Ustadz Menjawab: Mengambil Paksa Hak Kita

✏Ust. Farid Nu’man Hasan

Pertanyaan:

Assalamualaikum
Ustadz, mohon jawaban dan tanggapanya disertai hadits atau referensi shohi perihal kejadian berikut:
[06/12 18:22] SIP Doni: Bagaimana hukumnya mencuri uang hak kita sendiri?
Contoh: uang transport hak karyawan yg tidak diberikan, bolehkah karyawan mencuri uangnya sendiri?
[06/12 20:11] SIP Doni: Kasus ke-2, juga kisah nyata. Temen orang madura punya usaha rental mobil. Salah satu mobilnya dicuri. Karena ada GPSnya mobil ketemu diseorang penadah yg oknum TNI. Bukan ngembaliin mobil malah ngancam.
Teman saya pulang dgn tangan hampa tp tidak kehabisan akal. Dgn menggunakan kunci cadangan dia mengupah orang untuk mencuri mobilnya sendiri dari oknum TNI tsb.

Jawab:

Wa ‘alaikum salam, … afwan br sempet.
Mengambil hak kita sendiri yg telah dirampas orang lain, pada prinsipnya boleh. Atau, hak seorg yg ditahan pdhal sudah waktunya dia dapatkan sperti gaji karyawan yg ditunda2. Hal ini sbgmn dilakukan Hindun ketika mengambil uang belanja harian ke suaminya,  Abu Sufyan, tanpa sepengetahuan suaminya, lantaran Abu Sufyan bgtu bakhil kepadanya, dan nabi pun membolehkan karena itu haknya. Hanya saja, masalah ini juga ditimbang maslahat dan madharatnya.

Lalu, utk kasus korban pencurian yg punya kesempatan untuk mengambil kembali haknya, baik diam2 atau terang2an, ini juga tdk apa-apa. Sebab kezaliman yg dialaminya, jika dia mampu melawan lawanlah walau dgn tipu daya. Sebab, kata Nabi: Al Harbu khad’ah … perang itu tipu daya. Hr. Al Bukhari.

Wallahu a’lam

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Dua Rakaat Ba’diyah Ashar; Antara Ada dan Tiada

Pemateri: Ust. Farid Nu’man Hasan, SS.

Bismillah wal hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:
Wa ‘alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Dalil-Dalil Larangan Shalat Setelah Ashar

1. Riwayat berikut:

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ

Janganlah shalat setetah subuh s ampai terbitnya matahari, dan janganlah shalat setelah ashar sampai terbenamnya matahari. (HR. Al Bukhari No. 586)

2. Dari Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu:

إِنَّكُمْ لَتُصَلُّونَ صَلَاةً لَقَدْ صَحِبْنَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَا رَأَيْنَاهُ يُصَلِّيهِمَا وَلَقَدْ نَهَى عَنْهُمَا يَعْنِي الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْر

Kalian melakukan shalat, padahal kami telah bersahabat dengan Rasulullah ﷺ dan kami belum pernah melihatnya shalat tersebut, dan dia telah melarangnya, yakni dua rakaat setelah ashar. (HR. Al Bukhari No.  587)

Dan lainnya yang semisal.

Dalil-Dalil Bolehnya Shalat Setelah Ashar

1. Dari Aisyah Radhiallahun’Anha:

رَكْعَتَانِ لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَعُهُمَا سِرًّا وَلاَ عَلاَنِيَةً: رَكْعَتَانِ قَبْلَ صَلاَةِ الصُّبْحِ، وَرَكْعَتَانِ بَعْدَ العَصْرِ

Dua rakaat yang Nabi ﷺ tidak pernah meninggalkannya, baik secara diam-diam dan terang-terangan; yaitu dua rakaat sebelum shalat subuh, dan dua rakaat setelah shalat Ashar. (HR. Al Bukhari No. 592)

2. Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ عِنْدِي قطّ

Sedikit pun Belum pernah Rasulullah ﷺ meninggalkan shalat setelah ashar ketika bersamaku. (HR. Muttafaq ‘Alaih)

3. Syuraih bertanya kepada ‘Aisyah tentang shalat setelah ashar, ‘Aisyah menjawab:

صَلِّ إِنَّمَا نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلَاةِ إِذَا طلعت الشمس

Shalatlah (ba’da ashar), sesungguhnya yang Rasulullah ﷺ larang adalah shalat ketika matahari terbit. (HR. Ibnu Hibban No.1568. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, Syaikh Syuaib Al Arnauth, dan lainnya)

4. Dari Aisyah Radhiallahu “Anha:

عَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ العصر في بيتي حتى فارق الدنيا

 “Rasulullah ﷺ tidak pernah meninggalkan dua rakaat setelah Ashar di rumahku sampai meninggalkan dunia. (HR. Ibnu Hibban No. 1573, juga dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, Syaikh Syuaib Al Arnauth dan lainnya)

5. Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

مَا مِنْ يَوْمٍ كَانَ يَأْتِي عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا صَلَّى بَعْدَ العصر ركعتين

Tidaklah sehari pun kedatangan Rasulullah ﷺ melainkan dia shalat setelah ashar dua rakaat. (HR. Ibnu Hibban No. 1573, juga dishahihkan oeh para ulama)

6. Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا كان عندي بعد العصر صلاهما.

 Dahulu Rasulullah ﷺ jika sedang bersamaku, Beliau shalat dua rakaat setelah ashar. (HR. An Nasa’i No. 576, Abu Daud No. 1160. SHAHIH)

Sikap Manusia Pada Zaman  Salaf

                Pada zaman awal Islam, mereka pun terbagi menjadi dua kelompok antara pro dan kontra.

Pihak Yang Membolehkan

                 ‘Atha bercerita:

أَنَّ عَائِشَةَ، وَأُمَّ سَلَمَةَ كَانَتَا تَرْكَعَانِ بَعْدَ الْعَصْرِ

Bahwa Aisyah dan Ummu Salamah shalat dua rakaat setelah ashar. (Abdurrazzaq, Al Mushannaf No. 3969)

                Dari Ashim bin Abi Dhamrah bahwa Ali Radhiallahu ‘Anhu shalat dua rakaat setelah ashar di tendanya. (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 7352)

Hisyam bin Urwah bercerita:

كُنَّا نُصَلِّي مَعَ ابْنِ الزُّبَيْرِ الْعَصْرَ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، فَكَانَ يُصَلِّي بَعْدَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ، وَكُنَّا نُصَلِّيهِمَا مَعَهُ نَقُومُ صَفًّا خَلْفَهُ

Kami shalat Ashar di masjidil haram bersama Abdullah bin Az Zubair, saat itu dia shalat dua rakaat setelah ashar. Kami shalat juga bersamanya dengan membuat shaf  dibelakangnya . (Abdurrazzaq, Al Mushannaf No.  3979)

Ibnu Aun bercerita, “Aku melihat Abu Burdah bin Abi Musa shalat dua rakaat setelah ashar.” (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No. 7347)

Selain Aisyah, Ali,  Abdullah bin Az Zubeir Radhiallahu ‘Anhum, masih banyak lagi generasi tabi’in yang shalat dua rakaat setelah Ashar, seperti Abu Sya’tsa, Al Aswad bin Yazid, Amru bin Husein, Abu Wail, Masruq, Syuraih,  dan lainnya. (Lihat dalam Al Mushannaf Ibni Ab Syaibah No. 7347, 7348, 7350)

Apakah mereka tidak tahu ada larangan shalat setelah Ashar? Di jelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar:

فائدة فهمت عائشة رضي الله عنها من مواظبته صلى الله عليه وسلم على الركعتين بعد العصر أن نهيه صلى الله عليه وسلم عن الصلاة بعد العصر حتى تغرب الشمس مختص بمن قصد الصلاة عند غروب الشمس لا إطلاقه

            Faidah dari hadits ini,  bahwa Aisyah memahami dari seringnya Nabi ﷺ shalat dua rakaat setelah ashar, bahwa larangan tersebut berlaku khusus bagi mereka yang memaksudkan shalat sampai terbenam matahari bukan larangan secara mutlak. (Fathul Bari, 2/66)

Jadi, bagi Aisyah Radhiallahu ‘Anha, larangan tersebut berlaku untuk mereka yang bermaksud melakukan shalat sampai matahari terbenam, bukan larangan semata-mata ba’diyah ashar.

Pihak Yang Melarang

Abu Ghadiyah bercerita:

رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَضْرِبُ النَّاسَ عَلَى الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ

                Aku melihat Umar bin Al Khathab memukul orang yang shalat dua rakaat setelah ashar. (Abdurrazzaq,Al Mushannaf, No. 3966)

                Perbuatan Umar Radhiallahu ‘Anhu ini  juga diceritakan oleh Jabir dan Ibnu Abbas Radhialahu ‘Anhuma. (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, No. 7336, 7341)

                Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma juga membencinya. Thawus bertanya kepada Ibnu Abbas tentang shalat dua rakaat setelah Ashar, maka dia melarangnya, lalu kata Thawus “Tapi Aku tidak pernah meninggalkannya”, maka Ibnu Abbas mengutip ayat: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al Ahzab: 36). (Abdurrazzaq, Al Mushannaf No.3975)

                Apakah mereka tidak tahu adanya riwayat dari ‘Aisyah Radhiallahu “Anha, bahwa Nabi ﷺpernah melakukannya, bahkan sangat sering? Pastilah mereka tahu, tapi mereka memahami secara berbeda.  Bagi mereka shalatnya Nabi ﷺ dua rakaat setelah ashar adalah menqadha shalat ba’diyah zhuhur, bukan karena semata ingin shalat ba’diyah ashar.

