Kesetian Tanpa Batas, Kepemimpinan Teladan di Garis Terdepan pada 24-28 Ramadhan 1333
Sedekah dengan Penghasilan Sendiri, Haruskah Istri Minta Ijin Suami?
✏Ustadzah Dra Indra Asih
🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹
📌 Assalamuallaikum.
Pertanyaan
1. saya seorang istri yg bekerja. Bagaimana hukumnya sedekah dg penghasilan sendiri. Apakah hrs seijin suami.
2.Apa saja kategori mati syahid fii sabilillah? Bagaimana cara meraihnya? Setiap mendengar keutamaan2 mati syahid hati sy bergemuruh, air mata tak terbendung. bisakah mendapatkan?? Sedangkan sy bukan siapa2
👆🏻Member 🅰2⃣8⃣.
_______________
Jawaban nya.
Wa’alaikumsalam.
Pertanyaan 1
Tidak ada kewajiban dalam hal penunaian zakat ini, sebab sudah sangat jelas bahwa harta istri adalah hak mutlak miliknya.
Walaupun demikian, mengkomunikasikan hal ini kepada suami merupakan penghormatan dan etika yang baik terhadap suami
Dalil yang menjadi dasar adalah:
1. Setelah khuthbah ied Rasulullah menganjurkan para wanita untuk bersedekah dan mereka pun langsung melakukannya, tanpa izin dahulu kepada suami mereka. Dalam hadis Ibnu ‘Abbas ia berkata: ”Pada suatu hari Nabi SAW shalat Idul Fithri dua rakaat. Ia tidak shalat sebelum maupun sesudahnya. Kemudian (setelah khutbah) beliau mendatangi tempat para wanita, sementara Bilal menyertainya. Beliau memerintahkan mereka untuk bersedekah. Maka mulailah mereka melemparkan perhiasan mereka (ke kain yang dibentangkan Bilal untuk menampung sedekah), ada wanita yang melemparkan anting-anting dan kalungnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2.Asma’ bint Abu Bakr diizinkan Rasulullah untuk bersedekah dari harta pemberian suaminya, yaitu Zubair ibn al-’Awwam. Asma’ bercerita: ”Aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki harta kecuali apa yang diberikan Az-Zubair kepadaku. Apakah boleh aku menyedekahkannya?’ Beliau bersabda: ‘Bersedekahlah. Jangan engkau kumpul-kumpulkan hartamu dalam wadah dan enggan memberikan infak, niscaya Allah akan menyempitkan rezekimu’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan dalil-dalil tsb, maka sedekah atau zakat pada dasarnya tidak perlu izin dari suami. Bila pun izin, maka yang demikian lebih baik sebagai apresiasi kepada kepemimpinannya. Wallahu a’lam.
Pertanyaan2
Definisi syahid menurut para ulama
a. Al-Hanafiyah
Mewakili madzhab Al-Hanafiyah, Ibnu Abidin mendefinisikan tentang orang yang mati syahid sebagai :
هُوَ كُلُّ مُكَلَّفٍ مُسْلِمٍ طَاهِرٍ قُتِلَ ظُلْمًا بِجَارِحَةٍ
Semua orang yang mukallaf, muslim, suci dari hadats, terbunuh secara zalim dengan luka-luka.
b. Al-Malikiyah
Ada pun ulama di kalangan madzhab Al-Malikiyah membuat definisi tentang orang yang mati syahid dengan redaksi :
شَهِيْدٌ مُعْتَرِكٌ فَقَطْ وَلَوْ بِبَلَدِ الإِسْلاَمِ أَوْلَمْ يُقَاتِلْ وَإِنْ أَجْنَبَ عَلَى الأَحْسَنِ إِلاَّ إِنْ رَفَعَ حَيًا وَإِنْ أَنْفَذَتْ مُقَاتِلهُ
Hanya yang ikut dalam perang fisik saja, meski matinya di negeri Islam dan tidak ikut membunuh, meski pun berjanabah, dan bukan orang yang keluar dalam keadaan hidup meski ditolong oleh lawan.
c. Asy-Syafi’iyah
Sedangkan definisi mati syahid dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah adalah :
مَنْ مَاتَ بِسَبَبِ قِتَالِ الكُفَّارِ حَالَ قِيَامِ القِتَالِ
Orang yang mati karena sebab memerangi orang-orang kafir ketika terjadi peperangan. Kesimpulannya, melihat definisi diatas, siapapun bisa berpeluang tuk mendapatkan syahid bila ia sungguh sungguh berjuang tuk fi sabilillah.
🍀🌻🍁🍄🌷🌸🌹
Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com
💼Sebarkan! Raih bahagia..
Bolehkah Menjual Rokok?
✏Ustadzah Dra Indra Asih
🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹.
📌Pertanyaan dari Member 🅰0⃣2⃣
1. Jika pada hari Jumat telah memasuki waktu sholat dzuhur bagi yg tdk menunaikan sholat jumat di masjid apakah menunggu org yg sholat jumat selesei sholat/pulang dari masjid atau stlh adzan sdh boleh menunaikan sholat dzuhur?
