Jangan Rusak Ekosistem

📝 Pemateri: Aunur Rafiq Saleh

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃

اُنْظُرْ  كَيْفَ  فَضَّلْنَا  بَعْضَهُمْ  عَلٰى  بَعْضٍ   ۗ وَلَـلْاٰ خِرَةُ  اَكْبَرُ  دَرَجٰتٍ  وَّاَكْبَرُ  تَفْضِيْلًا

“Perhatikanlah bagaimana Kami melebihkan sebagian mereka atas sebagian (yang lain). Dan kehidupan akhirat lebih tinggi derajatnya dan lebih besar keutamaannya.” (QS. Al-Isra’: 21)

• Allah menciptakan manusia dengan rezki yang saling melengkapi. Masing-masing orang diberi kelebihan yang tidak dimiliki orang lain. Ada yang unggul dalam kedokteran. Ada yang unggul di bidang manajemen. Ada yang unggul dalam bidang-bidang lainnya. Masing-masing unggul dalam suatu bidang.

• Allah tidak menyebutkan siapa yang lebih unggul tersebut. Demikian pula yang kalah keunggulannya. Karena masing-masing punya kelebihan dan keunggulan.

• Dokter yang punya kelebihan dan keunggulan atas yang lain memerlukan orang lain yang mensuport berbagai kebutuhan hidupnya berupa makanan, pakaian dan lainnya. Jadi, dokter unggul di satu bidang kehidupan tetapi tidak pada bidang-bidang kehidupan lainnya.

• Dokter yang menguasai ilmu kedokteran memerlukan insinyur untuk membangun rumah atau gedung yang ditempatinya. Demikian pula memerlukan orang lain yang menyiapkan berbagai kebutuhannya.

• Jadi, setiap kita unggul di satu hal dan lemah pada hal-hal lainnya. Bahkan kita memerlukan petugas kebersihan yang membersihkan ruangan atau membawa sampah ke tempat pembuangan.

• Karena itu, jangan sekali-kali ada orang yang meremehkan pekerjaan orang lain, atau mengatakan saya lebih baik darinya, hanya karena dia bekerja sebagai petugas kebersihan sedangkan saya dokter atau insinyur. Karena masyarakat tidak bisa saling melengkapi kecuali dengan kita semua. Dari pekerjaan yang paling kecil sampai yang paling besar.

• Agar masyarakat saling terikat, tumbuh dan hidup maka Allah mengikat semuanya dengan rezki. Hingga setiap orang melakukan pekerjaannya dengan ridha untuk mendapatkan rezkinya dan rezki anak-anaknya. Bahkan mencari pekerjaan untuk mendapatkan rezkinya.

• Proses ini diperlukan dan sangat indah. Karena jika kita semua menjadi dokter atau insinyur, lalu siapa yang menyiapkan sarapan pagi untuk kita? Siapa yang membersihkan ruangan? Siapa yang bertani dan berdagang?

• Masyarakat yang individu-individunya tidak saling melengkapi pasti mengalami kerusakan. Tidak bisa bertahan hidup. Allah menghendaki masing-masing kita memiliki kelebihan dan keunggulan di satu hal atau bidang yang bermanfaat bagi masyarakat seluruhnya agar kehidupan berjalan normal.

• Karena itu, jangan pernah serakah ingin menguasai semua bidang dan lini rezki lalu merusak ekosistem yang telah diciptakan Allah. Bila keserakahan ini terus diperturutkan pasti terjadi kerusakan, ketimpangan bahkan kerusuhan sosial.

Wallahu a’lam.

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Memelihara Kehormatan

Hukum Mendegarkan Ghibah

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz, saya mau bertanya, kita tidak pernah memilih dan tidak bisa menduga orang bercerita apa pada kita. Suatu ketika X menceritakan keburukan Y pada Z. X tau Y dan Z berteman baik. Z hanya mendengarkan apa yang disampaikan X, meski dalam hati Z juga tidak suka mendengar cerita buruk seseorang dan juga tahu bahwa Z sendiri juga mgkn memiliki kekurangan yg sama spt itu. Sedang Z sebagai teman Y juga tidak berani menyampaikan masukan X krn tipikal Y cepat emosi, sensitif dan baperan.
a. Apa yang harus dilakukan Z utk menghargai X dan Y? karena berada pada posisi itu.
b. Perlukah Z meminta maaf pada Y?
Apakah ini termasuk ghibah? dan apakah Z yg mendengar juga melakukan ghibah? A/34

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Bismillahirrahmanirrahim..

Jika memang berteman baik, maka sangat aneh menggunjing kejelekan teman sendiri. Seharusnya saling menutupi kekurangan, jika memang mengaku berteman.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Siapa yang menutupi aib seorang muslim maka Allah Ta’ala akan tutup aibnya pada hari kiamat nanti. (HR. Muslim no.2580)

Apa yang diceritakan di atas adalah ghibah, jika yang diceritakan oleh X adalah hal negatif tentang Y yang tidak disukai oleh Y jika dia tahu itu diceritakan.

Tentang definisi ghibah, telah diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri dalam salah satu haditsnya.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu:

أَنَّهُ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْغِيبَةُ قَالَ « ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ». قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ قَالَ « إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ بَهَتَّهُ »

Bahwasanya ditanyakan kepada Rasulullah ﷺ : “Wahai Rasulullah, Apakah ghibah itu?” Beliau bersabda: “Kamu menceritakan tentang saudaramu apa-apa yang dia tidak suka.”

