Penghapus-Penghapus Amal Shalih (Bag. 2)

2⃣ Syirik
Syirik adalah dosa terbesar di antara dosa-dosa besar, yaitu menyekutukan Allah Ta’ala dalam peribadatan, keyakinan,  dan penyembahan.
Maksud “menyekutukan” yaitu seorang yang menyembah, mengabdi, beribadah kepada Allah Ta’ala, namun dia menyembah, mengabdi, beribadah kepada yang lain juga. Maka, apa jadinya bagi  orang yang sama sekali tidak menyembah Allah Ta’ala dan hanya menyembah yang lainnya saja, sebagaimana yang dilakukan sebagian manusia?
Dari sekian banyak bahaya kesyirikan, di antaranya adalah terhapusnya amal Shalih.
Allah ﷻ berfirman:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Telah diwahyukan kepadamu dan orang-orang sebelum kamu, jika kamu melakukan kesyirikan niscaya benar-benar terhapus amalmu dan kamu benar-benar termasuk orang-orang yang merugi. (QS. Az Zumar: 65)
Duh, sayang ‘kan sudah beramal tapi tidak ada hasilnya. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah mengatakan:
يعم كل عمل، ففي نبوة جميع الأنبياء، أن الشرك محبط لجميع الأعمال، كما قال تعالى في سورة الأنعام – لما عدد كثيرا من أنبيائه ورسله قال عنهم: {ذَلِكَ هُدَى اللَّهِ يَهْدِي بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“Ini berlaku bagi semua amal, maka terdapat pada nubuwwah  seluruh nabi bahwa syirik menghapuskan seluruh amal, sebagaimana firman Allah ﷻ dalam surat Al An’am –yang membicarakan banyak para Nabi dan Rasul: “Itulah petunjuk dari Allah, Dialah yang memberikan petunjuk bagi yang Dia kehendaki, dan barang siapa di antara mereka menyekutukan Allah maka terhapus amal-amal yang telah mereka lakukan.” 
(Taysir Al Karim Ar Rahman fi Tafsir Al Kalam Al Manan, Hal. 729. Cet. 1, 1420H-2000M. Muasasah Ar Risalah)
Tentang “Macam-macam syirik dan  bahayanya”, sudah pernah dibahas di channel saya. Silahkan di-search.
3⃣ Riya’
Yaitu beramal dengan tujuan dilihat orang lain, yang dengan itu dia mendapat pujian baik langsung atau tidak langsung.
Riya’ termasuk syirik (kecil), ditegaskan dalam ayat berikut:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (QS. Al Kahfi: 110)
Para ulama mengatakan tentang makna ayat ini: لا يرائي – janganlah menjadi orang yang riya. (Sunan At Tirmidzi No. 1535)
Dari Mu’adz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ يَسِيرَ الرِّيَاءِ شِرْكٌ
Sesungguhnya riya tersembunyi itu syirik. (HR. Ibnu Majah No. 3989, Al Qudha’i No. 1298, Al Baihaqi dalam Al Kubra No. 6393, dll. Didhaifkan oleh Syaikh Al Albani. Dhaiful Jami’ No. 2029)
Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah berkata:
الإشراك في العبادة وهو الرياء: وهو أن يفعل العبد شيئا من العبادات التي أمر اللّه بفعلها له لغيره
Syirik dalam ibadah adalah riya’, yaitu seorang hamba yang melaksanakan peribadatan yang Allah ﷻ perintahkan kepadanya tapi dia tujukan untuk selainNya. (At Tafsir Al Munir, 5/72)
Maka, masuknya riya’ dalam  lingkup syirik, membuat amal yang didalamnya ada unsur riya’ akan terhapus. Bahkan, menjadi SYIRIK AKBAR jika memang sama sekali tidak ada lagi tujuan akhirat, semuanya adalah murni ingin dilihat, didengar (sum’ah), dan dipuji manusia, alias caper (cari perhatian).
Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ
“Barangsiapa menuntut ilmu untuk mendebat para ulama, atau untuk mendebat  orang bodoh atau untuk MENGALIHKAN PERHATIAN MANUSIA kepadanya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam neraka”.  (HR. At Tirmidzi no. 2654, Hasan)
(bersambung … )

Menjamak Salat Sesuai Urutan

Batasan-Batasan Sholat Jamak Qashar

Pertanyaan

Assalamu’alaikum, ustadz/ustadzah
…Mohon pencerahan mengenai sholat jamak qosor, contoh kasus, saya kerja di Bandung setiap akhir pekan (sabtu&ahad) pulang ke sukabumi. Pertanyaanya :
1. Bolehkah saya menjamak qosor sholat ketika diperjalanan/sudah sampai tujuan (dirumah disukabumi)
2. Selama di sukabumi bolehkah saya menjamak qosor sholat(niat musyafir), merujuk pada sebuah riwayat yg menceritakan ketika Rosul di mekah pada masa pembebasan kota mekkah melakukan solat 2 rokaat2.
Mohon jawabanya biar saya tidak salah dalam berbadah
@ member muslimanis jabar..

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man

‌و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته

Bismillah wal hamdulillah mencuci shalatu adalah salamu ‘ala rasulillah wa’ ala aalihi wa ashhabihi wa man walah, wa ba’du:

Jamak Shalat

Menjamak shalat adalah memungkinkan menurut jumhur (agama) ulama . Hal ini menurut hadits berikut:

عن أنس بن مالك قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا ارتحل قبل أن تزيغ الشمس أخر الظهر إلى وقت العصر ثم نزل فجمع بينهما

Dari Anas bin Malik, dia mengatakan: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika dia melakukan perjalanan sebelum matahari tergelincir (meninggi), maka dia akan akhirkan shalat zhuhur pada waktu Ashar, lalu dia turun dan menjamak keduanya.

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah :

الجمع بين الصلاتين في السفر في وقت إحداهما جائز في قول أكثر أهل العلم لا فرق بين كونه نازلا أو سائرا

“Menjamak dua shalat dalam perjalanan, pada waktu salah satu dari dua shalat itu, adalah memungkinkan untuk melakukan ulama, sama saja dengan baik dalam perjalanannya atau ketika dia turun (berhenti).
Sebenarnya masyaqqat (kepayahan, kesempitan, kesulitan) yang membuat dibolehkannya jamak, bukan hanya perjalanan, tidak juga hujan, sakit, dan kegunaan yang mendesak.

Jamak karena hujan

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah :

روى الاثرم في سننه عن أبي سلمة ابن عبد الرحمن أنه قال: من السنة إذا كان يوم مطير أن يجمع بين المغرب والعشاء. وروى البخاري أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع بين المغرب والعشاء في ليلة مطيرة

“Al Atsram meriwayatkan dalam Sunan -nya, dari Abu Salamah bin Abdurrahman, bahwa dia berkata:“ Menyimpan sunah jika turun hujan menjamak antara Maghrib dan Isya ‘. ”Bukhari telah meriwayatkan bahwa Nabi Shallallahu’ Alaihi wa Sallam menjamak antara maghrib dan isya ‘pada malam hujan.

