Setiap Perbuatan Baik Adalah Sedekah

Mengambil Kembali Pemberian, Sedekah, Waqaf, yang Sudah diberikan ke orang lain

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz, saya mau bertanya, apakah harta/benda yang pernah kita hibahkan/wakafkan/hadiahkan boleh diambil kembali, apabila ada penyalahgunaan oleh orang yang diberikan?

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Bismillah wal Hamdulillah …

Harta yang sudah kita hibahkan, sedekah, waqaf, dan semisalnya, tidak boleh diambil lagi. Ada pun penyalahgunaan yang mereka lakukan, atau kurang dirawat dengan baik, sudah bukan tanggung jawab si pemberinya. Itu tanggung jawab yang menerima.

Hal ini berdasarkan riwayat berikut, dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْكَلْبِ يَعُودُ فِي قَيْئِهِ لَيْسَ لَنَا مَثَلُ السُّوءِ

“Orang yang mengambil kembali pemberiannya, bagaikan anjing yang menjilat muntahnya sendiri, kami tidak memiliki sebuah perumpamaan yang buruk semisal ini “. (HR. Al Bukhari No. 2589, 6975, Muslim No. 1622)

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah berkata:

ولعل هذا أبلغ في الزجر عن ذلك وأدل على التحريم

Dan bisa jadi ini peringatan yang paling keras tentang masalah ini, dan menunjukkan keharamannya. (Tuhfah Al Ahwadzi, 4/435)

Dan ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam Ash Shan’ani Rahimahullah:

فيه دلالة على تحريم الرجوع في الهبة وهو مذهب جماهير العلماء

Pada hadits ini terdapat dalil keharaman mengambil lagi pemberian. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. (Subulus Salam, 3/90)

Demikianlah secara umum, namun ada pengecualian, yaitu dibolehkan mengambil kembali pemberian jika pemberian orang tua ke anaknya. Misal anak diberikan HP, tp HP itu membuatnya lupa shalat dan belajar, maka tidak apa-apa diambil lagi sebagai hukuman dan pendidikan bagi anak.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لا يحل لأحد أن يعطي عطية فيرجع فيها إلا الوالد فيما يعطي ولده

Tidak halal bagi seseorang memberi suatu pemberian lalu dia ambil kembali, kecuali orangtua, dia boleh mengambil kembali apa yang telah diberikan kepada anaknya”. (HR. At Tirmidzi No. 1298. Hadits ini shahih)

Imam At Tirmidzi Rahimahullah berkomentar:

والعلم على هذا الحديث عند بعض أهل العلم من بعض أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم وغيرهم قالوا من وهب هبة لذي رحم محرم فليس له أن يرجع فيها ومن وهب هبة لغير ذي رحم محرم فله أن يرجع فيها ما لم يثب منها وهو قول الثوري وقال الشافعي لا يحل لأحد أن يعطي عطية فيرجع فيها إلا الوالد فيما يعطي ولده واحتج الشافعي بحديث عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله عليه و سلم قال لا يحل لأحد أن يعطي عطية فيرجع فيها إلا الوالد فيما يعطي ولده

Sebagian ulama dari sahabat nabi dan yang lainnya mempraktekkan hadits ini. Mereka berkata, “Seseorang yang memberi suatu pemberian kepada kerabat mahramnya (orang yg haram menikah dengannya), dia boleh mengambil kembali pemberian tersebut, sementara orang yang memberi suatu pemberian kepada orang lain yang bukan mahramnya, maka dia tidak boleh mengambil kembali pemberian tersebut. Demikian ini juga pendapat Ats-Tsauri. Asy Syafi’i berkata, “Tidak halal bagi seseorang yang memberi suatu pemberian. lalu mengambilnya kembali. kecuali orangtua, dia boleh mengambil apa yang telah diberikan kepada anaknya.” Asy Syafi’i berdalih dengan hadits Abdullah bin Umar, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam beliau bersabda: “Tidak halal bagi seseorang memberikan snatu pemberian lalu mengambilnya kembali, kecuali orangtua”. Dia boleh mengambil kembali apayang telah diberikan kepada anaknya. (Sunan At Tirmidzi No. 1299)
Wallahu A’lam.