Ditanyakan lagi: “Apa pendapatmu jika pada saudaraku memang seperti yang aku katakan.”

Beliau bersabda: “Jika apa yang kamu katakan memang ada, maka kamu telah menghibahinya. Jika apa yang kamu katakan tidak ada padanya, maka kamu telah melakukan buhtan (kebohongan keji).” (HR. Muslim No. 2589)

Maka, yang perlu dilakukan oleh Z atau siapa pun yang mendengar saudaranya sedang melakukan ghibah, atau dighibahi, hendaknya dia menasihatinya, jika tidak mampu minimal mengalihkan ke pembicaraan lainnya.

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata:

واعلم : أن المستمع للغيبة شريك فيها، ولا يتخلص من إثم سماعها إلا أن ينكر بلسانه، فإن خاف فبقلبه وإن قدر على القيام، أو قطع الكلام بكلام آخر، لزمه ذلك . وقد روى عن النبى صلى الله عليه وآله وسلم أنه قال : من أذل عنده مؤمن وهو يقدر أن ينصره أذله الله عز وجل على رؤوس الخلائق ” وقال صلى الله عليه وآله وسلم : ” من حمى مؤمناً من منافق يعيبه، بعث الله ملكاً يحمى لحمه يوم القيامة من نار جهنم ” ورأى عمر بن عتبة مولاه مع رجل وهو يقع في آخر، فقال له : ويلك نزه سمعك عن استماع الخنا كما تنزه نفسك عن القول به، فالمستمع شريك القائل، إنما نظر إلى شر ما في وعائه فأفرغه في وعائك

Ketahuilah, bahwasanya menjadi pendengar ghibah sama juga terlibat dalam ghibah. Dia tidak akan lepas dari dosa mendengarkannya kecuali jika dia mengingkari dengan lisannya, jika dia takut minimal ingkari dengan hatinya. Jika dia mampu meluruskan atau memutuskan pembicaraan ke pembicaraan lain maka lakukanlah itu.

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa Beliau bersabda: “Barang siapa yang dihadapannya ada seorang mu’min direndahkan, padahal dia mampu membelanya, maka Allah akan rendahkan dia dihadapan para makhluk.”

Dalam hadits lain: “Barang siapa yang melindungi seorang mu’min dari munafiq yang menggunjingnya maka Allah akan utus malaikat untuk menjaga dagingnya dari sengatan neraka Jahanam pada hari kiamat.”

Umar bin Utbah melihat pelayannya sedang bersama seseorang yang sedang menggunjing orang lain. Beliau berkata:

“Celaka kamu, jagalah telingamu dan jangan dengarkan pembicaraan yang kotor, sebagaimana kamu menjaga lisanmu dari pembicaraan kotor, karena orang yang mendengarkan adalah sekutu bagi orang yang membicarakan. Dia melihat sesuatu yang buruk ada di bejananya lalu menuangkan keburukan itu ke bejanamu.”

(Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ar Rub’uts Tsaalits, Hal. 30-31)

Demikian. Wallahu a’lam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Usia Penghuni Surga

Pemuda di Dalam Al-Qur’an

📝 Pemateri: Ustadz Abdullah Haidir, Lc

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃

Dalam Al-Quran, Allah berbicara tentang pemuda dua kali.

Pertama, tentang para pemuda Ashabul Kahfi, para penghuni goa. Dikatakan demikian, karena demi mempertahankan keimanannya saat penguasa dan kaumnya menjadikan keimanan kepada Allah sebagai kejahatan yang harus dibasmi, mereka lebih memilih meninggalkan negeri mereka dan bersembunyi di goa. Sehingga Allah berikan karomah kepada mereka tertidur selama 309 tahun lamanya tanpa perubahan berarti pada diri mereka. Saat terbangun, zaman sudah berubah, negeri yang mereka tinggalkan telah menjadi negeri beriman.

Allah abadikan kisah mereka dalam surat Al-Kahfi dan Allah jelaskan dengan lugas tentang karakter mereka,

نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى

Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk. (QS. Al-Kahfi: 13)

Ashbul Kahfi adalah teladan yang sangat baik bagaiman para pemuda seharusnya adalah orang yang kokoh keimanannya, tidak mudah tergiur oleh berbagai godaan dan tak mudah lemah oleh berbagai ancaman. Perkara sekarang banyak sekali ujian dan tantangan keimanan, mestinya semakin menambah dorongan bagi para pemuda untuk semakin semangat menjaga dan merawat keimanannya. Dari sinilah langkah-langkahnya kedepan akan sangat ditentukan.

Kedua, tentang sosok Nabi Ibrahim alaihissalam yang juga hidup di tengah kekufuran dan kezaliman merajalela, dari tingkat pemimpin hingga rakyat jelata. Nabi Ibrahim alaihissalam yang saat itu dikatakan masih muda, berdiri tegak menghadapi kerusakan kaumnya, menyampaikan yang hak dan berusaha mencegah kemunkaran yang terjadi. Sampai akhirnya beliau mengambil tindakan berani, secara sembunyi-sembunyi, dihancurkannya berhala-berhala yang mereka sembah dan puja-puja itu.

Maka, ketika orang-orang kafir mencari-cari siapa yang merobohkan berhala-berhala mereka.

قَالُوا۟ مَن فَعَلَ هَٰذَا بِـَٔالِهَتِنَآ إِنَّهُۥ لَمِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim”.

Maka ada yang melaporkan bahwa Ibrahimlah yang melakukan hal tersebut. Kala itu dia disebut sebagai ‘pemuda’.

