak ridho?

2. Saya tidak Ridho karena suami masih di recokin sama keluarga nya. Di sini kami memang tidak bisa ngasih sepeserpun, karena kami juga tidak dinafkahi full, tapi mereka mewajibkan suami merawat bapaknya dan tinggal di kampung tanpa menafkahi kami. Karena kata ibu mertua (kan istri sudah bisa kerja bantulah di sana) gitu.
Ini gimana hukumnya? Apa suami harus menurut pada Ibu karena surganya masih ditelapak kaki Ibu nya? Karna dalil ini yg menjadikan Ibu nya bergantung pada Suami.

3. Sebenarnya dalam Islam, saya istri dan anak yang bertanggung jawab pada kami siapa?

Terimakasih, mohon berkenan untuk menjawab. Sejujurnya saya sudah lelah di posisi ini.

A/18

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃


Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Bismillahirrahmanirrahim.

Intisarinya adalah keseimbangan (tawazun). Seimbang dalam memberikan perhatian dan nafkah kepada istri, anak, dan mengurus orangtua.

Dalam bahasa hadits:
_Fa a’thi kulla dzi haqqin haqqah_ (berikan hak itu secara proporsional kepada yang seharusnya menerimanya). Maka, jika Satu saja ada yang dilupakan/diabaikan secara SENGAJA, maka itu kezaliman. Seperti mengabaikan anak, atau istri, atau ortua.

1. Seandainya suami sudah memberikan nafkah, walau tidak full, karena dia sanggupnya seperti itu, tentu dia tidak berdosa.

Allah Ta’ala berfirman:

۞وَٱلۡوَٰلِدَٰتُ يُرۡضِعۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِۖ لِمَنۡ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَۚ وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةُۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوۡلُودٞ لَّهُۥ بِوَلَدِهِ

Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. *Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.* Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (men-derita) karena anaknya.

-Surat Al-Baqarah, Ayat 233

Yg berdosa adalah dia sanggup, tapi malas atau sengaja mengabaikan orang-orang yang memang wajib baginya untuk dinafkahi.

2. Ini sama seperti di atas, yaitu masalah keseimbangan. Hendaknya suami memahami wajibnya nafkah kepada anak dan istrinya. Hendaknya ortua pun memahami posisi anaknya yg sudah ada kewajiban baru sebagai suami. Hendaknya istri juga paham bahwa memang laki-laki masih ada kewajiban mengurus ortuanya terlepas saudara2 kandungnya malas/pengangguran atau tidak.

Allah Ta’ala berfirman:

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. (QS. An-Nisa’, Ayat 34)

Ayat ini menunjukkan kepemimpinan laki-laki itu ada sebab, yaitu dia menafkahi istrinya. Menurut Imam Al Qurthubi, jika suami tidak mampu menafkahinya teranulirlah status kepemimpinannya, maka apalagi jika karena malas.

Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengatakan:

أَنَّهُ مَتَى عَجَزَ عَنْ نَفَقَتِهَا لَمْ يَكُنْ قَوَّامًا عَلَيْهَا، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ قَوَّامًا عَلَيْهَا كَانَ لَهَا فَسْخُ الْعَقْدِ، لِزَوَالِ الْمَقْصُودِ الَّذِي شُرِعَ لِأَجْلِهِ النِّكَاحُ. وَفِيهِ دَلَالَةٌ وَاضِحَةٌ مِنْ هَذَا الْوَجْهِ عَلَى ثُبُوتِ فَسْخِ النِّكَاحِ عِنْدَ الْإِعْسَارِ بِالنَّفَقَةِ وَالْكُسْوَةِ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ

Sesungguhnya, dikala dia tidak mampu menafkahi istrinya maka lenyaplah kepemimpinannya atas istrinya. Jika dia sudah tidak lagi sebagai pemimpin, maka istrinya boleh melakukan fasakh (pembatalan) atas nikahnya, karena maksud diadakannya pernikahan (yaitu tanggung jawab nafkah) telah hilang. Ini menjadi dalil yang jelas atas kuatnya kebolehan melakukan fasakh nikah dikala seorang suami kesulitan memberikan nafkah dan pakaian. Inilah pendapat Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i. (Tafsir Al Qurthubi, jilid. 5, hal. 169)

Kewajiban nafkah telah ijma’ (konsensus), walau istri kaya dan berpenghasilan sendiri, seperti yang dikatakan Imam Ibnu Hazm Rahimahullah:

وَاتَّفَقُوا أَن الْحر الَّذِي يقدر على المَال الْبَالِغ الْعَاقِل غير الْمَحْجُور عَلَيْهِ فَعَلَيهِ نَفَقَة زَوجته الَّتِي تزَوجهَا زواجا صَحِيحا إذا دخل بهَا وَهِي مِمَّن تُوطأ وَهِي غير ناشز وَسَوَاء كَانَ لَهَا مَال أَو لم يكن