            Al Hafizh Ibnu Hajar berkata:

  قول عائشة ما تركهما حتى لقي الله عز وجل وقولها لم يكن يدعهما وقولها ما كان يأتيني في يوم بعد العصر إلا صلى ركعتين مرادها من الوقت الذي شغل عن الركعتين بعد الظهر فصلاهما بعد العصر ولم ترد أنه كان يصلي بعد العصر ركعتين من أول ما فرضت الصلوات مثلا إلى آخر عمره بل في حديث أم سلمة ما يدل على أنه لم يكن يفعلهما قبل الوقت الذي ذكرت أنه قضاهما فيه

            Ucapan Aisyah “Nabi tidak pernah meninggalkannya sampai wafat”, “Dia tidak pernah meninggalkannya”, dan ucapannya “Tidaklah Beliau mendatangiku dalam sehari melainkan dia shalat dua rakaat setelah ashar”, maksudnya adalah pada saat nabi disibukkan oleh sesuatu yang membuatnya tidak melakukan ba’diyah zuhur, maka Beliau pun melakukannya setelah ashar. Beliau bukan bermaksud bahwa Nabi shalat dua rakaat setelah ashar sejak adanya awal kewajiban shalat sampai akhir umurnya. (Fathul Bari,  2/66)

            Ini juga dikatakan Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma:

إنما صلى النبي صلى الله عليه وسلم الركعتين بعد العصر لأنه أتاه مال فشغله عن الركعتين بعد الظهر فصلاهما بعد العصر ثم لم يعد

Sesungguhnya shalatnya Nabi ﷺ sebanyak dua rakaat setelah ashar hanyalah karena telah datang kepadanya harta yang membuatnya sibuk tidak sempat shalat rakaat dua rakaat ba’diyah zuhur, lalu dia melakukannya setelah ashar dan tidak mengulanginya. (HR. At Tirmidzi No. 184, katanya: hasan)

 Hal ini tegas sebagaimana riwayat Imam Al Bukhari Rahimahullah berikut:

وَقَالَ كُرَيْبٌ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ وَقَالَ شَغَلَنِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ

Kuraib berkata, dari Ummu Salamah: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat setelah ashar sebanyak dua rakaat. Beliau bersabda: “Orang-orang dari Abdul Qais telah menyibukkanku dari shalat dua rakaat setelah zhuhur.” (Shahih Bukhari, diriwayatkan secara mu’allaq dalam Bab Maa Yushalla Ba’dal ‘Ashri wa Minal Fawaa-it wa Nahwiha)

Imam Badruddin Al ‘Aini Rahmahullah berkata:

قال الكرماني وهذا دليل الشافعي في جواز صلاة لها سبب بعد العصر بلا كراهة

Berkata Al Karmani: “Ini adalah dalil bagi Asy Syafi’i tentang kebolehan shalat  setelah ‘Ashar jika memiliki sebab, sama sekali tidak makruh.” (‘Umdatul Qari, 8/19)

Imam Badruddin Al ‘Aini mengomentari pendapat ini:

قلت هذا لا يصلح أن يكون دليلا لأن صلاته هذه كانت من خصائصه كما ذكرنا فلا يكون حجة لذاك

Aku berkata: tidak benar menjadikan hadits ini sebagai dalil, karena shalatnya ini merupakan bagian dari kekhususan bagi Beliau, sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah atas hal itu. (Ibid)

Artinya Imam Al ‘Aini tetap melarang shalat setelah ashar, walau pun ada sebab. Dan menurutnya pembolehan di atas hanya khusus bagi Nabi ﷺ.

Imam Al Kisani Al Hanafi juga demikian, menurutnya shalatnya Nabi setelah Ashar adalah spesial baginya, bukan selainnya, dan itu dalam rangka qadha ba’diyah zhuhur sbgmn riwayat Ummu Salamah. (Lihat Bada’i Ash Shana’i, 1/296)

Namun, pendapat ini dianggap lemah, sebab kenyataannya para sahabat melakukannya shalat sunah, mereka shalat setelah Ashar yaitu shalat jenazah, dan tidak satu pun sahabat lain yang melarangnya. Sehingga menurut Imam An nawawi dan Imam Abul Hasan Al Mawardi telah ijma’ kebolehannya shalat sunah diwaktu terlarang jika ada sebab.  (Lihat Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 4/174. Juga Al Hawi Al Kabir, 3/48)

          Demikianlah pihak yang melarang; seperti Umar, Ibnu Abbas, Mu’awiyah, dan umumnya para ahli fiqih. Sekali pun mereka membolehkan, itu adalah konteks mengqadha shalat ba’diyah zhuhur, atau jika dilakukan karena sebab khusus, baik karena tahiyatul masjid, shalat jenazah, dan semisalnya sebagaimana pendapat Imam Syafi’i dan Imam Malik (Lihat Mukhtashar Al Inshaf, 1/161),  ini pun tidak semua setuju, seperti Atha, An Nakha’i, dan Abu Hanifah  mengingkari kebolehan itu berdasarkan hadits larangannya secara umum (Ibid, lihat juga Al Hawi Al Kabir, 3/48). Pengingkaran ini menganulir klaim ijma’ yang disampaikan oleh Imam An Nawawi dan Imam Al Mawardi sebelumnya.

Kenapa bisa terjadi perbedaan?

               Untuk hak ini, Imam Ibnu Rusyd Rahimahullah memiliki pandangan yang sederhana tapi jitu, katanya:

وَأَمَّا اخْتِلَافُهُمْ فِي الصَّلَاةِ بَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ فَسَبَبُهُ تَعَارُضُ الْآثَارِ الثَّابِتَةِ فِي ذَلِكَ، وَذَلِكَ أَنَّ فِي ذَلِكَ حَدِيثَيْنِ مُتَعَارِضَيْنِ: أَحَدُهُمَا حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ الْمُتَّفَقِ عَلَى صِحَّتِهِ ” أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «نَهَى عَنِ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، وَعَنِ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ» .

وَالثَّانِي: حَدِيثُ عَائِشَةَ قَالَتْ: «مَا تَرَكَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – صَلَاتَيْنِ فِي بَيْتِي قَطُّ سِرًّا وَلَا عَلَانِيَةً: رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ» .

فَمَنْ رَجَّحَ حَدِيثَ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ بِالْمَنْعِ، وَمَنْ رَجَّحَ حَدِيثَ عَائِشَةَ أَوْ رَآهُ نَاسِخًا ; لِأَنَّهُ الْعَمَلُ الَّذِي مَاتَ عَلَيْهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ بِالْجَوَازِ.

                Ada pun perbedaan mereka tentang shalat setelah Ashar disebabkan oleh adanya atsar-atsar yang bertentangan. Dalam hal ini ada dua riwayat yang bertentangan.

 PERTAMA. Hadits Abu Hurairah yang disepakati keshahihannya bahwa: “Rasulullah ﷺ melarang shalat setelah Ashar sampai terbenamnya matahari dan melarang shalat setelah subuh sampai terbitnya matahari.”

  KEDUA. Hadits ‘Aisyah, Beliau berkata: “Rasulullah ﷺ tidak pernah meninggalkan dua shalat di rumahku sedikit pun baik diam-diam atau terang-terangan, yaitu dua rakaat sebelum Subuh, dan dua rakaat setelah Ashar.”

Maka, bagi siapa yang menguatkan hadits Abu Hurairah akan berpendapat hal itu terlarang, dan siapa yang menguatkan hadits ‘Aisyah atau menilainya hadits ini menghapus hadits sebelumnya, karena ini adalah perbuatan yang Beliau ﷺ lakukan sampai wafat, akan berpendapat ini boleh. (Bidayatul Mujtahid, 1/110)

Sikap Terbaik

        Sikap terbaik adalah seperti yang diajarkan oleh para imam, agar kita toleran atas perselisihan fiqih seperti ini.

Diceritakan dari Imam Ahmad bin Hambal tentang shalat sunah setelah Ashar, beliau berkata:

لا نفعله ولا نعيب فاعله

Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang melakukannya. (Al Mughni, 2/87, Syarhul Kabir, 1/802)

Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri, sebagai berikut:

سفيان الثوري، يقول: إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.

“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” (Imam Abu Nu’aim al Asbahany, Hilyatul Auliya’,  3/ 133)

 Imam As Suyuthi berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nazhair:
             
الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ ” لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, 1/285)

 Wallahu A’lam

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

SURAT AL-KAFIRUN (Bag-1)

Pemateri: Ust. AHMAD SAHAL HASAN, Lc.

بسم الله الرحمن الرحيم
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)

Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

SABAB NUZUL

Surat Al-Kafirun termasuk surat MAKIYAH, diturunkan terkait negosiasi yang dilakukan beberapa tokoh Quraisy kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau mau melakukan kompromi dan pencampuran aqidah dan ibadah. Mereka yang menawarkan kompromi ini, semuanya meninggal dalam kekafiran.

Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah dengan sanadnya meriwayatkan peristiwa ini:

لَقِيَ الْوَلِيْدُ بْنُ الْمُغِيْرَة وَ الْعَاصُ بْنُ وَائِلٍ وَ الأَسْوَدُ بْنُ الْمُطَّلِبِ وَ أُمَيَّةُ بْنُ خَلَفٍ رَسُوْلَ اللهِ فَقَالُوا: يَا مُحَمَّدُ، هَلُمَّ فَلْنَعْبُدْ مَا تَعْبُدُ، وَتَعْبُدْ مَا نَعْبُدُ، ونُشْرِككَ فِي أَمْرِنَا كُلِّهِ، فَإِنْ كَانَ الَّذِي جِئْتَ بِهِ خَيْرًا مِمَّا بِأَيْدِيْنَا، كُنَّا قَدْ شَرِكْنَاكَ فِيْهِ، وَأَخَذْنَا بِحَظِّنَا مِنْهُ، وَإِنْ كَانَ الَّذِي بِأَيْدِيْنَا خَيْرًا مِمَّا فِي يَدَيْكَ، كُنْتَ قَدْ شَرِكْتَنَا فِي أَمْرِنَا، وَأَخَذْتَ مِنْهُ بِحَظِّكَ. فَأَنْزَلَ اللهُ: {قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ} حَتَّى انْقَضَتِ السُّوْرَةُ. (تفسير الطبري، 24/662)

Al-Walid bin Al-Mughirah, Al-‘Ash bin Wa-il, Al-Aswad bin Al-Muthalib dan Umayah bin Khalaf telah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka berkata: Wahai Muhammad, marilah (bersepakat), kami menyembah apa yang engkau sembah, dan engkau menyembah apa yang kami sembah dan kami akan melibatkanmu dalam semua urusan kami. Jika yang engkau bawa lebih baik daripada yang ada pada kami, berarti kami telah membersamaimu dan mengambil bagian kami darinya. Dan bila yang ada pada kami lebih baik dari yang ada padamu, berarti engkau telah membersamai kami dan mengambil bagianmu darinya. Maka Allah menurunkan “Qul Ya Ayyuha-l Kafirun” hingga akhir surat. (Tafsir Ath-Thabari, 24/662).

Cukup banyak riwayat seperti ini tentang sabab nuzul surat Al-Kafirun. Meskipun satu persatu dari riwayat-riwayat itu tidak sampai pada derajat shahih, namun secara keseluruhan saling menguatkan satu sama lain, sehingga disimpulkan bahwa substansi atau makna riwayat tersebut adalah shahih.

KEUTAMAAN SURAT AL-KAFIRUN

PELEPAS DIRI DARI KEMUSYRIKAN

عَنْ فَرْوَةَ بْنِ نَوْفَلٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ لِنَوْفَلٍ: «اقْرَأْ قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ثُمَّ نَمْ عَلَى خَاتِمَتِهَا، فَإِنَّهَا بَرَاءَةٌ مِنَ الشِّرْكِ» (رواه أبو داود – صحيح)

Dari Farwah bin Naufal dari ayahnya (Naufal) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Naufal: Bacalah Qul Yaa Ayyuhal Kaafiruun kemudian tidurlah setelah selesai membacanya, karena sesungguhnya ia adalah pembebasan dari kemusyrikan. (HR. Abu Dawud – Shahih).

SURAT AL-KAFIRUN SETARA SEPEREMPAT AL-QURAN

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضي الله عنهما – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: «{قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ} تَعْدِلُ ثُلُثَ الْقُرْآنِ، وَ {قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ} تَعْدِلُ رُبُعَ الْقُرْآنِ» (رواه الترمذي وابن ماجه – حسن)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Qul Huwa-Llaahu Ahad setara sepertiga Al-Quran, dan Qul Yaa Ayyuhal-Kaafirun setara seperempat Al-Quran. (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah – Hadits hasan).

Maksudnya setara pahalanya dengan membaca seperempat Al-Quran, seperti penjelasan tentang surat Al-Ikhlas di materi sebelum ini.

Syihabuddin Al-Alusi rahimahullah mencoba menemukan alasan mengapa surat Al-Kafirun setara dengan seperempat Al-Quran. Diantara penjelasannya:
Maksud kandungan Al-Quran ada empat, yaitu: penegasan kekhususan ibadah hanya untuk Allah, penegasan berlepas diri dari ibadah kepada selain Allah, penjelasan hukum-hukum syariat, dan penjelasan tentang keadaan akhirat. Surat Al-Kafirun berisi salah satunya yakni berlepas diri dari ibadah kepada selain Allah, sehingga ia setara dengan seperempat Al-Quran.
Atau karena Al-Quran berisi empat hal: ibadat, muamalat, jinayat (hukuman atas kejahatan), dan munakahat (hukum pernikahan), dan surat Al-Kafirun berbicara tentang yang pertama. (Ruh Al-Ma’ani, 15/485).

BACAAN PENUTUP MALAM DAN PEMBUKA PAGI

Surat Al-Kafirun adalah salah satu bacaan Al-Quran penutup malam karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surat Al-Kafirun di dalam shalat witirnya bersama surat Al-A’la dan Al-Ikhlas:

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – يُوتِرُ بـ {سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى} وَ {قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ} وَ {قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ} (رواه ابن ماجه في السنن – إسناده صحيح)

Dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat witir dengan “Sabbihisma Rabbikal-A’laa”, “Qul Yaa Ayyuhal-Kaafirun” dan “Qul Huwa-Llahu Ahad”. (HR. Ibnu Majah dalam Sunan-nya – Isnadnya shahih).

Maksudnya: surat Al-A’la dibaca setelah Al-Fatihah pada rakaat pertama, Al-Kafirun pada rakaat kedua, dan Al-Ikhlas dibaca pada rakaat yang ketiga.

Dalam hadits shahih riwayat Ibnu Hibban dan Abu Dawud disebutkan juga bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selain membaca tiga surat itu, beliau membaca surat Al-Falaq dan An-Nas dalam shalat witir. (Shahih Mawarid Azh-Zham-an, Al-Albani, 1/309).

Maksudnya: surat Al-Falaq dan An-Nas dibaca pada rakaat ketiga setelah Al-Ikhlas.

Bacaan penutup malam dapat juga diartikan sebagai bacaan yang dibaca menjelang tidur, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan sahabatnya, Naufal radhiyallahu ‘anhu, untuk membaca surat Al-Kafirun sebelum tidur seperti hadits yang telah disebutkan sebelumnya.

Surat Al-Kafirun juga menjadi salah satu bacaan Al-Quran pembuka aktifitas menjelang pagi, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membacanya dalam shalat sunnah qabliyah Subuh:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ {قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ}، وَ{قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ}. (رواه مسلم).

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca di dua rakaat sunnah Fajar “Qul Yaa Ayyuhal-Kaafirun” dan “Qul Huwa-Llahu Ahad”. (HR. Imam Muslim)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Membaca Qul Ya Ayyuhal-Kaafirun dan Qul Huwa-Llahu Ahad di dua rakaat sunnah Fajar lebih aku sukai (daripada yang lain).” (Al-Umm, Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, 1/170).

HIKMAHNYA

Surat Al-Kafirun dan Al-Ikhlas dijadikan sebagai bacaan menjelang tidur atau penutup malam sekaligus pembuka hari. Hal ini merupakan isyarat bahwa seorang muslim harus selalui memperbarui tauhidnya dan melakukan aktifitas ibadah kepada Allah serta menjaga imannya sejak ia memulai sampai ia menutup harinya, serta menjauhkan diri dari kekafiran dan kemusyrikan.

Surat Al-Kafirun yang diawali dengan perintah “Qul” (katakanlah) dijadikan sebagai bacaan menjelang tidur atau penutup malam sekaligus pembuka hari. Hal ini juga isyarat bahwa aktifitas dakwah (mengajak manusia kepada iman dan kebaikan serta menyebarkannya) adalah kegiatan yang tak terpisahkan dari kegiatannya sehari-hari melalui berbagai media dan cara yang dibenarkan. Bahkan ia menjadi sesuatu yang selalu ia pikirkan baik menjelang tidur maupun setelah bangun tidur dan ketika memulai aktifitas di pagi hari.

HUBUNGAN YANG ERAT ANTARA SURAT AL-KAFIRUN DENGAN AL-IKHLAS

Surat Al-Ikhlas berisi pembebasan dari syirik ‘ilmi i’tiqadi (syirik di dalam keyakinan dan pemahaman), sedangkan surat Al-Kafirun mengandung pembebasan dari syirik ‘amali (syirik di dalam perbuatan). (Zad Al-Ma’ad, Ibnu Qayim Al-Jauziyah, 1/306).

Surat Al-Ikhlas menyucikan Allah dari semua yang tak laik bagi-Nya, sedangkan surat Al-Kafirun membebaskan hamba dari segala sesembahan selain Allah. (Mafatih Al-Ghaib, Fakhruddin Ar-Razi, 32/385).

TEMA SURAT AL-KAFIRUN

تَقْرِيْرُ التَّوْحِيْدِ بِالْبَرَاءَةِ مِنَ الشِّرْكِ، وَإِعْلاَنُ الفُرْقَانِ بَيْنَ الإِسْلاَمِ وَالْكُفْرِ.

Penetapan tauhid dengan berlepas diri dari syirik dan pernyataan sikap furqan (perbedaan) antara Islam dengan kekafiran.

Dr. Wahbah Az-Zuhaili rahimahullah menyebutnya sebagai:

سُوْرَةُ الْبَرَاءَةِ مِنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ وَأَعْمَالِ الْمُشْرِكِيْنَ.

Surat pembebasan dari kemusyrikan, kekafiran dan perbuatan orang-orang musyrik. (At-Tafsir Al-Munir, 30/440).

🔹(Bersambung)🔹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Asma’ul Husna dan Shifat Al ‘Ulya (bag-1)

Pemateri: Ust. Farid Nu’man Hasan SS.

Secara umum, sikap Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap nama-nama Allah dan sifat-saifatNya, terbagi atas tiga bagian, yakni:

  • Tatsbit (menetapkan apa adanya sesuai zhahir nash),
  • Tafwidh (menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala), dan
  • Ta’wil (memberikan maknanya).

Bukan

  • tahrif (menyimpangkan/merubah),
  • ta’thil (menafikan/mengingkari), dan
  • tasybih (menyerupakan dengan makhluk).