Jamak sakit Sakit

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

الجمع بسبب المرض أو العذر: ذهب الامام أحمد والقاضي حسين والخطابي والمتولي من الشافعية إلى جواز الجمع تقديما وتأخيرا بعذر المرض لان المشقة فيه أشد من المطر. قال النووي: وهو قوي في الدليل

Menjamak Shalat lantaran sakit atau udzur, menurut Imam Ahmad, Al Qadhi Husein, Al Khathabi, dan Mutawalli dari golongan Syafi’iyyah, adalah berguna baik secara langsung atau ta’khir, sebab kesulitan lantaran sakit adalah lebih berategas hujan. Berkata Imam An Nawawi: “Dan Alasan hal itu kuat.
Jamak karena adanya keperluan (kesibukan)

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah :

وذهب جماعة من الأئمة إلى جواز الجمع في الحضر للحاجة لمن لا يتخذه عادة, وهو قول ابن سيرين وأشهب من أصحاب مالك, وحكاه الخطابي عن القفال والشاشي الكبير من أصحاب الشافعي عن أبي إسحاق المروزي عن جماعة من أصحاب الحديث, واختاره ابن المنذر ويؤيده ظاهر قول ابن عَبَّاس: أَرَادَ أَلَّا يُحْرِج أُمَّته ، فَلَمْ يُعَلِّلهُ بِمَرَضٍ وَلَا غَيْره وَاللَّهُ أَعْلَم

“Sekelompok para imam, membolehkan jamak tidak berjalan dan memiliki keperluan, namun hal itu tidak menjadi kebiasaan. Demikianlah pendapat dari Ibnu Sirin, Asyhab dari golongan Malikiyah. Al Khathabi menceritakan dari Al Qaffal dan Asy Syasyil kabir dari madzhab Syafi’i, dari Abu Ishaq al Marwazi dan dari jamaah ahli hadits. Inilah yang dipilih oleh Ibnul Mundzir, yang didukung oleh zhahir ucapan Ibnu Abbas, bahwa dikehendaki dari jamak adalah ‘agar orangnya keluar dari kesulitan.’ Karena itu, tidak jelaskan alasan jamak, apakah karena sakit atau yang lainnya. Wallahu A’lam.

Hal ini didasarkan pada riwayat, dan inilah hadits yang yang dijadikan hujjah oleh Imam An Nawawi di atas.

عن ابن عباس قال: جمع رسول الله صلى الله عليه وسلم بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء بالمدينة في غير خوف ولا مطر

Dari Ibnu Abbas, dia mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menjamak antara zhuhur dan ashar, maghrib dan isya di Madinah, pada saat tidak ketakutan dan tidak hujan.”
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menambahkan:

قال ابن تيمية: وأوسع المذاهب في الجمع مذهب أحمد فإنه جوز الجمع إذا كان شغل كما روى النسائي ذلك مرفوعا إلى النبي صلى الله عليه وسلم إلى أن قال: يجوز الجمع أيضا للطباخ والخباز ونحوهما ممن يخشى فساد ماله

“Berkata Ibnu Taimiyah:” Madzhab yang paling luas dalam masalah jamak adalah madzhab Imam Ahmad, dia membolehkan jamak karena kesibukkan bukti yang diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i secara marfu ‘(sampai) kepada Rasulullah Shallallahu’ Alaihi wa Sallam , sampai-sampai dibolehkan jamak juga bagi juru masak dan pembuat roti dan semisalnya, dan juga orang yang ketakutan hartanya menjadi rusak.

Bahkan dibolehkan juga menjamak, karena sedang menuntut ilmu atau mengajar ilmu. Ini berdasarkan riwayat Imam Muslim berikut:

عن عبد الله بن شقيق قال خطبنا ابن عباس يوما بعد العصر حتى غربت الشمس وبدت النجوم وجعل الناس يقولون الصلاة الصلاة قال فجاءه رجل من بني تميم لا يفتر ولا ينثني الصلاة الصلاة
فقال ابن عباس أتعلمني بالسنة لا أم لك ثم قال رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم جمع بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء قال عبد الله بن شقيق فحاك في صدري من ذلك شيء فأتيت أبا هريرة فسألته فصدق مقالته

Dari Abdullah bin Syaqiq, dia mengatakan: Ibnu Abbas berkhutbah kepada kami, pada hari setelah ‘ashar sampai matahari terbenam, hingga nampak bintang-bintang, manusia manusia berteriak: “shalat .. shalat ..!” Lalu datang laki-laki dari Bani Tamim yang tidak hentinya berteriak: shalat .. shalat !. Maka Ibnu Abbas berkata: “Apa-apaan kamu, apakah kamu ingin mengajari saya sunah?”, Lalu dia berkata: “Saya sudah melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam menjamak antara zhuhur dan ashar, dan juga maghrib dan isya.” Berkata Abdullah bin Syaqiq : “Masih terngiang dalam dada saya hal itu, maka aku datang kepada Abu Hurairah, aku tanyakan dia tentang hal itu, dia membenarkan keterangan Ibnu ‘Abbas tersebut.
Demikian. Wallahu A’lam.

Qashar (meringkas shalat)

Shalat Qashar (meringkas empat rakaat menjadi dua) adalah sedekah yang memberi Allah Ta’ala kepada umat Islam. (HR. Jamaah). Mayoritas ulama menyatakan bahwa qashar lebih utama dilakukan dibanding shalat dengan sempurna (empat rakaat) jika syarat untuk mengqashar sudah terpenuhi. Karena qashar merupakan rukhshah (keringanan) yang Allah Ta’ala berikan kepada hambaNya, dan Dia senang jika keringanannya itu kita laksanakan. Selain hadits yang berbunyi:

Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma , Rasulullah Shallallahu’ Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah suka jika rukhshah (keringanan) nya dilaksanakan, misalnya ia benci jika maksiat dikerjakan.
Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha , “Sesungguhnya Rasulullah jika dihadapkan dua perkara, dia akan memilih yang lebih ringan, selama tidak berdosa.

Allah Ta’ala berfirman:

“Jika kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada salahnya bila kamu mengqshar shalat …” (QS. An Nisa ‘: 101)

Menurut ayat di atas, jelas sekali bahwa qashar disyariatkan jika dalam perjalanan, atau sudah bertolak dari kata asal, alias sudah keluar dari kotanya. Jika masih ditempat kediamannya, belum bisa dilakukan qashar. Berkata Imam Ibnul Mundzir, “Aku tidak menemukan sebuah pernyataan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengqashar dalam perjalanan, kecuali setelah keluar dari Madinah.”