2. Bagaimana mengelola harta anak yatim dlm hal ini uang. Ada ibu yg pny anak 5. Suaminya sdh wafat 4th lalu. Bnyk tmn ayahnya yg suka nitip uang tuk anak ibu itu yg kecil sj. Krn mmg yg 4 kknya sdh akil balik. Tp belum ada yg kerja. Masih skolah n kuliah. Nah krn bnyk yg nitip uang untuk anak bungsunya, si ibu kan bingung tuk biaya kk2nya. Apa boleh uang simpanan adiknya dipake tuk biaya kakaknya? Statusnya minjem ke adiknya atau sedekah ke kekaknya. Si ibu sudah berazam kalau ada yg sedekah dia akan keluarkan zakatnya 10% agar uang yg diterima menjadi bersih. Karena tidak mungkin si ibu bertanya sumber uang sedekah itu ke si pemberi.
3. Apakah hukumnya menjual rokok? Bolehkah disamakan dengan hukumnya menjual khamr? Kalau tidak salah, orang yang menjual khamr, minum, dan menyajikan, semuanya berdosa. Bagaimana dengan rokok? Kemudian utk minuman kemasan yg banyak dipasaran yg lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya, apakah sebaiknya tdk di jual juga? Mengingat utk kmaslahatan manusia.
Jazakumullah🙏🏼
________________
JAWABAN:
Pertanyaan1
Ibnu Mas’ud mengatakan: “Sesungguhnya shalat memiliki waktu khusus, sebagaimana haji juga memiliki waktu khusus.” (Tafsir Ibn Katsir, 2:403)
Waktu zuhur dimulai sejak zawal (matahari tergelicir ke arah Barat) sampai bayangan benda sama dengan tinggi bendanya. Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وقت الظهر إِذا زالت الشمس، وكان ظلّ الرجل كطوله، ما لم يحضُر العصر
“Waktu zuhur, sejak matahari tergelincir sampai bayangan orang sama dengan tingginya, sebelum masuk waktu asar.” (HR. Muslim).
“Wanita tidak wajib melaksanakan shalat Jum’at. Namun jika wanita melaksanakan shalat Jumat bersama imam shalat Jumat, shalatnya tetap dinilai sah. Jika ia shalat di rumahnya, maka ia kerjakan shalat Zhuhur empat rakaat. Ia boleh mulai mengerjakan shalat Zhuhur tadi setelah masuk waktu Zhuhur, yaitu setelah matahari tergelincir ke barat (waktu zawal). Dan sekali lagi dia tidak boleh laksanakan shalat jumat (di rumah) sebagaimana maksud keterangan sebelumnya.
Pertanyaan2
Mengurus harta anak yatim termasuk iman dan kebajikan yang diperintahkan. Allah Ta’ala menyebutkan bahwa memberikan hak harta anak yatim termasuk al-birr (kebaikan) seperti rukun-rukun iman dan rukun-rukun Islam. (QS. Al-Baqarah ayat 177) bahkan menyantuni anak yatim dijanjikan surga bagi pelakunya. Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan, Bab keutamaan orang yang menyantuni anak yatim dengan menanggung kebutuhannya, dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ’anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam W bersabda :
”Aku dan orang yang menanggung kebutuhan anak yatim demikian ini keadaannya di surga” Perawi mengatakan, ”Beliau mengisyaratkan dengan kedua jarinya, yaitu telunjuk dan tengahnya.” (HR. al-Bukhari).
BAGAIMANA MENGELOLA HARTA ANAK YATIM?
Pada ulama menyebut orang yang mengurusi harta anak yatim dan menanggung penghidupan mereka dengan washi atau wali. Merekalah yang memikul amanah pemanfaatan harta anak yatim untuk kepentingan si yatim dan hartanya dengan sebaik-baiknya.
Imam al-Bukhari rahimahullah di dalam kitab Shahihnya membuat bab, ”Bab apa yang boleh dilakukan oleh washi atau wali terhadap harta si yatim dan apa yang boleh ia makan darinya sekadar kerepotannya.” Lalu beliau membawakan atsar dari Aisyah radhiyallahu ’anha tentang ayat :
(Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu). Dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut) (QS. An-Nisa [4] : 6).
Aisyah radhiyallahu ’anha mengatakan : ”Ayat tersebut diturunkan pada haknya wali anak yatim. Boleh baginya mengambil bagian dari harta anak yatim. Boleh baginya mengambil bagian dari harta anak yatim apabila dia memang butuh kepada harta tersebut, sebatas apa yang ia berhak atasnya dengan cara yang baik.” (HR. Al-Bukhari : 2614). Yaitu, apabila walinya seorang yang fakir atau miskin.
Meski ulama berselisih pendapat dalam masalah ini, namun yang lebih kuat ialah apabila wali anak yatim memang benar-benar dalam keadaan fakir atau miskin, boleh memakan sebatas hajatnya tanpa berlebihan, tidak mubazir serta tanpa berbuat dosa. Maksudnya ialah tidak boleh sampai menyimpan sebagai perbekalannya dari harta anak yatim tersebut yang merupakan kelebihan dari ukuran yang dibutuhkan untuk makan.
Termasuk yang dibolehkan bagi wali ialah membaurkan dengan anak yatim dalam hal makanan maupun minuman. Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhu, tatkala turun ayat
(Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat.) (QS. Al-An’am [6] : 152).