Dalam Fathul Bari , Al Imam Ibnu Hajar mengutip ucapan Ibnul Munayyar sebagai berikut:

وَلِأَهْلِ الْكَلَام فِي هَذِهِ الصِّفَات كَالْعَيْنِ وَالْوَجْه وَالْيَد ثَلَاثَة أَقْوَال : أَحَدهَا أَنَّهَا صِفَات ذَات أَثْبَتَهَا السَّمْع وَلَا يَهْتَدِي إِلَيْهَا الْعَقْل ، وَالثَّانِي أَنَّ الْعَيْن كِنَايَة عَنْ صِفَة الْبَصَر ، وَالْيَد كِنَايَة عَنْ صِفَة الْقُدْرَة ، وَالْوَجْه كِنَايَة عَنْ صِفَة الْوُجُود ، وَالثَّالِث إِمْرَارهَا عَلَى مَا جَاءَتْ مُفَوَّضًا مَعْنَاهَا إِلَى اللَّه تَعَالَى

Bagi Ahli kalam, tentang sifat-sifat ini seperti ‘mata’, ‘wajah’, ‘tangan’, terdapat tiga pendapat:

Pertama, sifat-sifat Allah adalah dzat yang ditetapkan oleh pendengaran (wahyu) dan tidak mampu bagi akal untuk mengetahuinya.

Kedua, bahwa ‘mata’ adalah kinayah (kiasan) bagi penglihatan, ‘tangan’ adalah kinayah dari kekuatan, dan ‘wajah’ adalah kinayah dari sifat wujud.

Ketiga, melewatinya sebagaimana datangnya, dan menyerahkan (mufawwadha) maknanya kepada Allah Ta’ala. (Fathul Bari, 20/484)

Apa yang dikatakan Al Hafizh Ibnu Hajar ini, menunjukkan bahwa pada masa lalu, para ulama memaknai sifat-sifat Allah Ta’ala menjadi tiga metode: Pertama, tatsbit. Kedua, ta’wil. Ketiga, tafwidh.

Namun, di antara tiga metode ini, TA’WIL adalah metode yang PALING JARANG mereka lakukan, karena kehati-hatian kaum salaf pada saat itu.

Namun, sebagian kalangan mengklaim bahwa sikap Ahlus Sunnah yakni Salafus Shalih hanya satu yakni tatsbit (menetapkan apa adanya sesuai zhahir nash).

Ada pula yang mengatakan bahwa salaf itu melakukan tafwidh, dan ini masyhur kata mereka.

Ada pula yang mengatakan kaum salaf itu melakukan ta’wil, dan mereka punya bukti dan contoh dari para sahabat untuk itu.

Dan masing-masing mereka membela pemahamannya, sambil menyerang yang lainnya, bahkan sampai taraf tafsiq (saling memfasikan) dan takfir (saling mengkafirkan).

Mereka saling mengeluarkan yang lain telah keluar dari madzhab Ahlus Sunnah.

Kelompok tatsbit, menganggap para pelaku ta’wil telah melakukan bid’ah, dan mereka menjulukinya dengan kaum Asy’ariyah.

Sementara, para pelaku ta’wil menganggap bahwa pihak tatsbit telah  menganggap Allah Ta’ala serupa dengan makhluk (tasybih) dan memiliki jasad (tajsim) karena menetapkan (itsbat) bahwa Allah Ta’ala memiliki kaki, tangan, wajah, dan bersemayam. Sebab, ini semua layak disandarkan kepada makhluk, bukan khaliq.

Lalu –lucunya- keduanya sama-sama mengklaim memiliki sandaran dari para  salaf.

Padahal apa yang mereka pahami semua, sama-sama memiliki dasar dari para salafush shalih, serta memiliki tujuan mulia, yakni menghindari dan melindungi kesucian sifat-sifatNya dari  pemahaman menyimpang  orang-orang awam, setelah Islam menyebar ke berbagai penjuru dunia yang tidak berbahasa Arab.

Perbedaan mereka seharusnya  tidaklah mencolok, tidak dibenarkan untuk saling mengkafirkan,  sebagaimana yang dikatakan oleh
Imam Ibnu Taimiyah,
Imam As Syathibi,
Imam Al Laqqani dan
Imam Hasan Al Banna Rahimahumullah.

Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengomentari fenomena saling mengkafirkan dan memfasikkan ini dengan mengatakan:

هَذَا مَعَ أَنِّي دَائِمًا وَمَنْ جَالَسَنِي يَعْلَمُ ذَلِكَ مِنِّي : أَنِّي مِنْ أَعْظَمِ النَّاسِ نَهْيًا عَنْ أَنْ يُنْسَبَ مُعَيَّنٌ إلَى تَكْفِيرٍ وَتَفْسِيقٍ وَمَعْصِيَةٍ ، إلَّا إذَا عُلِمَ أَنَّهُ قَدْ قَامَتْ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ الرسالية الَّتِي مَنْ خَالَفَهَا كَانَ كَافِرًا تَارَةً وَفَاسِقًا أُخْرَى وَعَاصِيًا أُخْرَى وَإِنِّي أُقَرِّرُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ خَطَأَهَا : وَذَلِكَ يَعُمُّ الْخَطَأَ فِي الْمَسَائِلِ الْخَبَرِيَّةِ الْقَوْلِيَّةِ وَالْمَسَائِلِ الْعَمَلِيَّةِ . وَمَا زَالَ السَّلَفُ يَتَنَازَعُونَ فِي كَثِيرٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَائِلِ وَلَمْ يَشْهَدْ أَحَدٌ مِنْهُمْ عَلَى أَحَدٍ لَا بِكُفْرِ وَلَا بِفِسْقِ وَلَا مَعْصِيَةٍ

“Ini adalah selalu menjadi pendapat saya, dan orang yang bermajelis dengan saya pasti tahu itu:

“Sesungguhnya saya adalah termasuk manusia yang paling keras melarang untuk menyandarkan seseorang secara spesifik kepada hukum kafir, fasik, dan maksiat, kecuali jika telah diketahui bahwa dia telah diberikan hujjah Islam yang siapa pun berselisih dengannya maka dia kafir, fasik, dan telah bermaksiat.

Aku tekankan, sesungguhnya Allah telah mengampuni kesalahan umat ini: yang demikian itu kesalahan secara umum, baik itu permasalahan khabariyah (sifat-sifat Allah, pen), ucapan, atau perbuatan.

Para salaf senantiasa berselisih dalam banyak permasalahan ini. Namun tidaklah menyaksikan mereka terhadap yang lainnya saling mengkafirkan, memfasikan dan menyebut telah berbuat maksiat.”
(Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 1/258)

Imam Al Laqqani Rahimahullah mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Imam Al Alusi:

قال اللقاني : أجمع الخلف ويعبر عنهم بالمؤولة والسلف ويعبر عنهم بالمفوضة على تنزيهه تعالى عن المعنى المحال الذي دل عليه الظاهر وعلى تأويله وإخراجه عن ظاهره المحال وعلى الإيمان به بأنه من عند الله تعالى جاء به رسول الله صلى الله عليه وسلم وإنما اختلفوا في تعيين محمل له معنى صحيح وعدم تعيينه بنا

“Al Laqqani berkata:

“Kaum khalaf -sering disebut orang-orang yang melakukan takwil- dan kaum salaf- sering disebut sebagai orang yang melakukan tafwidh- telah sepakat untuk mensucikan  Allah dari lafaz literal (tekstual) yang mustahil bagi Allah, menakwil dan mengeluarkan dari lafaz literal yang mustahil, serta mengimani bahwa hal itu adalah dari Allah yang diturunkan kepada Rasulullah.

Mereka hanya berbeda dalam menentukan atau tidak menentukan mana yang benar. “ (Ruhul Ma’ani, 12/103)

Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah juga mengatakan seperti yang dikatakan Imam Ibnu Taimiyah, sebagai berikut:

ونعتقد إلى جانب هذا أن تأويلات الخلف لا توجب الحكم عليهم بكفر ولا فسوق ، ولا تستدعي هذا النزاع الطويل بينهم وبين غيرهم قديما وحديثا ، وصدر الإسلام أوسع من هذا كله
وقد لجأ أشد الناس تمسكا برأي السلف ، رضوان الله عليهم ، إلى التأويل في عدة مواطن ، وهو الإمام أحمد بن حنبل رضي الله عنه ، من ذلك تأويله لحديث : (الحجر الأسود يمين الله في أرضه) وقوله صلى الله عليه وسلم :(قلب المؤمن بين إصبعين من أصابع الرحمن) وقوله صلى الله عليه وسلم : (إني لأجد نفس الرحمن من جانب اليمن)

“Bersamaan ini, kami juga meyakini bawah ta’wil – ta’wil kaum khalaf tidaklah mengharuskan jatuhnya hukum kafir dan fasik kepada mereka, dan jangan sampai terjadi pertentangan berkepanjangan di antara mereka dan selain mereka, baik yang terdahulu dan sekarang, dada Islam lebih luas dari itu semua.

Orang yang paling kuat dalam memegang pendapat salaf –semoga Allah meridhai mereka- pun telah melakukan ta’wil pada beberapa tempat, dia adalah Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu.