Ketika bepergian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selalu qashar, tidak ada keterangan yang kuat yang menyebutkan bahwa beliau shalat empat rakaat jika bepergian. Karena itu, tidak sedikit para sahabat Nabi yang menyatakan bahwa qashar hukumnya wajib . Mereka yang menuntut adalah Umar bin Khathab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, dan Jabir bin Abdullah. Kalangan madzhab Hanafi menguatkan pendapat ini. Pertengahan Maliki mengatakan bahwa qashar adalah sunnah mu’akkadah (sangat dianjurkan) , bahkan menurut mereka lebih utama daripada shalat berjamaah. Makruh hukumnya shalat sempurna. Sedang berbicara Hambalimengatakan qashar itu mubah (boleh) tetapi lebih utama daripada shalat sempurna. Demikian juga pendapat kalangan Syafi’i. Ini semua jika sudah pada jarak yang dibolehkannya qashar.

Imam Ibnul Mundzir dan lainnya menyebutkan bahwa ada dua puluh menit tentang jarak dibolehkannya qashar.  Perbedaan-perbedaan ini terjadi karena memang tak ada hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang menyebutkan jarak. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah , “Tidak ada sebuah hadits yang menyebut jarak jauh atau menantang perjalanan itu.

Namun, di antara hadits-hadits tersebut ada yang paling kuat -di antara yang lemah- yang menyebutkan jarak, yaitu:

Yahya bin Yazid bertanya kepada Anas bin Malik karena mengqashar shalat. Ia menjawab, ”Rasulullah mengerjakan shalat dua rakaat (qashar) jika sudah maju tiga mil atau satu farsakh.
Satu farsakh adalah 5.541 Meter, satu mil adalah 1.748 meter. Bahkan Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shahih, dari Ibnu Umar yang menyebutkan bahwa jarak minimal mengqashar shalat adalah satu mil! Jika kurang dari itu maka tidak bisa qashar. Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm.

Namun, jumhur (agama) ulama mengatakan bahwa jarak yang dibolehkannya qashar adalah empat belas adalah 16 farsakh (88.656 Km). Inilah pandangan Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal, dan imam ketiga imam ini. Alasannya adalah perbuatan sahabat, yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengqashar shalat dan berbuka puasa jika jarak tempuh sudah empati (16 farsakh = 88.656 Km).

Nah, bagaimanakah yang benar-benar melihat berbagai perumpamaan yang saling bertentangan ini? Imam Abul Qasim Al Kharqi memberikan jawaban dalam kitab Al Mughni , “Aku tidak menemukan alasan yang dikemukan oleh para imam itu. Karena, nama dari para sahabat Nabi juga saling bertentangan tidak dapat dijadikan dalil. Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa mereka berbeda dengan dalil yang diberikan oleh para kawan-kawan kami (para ulama). Kemudian, seandainya belum ditemukan dalil yang kuat, maka ucapan mereka (para sahabat) tidak dapat dijadikan dalil jika bertentangan dengan sabda dan perilaku Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam . Dengan demikian ukuran jarak yang mereka tetapkan tidak bisa diterima, karena dua hal berikut:

Pertama , bertentangan dengan sunah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam . Kedua, teks ayat firman Allah Ta’ala yang membolehkan qashar shalat bagi orang yang dalam perjalanan: “Jika kamu bepergian di permukaan bumi, maka tidak ada salahnya jika kamu mengqshar shalat…” (QS. An Nisa ‘: 101)

Syarat karena adanya rasa takut dengan orang kafir, telah dihapuskan dengan keterangan hadits Ya’la bin Umayyah. Dengan demikian, teks ayat ini sangat penting untuk berbagai jenis perjalanan. ”

Kesimpulannya, qashar dapat dilakukan jika, 1. Sudah keluar dari daerahnya, 2. Dengan jarak yang sudah layak, cantik, dan pantas disebut sebagai perjalanan (safar). Mengingat dalil-dalil yang ada satu sama lain saling bertentangan. Inilah jalan para Imam Muhaqiqin (peneliti) seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh Sayyid Sabiq, dan Ustadz Ahmad Hasan dan lainnya. 3. Perjalanannya bukan perjalanan maksiat.

Tenggang Waktu Dibolehkannya Qashar

Dalam hal ini para ulama juga berbeda pendapat. Namun, kita akan melihat dalil yang kuat yang dilakukan Rasulullah dan para sahabat, dan kesempurnaan yang kita pilih.
Dalam Musnad nya Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘Anhu , mengatakan: Nabi Shallallahu’ Alaihi wa Sallami bermukim di Tabuk selama dua puluh hari dan beliau senantiasa mengqashar shalatnya

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bermukim dalam salah satu perjalanan selama sembilan belas hari dan selalu mengerjakan shalat dua rakaat.
Hafsh bin Ubaidillah mengatakan bahwa Anas bin Malik bermukim di Syam selama dua tahun dan terus melaksanakan qashar umum shalatnya musafir.

Menurut Anas bin Malik, para sahabat Nabi bermukim di daerah Ramhurmuz selama tujuh bulan dan tetap mengqashar shalat.

Berkata Al Hasan, “Aku pernah bermukim bersama Adurrahman bin Samurah di kota Kabul selama dua tahun, dan dia terus mengqashar shalatnya.”

Ibrahim juga pernah mengatakan bahwa para sahabat pernah bermukim di Ray selama satu tahun atau lebih dan di Sijistan selama dua tahun , tetap mengqashar shalat.

Ibnu Umar pernah tinggal di Azarbaijan selama enam bulan dan tetap mengqahar sebab terhalang oleh salju.
Demikian pula para Imam, seperti Imam Said bin al Musayyib, Imam Malik, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, yang paling lama adalah empat hari, tidak memiliki dasar yang kuat. Demikian pula Imam Abu Hanifah yang menyebutkan lima belas hari saja, dan diikuti oleh Imam Laits bin Saad.

Berkata Imam Ibnul Qayyim al Jauziyah tentang bermukimnya Nabi selama dua puluh hari di Tabuk, bahwa hal-hal itu saja, maka akan menghasilkan Tabuk lebih panjang dari itu, ia akan tetap mengqasharnya. Katanya, “Bermukim (singgah) dalam perjalanan tidak bisa dianggap sebagai dari hukum, baik singgahnya lama atau terbatas, dengan syarat tidak bisa menetap di sana sebagai penduduk.”

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq, “Seorang musafir itu memungkinkan terus mengqashar shalatnya selama ia masih dalam bepergian. Jika ia bermukim (singgah) karena ada kegunaan yang harus diselesaikannya, ia tetap bisa mengqashar karena masih dalam perjalanan, walau bermukimnya selama tahun-tahun lamanya. ”
Imam Ibnul Mundzir menyatakan dalam penelitiannya bahwa para ulama ijma ‘ (keberatan) bahwa seorang musafir tetap berlaku selama ia tidak akan terus berlangsung di tempat, walau singgahnya itu selama bertahun-tahun.