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Iddah Waktu Menunggu

Masa Iddah

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz… Saya mau bertanya, tentang masa Iddah bagi seorang wanita yang bercerai dari suaminya. Bagaimana menghitung masa Idah jika siklus haid si wanita tidak teratur? A_42

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Masalah seperti ini terkait bagaimana mengetahui akhir haid dulu. Ada beberapa cara pendekatan sederhana untuk mengetahuinya sesuai keadaan masing-masing haid wanita, sehingga masalah ini tidak bisa dipukul rata

1. Bagi wanita yang haidnya lancar, maka yang menjadi batasan adalah kebiasaan durasi haidnya.

Sesuai kaidah:
Al ‘Aadah Muhakkamah : adat/kebiasaan itu bisa menjadi standar hukum

Jadi, jika kebiasaan seorang wanita haidnya 7 hari, maka itu menjadi standarnya. Jika dia sudah berhenti darahnya sebelum hari 7, maka jangan terburu-buru merasa sudah suci. Dia masih berlaku hukum-hukum haid, di antaranya larangan shalat, shaum, dan jima’. Sehingga kalau dia tidak shalat dihari 6, maka tidak ada qadha.

Jika baru berhentinya setelah hari 7, maka darah yang keluar selebihnya adalah darah istihadhah, bukan haid. Dia sudah suci dan tidak lagi berlaku lagi hukum hukum haid. Maka, sudah wajib lagi shalat, boleh shaum, dll. Ini relatif mudah.

2. Bagi wanita yang haidnya eror. Kadang 4 hari, kadang 6 hari, pernah 10 hari .., dsb, dan eror ini memang menjadi kebiasaannya, maka caranya dengan memperhatikan warna darahnya, sebab darah haid itu sudah dikenal. Ada pun maksimal menurut jumhur ulama adalah 15 hari, selebih itu adalah istihadhah/penyakit.

Hal ini sesuai hadits:

فَإِنَّهُ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي عَنْ الصَّلَاةِ فَإِذَا كَانَ الْآخَرُ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي

“Apabila darah haid maka darah itu berwarna hitam dan dikenal, Apabila darah itu ternyata demikian, maka tinggalkanlah shalat. Apabila darah itu berwarna lain, maka berwudhulah dan shalatlah”. (HR. Abu Daud No. 261, hasan)

Sehingga, di masa-masa tidak keluar darah maka dia dihukumi suci, maka boleh shalat, shaum, dll. Sebaliknya di masa keluar darah di dihukumi haid, dengan syarat sifat darahnya memang dikenal sebagai darah haid. Ini memang agak ribet apalagi terjadi sepanjang tahun.

3. Bagi wanita yang tadinya teratur lalu berubah menjadi eror haidnya gara-gara obat, KB, dll.

Maka, pendekatan pertamanya adalah dengan mengikuti kebiasaannya dulu, sebab pada awalnya memang teratur. Ini sebagai antisipasi bahwa dia masih teratur. Tapi, jika akhirnya eror, maka barulah dengan cara mengenali sifat darahnya, sebagaimana hadits Abu Daud di atas. Lalu berobatlah atau konsultasi dengan dokter agar kembali normal.

Wallahu a’lam

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Bersuci istinja cebok najis

Sholat di Atas Kasur Yang Pernah Kena Ompol

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz apa yang harus dilakukan bila saat sakit solatnya di atas tempat tidur yang kasurnya pernah kena ompol, tapi tidak bisa dicuci karena kasurnya spring bed yang besar ?

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Salah satu syarat sahnya shalat adalah SUCI, suci orangnya dr hadats, najis, junub, dan suci tempatnya dari najis.

Najis yg dimaksud adalah najis yg zhahir, yg nampak, baik pada pakaian, sajadah, lantai/tanah tempat shalat. Sedangkan najis yg tidak nampak dan tersembunyi, seperti yang ada di perut kita, lambung, atau usus, maka ini tidak termasuk. Begitu pula najis yg ada di bawah tanah, atau di bawah lantai, dan sudah tertutup lapisan tanah yg suci atau tertutup lapisan tanah, tegel, keramik lantai.. Maka ini tdk menghalangi shalat di atasnya. Shalatnya tetap sah, boleh, namun sebagian ulama mengatakan makruh walau sah.