Di antaranya adalah ta’wilnya terhadap hadts: “Hajar Aswad adalah Tangan Kanan Allah di muka bumi.” Dan hadits lainnya: “Hati seorang mu’min berada di antara dua jari dari jari-jari Ar Rahman.” Dan hadits: “Sesungguhnya saya mendapatkan Zat Ar Rahman dari arah Yaman.” (Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu’ah Ar Rasail, Hal. 368. Al Maktabah At Tafiqiyah)

1. Sikap pertama: Tatsbit (menetapkan apa adanya sesuai zhahir nash)

Berkata Al Ustadz Hasan Al Banna Rahima hullah:

أما السلف رضوان الله عليهم فقالوا: نؤمن بهذه الآيات والأحاديث كما وردت ، ونترك بيان المقصود منها لله تبارك وتعالى , فهم يثبتون اليد والعين والأعين والاستواء والضحك والتعجب… الخ , وكل ذلك بمعانٍ لا ندركها , ونترك لله تبارك وتعالى الإحاطة بعلمها , ولاسيما و قد نهينا عن ذلك في قول النبي صلى الله عليه وسلم : (تفكروا في خلق الله , و لا تتفكروا في الله , فإنكم لن تقدروا قدره )

“Ada pun salaf –semoga Allah meridhai mereka semua – mengatakan:
Kami mengimani ayat-ayat dan hadits-hadits ini sebagaimana datangnya, dan kami membiarkan maksud penjelasannya   kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, mereka itsbat (menetapkan) tangan, mata, bersemayam , tertawa, dan takjub .. dan seterusnya, dan semua ini dengan makna-makan yang kami tidak mampu mencapainya, dan kami serahkan kepada  Allah Tabaraka wa Ta’ala tentang cakupkan pengertianNya.

Dan apalagi kami telah dilarang dalam hal ini sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

Berpikirlah tentang ciptaan Allah, jangan kalian berpikir tentang zat Allah, sesungguhnya kalian tidak akan mampu menjangkau nya.”
(Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu’ah Ar Rasail, Hal. 362. Al Maktabah At Taufiqiyah)

Syaikh Hasan Al Banna memberikan informasi kepada kita bahwa sikap salaf terhadap ayat dan hadits-hadits yang berbicara sifat-sifat Allah Ta’ala, adalah tatsbit yakni menetapkan maknanya apa adanya sesuai sebagaimana datangnya ayat. Hal ini juga ditetapkan oleh Imam lainnya.

Imam Ibnu Taimiyah mengutip dari Imam Al Baihaqi Rahimahullah sebagai berikut:

“Ada pun para pendahulu umat ini, mereka tidak menafsirkan apa yang kami tulis berupa ayat atau khabar (hadits) dalam masalah ini, begitu pula ayat tentang: “bersemayam di atas ‘arys” dan seluruh sifat khabariyah, “ beliau juga menceritakan ucapan sebagian ulama belakangan tentang masalah ini.

Al Qadhi Abu Ya’ala mengatakan dalam kitab Ibthalul Ta’wil:

“Tidak boleh menolak khabar (hadits) ini dan tidak disibukkan menta’wilnya dan wajib membawa (makna)nya kepada zhahirnya, sesungguhnya sifat-sifat Allah Ta’ala tidaklah serupa dengan semua sifat-sifat yang disandarkan kepada makhluk, dan tidak boleh meyakini di dalamnya terdapat tasybih, tetapi seperti apa yang diriwayatkan dari Imam Ahmad dan semua Imam lainnya.”

Beliau (Al Baihaqi) juga menyebut sebagian ucapan dari Az Zuhair, Mak-hul, Malik, Ats Tsauri, Al Auza’i, Laits bin Sa’ad, Hammad bin Zaid, Hammad bin Salamah, Sufyan bin  ‘Uyainah, Al Fudhail,  Al Waki, Abdurrahman bin Mahdi,  Al Aswad bin Salim, Ishaq bin Rahawaih,  Abu ‘Ubaidah, Muhammad bin Jarir Ath Thabari, dan lain-lain, tentang permasalahan ini.” (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 1/426)

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani mengutip dari Syaikh Syihabuddin As Sahrawardi sebagai berikut:

أَخْبَرَ اللَّه فِي كِتَابه وَثَبَتَ عَنْ رَسُوله الِاسْتِوَاء وَالنُّزُول وَالنَّفْس وَالْيَد وَالْعَيْن ، فَلَا يُتَصَرَّف فِيهَا بِتَشْبِيهٍ وَلَا تَعْطِيل ، إِذْ لَوْلَا إِخْبَار اللَّه وَرَسُوله مَا تَجَاسَرَ عَقْل أَنْ يَحُوم حَوْل ذَلِكَ الْحِمَى ، قَالَ الطِّيبِيُّ : هَذَا هُوَ الْمَذْهَب الْمُعْتَمَد وَبِهِ يَقُول السَّلَف الصَّالِح

Berkata Syaikh Syihabuddin As Sahrawardi dalam kitabnya ‘Al Aqidah’ :

“Allah telah mengabarkan dalam Al Quran dan Rasul juga telah menetapkan tentang  bersemayam, turun, jiwa, tangan, dan mata. Itu semua tidak boleh disikapi dengan penyerupaan dan tidak pula pengingkaran.

Jikalau tidak dikabarkan oleh Allah dan RasulNya, maka akal pun tidak boleh lancang untuk menerka-nerkanya.”

Berkata Ath Thayyibi: “Inilah madzhab yang kuat, yang merupakan pendapat salafus shalih.” (Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 20/484)

Apa yang dikatakan Syaikh Syihabuddin As Sahrawardi ini mirip dengan apa yang dikatakan oleh Al Ustadz Hasan Al Banna.

Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu ditanya tentang hadits-hadits sifat, dia menjawab:

أمرها كما جاءت، بلا تفسير

“Biarkan saja sebagaimana datangnya, jangan tafsirkan.” (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam an Nubala, 8/105)

Imam Malik juga berkata:

مَنْ وَصَفَ شَيْئًا مِنْ ذَاتِ اللَّهِ مِثْلَ قَوْلِهِ { وَقَالَتْ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ } فَأَشَارَ بِيَدِهِ إلَى عُنُقِهِ ، وَمِثْلُ قَوْلِهِ { وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ } فَأَشَارَ إلَى عَيْنِهِ وَأُذُنِهِ أَوْ شَيْئًا مِنْ يَدَيْهِ قُطِعَ ذَلِكَ مِنْهُ لِأَنَّهُ شَبَّهَ اللَّهَ بِنَفْسِهِ ، ثُمَّ قَالَ مَالِكٌ : أَمَا سَمِعْت قَوْلَ الْبَرَاءِ حِينَ حَدَّثَ { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَا يُضَحِّي بِأَرْبَعٍ مِنْ الضَّحَايَا وَأَشَارَ الْبَرَاءُ بِيَدِهِ كَمَا أَشَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ الْبَرَاءُ وَيَدَيَّ أَقْصَرُ مِنْ يَدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ } فَكَرِهَ الْبَرَاءُ أَنْ يَصِفَ يَدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إجْلَالًا لَهُ وَهُوَ مَخْلُوقٌ فَكَيْفَ الْخَالِقُ الَّذِي لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ انْتَهَى

“Barangsiapa yang mensifati Zat Allah Ta’ala dengan sesuatu, misal firmanNya:

“Orang Yahudi berkata tangan Allah terbelenggu” lalu dia mengisyaratkan tangannya ke lehernya, menyilangkan tangannya, dan demikian msalnya kata ‘Mendengar’, ‘Melihat’,  dia mengisyaratkan tangannya ke telinga, mata, atau sebagian dari kedua tangannya, maka ia telah melakukan kesalahan, karena dia telah menyerupakan Allah Ta’ala dengan dirinya.”

Lalu Malik berkata: “Tidakkah kau dengan ucapan Al Barra’ ketika dia berkata: Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah berkurban dengan empat kurban, dia mengisyaratkan dengan  tangannya sebagaimana Nabi mengisyaratkan dengan tangannya.

Al Barra berkata: Tanganku lebih pendek dari tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka, Al Barra tidak suka menyifati tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai penghormatan terhadapnya, padahal Nabi adalah makhluk. Maka, bagaimana dengan Al Khaliq yang tiada satu pun yang serupa denganNya?” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Al Fatawa Al Kubra, 10/122. Imam Al Qurthubi, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, 11/256.

Imam Abu Hayyan Muhamamd bin Yusuf bin Ali bin Yusuf bin Hayyan, Al Bahr Al Muhith, 8/128)
Berkata Imam  Ash Shabuni, dalam kitab Aqidah As Salaf wa Ashab Al Hadits, sebagaimana yang dikutip dalam catatan kaki kitab I’tiqad Aimmah Al Hadits:

وجاء ربك والملك صفا صفا ونؤمن بذلك كله على ما جاء

“Dan Datanglah Rabmu dan Malaikat bershaf-shaf,”  dan kami mengimaninya semuanya sebagaimana datangnya.
(Syaikh Abu Bakar Al Isma’ili, I’tiqad Aimmah Al Hadits, Hal. 13)

Ketika mengomentari surat Al A’raf ayat 54, “Tsummastawa ‘alal ‘arsy.” Imam Ibnu Katsir berkata:

وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري،والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل

Sesungguhnya cara yang ditempuh oleh madzhab salafus shalih dalam hal ini, seperti Malik, Al Auza’i, Ats Tsauri, Al Laits bin Sa’ad, Asy Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih, dan lain-lain, dari kalangan Imam muslimin baik dahulu maupun sekarang.