Inilah yang sangat kuat berdasarkan dalil yang kuat pula, baiklah perilaku Rasulullah dan para sahabat, beserta intelijen dari para ulama peneliti seperti Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnul Mundzir, Syaikh Sayyid Sabiq, dan lain-lain.

Berapa lamakah selang waktu dibolehkannya jamak dan qashar?

Hal ini tergantung keadaan safarnya. Kata safar tidak lepas dari tiga keadaan.

1. Safar dengan tujuan menetap di daerah atau negeri. Menetap maksudnya menjadi besar dengan dibuktikannya KTP atau KTP atau KK. Maka, kebolehannya hanya komposisinya safar saja. Sesampainya di tempat tujuan tidak ada lagi rukhshah / keringanan itu, kecuali dia kembali di lain atau dia dari berbagai masyaqqat (kesulitan) di sana, kemudian kembali berlaku jamak, seperti hujan lebat, sakit, takut kepada musuh, bencana alam , dan semisalnya.

2. Safar dengan niat untuk singgah, maka ini ada dua macam:

a. Singgah dengan waktu yang belum jelas, seperti peperangan, berobat, dan semisalnya, yang waktu selesainya tidak bisa dipastikan. Maka, selama itu pula dia bisa menjamak dan qashar. Sebab statusnya tetap seorang yang safar. Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengqashar 20 hari membuat perang Tabuk. Para sahabat ada yang mengqashar dua tahun, bulan, enam bulan, karena mereka tidak berniat menjadi penduduk dan tidak jelas kapan pulangnya, seperti yang sudah kami jelaskan di atas.

b. Singgahnya sudah Tahu lamanya dan kapan pulangnya, seperti dinas kantor, ziarah ke rumah saudara, dan semisalnya. Maka, ini terkunci. Secara ringkas, dalam madzhab Hanafi durasinya adalah 14 hari, selebihnya tidak boleh. Madzhab Syafi’iyah dan Malikiyah tiga hari selebihnya tidak boleh. Sedangkan Hanabilah (Hambaliyah) adalah empat hari, selebihnya tidak boleh.

Wallahu a’lam.


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Batasan Minimal Shalat Jumat?