Maka para sahabat para wali anak yatim pun menjauhkan diri dari harta anak yatim sehingga makanan mereka pun rusak, dagingnya busuk dan semacamnya, sehingga diadukan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka turunlah ayat :
(Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah, mengurus urusan mereka secara patut adalah baik dan jika kalian berbaur bersama mereka, maka mereka adalah saudaramu. Dan Allah Maha tahu orang yang berbuat kerusakan dari yang berbuat kebaikan). (QS. Al-Baqarah [2] : 220).
Sehingga akhirnya mereka pun berbaur dengan anak-anak yatim dalam makanan. (HR. Ahmad, an-Nasa’i, Abu Dawud, al-Hakim).
Berbaur di sini terjadi dengan bercampurnya makanan anak yatim dengan makanan wali mereka. Sedangkan yang harus diperhatikan ialah bahwa Allah Ta’ala Maha tahu orang yang berniat memakan harta anak yatim dan orang yang berusaha menghindarinya. Bila anak yatim tersebut berbaur dengan anak-anaknya sendiri dan keluarga yang menjadi tanggungannya, rasanya sulit memisahkan makanannya dari makanan mereka. Sehingga apabila sampai mengharuskan ia mengambil harta anak yatim tersebut dibolehkan secukupnya saja, dengan tetap memelihara diri dari sikap aniaya.
Itulah kelapangan yang diberikan Allah Ta’ala kepada hamba-Nya. Semestinya orang yang diberi amanah mengurus harta anak yatim senantiasa berlaku hanya dengan apa yang dibolehkan oleh syariat dalam memakan harta anak yatim dan membaurkannya dengan hartanya. Tidak boleh ia menukar harta anak yatim yang baik dengan hartanya yang buruk, tidak boleh pula membaurkan dalam rangka menganiaya haknya anak yatim. Termasuk juga memakannya, tidak boleh berlebihan lantaran berlebihan adalah kezaliman. (QS. An-Nisa [4] : 2 dan 6).
ZAKAT HARTA ANAK YATIM
Washi atau wali anak yatim berkewajiban mengurusi urusan mereka dan urusan harta mereka dengan sebaik-baiknya. Termasuk mengurusi zakat hartanya apabila harta itu mencapai nishab (patokan minimum untuk mengeluarkan zakat). Dan yang demikian ini hukumnya wajib.
Adapun tentang haul (batas kepemilikan) harta mereka dihitung sejak hari kematian ayahnya, sebab harta itu dengan kematian ayahnya masuk kepemilikan mereka.
Tentang Sedekah Yang Diterima dari yang tidak jelas
Pertama: Ada ulama yang memasukkan kasus di atas ke dalam hadits keenam Arbain An-Nawawiyyah. Sehingga, bentuk sikap wara’ (baca: hati-hati, pent.) untuk masalah ini adalah menjauhi harta (misalnya: hadiah, jamuan ketika bertamu ke rumahnya, dan sebagainya, pent.) orang tersebut. Namun, hukum sikap ini adalah DIANJURKAN, TIDAK WAJIB karena dengan sikap ini, kita menjadi lebih bersih dari kemungkinan yang tidak diharapkan.
Kedua: Sejumlah (ulama lain) berpendapat bahwa yang menjadi tolak ukur adalah jenis harta yang paling dominan. Jika yang paling dominan adalah harta yang berasal dari sumber yang haram maka kita jauhi harta tersebut. Jika yang paling dominan adalah harta yang berasal dari sumber yang halal maka kita boleh memakannya, selama kita tidak mengetahui secara pasti bahwa harta yang dia suguhkan atau dia hadiahkan kepada kita adalah harta yang berasal dari sumber yang haram.
Ketiga: Ulama yang lain, semisal Ibnu Mas’ud, mengatakan bahwa kita boleh memakan harta orang tersebut, sedangkan tentang jalan haram–yang ditempuh orang tersebut dalam memperoleh hartanya–itu menjadi tanggung jawabnya, karena cara mendapatkan harta itu antara kita dengan dia berbeda. Orang tersebut mendapatkan harta itu melalui profesi yang haram, namun ketika dia memberikan harta tersebut kepada kita, dia memberikannya sebagai hadiah, hibah, jamuan tamu, atau semisalnya kepada kita.
Perbedaan cara mendapatkan harta menyebabkan berbedanya status hukum harta tersebut. Sebagaimana dalam kisah Barirah. Barirah mendapatkan sedekah berupa daging, lalu daging tersebut dia hadiahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah diperkenankan untuk memakan harta sedekah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Daging tersebut adalah sedekah untuk Barirah, namun hadiah untuk kami.’ (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah)
Meski daging yang dihadiahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah daging yang disedekahkan kepada Barirah, tetapi status hukumnya berbeda karena terdapat perbedaan cara mendapatkannya. Berdasarkan pertimbangan ini, sejumlah shahabat dan ulama mengatakan bahwa kita boleh memakan harta orang tersebut, sedangkan tentang adanya dosa, maka itu menjadi tanggungan orang yang memberikan harta tersebut kepada kita. Alasannya, kita mendapatkan harta tersebut dengan status hadiah, sehingga tidak ada masalah jika kita memakannya.
Keempat: Sejumlah ulama yang lain mengatakan bahwa kita boleh memakan harta orang tersebut selama kita tidak mengetahui bahwa harta tertentu yang dia berikan kepada kita adalah harta yang haram. Jika kita mengetahui bahwa harta yang dia berikan kepada kita adalah harta yang berasal dari sumber yang haram, kita tidak boleh memakan harta tersebut saja, sedangkan hartanya yang lain tetap boleh kita makan. Dalilnya adalah orang-orang Yahudi yang memberi makanan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal mereka adalah para rentenir. Meski demikian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap memakan makanan yang diberi oleh orang-orang Yahudi itu.