Mereka membiarkan  sebagaimana datangnya dengan tanpa bertanya bagaimana, tanpa menyerupakan, dan tanpa mengingkari. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 3/427)

Imam Abul Hasan Al Asy’ari sendiri mengikuti madzhab tatsbit sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Taimiyah:

وَأَمَّا الْأَشْعَرِيُّ نَفْسُهُ وَأَئِمَّةُ أَصْحَابِهِ فَلَمْ يَخْتَلِفْ قَوْلُهُمْ فِي إثْبَاتِ الصِّفَاتِ الْخَبَرِيَّةِ وَفِي الرَّدِّ عَلَى مَنْ يَتَأَوَّلُهَا كَمَنْ يَقُولُ : اسْتَوَى بِمَعْنَى اسْتَوْلَى . وَهَذَا مَذْكُورٌ فِي كُتُبِهِ كُلِّهَا كَ ” الْمُوجَزِ الْكَبِيرِ ” وَ ” الْمَقَالَاتِ الصَّغِيرَةِ وَالْكَبِيرَةِ ” وَ ” الْإِبَانَةِ ” وَغَيْرِ ذَلِكَ . وَهَكَذَا نَقَلَ سَائِر النَّاسِ عَنْهُ حَتَّى الْمُتَأَخِّرُونَ كَالرَّازِيَّ وَالْآمِدِيَّ يَنْقُلُونَ عَنْهُ إثْبَاتَ الصِّفَاتِ الْخَبَرِيَّةِ وَلَا يَحْكُونَ عَنْهُ فِي ذَلِكَ قَوْلَيْنِ

“Ada pun Al Asy’ari sendiri dan juga para imam yang mengikutinya, mereka tidaklah berbeda pendapat  dalam menetapkan (itsbat) sifat-sifat khabariyah dan dalam membantah orang-orang yang menta’wilkannya, seperti orang yang mengatakan: istawa (bersemayam) maknanya adalah istawla (menguasai).

Ini disebutkan dalam semua kitabnya, seperti Al Mujazi Al Kabir, Al Maqallat Ash Shaghirah wal Kabirah, dan Al Ibanah,  dan yang lainnya.

Dan seperti itulah semua manusia mengutip darinya, sampai generasi muta’akhirun (belakangan) seperti Ar Razi dan Al Amidi, mengutip  darinya tentang itsbat (penetapan) terhadap sifat-siifat khabariyah, dan tidak diceritakan darinya tentang hal ini adanya dua pendapat.”
(Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 3/94)

Sementara Imam Ibnu Furak, salah satu pengikut Imam Al Asy’ari,  juga melakukan tatsbit, sebagaimana yang dikatakan Syaikhul Islam.

فَصْلٌ هَذَا مَعَ أَنَّ ابْنَ فورك هُوَ مِمَّنْ يُثْبِتُ الصِّفَاتِ الْخَبَرِيَّةَ كَالْوَجْهِ وَالْيَدَيْنِ وَكَذَلِكَ الْمَجِيءُ وَالْإِتْيَانُ . مُوَافَقَةً لِأَبِي الْحَسَنِ فَإِنَّ هَذَا قَوْلُهُ وَقَوْلُ مُتَقَدِّمِي أَصْحَابِهِ

“Pembahasan ini tentang Ibnu Furak, dia termasuk diantara yang menetapkan sifat-sifat khabariyah seperti wajah, dua tangan, dan seperti itulah maknanya sebagaimana datangnya. Sesuai  dengan Abul Hasan, dan sesungguhnya ini adalah pendapatnya dan pendapat para pendahulu dari sahabat-sahabatnya.” (Ibid, 3/409)

Imam Muhammad bin Al Hasan Rahimahullah -beliau adalah murid Imam Abu Hanifah- mengatakan:

اتفق الفقهاء كلهم من المشرق إلى المغرب على الإيمان بالقرآن والأحاديث التي جاء بها الثقات في صفة الرب عز وجل من غير تفسير ولا وصف ولا تشبيه، فمن فسر اليوم شيئا من ذلك فقد خرج مما كان عليه النبي صلى الله عليه وسلم وفارق الجماعة، فإنهم لم يصفوا ولم يفسروا ولكن أفتوا بما في الكتاب والسنة ثم سكتوا

“Seluruh ahli fiqih sepakat, baik timur dan barat, tentang keimanan terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits tentang sifat Allah ‘Azza wa Jalla yang telah diriwayatkan dari orang terpercaya, tanpa tafsir (interpretasi), washf (menyifati dengan sifat yang tidak layak), tasybih (merupai dengan makhluk), barang siapa yang hari ini melakukan penafsiran, maka dia telah keluar dari jalan yang tempuh oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berpisah dari jamaah.

Demikian itu, karena mereka tidak pernah mensifati, tidak menafsirkan, tetapi mereka menerangkan dengan apa-apa yang ada dalam Al Quran dan As Sunnah, lalu diam.” (Imam Ibnul Qayyim, Ijtima’ Al Juyusy Al Islamiyah, Hal. 64. Syaikh Dr Abdullah ‘Azzam, Aqidah wa Atsaruha fi Bina’ Al Jiil, Hal. 56. Al Hafizh Ibnu Hajar, Fathul Bari, 20/494. Imam Abu Thayyb Syamsul Haq Al ‘Azhim, ‘Aunul Ma’bud, 10/245)

Al Khalal berkata: telah mengabarkanku Ali bin ‘Isa bahwa Hambal berkata kepada mereka: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hambal) tentang hadits yang meriwayatkan bahwa ‘Allah Ta’ala turun ke langit dunia’, ‘Allah melihat’, ‘Allah meletakkan kakiNya’ , dan hadits-hadits semisalnya?

Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu menjawab:

نؤمن بها ونصدق بها، ولا نَرُدُّ منها شيئاً، ونعلم أن ما جاء به رسول الله صلى الله عليه وسلم حق إذا كانت أسانيد صحاح، ولا نرد على الله قوله، ولا يوصف بأكثر مما وصف به نفسه بلا حد ولا غاية ” لَيْسَ كَمِثْلِهِ شيءٌ وَهُوَ السّمِيع البَصيرُ

“Kami mengimaninya dan membenarkannya, kami tidak membantahnya sama sekali, dan kami mengetahui bahwa apa-apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah benar, jika sanadnya shahih, dan kami tidaklah membantah firmanNya, dan kami tidaklah mensifatiNya lebih banyak dari Dia sifatkan terhadap diriNya, dengan tanpa batas, dan tanpa ujung.

“Tidak ada yang serupa denganNya, dan Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (Imam Ibnul Qayyim, Ijtima’ Al Juyusy Al Islamiyah, Hal. 61. Syaikh Dr. Abdullah ‘Azzam, Aqidah wa Atsaruha fi Bina’ Al Jiil, Hal. 57)

Apa yang dikatakan oleh Iman Ahmad bin Hambal ini mirip dengan yang dikatakan oleh Imam Hasan Al Banna, berikut:

ومعرفة الله تبارك وتعالى وتوحيده وتنزيهه أسمى عقائد الإسلام ، وآيات الصفات وأحاديثها الصحيحة وما يليق بذلك من التشابه , نؤمن بها كما جاءت من غير تأويل ولا تعطيل , ولا نتعرض لما جاء فيها من خلاف بين العلماء , ويسعنا ما وسع رسول الله صلى الله عليه وسلم وأصحابه (وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا) (آل عمران:7)

“Ma’rifah kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dan mengesakanNya, serta mensucikan zatNya merupakan setinggi-tingginya aqidah Islam. dan Ayat-ayat sifat serta hadits-hadits shahih tentangnya, serta berbagai keterangan mutasyabihat tentangnya, kita mengimaninya sebagaimana datangnya tanpa ta’wil dan tanpa ta’thil (mengingkari), serta tidak mempertajam perselsihan yang terdapat pada ulama, kita telah melapangkan diri sebagaimana   Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam dan sahabatnya telah melapangkan.

“Dia-lah yang menurunkan Al kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat.

Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya,

Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” (QS. Ali Imran (3): 7) (Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu’ah Ar Rasail, Hal. 306. Al Maktabah At Taufiqiyah)

Oleh karena itu, jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang benar, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir berikut:

فمن أثبت لله تعالى ما وردت به الآيات الصريحة والأخبار الصحيحة، على الوجه الذي يليق بجلال الله تعالى، ونفى عن الله تعالى النقائص، فقد سلك سبيل الهدى

“Maka, siapa saja yang menetapkan Allah Ta’ala sebagaimana  yang dijelaskan oleh ayat-ayat yang terang dan hadits-hadits yang shahih, sesuai dengan hal yang  pantas bagi keagungan Allah Ta’ala, dan meniadakan kekurangan bagiNya, maka dia telah menumpuh jalan pentunjuk.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 3/427)

Abdul Aziz bin Abdullah bin Abi Salamah Al Majisyun mengatakan – sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar Al Atsram, Abu Amr Ath Thalmanki, Abu Abdillah bin Baththah, dengan pembahasan yang cukup panjang, hingga akhirnya dia berkata:

فَمَا وَصَفَ اللَّهُ مِنْ نَفْسِهِ فَسَمَّاهُ عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ سَمَّيْنَاهُ كَمَا سَمَّاهُ وَلَمْ نَتَكَلَّفْ مِنْهُ صِفَةَ مَا سِوَاهُ لَا هَذَا وَلَا هَذَا لَا نَجْحَدُ مَا وَصَفَ وَلَا نَتَكَلَّفُ مَعْرِفَةَ مَا لَمْ يَصِفْ

“Maka, apa saja yang Allah Ta’ala sifatkan untuk diriNya dan yang disifatkan oleh RasulNya, maka kami menamakannya sebagaimana Allah dan RasulNya telah namakan. Kami tidaklah membebani diri mensifatiNya dengan sifat-sifat lain, tidak yang ini tidak pula yang itu.

Kami tidak menolak kata yang dipakai untuk menyifati  dan tidak pula mencari-cari pengertian yang tidak dituturkan.” (Imam Ibnu Taimiyah, Al Fatawa Al Kubra, 10/122)

Demikianlaih madzhab tatsbit.