Assalamu’alaikum, ustadz/ustadzah
….Ust, adakah dalilnya yang mewajibkan 40 orang untuk shalat Jumat, apakah ada yang membolehkan kurang dari itu?
Jawaban
————–
‌و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Man waalah wa ba’d:
Memang sebagian masyarakat kita meyakini bahwa sahnya shalat Jumat adalah minimal 40 orang. Ini tidak bisa disalahkan begitu saja, dan patut dihargai karena berasal dari pendapat salah satu ulama Ahlu Sunnah, yakni Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu. Bahkan Imam Ibnu Hajar mengatakan dalam Fathul Bari, bahwa dalam masalah ini terdapat lima bela pendapat para ulama.
Namun demikian pendapat-pendapat tersebut masih bisa didiskusikan. Ditinjau dari dua sisi.
1. menurut muhaqqiq tak ada satu pun riwayat yang shahih tentang batasan jumlah jamaah shalat Jumat.
2. sekali pun shahih, riwayat tersebut sifatnya hanya pengabaran (pemberitaan) saja bahwa dahulu pernah ada shalat Jumat yang diikuti 40 orang, bukan menunjukkan batasan.
Bagi sebagian ulama,   ini tidak bisa dijadikan dalil, sebab jika lain waktu – pada zaman  itu – pernah melihat  jumlah jamaah adalah 60 orang apakah lantas 60 orang adalah jumlah minimal? Atau lain kali melihat adalah 100 orang maka 100 orang adalah jumlah minimal? Tentu tidak demikian, apa yang terjadi saat itu tentu keadaan yang sifatnya –bahasa orang kebanyakan- ‘kebetulan’.
Imam Asy Syaukani Rahimahullah mengatakan:
وقد قال عبد الحق: إنه لا يثبت في عدد الجمعة حديث، وكذلك قال السيوطي: لم يثبت في شئ من الاحاديث تعيين عدد مخصوص.
Abdul Haq telah berkata: “Tidak ada hadits  yang  shahih tentang jumlah jamaah shalat Jumat.” Begitu pula kata Imam As Suyuthi: “Tidak ada satu pun yang shahih dari hadits-hadits yang mengkhususkan jumlah tertentu.” [1] Dua Orang Sudah Sah dan Mencukupi
Ya, dua orang, satu imam dan satu makmum atau lebih, sudah sah bagi banyak ulama. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
والرأي الراجح أنها تصح باثنين فأكثر
“Dan pendapat yang kuat adalah shalat Jumat tetap sah dengan dua orang atau lebih.” [2] Hal ini berdasarkan riwayat, dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
اثْنَانِ فَمَا فَوْقَهُمَا جَمَاعَةٌ
“Dua orang atau lebih adalah jamaah.” [3] Sebenarnya hadits ini dhaif,_sebagaimana yang dikatakan Imam Al Haitsami[4] dan Syaikh Al Albani.[5] Namun, Imam Bukhari telah menjadikan teks hadits itu menjadi judul salah satu Bab dalam kitab Shahih-nya, yakni Bab ke-7 dari Kitabul Jamaah wal Imamah, yakni Bab: Itsnan famaa fauqahumaa Al Jama’ah (Dua orang dan lebih adalah jamaah).
Dalam Bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dari Malik bin Al Huwairits Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إذا حضرت الصلاة فأذنا وأقيما، ثم ليؤمكما أكبركما
“Jika datang waktu Shalat, maka adzanlah dan tegakkanlah shalat oleh kalian berdua, dan hendaknya yang menjadi imam adalah yang lebih tua dari kalian berdua.” [6] Hadits ini menunjukkan bahwa walaupun berdua, maka shalat jamaah telah memadai, dan dalam hal ini shalat Jumat termasuk di dalamnya.
Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:
وَقَدْ انْعَقَدَتْ سَائِر الصَّلَوَات بِهِمَا بِالْإِجْمَاعِ ، وَالْجُمُعَة صَلَاة فَلَا تَخْتَصّ بِحُكْمٍ يُخَالِف غَيْرهَا إلَّا بِدَلِيلٍ ، وَلَا دَلِيل عَلَى اعْتِبَار عَدَد فِيهَا زَائِد عَلَى الْمُعْتَبَر فِي غَيْرهَا .
“Menurut ijma’  (kesepakatan), semua shalat sudah disebut berjamaah walau pun dua orang, dan shalat Jumat juga demikian, tidak ada kekhususan hukum baginya yang berbeda dengan shalat lainnya, kecuali dengan dalil. Dan tidak dalil yang menunjukkan bahwa jumlah jamaah shalat Jumat mesti lebih dari shalat selainnya.” [7] Ada baiknya saya sampaikan perkataan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah:
صلاة الجماعة قد صحت بواحد مع الإمام وصلاة الجمعة هي صلا ة من الصلوات فمن اشترط فيها زيادة على ما تنعقد به الجماعة فعليه الدليل و لا دليل والعجب من كثرة الأقوال في تقدير العدد حتى بلغت إلى خمسة عشر قولا ليس على شيء منها دليل يستدل به قط إلا قول من قال : إنها تنعقد جماعة الجمعة بما تنعقد به سائر الجماعة كيف والشروط إنما تثبت بأدلة خاصة تدل على انعدام المشروط عند انعدام شرطه فإثبات مثل هذه الشروط بما ليس بدليل أصلا فضلا عن أن يكون دليلا على الشرطية مجازفة بالغة وجرأة على التقول على الله وعلى رسوله صلى الله عليه وسلم وعلى شريعته لا أزال أكثر التعجب من وقوع مثل هذا للمصنفين وتصديره في كتب الهداية وأمر العوام والمقصرين باعتقاده والعمل به وهو على شفا جرف هار ولم يختص هذا بمذهب من المذاهب ولا بقطر من الأقطار ولا بعصر من العصور بل تبع فيه الآخر الأول كأنه أخذه عن أم الكتاب وهو حديث خرافة
“Shalat berjamaah sah dilakukan walaupun hanya dengan seorang (makmum) bersama seorang imam, sedangkan shalat Jumat merupakan salah satu dari shalat-shalat wajib lainnya. Barangsiapa yang mensyaratkan tambahan bilangan yang ada pada shalat berjamaah, maka ia harus menunjukkan dalil pendapatnya itu, dan niscaya dia tidak akan mendapatkan dalilnya. Anehnya banyak sekali pendapat tentang bilangan tersebut hingga sampai lima belas pendapat, dan tidak ada dalil yang dijadikan landasan oleh mereka kecuali satu pendapat saja. Sesungguhnya shalat Jum’at sama dengan jumlah pada shalat-shalat (berjamaah) yang lainnya. Bagaimana tidak, sedangkan syarat hanya bisa tetap bila ada dalil yang secara khusus menunjukkan bahwa suatu ibadah tidak sah kecuali dengan adanya syarat tersebut, penetapan syarat seperti ini (jumlah tertentu) sama sekali tidak berlandaskan atas sebuah dalil, terlebih lagi sikap tersebut merupakan kelancangan yang teramat sangat dan merupakan keberanian untuk berbicara atas Nama Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam syariatNya.
Saya senantiasa merasa heran kenapa hal itu bisa terjadi di kalangan para penulis, bahkan dicantumkan di dalam buku-buku panduan shalat, mereka memerintahkan orang awam untuk meyakini dan mengamalkannya, padahal pendapat tersebut ada di dalam jurang kehancuran, pendapat tersebut tidak khusus ada di dalam satu mazhab dari berbagai mazhab, juga bukan terjadi hanya pada satu daerah saja. Akan tetapi terjadi secara turun-menurun, seakan-akan pendapat tersebut diambil dari Kitabullah, padahal ia hanya merupakan hadits khayalan belaka.”[8] Demikian. Hanya saja dalam masalah ini, pertimbangan masyarakat juga mesti dilihat agar tidak terjadi fitnah.
Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala AAlihi wa Shahbihi wa Sallam
Catatan Kaki:
[1] Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Juz. 5, Hal. 289. Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1, Hal. 305
[2] Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz, 1, Hal. 305
[3] HR. Ibnu Majah, Kitab Iqamah Ash Shalah wa Sunnah fiha Bab Al Itsnanl Jamaah, No. 972.  Ad Daruquthni, Kitab Ash Shalah Bab Al Itsnan Jamaah, No. 1. Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shahihain, No. 7957. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, No. 368. Al Mausu’ah Al Hadits, Mauqi’ Ruh Al Islam
[4] Imam Al Haitsami, Majma’ Az Zawaid, Juz. 2, Hal. 45, katanya: di dalamnya ada Muslimah bin Ali seorang yang dhaif.
[5] Syaikh Al Albani telah menegaskan kedhaifan hadits ini dalam beberapa kitabnya, Tamamul Minnah, Hal. 331.Masykah Al Mashabih, No. 1081. Irwa’ Al Ghalil, Juz. 2, Hal. 247. No. 489.
[6] HR. Bukhari, Kitabul Jamaah wal Imamah Bab Itsnan famaa Fauqahuma Al Jamaah, No. 627. Al Mausu’ah Al Hadits
[7] Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, Juz. 5, Hal. 289. Al Maktabah Asy Syamilah
[8] Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Ajwibah An Nafi’ah, Hal. 76-77. Al Maktabah Al Ma’arif LiNasyr wat Tauzi’
Wallahu a’lam.

Wanita Hamil dan Menyusui: Qadha atau Fidyah?