Dari sisi dalil, pendapat Ibnu Mas’ud adalah pilihan yang tepat.
عن ذر بن عبد الله عن ابن مسعود قال : جاء إليه رجل فقال : إن لي جارايأكل الربا ، وإنه لا يزال يدعوني ، فقال : مهنأه لك ، وإثمه عليه
Dari Dzar bin Abdullah, dia berkata, “Ada seseorang yang menemui Ibnu Mas’ud lalu orang tersebut mengatakan, ‘Sesungguhnya, aku memiliki tetangga yang membungakan utang, namun dia sering mengundangku untuk makan di rumahnya.’ Ibnu Mas’ud mengatakan, ‘Untukmu enaknya (makanannya) sedangkan dosa adalah tanggungannya.’” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf)
عن سلمان الفارسي قال: إذا كان لك صديق عامل، أو جار عامل أو ذو قرابةعامل، فأهدى لك هدية، أو دعاك إلى طعام، فاقبله، فإن مهنأه لك، وإثمهعليه.
Dari Salman Al-Farisi, beliau mengatakan, “Jika Anda memiliki kawan, tetangga, atau kerabat yang profesinya haram, lalu dia memberi hadiah kepada Anda atau mengajak Anda makan di rumahnya, terimalah! Sesungguhnya, rasa enaknya adalah hak Anda, sedangkan dosanya adalah tanggung jawabnya.” (Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf)
Ringkasnya, harta haram itu ada dua macam:
Pertama: Haram karena bendanya. Misalnya: Babi dan khamar; mengonsumsinya adalah haram atas orang yang mendapatkannya maupun atas orang lain yang diberi hadiah oleh orang yang mendapatkannya.
Kedua: Haram karena cara mendapatkannya. Misalnya: Uang suap, gaji pegawai bank, dan penghasilan pelacur; harta tersebut hanyalah haram bagi orang yang mendapatkannya dengan cara haram. Akan tetapi, jika orang yang mendapatkannya dengan cara haram tersebut menghadiahkan uang yang dia dapatkan kepada orang lain, atau dia gunakan uang tersebut untuk membeli makanan lalu makanan tadi dia sajikan kepada orang lain yang bertamu ke rumahnya, maka harta tadi berubah menjadi halal untuk orang lain tadi, karena adanya perbedaan cara mendapatkannya antara orang yang memberi dengan orang yang diberi. Inilah pendapat ulama yang paling kuat dalam masalah ini, sebagaimana pendapat ini adalah pendapat dua shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Ibnu Mas’ud dan Salman Al-Farisi.
Pertanyaan3
Merokok itu hukumnya haram. Ratusan ulama telah berfatwa akan haramnya rokok. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman,
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
“Dan dia (Muhammad) menghalalkan untuk umatnya hal hal yang baik dan dia haramkan untuk umatnya hal hal yang jelek.” (QS. Al A’raf: 157)
Di zaman ini bisa kita katakan bahwa semua orang sepakat bahwa rokok itu berbahaya. Sedangkan Nabi bersabda,
لا ضرر ولا ضرار
“Tidak boleh melakukan hal yang membahayakan diri sendiri atau pun orang lain.” (HR. Ibnu Majah).
Rokok itu membahayakan orang yang ada di dekatnya sehingga dia termasuk dalam hadis di atas ‘membahayakan orang lain‘. Rokok itu membahayakan perekonomian suatu rumah tangga. Perokok juga membahayakan anaknya.
Rokok itu haram. Sejumlah ulama di masa silam dan di masa sekarang telah menegaskan keharamannya menimbang kejelekan dan bahayanya. Segala sesuatu yang haram dikomsumsi itu haram diperjualbelikan, haram ditanam dan haram diproduksi.
🍀🌻🍁🍄🌷🌸🌹
Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com
💼Sebarkan! Raih bahagia..
Suami Tidak Mendukung Istri Menjalankan Syariat
Assalamuallaikum wr wb,
Mohon jawabannya, menurut syariat Islam yang benar dan sesuai tuntutan Rasulullah, Alhamdulillah sudah hampir 1 tahun ,saya mengenal dan belajar Islam sesuai yang disyariatkan dan tuntunan sunnah, akan tetapi saya belum didukung oleh suami dan menimbulkan banyak beda pendapat bahkan sampai sindiran , kadang hampir berantem, yang kadang membuat saya sedih karena saya ingin sekali bisa mengajak keluarga, suami dan anak-anak sesuai ilmu yang benar, yang ingin saya tanyakan apakah sikap saya terhadap suami ini durhaka? Padahal saya berusaha menjelaskan apa yang di ajarkan Rasulullah .
member dari korma 3
JAWABAN NYA :
Wa alikum salam wr wb,
Alhamdulillah wa syukurillah atas segala nikmat yang telah Allah curahkan kepada kita terutama nikmat berislam, dan tentulah kenikmatan ini yang akan anti tularkan paling tidak ke kel, suami dan anak. Di dalam Alqur’an surat Al-Furqon ayat 20, dipenggalan ayat terakhir Allah berfirman :
“Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu maha Melihat. “
Ketahuilah sesungguhnya suami fitnah(ujian/cobaan) buat istri dan anak, begitupun sebaliknya, sementara di ayat lain surat An-Nisa ayat 34 di jelaskan laki-laki pelindung atau pemimpin bagi perempuan (istri),.. jadi sebagai seorang istri harus bisa memposisikan diri sehingga apa yang dilakukan tidak menimbulkan ketersinggungan suami.