Sikap mereka terhadap ayat dan hadits-hadits sifat adalah, mereka diam, tidak membahas, membiarkan apa adanya, memahami sebagaimana datangnya, tanpa tafsir, ta’wil, tasybih, dan tahrif.

Namun, ada pula ulama ya!ng menganggap apa yang mereka lakukan ini bukanlah tatsbit (menetapkan apa adanya sesuai zhahir nash), tetapi tafwidh (menyerahkan makna dan pengetahuannya kepada Allah Ta’ala).

Oleh karena itu, jangan kaget jika sebagian Imam Ahlus Sunnah justru mengatakan tafwidh adalah madzhab salaf yang sesungguhnya. Walau  Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mencela tafwidh dengan celaan yang sangat keras.

Wallahu A’lam

Bersambung

Bagian 2: Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Asma’ul Husna dan Shifat Al ‘Ulya (bag-2)


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Rizki Halal

Hukum Jual Beli Kucing

Pertanyaan

Assalamualaikum..
Ustadz, sya mau tnya ttg bagaimana hukum jual beli kucing. Karena saat ini utk memelihara kucing yg bagus, kbanyakan kita harus mmbelinya dgn uang yg tdk sedikit
Syukron
I5

Jawaban

✏ Oleh: Ust. Farid Nu’man Hasan, SS

Wa ‘Alaikum salam wa rahmatullah wa barakatuh. BIsmillah wal hamdulillahirabbil ‘alamin, wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Man walah, wa ba’d:

Ada beberapa hadits yang menunjukkan larangan jual beli kucing. Di antaranya:

Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ثمن الكلب والسنور

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang harga dari Anjing dan Kucing.” (HR. At Tirmidzi No. 1279, Abu Daud No. 3479, An Nasa’i No. 4668, Ibnu Majah No. 2161, Al-Hakim No. 2244, 2245, Ad Daruquthni No. 276, Al-Baihaqi, As Sunan Al-KubraNo. 10749, Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf, 54/4. Abu Ya’la No. 2275)

Imam At Tirmidzi mengatakan, hadits ini idhthirab(guncang), dan tidak shahih dalam hal menjual kucing. (Lihat Sunan At Ttirmidzi No. 1279) dan Imam An Nasa’i mengatakan hadits ini: munkar!(Lihat Sunan An Nasa’i No. 4668)

Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al-Mubarakfuri Rahimahullah mengatakan:

وقال الخطابي: وقد تكلم بعض العلماء في إسناد هذا الحديث. وزعم أنه غير ثابت عن النبي صلى الله عليه وسلم. وقال أبو عمر بن عبد البر: حديث بيع السنور لا يثبت رفعه. هذا آخر كلامه

“Berkata Al-Khathabi: sebagian ulama membicarakan isnad hadits ini dan mengira bahwa hadits ini tidak tsabit (shahih) dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Berkata Abu Umar bin Abdil Bar: hadits tentang menjual kucing tidak ada yang shahih marfu’. Inilah akhir ucapannya.” (Syaikh Muhammad bin Abdurrahman Al-Mubarakfuri, Tuhfah Al-Ahwadzi, 4/501. Cet. 2, 1383H-1963M. Maktabah As Salafiyah. Lihat juga Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi,‘Aunul Ma’bud, 9/271. Darul Kutub Al-‘Ilmiyah)

Berkata Imam Ibnu Abdil Bar Rahimahullah:

وليس في السنور شيء صحيح وهو على أصل الإباحة وبالله التوفيق

“Tidak ada yang shahih sedikit pun tentang kucing, dan dia menurut hukum asalnya adalah mubah (untuk dijual). (Imam Ibnu Abdil Bar, At Tamhid, 8/403. Muasasah Al-Qurthubah)

Pendhaifan yang dilakukan para imam di atas telah dikritik oleh Imam lainnya. Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

 وَأَمَّا مَا ذَكَرَهُ الْخَطَّابِيّ وَأَبُو عَمْرو بْن عَبْد الْبَرّ مِنْ أَنَّ الْحَدِيث فِي النَّهْي عَنْهُ ضَعِيف فَلَيْسَ كَمَا قَالَا ، بَلْ الْحَدِيث صَحِيح رَوَاهُ مُسْلِم وَغَيْره . وَقَوْل اِبْن عَبْد الْبَرّ: إِنَّهُ لَمْ يَرْوِهِ عَنْ أَبِي الزُّبَيْر غَيْر حَمَّاد بْن سَلَمَة غَلَط مِنْهُ أَيْضًا ؛ لِأَنَّ مُسْلِمًا قَدْ رَوَاهُ فِي صَحِيحه كَمَا يُرْوَى مِنْ رِوَايَة مَعْقِل بْن عُبَيْد اللَّه عَنْ أَبِي الزُّبَيْر ؛ فَهَذَانِ ثِقَتَانِ رَوَيَاهُ عَنْ أَبِي الزُّبَيْر ، وَهُوَ ثِقَة أَيْضًا . وَاَللَّه أَعْلَم

“Ada pun apa yang dikatakan Al-Khathabi dan Ibnu Abdil Bar, bahwa hadits ini dhaif, tidaklah seperti yang dikatakan mereka berdua, bahkan hadits ini shahih diriwayatkan oleh Imam Muslim dan selainnya. Sedangkan ucapan Ibnu Abdil Bar bahwa tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Abu Az Zubair selain Hammad bin Salamah saja, itu merupakan pernyataan yang salah darinya juga, karena Imam Muslim telah meriwayatkan dalam Shahihnya sebagaimana diriwayatkan dari riwayat Ma’qil bin Abaidillah dari Abu Az Zubair, dan keduanya adalah tsiqah, dan dua riwayat dari Az Zubair juga tsiqah . ” (Imam An Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/420. Mawqi’ Ruh Al-Islam. Lihat juga Imam Al-Mula ‘Ali Al-Qari, Mirqah Al-Mafatih Syarh Misykah Al-Mashabih, Mawqi’ Ruh Al-Islam.)

Berkata Syaikh Al-Mubarakfuri Rahimahullah:

لا شك أن الحديث صحيح فإن مسلما أخرجه في صحيحه كما ستعرف

“Tidak ragu lagi, bahwa hadits ini adalah shahih karena Imam Muslim telah mengeluarkannya dalam kitab Shahihnya sebagaimana yang akan kau ketahui.” (Tuhfah Al-Ahwadzi, 4/500)

Imam Al-Mundziri Rahimahullah mengatakan:

والحديث أخرجه البيهقي في السنن الكبرى من طريقين عن عيسى بن يونس وعن حفص بن غياث كلاهما عن الأعمش عن أبي سفيان عن جابر ثم قال: أخرجه أبو داود في السنن عن جماعة عن عيسى بن يونس . قال البيهقي: وهذا حديث صحيح على شرط مسلم دون البخاري

“Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam As Sunan Al-Kubra dari dua jalan, dari ‘Isa bin Yunus dan dari Hafsh bin Ghiyats, keduanya dari Al-A’masy dari Abu Sufyan dari Jabir. Kemudian dia berkata: Abu Dua mengeluarkannya dalam As Sunan, dari Jamaah dari ‘Isa bin Yunus. Berkata Al-Baihaqi: Hadits ini shahih sesuai syarat Muslim tanpa Al-Bukhari.” (Tuhfah Al-Ahwadzi , 4/500-501, ‘Aunul Ma’bud , 9/270)

Syaikh Al-Albani Rahimahullah menshahihkan hadits ini, menurutnya hadits ini memiliki tiga jalur yang satu sama lain saling menguatkan. (As Silsilah Ash Shahihah, 6/1155, No. 2971)

Hadits Imam Muslim yang dimaksud adalah: dari Abu Az Zubair, dia berkata:

سألت جابرا عن ثمن الكلب والسنور؟ قال: زجر النبي صلى الله عليه وسلم عن ذلك

Aku bertanya kepada Jabir tentang harga anjing dan kucing? Beliau berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang hal itu.” (HR. Muslim No. 1569, Ibnu Hibban No. 4940)

Hadits ini shahih. Dan, secara zhahir menunjukkan keharaman jual beli kucing, Imam An Nawawi menyebutkan:

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَة وَطَاوُسٍ وَمُجَاهِد وَجَابِر بْن زَيْد أَنَّهُ لَا يَجُوز بَيْعه ، وَاحْتَجُّوا بِالْحَدِيثِ

Dari Abu Hurairah, Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, bahwa tidak boleh menjual kucing. Mereka berhujjah dengan hadits ini. (Al Minhaj, 5/420)

Dalam Nailul Authar, Imam Asy Syaukani mengatakan:

وفيه دليل على تحريم بيع الهروبه قال أبو هريرة ومجاهد وجابر وابن زيد

“Dalam hadits ini terdapat dalil haramnya menjual kucing, inilah pendapat Abu Hurairah, Jabir, dan Ibnu Zaid.” (Nailul Authar, 5/145)

Nampak ada perbedaan dengan apa yang dikatakan Imam An Nawawi dan Imam Abu Thayyib yang menyebutkan Jabir bin Zaid (sebagai satu orang), sedangkan di sisi lain Imam Asy Syaukani dan Syaikh Al-Mubarakuri menyebut Jabir, lalu Ibnu Zaid, sebagai dua orang yang berbeda.