Dalam madzhab Imam Malik, berkata Al Mawaaq, dalam Taj Al Iklil:

 من المدونة قال مالك: لا بأس أن يصلي المريض على فراش نجس إذا بسط عليه ثوبا طاهرا كثيفا، قال بعضهم: بل ذلك جائز للصحيح لأن بينه وبين النجاسة حائلا طاهرا كالحصير إذا كان بموضعه. انتهى

Dari kitab Al Mudawanah: Imam Malik berkata tidak apa-apa orang yang sakit shalat di atas lantai yang najis, jika di atasnya sudah ditutup dengan kain yang suci. Bahkan menurut yang lainnya, hal itu boleh lagi benar, sebab antara dia dan najis ada penghalang yang suci, seperti dia meletakkan keset dari jerami di atasnya. (Taaj Al Iklil, 2/273)

Sementara Imam An Nawawi dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab:

 قال أصحابنا: يكره أن يصلي في مزبلة وغيرها من النجاسات فوق حائل طاهر لأنه في معنى المقبرة. انتهى

Sahabat-sahabat kami (Syafi’iyah) mengatakan, bahwa makruh shalat di tempat sampah atau lainnya yang mengandung najis, walau sudah ditutup dengan penghalang yg suci, sebab itu sama seperti kuburan.

(Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 3/158)

Imam Al Mardawi (Hambali) mengatakan dalam Al Inshaf:

قوله: وإن طين الأرض النجسة، أو بسط عليها شيئاً طاهرا، صحت صلاته عليها مع الكراهة. وهذا المذهب، وهو ظاهر كلام الإمام أحمد

Jika tanah ada najisnya, atau digelar di atasnya sesuatu yang suci, maka shalatnya tetap SAH tapi MAKRUH. Inilah pendapat resmi madzhab (Hambali), dan sesuai zahir ucapan Imam Ahmad bin Hambal. (Al Inshaf, 3/283)

Demikian. Wallahu a’lam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Kaidah Kemudahan Sesuai Syariat

Wanita Berobat Ke Terapis/Dokter Laki-Laki dan Sebaliknya

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz…
Apa hukumnya seorang perempuan/ ibu yang berobat terapi totok punggung pada terapis laki laki dengan pegang punggungnya tetapi dengan sarung tangan?

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d.

Berobat adalah upaya masyru’ dan di dorong oleh syariat yang mulia. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ :

إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit pasti ada obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan yang haram.” [1]

Berobat, sebisa mungkin dengan obat yang halal dan suci, serta dilakukan dengan cara yang benar, dan dilakukan oleh orang yang tepat, agar selamat secara medis dan syariat.

Jika pasiennya laki-laki sebagusnya dokternya laki-laki, dan jika pasiennya wanita sebagusnya dokternya wanita. Kebutuhan ini menunjukkan kemestian membuka peluang bagi kaum wanita muslimah untuk menuntut ilmu kedokteran sebagaimana kaum laki-laki.

🥈Jika Keadaan Tidak Ideal

Dalam keadaan masyarakat yang normal dan wajar, saya rasa tidak sulit mencari dokter laki-laki dan wanita dengan spesialisasinya masing-masing. Sehingga kita relatif tidak sulit berobat dengan mekanisme yang dibenarkan syariat. Tapi, keadaan seperti itu tidak selalau sama di masing-masing daerah. Ada daerah minus dokter kandungan muslimah, bidan muslimah, atau semisalnya, yang ada adalah dokter laki-laki. Padahal pasien itu bisa laki-laki bisa juga perempuan, dan kesehatan serta kehidupan mereka mesti sama-sama dijaga.

Dalam keadaan seperti itu tidak mengapa seorang wanita berobat ke dokter laki-laki (atau sebaliknya jika memang dokter laki-laki yang minim), selama adab-adabnya terjaga. Di sisi lain, dalam dunia pengobatan, di dalamnya sangat memungkinkan terjadi persentuhan langsung antara dokter dan pasiennya, karena itulah cara untuk mendeteksi dan mendiagnosa penyakit.

Pembolehan ini mengingat beberapa fakta sejarah dan kaidah berikut:

1. Dalam kitab Shahih Al Bukhari terdapat sebuah bab:  Bab Mudawatin Nisa’ Al Jarha fil Ghazwi (Pengobatan Wanita untuk yang terluka dalam peperangan), juga bab: Bab Raddin Nisa’ Al Jarha wal Qatla Ilal Madinah(Wanita Memulangkan Pasukan terluka dan terbunuh ke Madinah)

2. Beberapa kaidah fiqih:

 الْمَشَقَّةُ تَجْلُبُ التَّيْسِيرَ

Kesulitan membawa pada kemudahan.[2]

Atau seperti yang dikatakan Imam Tajuddin As Subki:

المشقة نجلب التيسير وإن شئت قلت : إذا ضاق الأمر اتسع

Kesulitan membawa pada kemudahan, dan jika anda mau, anda bisa katakan: jika keadaan sempit maka membawa kelapangan.[3]

Kaidah ini berdasarkan firman Allah ﷻ :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185)

Ayat lainnya:

يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا

“Allah memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS.  An Nisa’: 28)

Ada pun dalam hadits:

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ   bersabda:

يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا، وَلاَ تُنَفِّرُوا

Permudahlah dan jangan persulit, berikanlah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari. [4]

Dari Aisyah  Radhiallahu ‘Anha:

مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا، مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا، فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْه

 “Sesungguhnya Rasulullah jika dihadapkan dua perkara, dia akan memilih yang lebih ringan, selama tidak berdosa, jika ternyata mengandung dosa maka dia adalah orang yang paling jauh darinya.” [5]

Maka, keadaan jika sulit, sempit, payah, termasuk dalam berobat mencari yang  “seharusnya” maka tidak mengapa, dan membuatnya lapang untuk berobat dengan dokter yang ada, walau dia lawan jenis. Sebab, jika tidak demikian maka itu membuatnya jatuh dalam dharar (kerusakan yang lebih besar), dan itu justru terlarang.

Sebagaimana kaidah lain:

الضَّرَرُ يُزَالُ

Adh Dhararu Yuzaal – kerusakan mesti dihilangkan.[6]

Dalil kaidah ini  adalah:

وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al Baqarah (2): 195)

Dan hadits Nabi ﷺ :

لا ضرر ولا ضرار

Jangan membuat kerusakan dan jangan menjadi rusak. [7]

Hanya saja ada beberapa adab yang mesti dijaga:

1. Hendaknya memakai pakaian yang sesuai syariat.

2. Jika hendak membuka bagian tubuh yang sakit, dan itu ternyata aurat, maka bukalah sesuai kebutuhan pemeriksaan, sesuai kaidah:

الضرورة تقدر بقدرها

Kondisi darurat ditakar sesuai kadar kebutuhannya. [8]

3. Jika mungkin, dokternya menggunakan sarung tangan.

4. Hendaknya ditemani oleh orang lain, baik mahram, atau ajnabi yang terpercaya.

Demikian. Wallahu A’lam wa Ilahil Musytaka

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

[1] HR. Abu Daud No. 3876, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 20173. Imam Ibnul Mulaqin mengatakan: shahih. (Tuhfatul Muhtaj, 2/9). Imam Al Haitsami mengatakan: perawinya terpercaya. (Majma’uz Zawaid, 5/86)

[2] Imam Ibnu Nujaim, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 75. 1400H-1980M. Darul Kutub Al ‘ilmiyah

[3]  Imam Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, 1/61. Cet. 1, 1411H-1991M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah

[4] HR. Al Bukhari No. 69, Muslim No. 1732

[5] HR. Al Bukhari 3560, 6126, 6786, Muslim No. 2327

[6] Imam As Suyuthi, Al Asybah wan Nazhair, Al Kitabul Awwal, Kaidah keempat, Hal. 83. Imam Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, Kaidah kedua,  1/51. Imam Ibnu Nujaim, Al Asybah wan Nazhair, Kaidah kelima, Hal. 85. Syaikh Zakariya bin Ghulam Qadir Al Bakistani, Min Ushul Al Fiqh ‘Ala Manhaj Ahlil Hadits, Hal. 190

[7] HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 268, 1033, 3777, 5193, juga dalam Al Kabir No. 1387, 11576, 11806, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 11166, 11167, 11657, 11658, 20230, 20231. Malik dalam Al Muwaththa’ biriwayah Yahya Al Laitsi No. 1429, Ibnu Majah No. 2340, 2341, Ad Daruquthni No. 83, 288, Ahmad No. 2867, Asy Syafi’i dalam Musnadnya No. 1096, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah No. 1300, dll

Imam Al Hakim mengatakan: “Shahih, sesuai syarat Imam Muslim.” (Al Mustadrak No. 2354) dan disepakati oleh Imam Adz Dzahabi dalam At Talkhish-nya.

[8] Syaikh Shalih bin Muhammad bin Hasan Al Asmary, Majmu’ah Al Qawaid Al Bahiyyah, Hal. 60. Cet.1, 1420H-2000M. Darush Shami’iy


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Surat Pendek Penangkal Sihir

Agar Terhindar Dari Penyakit Was-was

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz, saya mau bertanya, apa yang harus saya lakukan jika najis sudah terlanjur menyebar ke seluruh rumah bahkan sampai ke meja dan barang2 elektronik, saya sungguh tidak tenang dan merasa tidak nyaman, najis ini berasal dari kencing kucing dimana dulu saya tidak tahu cara mensucikan najis dan saya hanya membersihkannya tanpa mensucikan, dan saya langsung mengpel lantai dan melap meja yang membuat saya was was karena najis nya pasti menyebar, apa yang harus saya lakukan ustadz? saya benar2 merasa terbebani karena saya juga sudah kelas 12 dimana saya harus fokus untuk masuk perguruan tinggi, tapi karena adanya was was ini saya jadi susah fokus untuk belajar karena yang ada dipikiran saya semuanya najis, tolong bantuannya ustadz saya ingin sembuh, bahkan kadang saya berpikir sholat saya tidak sah.


🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Bismillahirrahmanirrahim..

Ada beberapa hal yang mesti dilakukan agar terhindar dari penyakit was was.

Pertama. Secara keilmuan, harus menyadari bahwa apa yang kita pikirkan itu mesti jelas bukan ilusi. Masalah apakah kita kena najis, apakah najis itu masih ada atau tidak, maka harus beranjak dari keyakinan bahwa hukum asal benda atau tubuh kita adakah suci. Selama tidak ada, tdk nyata, dan tdk jelas, adanya hal najis yang mengenainya maka itu masih suci. Kaidah ini mesti benar-benar dipahami. Jangan menyulitkan diri sendiri dengan memvonis najis terhadap apa-apa yang tidak pasti hanya krn dimainkan oleh asumsi.

Pendekatan kedua, karena was was itu hakikatnya dari syetan. (An Naas: 5-6). Maka mintalah kepada Allah Ta’ala berlindung darinya.

Misalnya dengan membaca:

ِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْثِهِ وَنَفْخِهِ

“Allah Mahabesar. Segala puji bagi Allah, pujian yang banyak. Mahasuci Allah pada pagi hari dan sore. Ya Allah, sesungguhnya saya berlindung kepada-Mu dari setan yang terkutuk dari gangguannya (kegilaan yang bisa menimpa anak Adam), hembusannya dan kesombongannya.”

Atau doa lainnya:

أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ

A’uudzu bi kalimaatillaahit taammati min kulli syaitaani wa haammatin wa min kuli ‘ainin laammah” (“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan dan segala makhluk berbisa dan begitupun dari setiap mata jahat yang mendatangkan petaka”).
Wallahu A’lam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Berdzikir Dalam Keadaan Hadats

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz, saya mau bertanya, klu lagi haid bolehkah membca Doa Robbitoh, Syukron Ustadz.

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Bismillahirrahmanirrahim..

Berdzikir kepada Allah ﷻ baik dengan bertasbih, tahmid, takbir, tahlil, atau lainnya, dalam keadaan hadats kecil atau besar adalah boleh. Ini perkara yang tidak diperselisihkan para ulama.

Hal ini berdasarkan beberapa dalil berikut:

Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:

كَانَ النَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – يَذْكُرُ الله عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

Dahulu Nabi ﷺ berdzikir kepada Allah ﷻ di setiap keadaan. (HR. Bukhari secara mu’allaq)

Hadits ini menunjukkan bahwa dzikir bukan hanya saat suci, tapi semua keadaan. Sehingga para ulama menegaskan bahwa suci bukan syarat sahnya berdzikir dan berdoa.

Hadits lain, Aisyah Radhiallahu ‘ Anha bercerita saat dia haid, dan haji ke Mekkah, Rasulullah ﷺ bersabda:

افْعَلِي كَمَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لَا تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي

“Lakukanlah semua manasik haji seperti yang dilakukan para jamaah haji, selain thawaf di Ka’bah Baitullah sampai kamu suci.”

(HR. Muttafaq ‘Alaihi)

Hadits ini menunjukkan kebolehan wanita haid melaksanakan semua manasik haji (sa’i, wuquf, mabit, jumrah) kecuali thawaf. Padahal saat sa’i, wuquf, dianjurkan banyak berdzikir sebagaimana jamaah haji lainnya. Maka, ini menunjukkan kebolehan yang begitu jelas bagi orang berhadats untuk dzikir dan berdoa.

Imam an Nawawi Rahimahullah mengatakan:

أجمع المسلمون على جواز التسبيح والتهليل والتكبير والتحميد والصلاة على رسول الله صلى الله عليه وسلم وغير ذلك من الأذكار وما سوى القرآن للجنب والحائض ودلائله مع الإجماع في الأحاديث الصحيحة مشهورة

Kaum muslimin telah ijma’ (aklamasi) bolehnya bertasbih, tahlil, tahmid, takbir, bershalawat kepada nabi, dan dzikir-dzikir lainnya -selain membaca Al Quran- bagi orang yang junub dan haid. Selain ijma’, hal ini juga ditunjukkan oleh dalil hadits shahih yang begitu banyak dan masyhur.

(Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab)

Hanya saja, jika seseorang bersuci lebih dulu tentu itu lebih baik, lebih disukai, dan lebih utama.

Berdasarkan hadits berikut:

عَنِ الْمُهَاجِرِ بْنِ قُنْفُذٍ
أَنَّهُ سَلَّمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ حَتَّى تَوَضَّأَ فَرَدَّ عَلَيْهِ وَقَالَ إِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي أَنْ أَرُدَّ عَلَيْكَ إِلَّا أَنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللَّهَ إِلَّا عَلَى طَهَارَةٍ

Dari Al Muhajir bin Qunfudz bahwa ia pernah mengucapkan salam atas Nabi ﷺ dan saat itu, beliau sedang berwudhu. Namun, beliau tidak membalas salamnya hingga beliau selesai wudhu, baru kemudian beliau membalasnya dan bersabda:

“Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk membalas salammu, kecuali karena saya tidak suka berdzikir kepada Allah selain dalam keadaan suci.”

(HR. Ahmad no. 18259)

Demikian. Wallahu a’lam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Memandikan Jenazah

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz, saya mau bertanya tentang memandikan jenazah.

1. Bagaimana jika kita memandikan jenazah, menemukan kondisi badan si mayit posisinya tidak lurus. Misalnya kakinya tertekuk, atau dalam kondisi meringkuk. Apakah kita harus meluruskan badan si mayit, atau membiarkannya dalam kondisi seperti itu?
2. Benarkah Ali ra memandikan sendiri Fatimah istrinya ketika wafat?
3. Kami pernah memandikan jenazah seorang ibu yang habis operasi Cesar, luka bekas jahitan operasi itu dalam kondisi ditutup perban. Kami dan pihak keluarga si mayit khawatir jahitannya masih basah, maka kami tidak membuka perban tersebut. Salahkan yang kami lakukan?

Jazakumullaah khoir
Wassalamu ‘alaikum wr wb

A/19


🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

1. Ya, luruskan posisi mayit tersebut, lemaskan dengan gerakan yang lembut beberapa kali sampai lurus atau posisi tubuh menjadi normal telentang.

2. Ya, menurut Imam Ibnul Atsir dalam _Usudul Ghabah_ bahwa yang memandikan Fathimah Radhiyallahu ‘Anha saat wafat adalah Ali Radhiallahu ‘Anhu dan Asma’ Radhiallahu ‘Anha. Menurut Imam Ibnul Atsir ini yg shahih.

Ada pun kisah yang menyebut bahwa Fathimah sudah memandikan dirinya sendiri sebelum wafatnya, dan Ali hanya menguburkan tanpa memandikannya, menurut Imam adz Dzahabi dalam _Siyar A’lam an Nubala_ sanadnya munkar.

3. Jika dibuka akan mencederai dan menyakitinya, maka jangan dibuka. Sebab, manusia itu tetap terhormat baik hidup dan matinya. Dan Memandikannya tetap sah. Tapi, perban kecil atau plester yang masih bisa dibuka tanpa merusak sama sekali tubuhnya, ini hendaknya dibuka.

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

_“Mematahkan tulang seorang mayat, sama halnya dengan mematahkannya ketika dia masih hidup.”_ *(HR. Abu Daud No. 3207, Ibnu Majah No. 1616, Ahmad No. 24783, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Para perawinya terpercaya dan merupakan perawi hadits shahih, kecuali Abdurrahman bin Ubay, yang merupakan perawi kitab-kitab sunan, dan dia shaduq (jujur).” Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 24783)*

Maka menyakitinya ketika sudah wafat adalah sama dengan menyakitinya ketika masih hidup, yaitu sama dalam dosanya. *(Imam Abu Thayyib Abadi, ‘Aunul Ma’bud, 9/18)* karena mayit juga merasakan sakit. *(Ibid)*

Menyakiti seorang mukmin ketika matinya, sama dengan menyakitinya ketika dia masih hidup. *(Lihat Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 12115)*

Demikian. Wallahu a’lam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Zina itu utang

Zina Walau Sama-Sama Ridha dan Suka: Tetap Haram Ferguso!

📝 Pemateri: Ustadz Farid Nu’man Hasan, S.S.

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹

Tulisan lama, semoga masih relevan (menyorot PERMENDIKBUD NO. 30/2021)

📌 Keharaman zina, kontak seksual di luar pernikahan, telah final. Jelas dan pasti, orang awam pun juga paham. Maka, sudah seharusnya orang yang mengaku berpendidikan lebih paham lagi.