قَالُوا۟ سَمِعْنَا فَتًى يَذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهُۥٓ إِبْرَٰهِيمُ

Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim”. (QS. Al-Anbiya: 59-60)

Kita semua tahu resiko apa yang ditanggung Nabi Ibrahim alaihissalam dari perbuatannya itu. Namun yang penting bagi kita, khususnya bagi para pemuda, adalah mengambil pelajaran, bagaimana semestinya seorang muslim memiliki sikap yang tegas, bahwa mereka menentang berbagai bentuk kemunkaran, kezaliman dan kebatilan. Minimal seorang pemuda hendaknya mengambil posisi yang jelas di hadapan kebatilan, jangan bimbang dan abu-abu, apalagi menjadi pengusung dan promotor kebatilan. Sikap yang seharusnya tidak boleh ada dalam kamus para pemuda.

Wallahu a’lam.

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

SEMANGAT SEORANG IBU MELAHIRKAN ANAK YANG HEBAT

📝 Pemateri: Ustadzah DR. Aan Rohanah, Lc , M.Ag

🌹🌷🌹🌷🌹🌷🌹🌷

Setiap ibu ingin melahirkan anak-anak yang hebat, anak yang selalu terdepan dalam berbuat kebaikan serta kokoh dalam beragama, cerdas, memiliki pengetahuan luas dan berwawasan, mandiri dan mapan, serta menghasilkan karya yang berguna bagi masyarakat luas dan mau berkhidmah untuk kemajuan agama, umat dan bangsa.

Kehebatan seorang anak tidak datang dengan sendirinya, tidak terjadi secara tiba-tiba, tidak bisa dibentuk dengan santai dan coba-coba.

Kehebatan anak itu dibentuk oleh perjuangan berat dan besar dari kedua orang tuanya terutama ibunya dari sejak anak dalam kandungan, setelah lahir hingga dewasa.

Ibu yang hebat selalu mengiringi perjuangan dalam pendidikan anak dengan :

1. Shalat fardhu tepat waktu dan selalu mengirinya dengan doa utk kebaikan anak.

2. Mengkhatamkan Alquran setiap bulan 30 juz dan selalu menyertakan doa untuk anak dalam setiap khatamnya.

3. Rajin berpuasa sunnah dan mendoakan anak di tengah puasanya.

4. Rajin melakukan shalat tahajjud di waktu malam dan selalu menyelipkan doa untuk kesuksesan anak.

5. Terus belajar untuk menambah bekal dalam pendidikan anak agar ia bisa berperan dan bersaing di zamannya.

6. Bermental kuat, tidak putus asa dan tidak mudah menyerah menghadapi masalah dan tantangan pendidikan anak.

7. Mendidik anak sesuai tuntunan agama dengan cinta, kasih sayang, kelembutan dan kesabaran.

8. Menambah taqarrub dan doa kepada Allah di waktu siang dan malam saat anak sedang ujian di sekolah atau di kampus atau sedang menghadapi masalah.

9. Menumbuhkan kecintaan anak kepada Allah SWT sebagai Tuhan, Muhammad SAW sebagai Rasulullah, Islam sebagai agama, al-Quran sebagai pedoman hidup, serta cinta ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan dunia dan akhiratnya.

10. Menanamkan akhlak dan adab, semangat belajar, tanggung jawab dan kepedulian terhadap sesama.

11. Selalu menjaga keridhaannya kepada anak sekalipun dalam kondisi tidak nyaman oleh ulah anak.

12. Saat dikecewakan lebih baik bersabar dan memberikan nasihat serta doa untuk kebaikan anak.

Wallahu a’lam bish showab

🌹🌷🌹🌷🌹🌷🌹🌷

Sebarkan! Raih Pahala


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Mempermudah dalam Muamalah

Memanfaatkan Barang Gadai

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz, saya mau bertanya, untuk barang gadai bisa di gunakan untuk perputaran modal ndak?

Kita ada program buka gadai LM Antam, tanpa biaya administrasi, biaya sewa dan bebas margin.

Kita hanya ambil margin dari perputaran LM Antam yang digadai itu
Jazaakallohu Ustadz 🙏 I/13

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Bismillahirrahmanirrahim..

Dalam akad gadai (Ar Rahn), ada istilah-istilah yang mesti dipahami dulu.

Rahin yaitu orang yang menggadaikan barang, dan dia memperoleh “sesuatu” setelah dia menggadaikan barang tsb.

Murtahin yaitu pihak yg memberikan “sesuatu”, lalu dia yang memegang barang yang digadaikan.

Marhun yaitu barang yang digadaikan.

Permasalahan tentang apakah boleh murtahin memanfaatkan marhun (brg gadaian), sangat sering ditanyakan. Dalam hal ini para ulama merincinya menjadi dua bagian.

📌Pertama. Jika akadnya qardh (pinjaman). Misal, seorang minjam uang 1jt rupiah, dengan menggadaikan sebuah Hand Phone ke kawannya. Lalu, kawannya memakai HP tsb. Tau dia gadaikan laptop, lalu laptopnya dipakai si murtahin.