Para ulama sepakat bahwa laki-laki yang merdeka (bukan budak) yang memiliki harta, baligh, aqil, dalam kondisi tidak ada halangan, wajib memberikan nafkah untuk istrinya yang dinikahi dalam ikatan pernikahan yang sah, dia sudah menggaulinya, baik istrinya orang berharta atau tidak. (Maratibul Ijma’, hal. 79)

3. Sudah dijawab di atas ya.

Demikian. Wallahu A’lam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Salat di Awal Waktu

Sholat atau Melanjutkan Pekerjaan?

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz, saya mau bertanya, ketika telah masuk waktu shalat ashar misal pukul 15.30, mana yang prioritas, apakah harus segera shalat ashar atau boleh tetap melanjutkan pekerjaan karena pertimbangan jam pulang kantor berjarak tidak begitu lama yaitu di 16.00? Kemudian bagaimana jika saat masuk waktu shalat situasi sedang rapat atau ada pekerjaan yang harus segera dirampungkan karena terkait kepentingan pimpinan/orang lain pada umumnya?

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Bismillahirrahmanirrahim..

Idealnya adalah shalat di awal waktunya. Sebagaimana pertanyaan Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu tentang amal yang paling disukai Allah Ta’ala, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab:

الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا

Shalat tepat pada waktunya. (HR. Bukhari no. 527)

Dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam juga memberikan nasihat:

صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا

Shalatlah tepat pada waktunya. (HR. Muslim no. 648)

Namun, demikian jika tidak di awal waktu, baik karena uzur atau tidak, shalatnya tetap sah dan tidak mengapa. Yang haram adalah jika dia shalat SETELAH HABIS waktunya tanpa uzur.

Itulah yang dikecam dalam firmanNya:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang saahuun (lalai) terhadap shalatnya.
(QS. Al-Ma’un, Ayat 4-5)

Imam Ibnu Jarir Rahimahullah mengatakan:

عني بذلك أنهم يؤخرونها عن وقتها، فلا يصلونها إلا بعد خروج وقتها

Maknanya, bahwa mereka mengakhirkan shalat dari waktunya, mereka tidaklah shalat kecuali setelah keluar dari waktunya. (Tafsir Ath Thabariy, 10/8786)

Dalam Al Mausu’ah:

اتفق الفقهاء على تحريم تأخير الصلاة حتى يخرج وقتها بلا عذر شرعي

Para fuqaha sepakat haramnya menunda shalat sampai habis waktunya tanpa uzur syar’iy. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/8)

Sedangkan jika shalatnya masih di rentang waktu shalat, walau tidak di awal waktu, itu tidak apa-apa. Tidak dikatakan saahuun (lalai dari shalatnya), walau dia tidak dapat keutamaan di awal waktu.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

(QS. An-Nisa’, Ayat 103)

Sehingga selama shalat dilakukan di interval waktu shalat tersebut, belum masuk waktu shalat berikutnya, maka sah dan boleh.

Dalam hadits:

إن للصلاة أولا وآخرا، وإن أول وقت الظهر حين تزول الشمس، وإن آخر وقتها حين يدخل وقت العصر

Shalat itu ada awal waktunya dan akhirnya, awal waktu zhuhur adalah saat tergelincir matahari, waktu akhirnya adalah saat masuk waktu ashar .. (HR. Ahmad no. 7172, dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth. Ta’liq Musnad Ahmad, no. 7172)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:

يجوز تأخير الصلاة إلى آخر وقتها بلا خلاف، فقد دل الكتاب، والسنة، وأقوال أهل العلم على جواز تأخير الصلاة إلى آخر وقتها، ولا أعلم أحداً قال بتحريم ذلك

Dibolehkan menunda shalat sampai akhir waktunya tanpa adanya perselisihan, hal itu berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Perkataan para ulama juga membolehkan menunda sampai akhir waktunya, tidak ada seorang ulama yang mengatakan haram hal itu. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/58)

Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

وقد بين النبي صلى الله عليه وسلم مواقيتها من كذا إلى كذا فمن أداها فيما بين أول الوقت وآخره فقد صلاها في الزمن الموقوت لها

Nabi Shalallahu’Alaihi wa Sallam telah menjelaskan bahwa waktu shalat itu sejak waktu ini ke ini, maka barang siapa yang menjalankan di antara awal waktu dan akhirnya, maka dia telah menunaikan di waktu yang telah ditentukan.

(Majmu’ Al Fatawa wa Rasail, Jilid. 12, Bab Shalat)

Demikian. Wallahu a’lam.

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678