Assalamu’alaikum, ustadz/ustadzah
….Jika ibu hamil dan menyusui yang masih ada hutang puasa Ramadhan lalu, dan belum lunas hutangnya karena takut terkait jumlah ASI yang tidak mencukupi atau sangat lemah sekali saat puasa, apakah Ramadhan ini wajib fidyah?
Mohon maaf jika dulu sudah ada yang menanyakan hal seputar ini,
Jawaban
————–
‌و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
Ya, itu benar .. tapi khusus yang hamil dan menyusui sebenarnya ada perbedaan pendapat ..
Masalah ini termasuk   yang banyak intensitas pertanyaannya.  Sebelumnya kita lihat dulu karena apa Qadha dan Fidyah itu.
Untuk   Qadha dalilnya adalah firman Allah Taala:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
(QS. Al Baqarah (2): 184)
Untuk  Fidyah dalilnya adalah kalimat selanjutnya: 
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ 
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. (QS. Al Baqarah (2): 184)
Ibu hamil disetarakan dengan orang-orang yang berat melaksanakan puasa,  sebagaimana diketahui Al Quran pun juga menyebut mereka dengan wahnan ‘ala wahnin (lemah yang bertambah-tambah).
Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma berkata kepada wanita yang sedang hamil dan menyusui:
انت بمنزلة الذى لا يطيقه
Kamu kedudukannya sama dengan orang yang tidak mampu puasa.(Tafsir Ath Thabariy, 2/899)
Ini juga dikatakan oleh Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma. (Ad Daruquthni dalam Sunannya, 2/206)
Perbedaan pandangan ulama dalam hal ini sangat wajar, sebab memang ayat tersebut tidak merinci siapa sajakah yang termasuk orang-orang yang berat menjalankannya. Dalam hadits pun tidak ada perinciannya.
Adapun tentang Qadha secara khusus, ayat di atas menyebut musafir dan orang yang sakit, dan tidak merinci bagaimanakah sakitnya. Sedangkan ayat tentang Fidyah, juga tidak dirinci.
Nah, Khusus ibu hamil dan menyusui, jika kita melihat keseluruhan pandangan ulama yang ada, bisa kita ringkas seperti yang dikatakan Imam Ibnu Katsir. (Tafsir Al Quran al Azhim,  1/215. Darul Kutub al Mishriyah) bahwa ada empat pandangan/pendapat ulama:
📗Pertama, kelompok ulama yang mewajibkan wajib qadha dan fidyah sekaligus.
Ini adalah pandangan Imam Ahmad dan Imam Asy Syafi’i, jika Si Ibu mengkhawatiri keselamatan janin atau bayinya.
📙Kedua, kelompok ulama yang mewajjibkan fidyah saja, tanpa qadha.
Inilah pandangan beberapa sahabat Nabi ﷺ, seperti Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Umar Radhiallahu Anhuma. Dari kalangan tabi’in (murid-murid para sahabat) adalah Said bin Jubeir,   Mujahid, dan lainnya. Kalangan tabi’ut tabi’in (murid para tabiin) seperti Al Qasim bin Muhammad dan Ibrahim an Nakha’i. 
Imam Daruquthni meriwayatkan dengan sanad yang shahih, bahwa Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma pernah berkata kepada hamba sahayanya yang sedang hamil:
Kau sama dengan orang yang sulit berpuasa, maka bayarlah fidyah dan tidak usah qadha.
Nafi’ bercerita bahwa Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma ditanya tentang wanita hamil yang khawatir keselamatan anaknya kalau ia berpuasa, maka dia menjawab:
Hendaknya dia berbuka, dan sebagai gantinya, hendaklah dia memberi makanan kepada seorang miskin sebanyak satu mud gandum.(Riwayat Malik )

📕 Ketiga, kelompok ulama yang mewajibkan qadha saja, tanpa fidyah.
Inilah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Seperti madzhab Hanafi, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur. Sedangkan Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal ikut pendapat ini, jika sebabnya karena mengkhawatiri keselamatan Si Ibu, atau keselamatan Ibu dan janin (bayi) sekaligus.
Keempat, kelompok ulama yang mengatakan tidak qadha, tidak pula fidyah.
Demikianlah berbagai perbedaan tersebut. Nah, pendapat manakah yang sebaiknya kita ikuti ?
Seorang ahli fi
qih abad ini, Al Allamah Syaikh Yusuf Al Qaradhawy hafizhahullah, dalam kitab Taisiru Fiqh (Fiqhus Siyam) memberikan jalan keluar yang bagus. Beliau berkata:
وهكذا كان كثير من النساء فى الأزمنة الماضية فمن الرحمة بمثل هذه المرأة ألا تكلف القضاء و تكتفى بالفدية، و فى هذا خير للمساكين وأهل الحاجة. أما المرأة التى تتباعد فترات حملها كما هو الشأن فى معظم نساء زمننا فى معظم المجتمعات الإسلامية و خصوصا فى المدن والتى قد لا تعانى الحمل والارضاع فى حياتها الا مرتين او ثلاثا، فالأرجح أن تقضى كما هو رأى الجمهور
“Banyak ibu-ibu hamil bertepatan bulan Ramadhan, merupakan rahmat dari Allah bagi mereka jika tidak dibebani kewajiban qadha, namun cukup dengan fidyah saja, di samping hal ini merupakan kebaikan untuk faqir dan miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan materi.
Namun bagi ibu-ibu yang masa melahirkannya jarang, sebagaimana umumnya ibu-ibu di masa kita saat ini dan di sebagian besar negara Islam, tertutama di kota-kota, kadang-kadang hanya mengalami dua kali hamil dan dua kali menyusui selama hidupnya. Maka, bagi mereka lebih tepat pendapat jumhur, yakni qadha (bukan fidyah).”
(Fiqhush Shiyam, Hal. 73-74)
Jadi, jika wanita tersebut sulit puasa karena sering  hamil dan selalu melalui bulan Ramadhan saat hamil, maka bagi dia fidyah saja. Ada pun, jika hamilnya jarang, karena masih ada waktu atau kesempatan di waktu tidak hamil, maka wajib baginya qadha saja. Inilah pendapat yang nampaknya adil, seimbang, sesuai ruh syariat Islam.
Wallahu a’lam.

Status Shalat Jumat bagi Musafir

Assalamualaikum, tanya ustadz. Bagaimana status shalat jumat bagi seorang musafir? Kalau dia tetap ikut shalat jumat apakah setelah nya shalat qasar asar, atau dia ikut shalat jumat tapi niat qasar zuhur asar, jazakallah khair atas jawabannya?
Jawaban
————–
‌و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:
Ada dua pertanyaan ya ..
1⃣ Status Shalat Jumat bagi yang safar
Sesungguhnya shalat jumat TIDAK WAJIB bagi yang safar, cukup baginya zhuhur dan ashar di jamak secara taqdim. Itulah yang dilakukan oleh Nabi ﷺ jika safar dihari Jumat, dan inilah yang sesuai petunjuk sunah.
Syaikh Sayyid Sabiq menjelaskan tentang orang-orang yang tidak wajib shalat Jumat, di antaranya:
المسافر وإذا كان نازلا وقت إقامتها فإن أكثر أهل العلم يرون أنه لا جمعة عليه: لان النبي صلى الله عليه وسلم كان يسافر فلا يصلي الجمعة فصلى الظهر والعصر جمع تقديم ولم يصل جمعته، وكذلك فعل الخلفاء وغيرهم.
Seorang yang safar, jika walau pun dia berhenti untuk sementara mukim, sesungguhnya mayoritas ulama mengatakan bahwa seorang yang safar tidak wajib shalat Jumat, karena Nabi ﷺ jika sedang safar tidak shalat Jumat tapi dia shalat zhuhur dan ashar secara jamak taqdim, dna dia tidak melaksanakan shalat Jumatnya, itu juga dilakukan para khalifah dan selain mereka. (Fiqhus Sunnah, 1/303)
2⃣ Jikalau ikut Jumatan, apakah bisa dijamak dan qashar dengan ashar?
Dalam hal ini khilafiyah para ulama. Hambaliyah mengatakan itu menyelisihi sunah, bahkan mereka membid;ahkan. Sementara Syafi’iyah membolehkan dengan jalan mengqiyaskan dengan jamak “zhuhur dan ashar.”
Jalan keluarnya adalah ikuti saja apa yang nabi ﷺ lakukan.
Wallahu a’lam.

Menerima Hadiah dari Riba..