Ini haram menurut mayoritas ulama (bahkan Imam Ibnu Qudamah mengatakan tidak ada beda pendapat keharamannya), baik dia diizinkan atau tidak oleh pemiliknya, sebab saat dia memakainya maka dia mendapatkan riba. Sebab, dia dapat dua hal: piutang, yg akan dilunaskan untuknya, dan pemakaian tersebut yg merupakan ribanya.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

عقد الرهن عقد يقصد به الاستيثاق وضمان الدين وليس المقصود منه الاستثمار والربح، وما دام ذلك كذلك فإنه لا يحل للمرتهن أن ينتفع بالعين المرهونة، ولو أذن له الراهن، لانه قرض جر نفعا، وكل قرض جر نفعا فهو ربا

Akad gadai adalah akad yg dengannya bermaksud untuk menjaga dan menjamin hutang, bukan untuk mengambil keuntungan dan hasil, *selama akadnya seperti itu maka dilarang si pemberi pinjaman memanfaatkan harta gadaian, walaun diizinkan oleh penggadai, karena itu menjadi pinjaman yang membuahkan untung, maka setiap untung didapatkan dari pinjaman maka itu riba.

(Fiqhus Sunnah, 3/156)

Syaikh Muhammad Shalih al Munajjid Rahimahullah mengatakan:

فإذا أذن الراهن للمرتهن بالانتفاع : فإن كان الدين دين قرض لم يجز للمرتهن الانتفاع بالرهن ، وإن أذن الراهن ؛ لأنه قرض جر نفعا فهو ربا

Jika pihak rahin mengizinkan murtahin memanfaatkannya, dan akadnya adalah hutang pinjaman maka tidak boleh bagi pihak murtahin memanfaatkannya walau itu diizinkan rahin. Sebab, pinjaman yang mendatangkan manfaatkan maka itu riba. (Al Islam Su’aalw a Jawaab no. 39734)

Imam al Baihaqi Rahimahullah -ulama hadits bermadzhab Syafi’i- mengatakan:

روينا عن فضالة بن عبيد ، أنه قال : كل قرض جر منفعة فهو وجه من وجوه الربا . وروينا عن ابن مسعود ، وابن عباس ، وعبد الله بن سلام ، وغيرهم في معناه ، وروي عن عمر ، وأبي بن كعب ، رضي الله عنهما

Kami meriwayatkan dari Fadhalah bin ‘Ubaid, bahwa dia berkata: “Setiap pinjaman yang memunculkan manfaat maka itu salah satu jenis dari berbagai jenis riba.” Kami meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abdullah bin Salam, dan selain mereka dengan makna yang sama. Diriwayatkan juga dari Umar dan Ubay bin Ka’ad Radhiallahu ‘Anhuma. (as Sunan ash Shaghir, no. 1971)

Sedangkan jika tidak diizinkan pemiliknya, maka lebih besar lagi dosanya. Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. (QS. An Nisa: 29)

Dalam hadits:

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ : دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Setiap muslim atas mulim lainnya adalah HARAM baik terhadap darahnya, hartanya, dan kehormatannya. (HR. Muslim no. 2564)

📌 Kedua. Jika akadnya jual beli. Misal, seorang beli motor, tapi uangnya kurang. Kekurangan itu akan di bayar misalnya selama 6 bulan secara cicil, selama cicilan tersebut si pembeli menggadaikan laptopnya ke penjual motor, lalu laptop itu dipakai oleh penjual motor tsb.

Jenis ini dibolehkan, jika diizinkan oleh pemilik barang gadainya. Ini bukan riba. Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan:

وَإِنْ كَانَ الرَّهْنُ بِثَمَنِ مَبِيعٍ , أَوْ أَجْرِ دَارٍ , أَوْ دَيْنٍ غَيْرِ الْقَرْضِ , فَأَذِنَ لَهُ الرَّاهِنُ فِي الِانْتِفَاعِ , جَازَ ذَلِكَ

Jika gadai itu untuk menjamin harga dari transaksi jual beli, atau onkos sewa rumah, atau hutang yang bukan akad pinjaman, lalu diizinkan oleh rahin (pemilik barang gadai) untuk memanfaatkannya, maka hal itu dibolehkan. (Al Mughni, 4/250)

Tertulis dalam Al Mudawanah:

قُلْتُ: أَرَأَيْتَ الْمُرْتَهِنَ، هَلْ يَجُوزُ لَهُ أَنْ يَشْتَرِطَ شَيْئًا مِنْ مَنْفَعَةِ الرَّهْنِ؟ قَالَ: إنْ كَانَ مِنْ بَيْعٍ فَذَلِكَ جَائِزٌ، وَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ مِنْ قَرْضٍ فَلَا يَجُوزُ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ يَصِيرُ سَلَفًا جَرَّ مَنْفَعَةً. قُلْتُ: وَهَذَا قَوْلُ مَالِكٍ؟ قَالَ: نَعَمْ، إلَّا أَنَّ مَالِكًا قَالَ لِي: إذَا بَاعَهُ وَارْتَهَنَ رَهْنًا وَاشْتَرَطَ مَنْفَعَةَ الرَّهْنِ إلَى أَجَلٍ، قَالَ مَالِكٌ: لَا أَرَى بِهِ بَأْسًا فِي الدُّورِ وَالْأَرْضِينَ

Aku berkata: “Apa pendapat Anda tentang murtahin yang mensyaratkan akan memanfaatkan barang gadaian, apakah itu dibolehkan?” Beliau menjawab: “Jika itu berasal dari akad jual beli, maka boleh. Jika itu dari hutang pinjaman maka tidak boleh, sebab itu termasuk pinjaman yang mendatangkan manfaat (bagi yang memberikan pinjaman, riba). Aku berkata: “Apakah ini pendapat Malik?” Dia menjawab: “Ya, hanya saja Malik berkata kepadaku: “Jika seseorang menjual sesuatu dan ada yang digadaikan dan mensyaratkan memanfaatkan barang gadaian sampai batas waktu pembayaran, Malik berkata: “Menurutku tidak apa-apa baik dalam jual beli rumah dan tanah.” (Al Mudawanah, 4/149)

Demikian. Wallahu a’lam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

logo manis4

Benarkah Jika Istri Bekerja Maka Rezeki Suami Jadi Berkurang?