Laki-laki ( suami) pada umumnya punya genggsi dan tidak mudah atau tidak mau diatur oleh istri, sekalipun tidak semua laki-laki seperti itu. Sehingga untuk melakukan perubahan, terlebih lagi perubahan ke arah yang lebih baik yaitu bagaimana menerapkan syariat Islam dalam rumah tangga, ini sebuah mimpi atau cita-cita yaang sangat baik, karena itu untuk mewujudkannya butuh waktu, ada tahapan( Proses), di dalam Alqur’an surat Al-Insyiqoq ayat 19, “ kamu akan melewati jalan setahap demi setahap (kebaikan/keburukan) artinya untuk sebuah perubahan tidak bisa tiba-tiba berubah disaat kita ingin berubah , apalagi ini menyangkut suami dan anak, artinya melibatkan orang lain di luar diri kita. Sunatullahnya perubahan itu terjadi secara bertahap, seorang ulama mengatakan” tegakkan islam di dalam dirimu, insyaAllah Islam akan tegak di luar dirimu” . Untuk itu maka mulailah mencari dari yang mudah, yang sama-sama di inginkan oleh suami, jangan memaksakan kehendak, berbuatlah hal-hal yang menyenangkan suami, berilah servis terbaik sebagai bakti istri ke suami, disaat suami melihat manfaat perubahan dan merasakan nyamannya pelayanan istri sholehah, InsyaAllah hatinya akan melembut. Dan jangan pernah luput berdoa, meminta kepada Yang Maha Menggenggam hati untuk melunakkan hati suami, memohonkan ampunan atas segala salah ,khilaf dan ketidak pahamannya, minta dibukakan pintu taufiq dan hidayah Nya supaya mudah menerima ajaran Islam sebagai pedoman dalam kehidupannya, sebuah riwayat menceritakan: “Rasulullah Saw ditanya tentang sebaik-baik wanita, Baginda menjawab ; yang membuatmu senang apabila kamu memandangnya, apabila disuruh ia patu, menjaga rahasiamu dengan baik dan menjaga harta kamu” Riwayat Ahmad dan selainnya di hasankan oleh Albani. Sepanjang suami tidak mengajak bermaksiat kepada Allah maka taatilah semua perintahnya. Sabda Rasulullah Saw ‘’ Tidak ada ketaatan kepada makhluq dalam perkara maksiat kepada Allah.”
Rasulullah Saw bersabda,” jika diizinkan seorang manusia sujud kepada manusia, tentu aku akan perintahkan wanita-wanita sujud kepada suaminya”, Riwayat al Tirmidzi hasan shahih.
Jadi sikap istri yang bijak, mengalah untuk sebuah kemenangan yang besar, jangan pernah menuntut kepada suami tapi lakukanlah semua tugas dan kewajiban dengan penuh tanggung jawab, ikhlas, jangan mengeluh, kemenangan butuh perjuangan, tetap semangat semoga Allah membimbing kita semua untuk tetap berjalan dalam petunjukNya dan semoga kelak Allah kumpulkan kita bersama orang-orang yang Allah cintai, Amiin.
Kesimpulannya, banyaklah beristiqfar dan minta maaf kepada suami, mulailah jalin hubungan dengan suami dan anak. Memakai bahasa cinta, santun dan perbaiki komunikasi keluarga sehingga mereka bisa saling memahami dan menghargai. Wallahu A’lam
Wash Shallallahu ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi ajma’in.
✏Ustadzah Nurdiana S.Pd.I
Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com
💼 sebarkan! Raih pahala….
Meminjam Uang di apegadaian
Assalamuallaikum wr wb.
Ustadz saya mau tanya..
1⃣
jika kita meninjam uang di pegadaian apa itu termsk riba..
Dari member A10
2⃣ ⬇
Ada yang berkata bahwa sistem reseller itu tidak dibenarkan, tapi jika saya telaah, justru reseller itu dibenarkan, yang tidak benar ialah sistem dropship. Mohon penjelasannya ?
JAWABANNYA.
Wa alaikumsalam warahmatullahi wa barakatuh
1. Meminjam uang di manapun tempatnya yang diperhatikan adalah akadnya. Jika terdapat unsur riba maka hukumnya haram. Termasuk di pegadaian, apakah ada unsur ribanya? Apakah jika dikembalikan sekian waktu maka ada kompensasi keterlambatan? bunga pinjamannya? dsb. Berbeda dengan akad kredit yang bisa didimasukkan jual beli murabahah (seperti beli mobil, sepeda motor dsb). Jadi kesimpulannya dilihat detil akadnya seperti apa.