Assalamu’alaikum, ustadz/ustadzah
Jika kita di traktir/ dikasih hadiah dari temen /saudara yang kejelasan harta nya di datangkan dari harta Riba (suami istri) kerja di bank konvensional, bagaiman status pemberian/ hadiah yang di tangan kita?
Member manis A 35
Jawaban
————–
‌و عليكم  السلام  و  رحمة  الله  و  بركاته
Ada dua pandangan para ulama:
1. Menolak baik-baik
Ini sikap hati-hati, sebagaimana hadits Nabi ﷺ:
و من وقع فى الشبهات وقع فى الحرام
Barang siapa yang jatuh dalam perbuatan syubhat maka dia jatuh pada keharaman. (HR. Muslim)
2. Boleh saja menerimanya
Ini pendapat sebagian salaf.
Dzar bin Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhuma bercerita:
جاء إليه رجل فقال : إن لي جارا يأكل الربا ، وإنه لا يزال يدعوني ،
فقال : مهنأه لك ، وإثمه عليه
Ada seseorang yang mendatangi Ibnu Mas’ud lalu dia berkata: “Aku punya tetangga yang suka makan riba, dan dia sering mengundangku untuk makan.” Ibnu Mas’ud menjawab; Untukmu bagian enaknya, dan dosanya buat dia. (Imam Abdurrazzaq, Al Mushannaf, no. 14675)
Salman Al Farisi Radhiyallahu ‘Anhu berkata:
إذا كان لك صديق
عامل، أو جار عامل أو ذو قرابة عامل، فأهدى لك هدية، أو دعاك إلى طعام، فاقبله، فإن مهنأه لك، وإثمه عليه.
“Jika sahabatmu, tetanggamu, atau kerabatmu yang pekerjaannya haram, lalu dia memberi hadiah kepadamu atau mengajakmu makan, terimalah! Sesungguhnya, kamu dapat enaknya, dan dia dapat dosanya.” (Ibid, No. 14677)
Wallahu a’lam.

Penghapus-Penghapus Amal Shalih (Bag. 1)

Biasanya kita begitu perhatian dengan membangun amal Shalih, tapi kita lupa dengan bagaimana merawatnya. Merawat agar amal itu tetap ada dan abadi. Di antaranya adalah dengan cara menjauhi hal-hal yang merusaknya dan menghapuskannya.
Berikut ini hal-hal yang dapat menghapuskan amal Shalih manusia.
1⃣  Murtad
Terhapusnya amal Shalih karena murtad, tertera dalam ayat berikut:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Barangsiapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu terhapus amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
(QS. Al-Baqarah, Ayat 217)
Maka, shalat, puasa, zakat, haji, dan amal Shalih lainnya yang pernah dilakukan oleh orang yang murtad terhapus baik di dunia dan akhirat.  Jika dia mati dalam keadaan itu, belum bertobat, maka dia akan menjadi penduduk neraka dan abadi.
Imam Ibnu Jarir Ath Thabariy Rahimahullah menjelaskan:
وَقَوْلِهِ: {فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ} [البقرة: ٢١٧] يَقُولُ:مِنْ يَرْجِعْ عَنْ دِينِهِ دَيْنِ الْإِسْلَامِ، فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ، فَيَمُتْ قَبْلَ أَنْ يَتُوبَ مِنْ كُفْرِهِ، فَهُمُ الَّذِينَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ يَعْنِي بِقَوْلِهِ: {حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ} [البقرة: ٢١٧] بَطَلَتْ وَذَهَبَتْ، وَبِطُولِهَا: ذَهَابُ ثَوَابِهَا، وَبِطُولِ الْأَجْرِ عَلَيْهَا وَالْجَزَاءُ فِي دَارِ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَقَوْلُهُ: {وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ} [البقرة: ٢١٧] يَعْنِي الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَنْ دِينَهُمْ فَمَاتُوا عَلَى كُفْرِهِمْ، هُمْ أَهْلُ النَّارِ الْمُخَلَّدُونَ فِيهَا.
FirmanNya: “lalu dia mati dalam kekafiran”, yaitu dia keluar dari agamanya yaitu agama Islam, lalu dia mati dalam keadaan kafir, dan dia belum bertobat dari kekafirannya, maka mereka inilah orang-orang yang terhapus amal-amalnya, yaitu sebagaimana firmanNya: “maka mereka itu terhapus amalnya”, yaitu sia-sia dan lenyap, yaitu sia-sia pahalanya, lenyap ganjarannya, dan balasannya di dunia dan akhirat.
FirmanNya: “dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya,” yaitu orang-orang yang murtad dari agamanya, dan mereka mati dalam keadaan kekafiran, maka mereka menjadi penduduk neraka dan  kekal abadi.
(Tafsir Ath Thabariy, 2/1154)
Uraian ini sekaligus mengoreksi kalangan liberal dan yang semisalnya, bahwa semua agama sama baik dan benarnya.  Sama-sama menuju surga tapi berbeda jalan. Ini adalah kebohongan mereka dalam memanipulasi hakikat agama yang diridhai Allah, yaitu Islam, dan menyamakannya dengan agama lain.
(Bersambung ..)
Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Thariq

Tolak Uangnya dan Tolak Orangnya

© Menjelang hari H pencoblosan biasanya ramai orang-orang tidak bertanggungjawab menyebarkan uang, gula, dan lain-lain, ke rumah-rumah masyarakat dalam rangka “menyuap” mereka agar memilih jagoannya. Tentu mereka tidak sendiri, ada penyandang dana dan eksekutor lapangan.
▪Ada yang menyikapi, “Biarlah, terima aja tapi jangan pilih orangnya.” Ini tentu salah dan tidak mendidik. Jika memang berniat memberikan pendidikan politik yang bermartabat seharusnya “Tolak Uangnya dan Tolak Orangnya/Partainya.”
® Jika memang diketahui itu adalah risywah/sogok (baik diistilahkan serangan fajar, money politic, dan lain-lain), maka sikap  menerimanya sama juga membenarkan operasi keharaman. Sikap seorang muslim seharusnya adalah taghyirul munkar (mengubah kemungkaran), bukan justru menerimanya dan memfasilitasi orang berbuat munkar.
▪Hendaknya aktifis Islam jangan terjebak ikut-ikutan cara yang kotor, hanya karena untuk meraih kemenangan.  Mirip adagium sebagian pesepakbola, “Biarlah kartu kuning dan kartu merah banyak, yang penting gol!”
© Ini tidak pantas dan terlarang. Hal ini berdasarkan pada ayat:
وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَان
“Dan janganlah saling tolong dalam dosa dan pelanggaran.” (Qs. Al-Maidah: 2)
▪Disebutkan dalam Al-Mu’jam Al-Wasith tentang makna Risywah:
ما يعطى لقضاء مصلحة أو ما يعطى لإحقاق باطل أو إبطال حق
“Sesuatu yang diberikan agar tujuannya terpenuhi, atau sesuatu yang diberikan untuk membenarkan yang batil, atau membatilkan yang haq.” (Al Mu’jam Al Wasith, 1/348. Dar Ad Da’wah)
▪Jadi, segala macam pemberian dalam rangka menggoyang independensi seseorang dalam bersikap dan mengambil keputusan, itulah risywah. Akhirnya, pemberian itu (uang atau barang) menjadi penggerak sikapnya bukan karena kebenaran itu sendiri. Sehingga yang layak menjadi tersingkir, yang buruk justru terpilih. Haq menjadi batil, batil pun menjadi haq.
® Di tambah lagi, Allah dan Rasul-Nya melaknat penyuap dan yang disuap.  Sebagaimana hadits:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melaknat penyuap dan yang disuap.” (HR. Abu Daud No. 3109, dari Abdullah bin Amr. At Tirmidzi No. 1256, dari Abu Hurairah. Shahih)
Juga hadits:
قالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Allah melaknat penyuap dan yang disuap.” (HR. Ibnu Majah No. 2304, Shahih)
▪Kondisi masyarakat yang masih “memilih yang bayar” bukan “memilih yang benar” bukan alasan untuk ikut-ikutan menggunakan politik uang. Jika itu dilakukan oleh politisi busuk dan hitam, maka politisi muslim tidak layak mengikutinya.
Wallahul Musta’an