Pertanyaan

 

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz, saya mau bertanya, apa benar rezeki istri itu ada di suami sehingga istri tak perlu bekerja? Karena kalau istri bekerja maka rezeki suami akan berkurang yg mana rezeki istri sudah Allah berikan langsung melalui istrinya yg bekerja. Sehingga kalau mau rezeki suami bertambah istri tdk perlu bekerja. Apa benar bgitu Ust? Mohon pencerahannya Ust, jazakumullah khair🙏. A/01

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Bismillahirrahmanirrahim..

Konsep rezeki itu jelas, semua hamba telah dijamin rezekinya. Rezeki suami tidak ada istilah “berkurang” gara-gara istri bekerja. Karena masing-masing sudah Allah Ta’ala haknya.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا مِن دَآبَّةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِ رِزۡقُهَا وَيَعۡلَمُ مُسۡتَقَرَّهَا وَمُسۡتَوۡدَعَهَاۚ كُلّٞ فِي كِتَٰبٖ مُّبِينٖ

Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).

(QS. Hud, Ayat 6)

Dalam hadits:

إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ فِي ذَلِكَ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يُرْسَلُ الْمَلَكُ فَيَنْفُخُ فِيهِ الرُّوحَ وَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ بِكَتْبِ رِزْقِهِ وَأَجَلِهِ وَعَمَلِهِ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ

‘Sesungguhnya seorang manusia mulai diciptakan dalam perut ibunya setelah diproses selama empat puluh hari. Kemudian menjadi segumpal daging pada empat puluh hari berikutnya. Lalu menjadi segumpal daging pada empat puluh hari berikutnya. Setelah empat puluh hari berikutnya, Allah pun mengutus seorang malaikat untuk menghembuskan ruh ke dalam dirinya dan diperintahkan untuk menulis empat hal; rezekinya, ajalnya, amalnya, dan sengsara atau bahagianya.’

(HR. Muslim no. 2643)

Lalu, rezeki juga tidak bermakna uang atau benda. Tapi juga kesehatan, anak yang shalih, suami/istri yg shalihah, tetangga yang baik, diringankannya masalah hidup, dimudahkan untuk ibadah, dan semua hal yang kebaikannya bisa kita rasakan. Memahami bahwa rezeki hanya pada penghasilan dan harta, inilah yang paling sering membuat manusia sulit bersyukur.

Kemudian, untuk istri yang bekerja, ini harus dirinci dulu baik dari sisi motivasi dan jenis pekerjaannya. Dari sisi motivasi, istri bekerja bukanlah utk menjadi penanggung nafkah, sebab nafkah adalah kewajiban suami. Sekaya apa pun istri, suami tetap wajib nafkah, kewajiban itu tidak hilang karena istrinya kaya, dan ini telah menjadi kesepakatan para fuqaha. Istri bekerja adalah untuk aktualisasi diri, dan sekadar membantu suami jika memang itu diperlukan, sekaligus antisipasi dan belajar mandiri jikalau suami wafat muda sementara anak-anak masih butuh biaya. Sehingga tidak menjadi beban bagi orang lain.

Dari sisi jenis, hendaknya pekerjaan yang halal, tetap menjaga adab pergaulan, menjaga adab berpakaian, dan izin suami. Jika mampu pekerjaan yang bisa dikerjakan di rumah, sebab pada aslinya wanita itu memang di rumah dan itu adalah jihad baginya.

Dalam sebuah riwayat:

عَنْ أَنَسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: جِئْنَ النِّسَاءُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ذَهَبَ الرِّجَالُ بِالْفَضْلِ وَالْجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى، فَمَا لَنَا عَمَلٌ نُدْرِكُ بِهِ عَمَلَ الْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنْ قَعَدَ -أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا -مِنْكُنَّ فِي بَيْتِهَا فَإِنَّهَا تُدْرِكُ عَمَلَ الْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ”

Anas bin Malik bercerita bahwa kaum wanita mendatangi Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam: _”Wahai Rasulullah, kaum laki-laki memiliki keutamaan dengan jihad fisabilillah, lalu bagaimana kami mendapatkan nilai jihad fisabilillah?”_ Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: _”Siapa di antara kalian yang berdiam di rumahnya – atau yang seperti itu- maka itu setara dengan amalnya para mujahidin fisabilillah.”_

(Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/409)

Demikian. Wallahu a’lam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

logo manis4

Perbedaan Al Ma’tsurat Hasan Al Banna dan Hisnul Muslim

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz, saya mau bertanya, do’a pqgi dan petang atau Al Ma’tsurat yg prnh sy baca ada bbrp versi..Ada yg dr Imam Hasan Al Banna dan ada yg dr Hisnul Muslim..

Yg ingin sy tnya kan,,apakah kedua al ma’tsurat tsb sm atau kah ada perbedaannya.
Dan yg lbh utama yg sesuai d ajarkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam itu yg mana?

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وَعَلَيْكُمْ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Al Ma’tsurat disusun oleh Imam Hasan al Banna, di kitab aslinya jauh lebih tebal dan lengkap dibanding yg beredar dipasaran atau di aplikasi2.. Isinya rata2 shahih, ada bbrp yg dha’if

Hishnul Muslim, disusun oleh Syaikh Sa’id Wahf al Qahthani, isinya lebih tipis dibanding al Ma’tsurat. Rata-rata juga shahih, hanya sedikit saja yang diperselisihkan keshahihannya.