2. Untuk reseller atau pun jenis transaksi lainnya, tetap memperhatikan akad. Jika ada unsur yang tidak jelas maka tidak diperbolehkan. Reseller dalam artian menjual ulang ini pun bisa dilakukan oleh barang yang sudah sempurna menjadi milik kita. Tapi jika hubungannya dengan merek dagang maka diperlukan izin karena menyangkut hak cipta/produksi. Kesepakatan-kesepakatan itu perlu dilihat detil. Termasuk persyaratan harga, jumlah minimal pembelian itu adalah bagian dari hasil kesepakatan yang sudah diatur. Selama jelas dan dipahami tidak ada unsur penipuan maka bisa dilanjutkan.
Wallahu a’lam.
✏Ust. Dr. Saiful Bahri MA
Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com
💼Sebarkan! Raih bahagia..
Kitab Ath Thaharah (bersuci) (7) – Bab Al Miyah (Tentang Air)
Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.
📚Hadits 7:
Al Hafizh Ibnu Hajar menulis;
وَلِمُسْلِمٍ: “مِنْهُ”
📌 Pada riwayat Imam Muslim disebutkan: minhu (darinya).
Lengkapnya adalah:
لَا تَبُلْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي ثُمَّ تَغْتَسِلُ مِنْهُ
📌Janganlah kamu kencing di air diam yang tidak mengalir, kemudian kamu mandi darinya (minhu).
📚Takhrij hadits:
-🔹 Imam Muslim dalam Shahihnya No. 282
-🔹 Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 8186
📚Status Hadits:
Hadits ini shahih, disebutkan Imam Muslim dalam kumpulan hadits shahihnya,Jami’ush Shahih. Asy Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Shahih sesuai syarat syaikhan(Bukhari dan muslim).” (Ta’liq Musnad Ahmad No. 8186)
📚Kandungan Hadits:
📋1⃣ . Hadits ini sama dengan hadits sebelumnya mengandung larangan kencing di air tergenang secara tersendiri, atau dia lalu mandi di dalamnya setelah dia kencing di air tersebut.
📋2⃣ . Hadits ini menggunakan kata yang berbeda dengan sebelumnya yakni tsumma taghtasiluminhu (kemudian kalian mandi darinya), bukan tsumma yaghtasilu fiihi.
Perbedaan pemakaian fiihi dan minhu, dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah sebagai berikut:
والفرق بين فيه ومنه أن الذي يغتسل فيه يعني ينغمس فيه ومنه يعني يغترف منه ويغتسل به وكلاهما منهي عنه
📌 Perbedaan antara fiihi (padanya) dan minhu (darinya) adalah bahwa makna yaghtasilu fiihi (dia mandi padanya) yakni dia menceburkan diri ke dalamnya (berendam), ada pun minhu (darinya) adalah dia menciduknya dan dia mandi dengannya, dan kedua hal ini adalah terlarang. (Asy Syarh Al Mukhtashar ‘alal Bulughil Maram, 2/6)
🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹
Dipersembahkan:
www.iman-islam.com
💼 Sebarkan! Raih pahala…
Kitab Ath Thaharah (bersuci) (6) – Bab Al Miyah (Tentang Air)
Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.
Hadits ke 6:
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menulis:
وَلِلْبُخَارِيِّ: – لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي اَلْمَاءِ اَلدَّائِمِ اَلَّذِي لَا يَجْرِي, ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ
Dalam riwayat Imam Bukhari:“Janganlah salah seorang kalian kencing pada air yang diam yang tidak mengalir, kemudian dia mandi di dalamnya (fiihi).”
Takhrij hadits:
– Imam Al Bukhari dalam Shahihnya No. 239
– Imam AthThahawi dalam Syarh Ma’anil Aatsar No. 15
– Imam Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalamKanzul ‘Ummal No. 26419
Kandungan Hadits:
1. Pada hadits ini mengandung dua larangan:
1. Pertama, terlarangnya kencing di air yang tergenang.
2. Kedua, terlarangnya mandi di air tergenang yang telah dikencingi tersebut.
Sebagian ulama menyebutkan bahwa hadits ini sebagai perinci dari hadits sebelumnya. Hadits ini menyebutkan sebab kenapa terlarang mandi di air tergenang, yaitu karena air tersebut telah dia kencingi. Artinya larangan terjadi jika dua aktifitas tersebut menjadi satu paket yang berurut; dia kencing kemudian mandi di air tersebut. Jika dia tidak kencing di air tersebut, maka tidak terlarang untuk mandi di dalamnya, tetapi larangan kencing di air tergenang tetaplah mutlak terlarang.
Inilah yang dikatakan Imam Ash Shan’aniRahimahullah, sebagai berikut:
وإن أفاد أن النهي إنما هو عن الجمع بين البول والاغتسال، دون إفراد أحدهما، مع أنه ينهى عن البول فيه مطلقاً
📌Faidah hadits ini adalah bahwa larangan hanyalah terjadi bagi penggabungan antara kencing dan mandi, bukan ketika dipisahkan satunya, hanya saja larangan kencing di dalamnya adalah larangan yang mutlak.(Subulus Salam, 1/20)
Sementara ulama lain menjelaskan, bahwa larangan tersebut adalah satu persatu. Mandi junub di air tergenang adalah terlarang, juga kencing di air tergenang adalah terlarang, karena keduanya memiliki dalilnya masing-masing. Ada pun menggabungkan kedua perbuatan itu lebih terlarang lagi.
Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim Abadi Rahimahullah menjelaskan:
( لا يبولن أحدكم في الماء الدائم ولا يغتسل فيه من الجنابة ) وهذا الحديث صريح المنع من كل واحد من البول والاغتسال فيه على انفراده
(Janganlah salah seorang kalian kencing di air tergenang dan janganlah mandi janabah di dalamnya) hadits ini begitu jelas melarang masing-masingnya, baik kencing dan mandi di dalamnya, secara tersendiri. (‘Aunul Ma’bud, 1/93)
Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan bahwa larangan kencing secara tersendiri, mandi secara tersendiri, dan menggabungkan keduanya, semuanya ada dalilnya masing-masing:
فيؤخذ من هذا الحديث النهى عن الجمع، ومن رواية مسلم التالية النهى عن إفراد الاغتسال، ومن حديث جابر الآتي عن إفراد البول، والنهى عن كل واحد منهما على انفراده ليستلزم النهى عن فعلهما جميعاً بالأولى، وقد ورد النهى عن كل واحد منهما في حديث واحد
Dari hadits ini, larangan ditetapkan pada gabungannya (kencing dan mandi), pada riwayat muslim berikutnya larangan pada mandi secara tersendiri, dari hadits Jabir larangan pada kencing secara tersendiri, dan larangan pada setiap masing-masing hal itu menunjukkan kemestian lebih terlarangnya melakukan keduanya secara bersama-sama, dan setiap hal ini telah terdapat hadits yang melarangnya secara tersendiri . (Mir’ah Mafatih Syarh Misykah Al Mashabih, 2/169)
Syaikh Abdul Muhsin Hamd Al ‘Abbad Al Badr Rahimahullah juga berkata:
فدل هذا على المنع من البول والاغتسال اجتماعاً وافتراقاً، اجتماعاً بأن يبول ويغتسل، أو افتراقاً بأن يبول ولا يغتسل، أو يغتسل ولا يبول.
Hadits ini menunjukkan bahwa larangan kencing dan mandi adalah baik bersama-sama dan masing-masing. Larangan kencing dan mandi berbarengan, atau sendiri-sendiri kencing saja tanpa mandi, atau mandi saja tanpa kencing. (Syarh Sunan Abi Daud, 1/286)
Jadi, bisa disimpulkan dari uraian para ulama di atas:
– Larangan mandi janabah di air yang diam, ada haditsnya tersendiri. (Lihat hadits ke-5)
– Larangan kencing di air yang diam, ada haditsnya tersendiri. (Lihat hadits ke-6)
– Larangan mandi di air yang telah kita kencingi sebelumnya, ada haditsnya tersendiri (Lihat hadits ke-6)
2. Kalimat اَلَّذِي لَا يَجْرِي – air yang tidak mengalir, merupakan penjelas dari kalimat اَلْمَاء اَلدَّائِم – air yang diam, yang disebutkan pada hadits sebelumnya.
3. Kata tsumma yaghtasilu fiihi (kemudian dia mandi padanya), yaitu dia mandi dengan menceburkan dirinya ke dalam air tersebut. Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah:
أن الذي يغتسل فيه يعني ينغمس فيه
Bahwasanya makna dari yaghtasilu fiihi adalah dia menceburkan diri di dalamnya.(Asy Syarh Al Mukhtashar ‘alal Bulughil Maram, 2/6)
Sehingga, jika seseorang mandi dengan cara berendam di air tergenang, maka air tersebut menjadi air musta’mal (air yang sudah dipakai). Itulah sebabnya kita dilarang mandi di sana, sebab itu bisa merusaknya sehingga tidak bisa lagi untuk bersuci, tentunya pendapat ini bagi yang berpendapat air musta’mal adalah tidak bisa mensucikan, yakni sebagian kalangan Hanafiyah.
Al Hafizh Ibnu Hajar menceritakan:
واستدل به بعض الحنفية على تنجيس الماء المستعمل لأن البول ينجس الماء فكذلك الاغتسال وقد نهى عنهما معا وهو للتحريم
Sebagian Hanafiyah berdalil dengan hadits ini, bahwa najisnya air musta’mal, karena kencing bisa menajiskan air, demikian juga mandi, dan keduanya telah dilarang bersamaan, dan larangan itu menunjukkan haram. (Fathul Bari, 1/374)
Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim Abadi Rahimahullah menjelaskan:
وذهب جماعة من العلماء كعطاء وسفيان الثوري والحسن البصري والزهري والنخعي وأبي ثور وجميع أهل الظاهر ومالك والشافعي وأبي حنيفة في إحدى الروايات عن الثلاثة المتأخرين إلى طهارة الماء المستعمل للوضوء
Jamaah para ulama seperti ‘Atha, Sufyan Ats Tsauri, Al Hasan Al Bashri, Az Zuhri, An Nakha’i, Abu Tsaur, semua ahli zhahir (tekstualis), Malik, Asy Syafi’i, Abu Hanifah pada salah satu riwayat dari tiga riwayat kalangan generasi muta’akhirin (belakangan), mereka berpendapat bahwa sucinya air musta’mal untuk berwudhu. (‘Aunul Ma’bud, 1/93)
Alasannya adalah hadits Shahih Bukhari, dari Abu Juhaifah yang menceritakan para sahabat menggunakan air bekas wudhu nabi untuk mengusap diri mereka, juga dari Abu Musa dan Bilal, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan Abu Musa dan Bilal untuk meminum sisa wudhu Beliau, juga mengusap wajah mereka berdua dengannya. (1/93)
Dipersembahkan:
www.iman-islam.com
Menyikapi Broadcast yang Meragukan
Ustadz mohon tanggapan dan penjelasan artikel ini
بِسْــــــــــمِ اللّهِ الرّحْمنِ الرّحِيْـــــــمِ
Ada pepatah: mari menabung sedikit², lama² menjadi bukit. Menurut pakar keuangan Islam, hal itu adalah keliru. Bukan menabung yg dianjurkan karena menabung tidak bisa meningkatkan seseorang menjadi kaya. Menabung di bank akan menjadikan nilai uang kita merosot karena angka inflasi secara riil lebih tinggi dari bagi hasil yg diperoleh.