Seputar Waris

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh
Ijin mengajukan pertanyaan mengenai bab waris.

Dalam sebuah keluarga dimana kedua orang tua sudah tiada, dan tinggal beberapa anak yang sudah mendapat hak waris.

Salah satu anak tersebut bermasalah dengan hidupnya (tidak bekerja, tidak berkeluarga, dan agak agak tidak sehat jiwanya)

Kemudian anak tersebut meninggal.. Dan dia masih memegang warisan dari ortunya.

Lalu warisan tersebut akhirnya dibagikan kembali ke kakak2nya.

Pertanyaannya :
1. Apakah sah jika harta warisan itu diwakafkan (untuk pembangunan masjid misalnya)?

2. apakah warisan yg diwakafkan tersebut juga bisa menambah pahala bagi si mayit, meski semasa hidupnya ia tidak meniatkan hartanya untuk diwakafkan?
Jazaakillahu khoiron katsiiron…

Jawaban
———-

‌و عليكم السلام و رحمة الله و بركاته

Jadi, saat anak tersebut wafat dia memiliki harta yg merupakan harta warisan dari org tuanya.

Maka, harta tersebut tentunya juga di wariskan. Karena orangtua sdh wafat, anak itu juga tidak punya anak atau istri (betul ya), yg ada hanya saudara2 kandung .. maka tentu harta dia diwariskan untuk saudara2nya itu.

Kemudian, apakah apa boleh diwaqafkan harta tersebut? Yg perlu dilakukan adalah dibagikan dulu ke saudara2 kandungnya sebagai waris .. setelah itu silahkan saudara2nya menyedekahkan harta itu atas nama anak tersebut .. jadi, bukan ujug-ujug jadi waqaf sebab dia tidak pernah berniat waqaf ..

Sedekah atas nama orang yang sudah wafat sampai pahalanya dan ini ijma’ ..

Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya memasukkan hadits ini dalam _Bab Wushul tsawab Ash Shadaqah ‘anil Mayyit Ilaih._ (Sampainya pahala sedekah dari Mayit kepada yang Bersedekah)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبِي مَاتَ وَتَرَكَ مَالًا وَلَمْ يُوصِ فَهَلْ يُكَفِّرُ عَنْهُ أَنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ

“Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Sesungguhnya ayahku sudah wafat, dia meninggalkan harta dan belum diwasiatkannya, apakah jika disedekahkan untuknya maka hal itu akan menghapuskan kesalahannya? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawa: Na’am (ya).” (HR. Muslim No. 1630)

Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan tentang maksud hadits di atas:

وَفِي هَذَا الْحَدِيث جَوَاز الصَّدَقَة عَنْ الْمَيِّت وَاسْتِحْبَابهَا ، وَأَنَّ ثَوَابهَا يَصِلهُ وَيَنْفَعهُ ، وَيَنْفَع الْمُتَصَدِّق أَيْضًا ، وَهَذَا كُلّه أَجْمَعَ عَلَيْهِ الْمُسْلِمُونَ

“Dalam hadits ini menunjukkan bolehnya bersedekah untuk mayit dan itu disunahkan melakukannya, dan sesungguhnya pahala sedekah itu

sampai kepadanya dan bermanfaat baginya, dan juga bermanfaat buat yang bersedekah. Dan, semua ini adalah ijma’ (kesepakatan) semua kaum muslimin.” (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syah Shahih Muslim, 6/20. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Demikian.

Wallahu a’lam.

Haruskah Riba Kembali??

Pertanyaan dari Korma 3:
Assalamualaikum. … saya ingin bertanya.
Dahulu kami membangun usaha dengan meminjam uang dari bank. Saat ini setelah kami sering mempelajari Al Quran dan mengikuti kajian Islam, kami tidak akan mengulanginya lagi. Kami berjanji akan menyelesaikan hutang-hutang kami yang tersisa dan melakukan shalat taubat.
Tetapi saat ini orang tua meminta bantuan untuk meminjam dana guna perluasan usaha dibidang pendidikan kebank menggunakan nama kami, meskipun perbulannya orang tua yang akan membayar cicilanya (karena usia orang tua tidak layak saat diverifikasi oleh bank).
Apakah kami ikut terlibat dosa riba dalam kondisi seperti ini? Sedang kami tidak memakan keuntungan riba tersebut dan bertujuan membantu orang tua. Apa yang sebaiknya kami lakukan agar tidak menyingung perasaan orang tua dan tidak menimbulkan konflik keluarga?

Jawaban
———-

‌و عليكم السلام و رحمة الله و بركاته

📌 Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam maksiat kepada Allah Ta’ala

📌 Allah Ta’ala juga melarang saling bantu dalam dosa dan kejahatan, laa ta’awanu ‘alal itsmi wal ‘udwan ..maka menggunakan nama kita utk itu sama saja menjadi fasilitatornya

📌 Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه وقال هم سواء
Rasulullah ﷺ melaknat pemakan riba, yang memberinya, pencatatnya, dan yang menjadi saksinya. Beliau berkata: semua sama. (HR. Muslim No. 1598)

Jadi, fasilitatornya juga kena, walau tidak memakannya.

📌 Solusinya adalah tetap hindari, jaga perasaannya, lalu berikan alternatif ke Bank Syariah, dengan akad yamg sesuai syariah juga.
Selamat berjuang .. !

Wallahu a’lam.