Keduanya sama-sama bagus utk dibaca, hanya saja aktivis Islam dan banyak org lebih mengenal al Ma’tsurat, krn mungkin sudah ada sejak tahun 1930-40an.. Sdgkan Hishnul Muslim baru di susun tahun 2000an..

Wallahu A’lam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Qashar

Jarak Safar yang Membolehkan Qashar, Betulkah Tidak Ada Ketentuan Baku?

Pertanyaan

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Ustadz… mau bertanya, bagaimana menurut ustad pendapat tentang batas jarak dibolehkannya sholat jamak oleh 4 Mazhab namun diselesihi oleh pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu qoyyim yang hanya mensyaratkan safar saja dan tidak menentukan jarak?

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸

Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Masalah ini
memang beragam pendapat…

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:

وقد نقل ابن المنذر وغيره في هذه المسألة أكثر من عشرين قولا

Imam Ibnul Mundizr dan lainnya telah menukilkan bahwa ada lebih dari dua puluh pendapat tentang masalah ini (jarak dibolehkannya qashar). (Fiqhus Sunnah, 1/284)

Perbedaan ini terjadi karena memang tak ada satupun hadits dari Rasulullah ﷺ yang menyebutkan jarak secara jelas dan tegas. Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, “Tidak ada sebuah hadits pun yang menyebutkan jarak jauh atau dekatnya bepergian itu.” (Fiqhus Sunnah, 1/239)

Secara umum memang ada dua pandangan mainstream:

Pendapat pertama. Empat burud, yaitu sekitar 88,656km

Ini pendapat jumhur ulama:
– Golongan Malikiyah (Imam ad Dasuqi dalam Hasyiyah ad Dasuqi, 1 /359)
– Syafi’iyyah (Imam an Nawawi dalam al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 4/323, Imam al Mawardi dalam al Hawi al Kabir, 2/360)
– Hambaliyah (Imam al Mardawi dalam al Inshaf, 2/223)
– Juga sejumlah ulama salaf, dikutip oleh Imam An Nawawi Rahimahullah:

مَذْهبنا: أنَّه يجوز القصرُ في مرحلتين، وهو ثمانية وأربعون مِيلًا هاشميَّة، ولا يجوزُ في أقلَّ من ذلك، وبه قال ابنُ عُمرَ، وابنُ عبَّاس، والحسنُ البَصريُّ، والزُّهريُّ، ومالكٌ، والليثُ بنُ سَعدٍ، وأحمدُ، وإسحاقُ، وأبو ثورٍ

Dalam madzhab kami, dibolehkan qashar jika sudah sejauh 2 MARHALAH, yaitu 48 mil hasyimiyah, dan tidak boleh kurang dari itu. Inilah pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Hasan al Bashri, az Zuhri, Laits bin Sa’ad, Malik, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur.
(al Majmu Syarh al Muhadzdzab, 4/325)

– al Qadhi Abu Yusuf (murid dan kawannya Abu Hanifah). (al Muhith al Burhani, 2/22)
– Al Auza’i dan fuqaha kalangan ahli hadits. (an Nawawi, al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/195)
– Ini yg dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baaz (Fatawa Nuur ‘alad Darb, 13/42-43)

Pendapat kedua. Tidak ada batasan jarak khusus, yang penting sudah layak disebut safar baik jauh atau pendek

Siapa saja yang berpendapat seperti itu:

– Madzhab Zhahiri, seperti Imam Daud az Zhahiri, dan Imam Ibnu Hazm. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, 1/168)
– Sebagian Hambaliyah (Ikhtiyarat al Fiqhiyah, Hal. 434)
– Imam Ibnu Qudamah, Beliau berkata:

لا أرى لِمَا صار إليه الأئمَّة حُجَّة؛ لأنَّ أقوال الصحابة متعارضة مختلفة، ولا حُجَّة فيها مع الاختلاف

Saya lihat pendapat para imam itu tidak ditopang oleh hujjah, sebab para sahabat nabi sendiri berbeda-beda, maka perbedaan itu tidak bisa dijadikan hujjah.
(Ibnu Qudamah, al Mughni, 2/190)

– Imam Ibnu Taimiyah. (Majmu al Fatawa, 24/15)
– Imam Ibnul Qayyim (Zaadul Ma’ad, 1/463)
– Imam Asy Syaukani (Sailul Jarar, Hal. 188)
– Syaikh Amin Asy Syanqithi (Adhwa’ul Bayan, 1/273)
– Syaikh al Albani (as Silsilah ash Shahihah, 1/311)
– Syaikh Utsaimin (Syarhul Mumti’, 4/351)

Jadi, sebelum Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim, sudah ada yang punya pendapat bahwa jarak itu tidak baku, yang penting sudah layak disebut safar baik jauh atau tidak. Seperti Imam Daud, Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnu Qudamah,.. Mereka hidup sebelum zaman Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim. Walau saya ikut pendapat mayoritas ulama, tapi pendapat lainnya mesti diberikan tempat dan tidak boleh remehkan. Sebab perbedaan seperti ini adalah hal yang biasa dalam dunia fiqih.