📌 Bahkan orang yg berzina pun paham apa yang mereka lakukan itu sebenarnya haram. Tapi, karena hawa nafsu, gelap mata, tidak takut dosa, dan rayuan syetan, akhirnya dilakukan juga.

📌 Semua kesepakatan yang berlawanan dengan syariat adalah terlarang, termasuk kesepakatan untuk mengubah yang haram menjadi halal seperti keharaman zina menjadi BOLEH, dengan alasan keduanya sama-sama ridha.

Hal ini mirip yang diprediksikan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tentang manusia yang bermain-main dengan istilah untuk menghalalkan yang haram:

يسمُّونَها بغيرِ اسمِها فيستحلُّونَها

Mereka menamakan bukan dengan nama sebenarnya lalu mereka menghalalkannya

(Takhrij Misykah Al Mashabih, 5/85. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: hasan)

📌 Rasulullah ﷺ bersabda:

الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ، إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا

Kaum muslimin terikat oleh perjanjian yang mereka buat, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.

(HR. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra no. 11430)

📌 Maka, segala bentuk perzinaan dan pintu-pintunya, walau dibungkus dengan istilah keren, ilmiah, tapi esensinya adalah legalisasi zina, free sex, atas nama HAM, adalah perilaku busuk dan menjijikkan.

📌 Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi ﷺ bersabda:

إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ حَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ كِتَابَ اللهِ

Jika zina dan riba sudah nampak di sebuah negeri maka mereka telah menghalalkan siksa Allah ﷻ atas diri mereka.

(HR. Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 5416. Al Hakim, Al Mustadrak No. 2261, kata Al Hakim: shahih)

📌 Maka, tegas bagi seorang muslim menolak pembenaran perzinaan walau atas dasar suka sama suka.

Bukankah Aku telah sampaikan? Allahumasyhad!

Wallahul Musta’an
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Agungkan Allah Ketika Ruku dan Sujud

Posisi Kaki Saat Sujud

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz… mau bertanya. Sebenarnya posisi kedua kaki saat sujud shalat itu rapat atau renggang?

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Masalah rapatnya tumit kedua kaki saat sujud, diperselisihkan para ulama. Sebagian ulama menetapkan bahwa sujud itu hendaknya tumit dirapatkan, dengan jari-jemari kaki mengarah ke kiblat.

Dasarnya adalah, dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dia berkata:

فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَعِي عَلَى فِرَاشِي، فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ مُسْتَقْبِلًا بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ

”Aku kehilangan Rasulullah ﷺ, saat itu dia bersamaku di pembaringan, aku dapati Beliau sedang sujud, merapatkan tumitnya, dan mengarahkan jari jemari kaki ke kiblat.” [1]

Hadits ini shahih menurut Imam Al Hakim, dan sesuai syarat Al Bukhari dan Muslim. [2]

Imam Adz Dzahabi menyepakatinya dalam At Talkhish. Imam Ibnul Mulaqin juga menyatakan shahih. [3]

Dishahihkan pula oleh Syaikh Muhammad Mushthafa Al A’zhami dalam tahqiq beliau terhadap kitab Shahih Ibni Khuzaimah.

Sementara Imam Ibnu Khuzaimah dan Imam Ibnu Hibban memasukan hadits ini dalam kitab Shahih mereka masing-masing, artinya dalam pandangan mereka ini hadits shahih. Syaikh Al Albani juga menshahihkan haidts ini.[4]

Bagi yang menshahihkan tentu menjadikan hadits ini sebagai hujjah bahwa saat sujud hendaknya tumit bertemu atau rapat.

Sementara ulama lain mendhaifkan hadits ini, karena dalam sanadnya terdapat perawi bernama Yahya bin Ayyub Al Ghafiqi. Beliau pribadi yang kontroversi, ada yang mendhaifkan ada pula yang menyatakan tsiqah (terpercaya).

Ibnu Sa’ad mengatakan: “Dia haditsnya munkar.”[5]

Al ‘Ijli mengatakan: “terpercaya.” [6]

Yahya bin Ma’in mengatakan: “Orang mesir, shalih, dan terpercaya.” Sementara Abu Hatim berkata: “Haditsnya ditulis tapi tidak bisa dijadikan hujjah.” [7]

Imam An Nasa’i mengatakan: “Tidak kuat dan tidak bisa dijadikan hujjah.” [8]

Imam Ahmad mengatakan: “Buruk hapalannya.” Imam Ad Daruquthni mengatakan: “Sebagian haditsnya goncang.” [9]

Tapi, Imam Al Bukhari dan Imam Muslim memasukan Yahya bin Ayyub sebagai salah satu perawinya, dalam hadits-hadits yang sifatnya penguat saja. Oleh karena itu, sebagaian ulama menganggap ini hadits dhaif, dan secara lafal juga syadz (janggal), karena bertentangan dengan hadits yang lebih shahih darinya.