Dalam meningkatkan kekayaan seseorang agar menjadi mapan secara finansial, Islam mengajarkan melalui:
(1). Perdagangan, (2). Investasi, (3). Beli emas, (4). Sedekah dan (5). Berhemat.
Islam sama sekali tidak menganjurkan untuk menabung.
Uang yg dalam bahasa Inggris bermakna “currency” berarti: arus, bergerak terus menerus. Maknanya: uang yg kita pegang harus digerakkan/diputar bukan ditabung atau disimpan di bawah bantal, dengan demikian ia akan terus meningkat nilainya.
Sesuai dengan sunnatullah, sesuatu yg bergerak terus menerus itu (tidak diam/statis) akan menjadi sehat, misal: darah yg mengalir dalam tubuh kita itu terus menerus bergerak sehingga kita menjadi sehat. Air yg mengalir terus menerus menjadi air yg sah untuk bersuci. Udara yg bersikulasi akan sehat dibanding dengan udara yg diam.
Perdagangan dan investasi itu dapat menggerakkan uang. Itulah sebabnya, Nabi SAW, keluarga dan sahabatnya adalah para pedagang.
Ketika Nabi SAW berhijrah dari Mekah ke Madinah, hal pertama yg dilakukannya setelah membangun Masjid sebagai pusat kegiatan, Nabi SAW membangun pasar.
Zakat perdagangan atau investasi itu pun dipungut bukan dari modal tetapi dari keuntungan dagang/investasi yg diperoleh. Berbeda dengan uang yg ditabung di bank, zakat akan dikenakan dari keseluruhan uang yg ditabung.
Tujuan zakat adalah agar kekayaan itu jangan hanya beredar di antara orang² kaya saja (lihat QS Al Hasyr [59]: 7).
Semoga pesan singkat ini dapat bermanfaat dan mohon maaf jika kurang berkenan. Mari kita saling mengingatkan dalam hal kebaikan dengan penuh kebenaran dan kesabaran.
Selamat beraktifitas. Semoga Allah SWT senantiasa memberkahi aktivitas kita. Aamiin.
بَارَكَ اللّهُ فِيْك
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
________________
JAWABAN NYA
Mengenai artikel tsb, dari sisi substansi dan semangatnya sudah bagus, mengajak kita berusaha ketimbang sekedar menabung…. namun menyematkan begitu saja secara harfiah sebagai anjuran Islam, perlu dukungan dalil yg jelas, spt ungkapan berikut:
( Dalam meningkatkan kekayaan seseorang agar menjadi mapan secara finansial, Islam mengajarkan melalui:
(1). Perdagangan, (2). Investasi, (3). Beli emas, (4). Sedekah dan (5). Berhemat. )
Begitu juga dg ungkapan ini:
( Ketika Nabi SAW berhijrah dari Mekah ke Madinah, hal pertama yg dilakukannya setelah membangun Masjid sebagai pusat kegiatan, Nabi SAW membangun pasar)
Yg dkenal dlm catatan sirah, setelah membangun masjid, nabi mempersaudarakan antara muhajirin dan anshar dan melakukan perjanjian kesepakatan dg penduduk Madinah, khususnya dg org Yahudi….. adapaun membangun pasar, setahu saya tdk ada… wallahu a’lam.
Sekali lagi, substannsi dan semangatnya sudah bagus, namun sebaiknya hati dlm hal menyematkan sesuatu kpd ajaran Islam atau kpd Rasulullah saw….
Wallahu A’lam
Wash Shallallahu ‘ala Sayyidina Muhammadin wa ‘ala Aalihi wa Ashhabihi ajma’in.
Ust. Haidir Indo
Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com
Jika Dizhalimi
Assalamualaikum wr wb,
ustadz bagaimana sikap kita bila kita di dzolimi?
JAWABAN.
Wa alaikum salam wr wb,
Sikap jika dizalimi:
Tergantung dg tingkat kezalimannya, jika terkait dngan harga diri dan perkara2 dasar, maka harus berikan perlawanan. Bahkan sampai dlm tingkat melumpuhkan org yg zalim…atau gunakan saluran2 formal, spt menggugat, melaporkan kdp yg berwajib, dll.
Tapi jika kaitannya dg fitnah atau omongan2 yg tdk berdasar, upayakan lakukan klarifikasi, berikan nasehat secara pribadi…
Di luar semua itu, hadapi hal tsb sebagai bagian kesempatan utk mendapatkan pahala dan menghapus dosa… mohon kepada ALlah kebaikan diibalik hal ini … wallahu a’lam.
Ust. Haidir Indo
Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com