Demikian. Wallahu a’lam

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Menjaga Pandangan

Cahaya di atas Cahaya – Tadabbur Surat An-Nur (Bag-3)

📝 Pemateri: Ustadz Dr. H. Saiful Bahri, M.A

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃

Kelima

Kemudian Allah menjelaskan adab-abad bertamu dan memasuki rumah orang lain (pada ayat 27-29). Yaitu dengan meminta izin sebelum masuk dan memberi salam. Serta tidak bertamu pada saat tuan rumah kurang berkenan. Dan bila dikatakan untuk kembali (saja) maka sebaiknya mengurungkan niatnya bertamu dan segera kembali. Hal ini untuk menjaga kebersihan hati.

Secara implisit juga dianjurkan untuk menjaga pandangan ketika bertamu, dengan tidak melihat-lihat secara liar terhadap kondisi rumah yang dikunjungi.

Keenam

Pada ayat (30-31), Allah menjelaskan aturan dan pedoman interaksi antara laki-laki dan perempuan.

”Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. Annur: 30).

Bukan hanya laki-laki saja yang dituntut demikian, namun perempuan juga. Bahkan mereka juga mesti menjaga adab berpakaian lebih dari laki-laki. Yaitu dengan melonggarkan pakaiannya dan mengenakan jilbab.

”Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.

Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
(QS. Annur: 31)

Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kebersihan sosial masyarakat dari bahaya kekejian besar sebagaimana yang dijelaskan di awal-awal surat, yaitu perbuatan zina.

Untuk menjaga potensi anak-anak muda agar bisa lebih produktif dan kreatif. Serta untuk memelihara keutuhan rumah tangga dan melanggengkan keharmonisan yang dinamis penuh rahmah dan mawaddah.

Tentunya hal ini perlu kerja sama antara kedua pihak yang ada di tengah komunitas masyarakat; laki-laki dan perempuan. Jangan pernah ada saling menuduh antara perempuan dan laki-laki, karena keduanya bertanggung jawab atas masing-masing dan bekerja sama untuk menumbuhkan kondisi masyarakat yang lebih jernih dan bersih.

Laki-laki diperintah kan untuk menjaga pandangannya juga kehormatannya. Demikian juga perempuan, juga masing-masing menjaga penampilan dengan adab-adab berpakaian yang memenuhi standar norma yang diatur agama. Bukan dengan membiarkan bagian-bagian tubuh yang dapat mengundang fitnah terbuka, atau berpakaian ketat yang mencetak bentuk tubuh, atau juga mengenakan pakaian transparan yang tipis yang juga akan menimbulkan fitnah dan mempersulit untuk menjaga pandangan.

Dan tentunya proses penyadaran ini terus menerus dilakukan oleh siapapun. Terutama yang memahami aturan ini.

Proses penyadaran terhadap masyarakat ini juga tidak berjalan sebentar, namun perlu proses panjang dan kesabaran. Agar masyarakat tidak berubah menjadi anti dan kemudian membenci aturan-aturan Allah.

Di sinilah dai yang bijak bisa menempatkan diri dengan hikmah dan bijaksana dalam berdakwah di tengah masyarakatnya. Tidak menyerah dalam kondisi apapun, bahkan sampai seburuk apapun kondisi sosialnya. Juga tidak dengan pemaksaan yang berlebihan.
Adapun perhiasan yang dimaksud di sini adalah sesuatu bila terbuka dan terlihat oleh laki-laki maka bisa menimbulkan fitnah.

Maka urutan pengecualian (boleh) melihatnya pun berbeda-beda. Dimulai dari suami. Karena suami istri dibebaskan, dihalalkan melihat apa saja diantara mereka berdua. Kemudian setelahnya ayah kandung, ayah mertua dan seterusnya. Secara eksplisit memang kita tak menjumpai bagaimana tata cara perempuan berpakaian di depan saudara perempuan mereka dan ibu mereka. Tapi ini adalah standar umum kesopanan mereka berpakaian di rumah. Juga penegasan ”wanita yang islam” adalah demi menjaga aurat.

Karena dikhawatirkan bila mereka memberikan penggambaran fisik seorang muslimah dikarenakan tidak paham atau dikarenakan kebencian atau sebab-sebab yang lain. Karena sebagaimana melihat, mendeskripsikan fisik perempuan dalam Islam adalah suatu yang dihindari.

Sayangnya justru modernisasi yang dipahami oleh sebagian orang adalah dengan memperlihatkan fisik di depan umum. Dengan dalih membebaskan, sebagian berdalih seni. Dan sebagian lain berdalih konsumtif dan keinginan pasar.

Bila seperti ini maka perempuan hanya dinilai dari fisiknya saja. Padalah Allah memuliakannya. Dan karena perempuan sebagaimana laki-laki, tidak dinilai dari penampilan fisiknya. Siapa-siapa saja yang berhak melihat ”perhiasan” tersebut telah diatur dalam agama.
WalLâhu a’lam.

(Bersambung bag 4)

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Al Qur'an Surat Cinta dari Allah

Cahaya di atas Cahaya – Tadabbur Surat An-Nur (Bag-2)

📝 Pemateri: Ustadz Dr. H. Saiful Bahri, M.A

🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃

Tulisan sebelumnya:

Cahaya di atas Cahaya – Tadabbur Surat An-Nur (Bag-1)

Ketiga

Pada ayat 6 sampai 10 Allah lebih memerinci lagi.

Bila kasus tersebut terjadi dalam rumah tangga. Bila prahara keji ini terjadi dan dilakukan oleh orang yang paling dekat dalam hidup.
Orang-orang sekarang lebih menyederhanakan istilahnya dengan sebutan ”selingkuh”.