Apalagi Imam Al Hakim berkata:

وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ بِهَذَا اللَّفْظِ، لَا أَعْلَمُ أَحَدًا ذَكَرَ ضَمَّ الْعَقِبَيْنِ فِي السُّجُودِ غَيْرَ مَا فِي هَذَا الْحَدِيثِ

Imam Al Bukhari dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dengan lafaz seperti ini. Aku tidak ketahui seorang pun yang menyebut adanya merapatkan dua mata kaki saat sujud selain yang ada pada hadits ini saja. [10]

Dengan kata lain, inilah satu-satunya hadits yang menyebutkan merapatkan tumit atau mata kaki saat sujud.

Ada pun hadits yang lebih shahih tidak menyebutkan merapatkan kaki, yaitu:

فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ

“Aku kehilangan Rasulullah ﷺ suatu malam dari pembaringannya, maka aku menyentuhnya, tanganku memegang bagian dalam kedua kakinya dan dia sedang dimasjid dan beliau berdiri.” [11]

Dalam riwayat lain:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا فَقَدَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَضْجَعِهِ، فَلَمَسَتْهُ بِيَدِهَا، فَوَقَعَتْ عَلَيْهِ وَهُوَ سَاجِدٌ

“Dari ‘Aisyah bahwa dia kehilangan Nabi ﷺ dari pembaringannya, dia menyentuhnya dengan tangannya dan nabi sedang sujud.” [12]

Nah, riwayat-riwayat ini tidak ada yang menyebutkan rapatnya kedua tumit saat sujud. Secara sanad pun ini yang lebih kuat dibanding sebelumnya. Inilah yang dipilih oleh banyak ulama, juga Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Muqbil, dan lainnya, bahwa saat sujud kedua telapak kaki direnggangkan.

Demikian. Wallahu A’lam

Catatan:

[1] HR. Ibnu Khuzaimah no. 654, Al Hakim, Al Mustadrak no. 832,
Ibnu Hibban no. 1933, Ath Thahawi dalam Musykilul Atsar no. 111

[2] Imam Al Hakim, Al Mustadrak no. 932

[3] Imam Ibnul Mulaqin, Badrul Munir, 1/621

[4] Syaikh Al Albani, Ta’liqat Al Hisan no. 1930

[5] Imam Muhammad bin Sa’ad, Ath Thabaqat Al Kubra no. 7090

[6] Imam Ibnu Hibban, Ats Tsiqat no. 1791

[7] Imam Ibnu Abi Hatim, Al Jarh wat Ta’dil, 9/128

[8] Imam Ibnul Jauzi, Adh Dhuafa wal Matrukin no. 3694

[9] Imam Adz Dzahabi, Al Mughni fidh Dhuafa no. 6931

[10] Imam Al Hakim, Al Mustadrak no. 832

[11] HR. Muslim no. 486

[12] HR. Ahmad No. 25757. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: “Para perawinya terpercaya, semua perawinya Bukhari dan Muslim, kecuali Shalih bin Sa’id. Ibnu Hibban mengatakan terpercaya.”

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Berbakti Kepada Orang Tua

Mengurus Orang Tua, Kewajiban Siapa?

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz, saya mau bertanya, bagaimana hukumnya jika seorang istri, merasa agak risih jika harus mengurus bapak mertua yang sakit dan sdah agak pikun, apalagi masalah aurat, dan bersih diri. A/37

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Bismillahirrahmanirrahim..

Yang paling berhak dan utama mengurus seorang yang sudah sepuh adalah anak-anaknya. Maka, jika dia memiliki anak (apa lagi lebih dr satu) hendaknya anak-anaknya saling bahu membahu mengurus ayahnya dan itu bagian dari berbakti anak-anak kepada ortuanya.

Ada pun menantu, sifatnya hanya bantu-bantu anak itu, memperkuat. Bukan menjadi aktor utama dalam mengurus ayah mereka. Apalagi jika lawan jenis, tentu menantu tsb tidak sampai urusan memandikan dan semisalnya.

Wallahu A’lam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678