Dalam istilah fikih penyelesaian kasus seperti ini disebut dengan Li’an. Karena suami yang menuduh istrinya berzina tidak memiliki saksi selain dirinya sendiri.
Jika ia pergi mencari 4 saksi maka istrinya yang berzina akan lari dan menyudahi hajatnya.
Bila ia menyimpannya maka ia pendam bara kebencian yang bergejolak dalam dadanya.

Peristiwa ini pernah dialami oleh sahabat Rasul, Hilal bin Umayah sebagaimana yang diceritakan oleh Sa’ad bin Ubadah. Rasul pun akhirnya mencambuknya 80 kali dan dibatalkan persaksiannya dalam hal apapun. Sampai Allah menurunkan ayat ini. Kemudian keduanya (Hilal dan istrinya) dipanggil Rasulullah dan dimintai sumpahnya seperti yang tertera pada surat Annur ayat 6-9.

Keempat

Pada ayat selanjutnya (ayat 11-26) Allah menceritakan sebuah fitnah besar yang menyerbu kehidupan sosial masyarakat Madinah saat itu.

Sebuah prahara yang menimpa keluarga Rasulullah Saw. Yaitu tuduhan kaum munafik terhadap Ibunda Aisyah ra dan sahabat Shafwan bin Muaththal ra.

Para ilmuwan dan para sejarahwan merekam kejadian ini. Seperti apa yang diriwayatkan Imam Bukhari dari cerita Urwah bin Zubeir terhadap apa yang menimpa bibinya (Aisyah).

Fitnah ini terjadi pasca perang Bani Musthaliq pada bulan Sya’ban tahun 5 H.
Rasulullah menyertakan Aisyah ra untuk menemani beliau berdasarkan undian yang diadakan antara istri-istri beliau.

Dalam perjalanan kembali ke Madinah para pasukan beristirahat. Aisyah keluar dari sekedup untanya untuk sebuah keperluan, kemudian kembali lagi. Namun, tiba-tiba beliau merasa kehilangan kalungnya. Maka segera beliau turun kembali dan mencari kalung tersebut.

Sementara para pasukan bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Mereka mengira Aisyah sudah berada di dalam sekedupnya. Maka mereka berjalan. Ketika Aisyah kembali ia telah ditinggal rombongan. Beliau berharap pasukan mengetahui bahwa sekedup itu kosong dan kembali menjemputnya. Aisyah pun menunggu hingga tertidur.

Kebetulah ada seorang sahabat, Shofwan bin Muaththal lewat. Beliau heran melihat dari jauh ada seseorang tertidur sendirian. Alangkah terkejutnya setelah beliau tahu bahwa orang tersebut adalah Aisyah, istri Rasulullah saw.

Reflek Shofwan beristirja’ (mengatakan: innâ lilLâhi wa innâ ilaihi râji’ûn). Aisyah terbangun juga karena terkejut. Dan mereka sama sekali tidak keluar kata-kata kecuali hanya ucapan Shafwan tersebut.

Kemudian Shafwan mempersilakan Aisyah mengendarai untanya, dan Shafwan pun menuntunnya hingga mereka tiba di Madinah.

Orang-orang yang melihat mereka memasuki Madinah dengan penafsiran masing-masing, hingga terdengar desas-desus yang kurang mengenakkan keluarga Rasulullah. Kemudian kaum munafik menyulut fitnah ini dan menjadi besar kemudian mengerucut tuduhan selingkuh kepada Aisyah ra. Sehingga menimbulkan prahara fitnah di tengah kaum muslimin. Rasul pun gundah. Dan Aisyah kembali ke rumah orang tuanya untuk meredakan fitnah ini. Urwah menuturkan perkataan bibinya yang dirundung kesedihan yang sangat hingga kehabisan air mata. Aisyah terus menerus berdoa agar Allah membebaskannya.

Sebagian kaum muslimin ada yang termakan oleh fitnah ini. Hingga turunlah ayat-ayat pembebasan terhadap ibunda Aisyah yang suci dari tuduhan keji kaum munafik.
Orang-orang itu menganggap desas-desus ini sesuatu yang remeh, namun Allah menganggapnya sebuah dosa yang besar. Apalagi mereka tidak pernah mendatangkan empat orang saksi. Maka mereka, para penuduh itu bagi Allah adalah sebesar-besar pendusta.

Allah mengancam orang-orang yang menyulut fitnah ini dengan hukuman yang pedih dan di akhirat. Serta membebaskan keguncangan sosial ini.

Rasulpun memerintahkan hukuman cambuk kepada sebagian sahabatnya yang terpancing dengan tuduhan ini. Mereka kembali diterima persaksiannya setelah mereka bertobat. Kecuali orang-orang munafik yang bersembunyi dari hukum Allah. Kelak Allah akan membuka tabir kebusukan mereka.

Bahkan sampai-sampai Abu Bakar geram dengan salah seorang keluarganya yang miskin yang dikafilnya ikut terlibat dan termakan fitnah tersebut, yaitu Masthah bin Utsatsah. Beliau bersumpah untuk tidak mengafilnya lagi namun Allah menegurnya,
”Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Annur: 22)

Dan kalam Allah benar-benar tegas meneguhkan kesucian orang-orang yang benar-benar dikenal baik dan sama sekali tak terpikir sama sekali untuk melakukan perbuatan keji. ”Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah (dari berpikir untuk berbuat zina), lagi beriman, mereka terkena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar.” (QS. Annur : 23).

Terlebih bila kita mau menadabburi ayat Allah dengan pemaknaan yang dalam pada ayat 26, ”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).”

(Bersambung bag 3)

🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678