Perbedaan lain adalah tentang posisi Thawus. Beliau disebut oleh Imam An Nawawi (dalam Al-Minhaj) dan Imam Abu Thayyib (dalam ‘Aunul Ma’bud) termasuk yang mengharamkan, tetapi oleh Imam Asy Syaukani (dalam Nailul Authar) dan Syaikh Al-Mubarakfuri (Tuhfah Al-Ahwadzi)disebutkan bahwa Thawus membolehkan menjual kucing. Wallahu A’lam

Ada pun jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa menjual kucing adalah boleh, karena dhaifnya hadits tersebut. (Tuhfah Al-Ahwadzi, 4/500). Namun, yang benar adalah hadits tersebut adalah shahih sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dan lainnya.

Tetapi, apakah makna pelarangan ini? Apakah bermakna haram? Demikianlah yang menjadi pandangan sebagian ulama. Namun sebagian lain mengartikan bahwa larangan ini menunjukkan makruh saja, yaitu makruh tanzih (makruh yang mendekati kebolehan) sebab menjual kucing bukanlah perbuatan yang menunjukan akhlak baik dan muru’ah (citra diri). (Ibid)

Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan;

 وَأَمَّا النَّهْي عَنْ ثَمَن السِّنَّوْر فَهُوَ مَحْمُول عَلَى أَنَّهُ لَا يَنْفَع ، أَوْ عَلَى أَنَّهُ نَهْي تَنْزِيه حَتَّى يَعْتَاد النَّاس هِبَته وَإِعَارَته وَالسَّمَاحَة بِهِ كَمَا هُوَ الْغَالِب . فَإِنْ كَانَ مِمَّا يَنْفَع وَبَاعَهُ صَحَّ الْبَيْع ، وَكَانَ ثَمَنه حَلَالًا هَذَا مَذْهَبنَا وَمَذْهَب الْعُلَمَاء كَافَّة إِلَّا مَا حَكَى اِبْن الْمُنْذِر . وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَة وَطَاوُسٍ وَمُجَاهِد وَجَابِر بْن زَيْد أَنَّهُ لَا يَجُوز بَيْعه ، وَاحْتَجُّوا بِالْحَدِيثِ . وَأَجَابَ الْجُمْهُور عَنْهُ بِأَنَّهُ مَحْمُول عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ ، فَهَذَا هُوَ الْجَوَاب الْمُعْتَمَد

“Ada pun tentang larangan mengambil harga kucing, hal itu dimungkinkan karena hal itu tidak bermanfaat, atau larangannya adalah tanzih, sehingga manusia terbiasa menjadikannya sebagai barang hibah saja, ada yang menelantarkannya, dan bermurah hati, sebagaimana yang biasa terjadi. Jika dia termasuk yang membawa manfaat maka menjualnya adalah penjualan yang sah dan harganya adalah halal. Inilah pendapat madzhab kami dan madzhab semua ulama kecuali apa yang diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir. Bahwa dari Abu Hurairah, Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, mereka tidak membolehkan menjualnya, mereka berhujjah dengan hadits tersebut. Jumhur menjawab bahwa hadits tersebut maknanya sebagaimana yang kami sebutkan, dan ini adalah jawaban yang dapat dijadikan pegangan.” (Al Minhaj, 5/420. Mawqi’ Ruh Al-Islam)

Demikian. Jadi menurut mayoritas ulama, larangan itu bukan bermakna haram tetapi masalah kepantasan dan adab, sebab memang kucing bukan hewan yang biasa diperjualbelikan sebab keberadaannya yang mudah didapat, dan manusia pun biasanya bisa seenaknya saja memeliharanya atau dia membiarkannya. Tetapi, bagi yang ingin berhati-hati dengan mengikuti pendapat yang mengharamkannya, tentu bukan pilihan yang salah. Perbedaan dalam hal ini sangat lapang, dan tidak boleh ada sikap keras dalam mengingkari. Wallahu A’lam

Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Alihi wa Shahbihi ajma’in


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Iddah Waktu Menunggu

Wanita Bekerja Saat Iddah

Pertanyaan

Assalamu’alaikum wr wb
Ustadzah , misalnya masih dalam proses cerai, dan urusannya Belum selesai tapi  si istri memutuskan untuk pergi bekerja keluar negeri itu bagaimana masa iddah-nya, Ustadzah?

Jazakillah
Sumiati grup A85

✏Jawaban

Oleh: Ustadzah Indra Asih

Masih ada salah kaprah di masyarakat kita, yaitu ketika seorang suami menjatuhkan talak ra’jiy atau menceraikan istrinya. Maka statusnya langsung bukan suami istri. Maka baru saja talak terjadi dan belum habis masa iddah, semua sudah dipisahkan. Istri langsung pulang ke rumah orang tua, barang-barang punya istri langsung diangkat dan harta langsung dipisahkan.

Talak satu dan dua masih bisa balik rujuk (talak raj’iy)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang baik atau menceraikan dengan baik” (Al-Baqarah: 229)

Dan selama itu suami berhak merujuk kembali walaupun tanpa persetujuan istri.

Allah Ta’ala berfirman,

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (masa ‘iddah). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa ‘iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah” (Al Baqarah: 228).

Jangan segera berpisah

Suami istri bahkan diperintahkan tetap tinggal satu rumah. Demikianlah ajaran islam, karena dengan demikian suami diharapkan bisa menimbang kembali dengan melihat istrinya yang tetap di rumah dan mengurus rumahnya.

Demikian juga istri diharapkan mau ber-islah karena melihat suami tetap memberi nafkah dan tempat tinggal.

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا النَّفَقَةُ وَالسُّكْنَى لِلْمَرْأَةِ إِذَاكَانَ لِزَوْجِهَا عَلَيْهَا الرَّجْعَةُ

“Nafkah dan tempat tinggal adalah hak istri, jika suami memiliki hak rujuk kepadanya.”

Allah Ta’ala berfirman,

لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

“Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.” QS. Ath Thalaq: 1.

Ibnu Katsir rahimahullah menafsirkan,

وَقَوْلُهُ: {لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ} أَيْ: فِي مُدَّةِ الْعِدَّةِ لَهَا حَقُّ السُّكْنَى عَلَى الزَّوْجِ مَا دَامَتْ مُعْتَدَّةً مِنْهُ، فَلَيْسَ لِلرَّجُلِ أَنْ يُخْرِجَهَا، وَلَا يَجُوزَ لَهَا أَيْضًا الْخُرُوجُ لِأَنَّهَا مُعْتَقَلَةٌ (3) لِحَقِّ الزَّوْجِ أَيْضًا

“Yaitu: dalam jangka waktu iddah, wanita mempunyai hak tinggal di rumah suaminya selama masih masa iddah dan tidak boleh bagi suaminya mengeluarkannya. Tidak bolehnya keluar dari rumah karena statusnya masih wanita yang ditalak dan masih ada hak suaminya juga (hak untuk merujuk).”

Istri yang ditalak raj’iy berdosa jika keluar dari rumah suami

Al-Qurthubi rahimahullah menafsirkan,

: أي ليس للزوج أن يخرجها من مسكن النكاح ما دامت في العدة ولا يجوز لها الخروج أيضاً الحق الزوج إلا لضرورة ظاهرة؛ فإن خرجت أثمت ولا تنقطع العدة

“yaitu tidak boleh bagi suami mengeluarkan istrinya dari rumahnya selama masih masa iddah dan tidak boleh bagi wanita keluar juga karena (masih ada) hak suaminya kecuali pada keadaan darurat yang nyata. Jika sang istri keluar maka ia berdosa dan tidaklah terputus masa iddahnya.”

WallahuA’lam


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Halal Tanpa Thoyyib

Hukum Vaksinasi

Pertanyaan

Ustadz mau tanya diluar pembahasan diatas, terkait dengan vaksinasi/imunisasi utk bayi,bgmna hukumnya menurut syari’at islam? Mohon penjelasannya ust,..syukran (jupriadi-i44)

Jawaban:

✏Ust. Farid Nu’man Hasan

Ada dua pendapat dalam masalah ini:

1.       Mengharamkan

Jika terbukti ada unsur2 yang diharamkan, seperti Babi, baik minyak, daging, atau apa saja darinya. Dalilnya jelas yaitu keharaman Babi itu sendiri, dan  kaidah fiqih yang berbunyi:

إذَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ غَلَبَ الْحَرَامُ

“Jika Halal dan haram bercampur maka yang haramlah yang menang (dominan).”

Kaidah ini berasal dari riwayat mauquf dari Ibnu Mas’d sebagai berikut:

مَا اجْتَمَعَ الْحَلَالُ وَالْحَرَامُ إلَّا غَلَبَ الْحَرَامُ الْحَلَالَ

“Tidakah halal dan haram bercampur melainkan yang haram akan mengalahkan yang halal.”

Imam As Suyuti Rahimahullah mengomentari riwayat ini, katanya:

قَالَ الْحَافِظُ أَبُو الْفَضْلِ الْعِرَاقِيُّ : وَلَا أَصْلَ لَهُ ، وَقَالَ السُّبْكِيُّ فِي الْأَشْبَاهِ وَالنَّظَائِرِ نَقْلًا عَنْ الْبَيْهَقِيّ : هُوَ حَدِيثٌ رَوَاهُ جَابِرٌ الْجُعْفِيُّ، رَجُلٌ ضَعِيفٌ ، عَنْ الشَّعْبِيُّ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ ، وَهُوَ مُنْقَطِعٌ . قُلْت : وَأَخْرَجَهُ مِنْ هَذَا الطَّرِيقِ عَبْدُ الرَّزَّاقِ فِي مُصَنَّفِهِ . وَهُوَ مَوْقُوفٌعَلَى ابْنِ مَسْعُودِ لَا مَرْفُوعٌ . ثُمَّ قَالَ ابْنُ السُّبْكِيّ : غَيْرِ أَنَّ الْقَاعِدَةَ فِي نَفْسِهَا صَحِيحَةٌ

Berkata Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iraqi: “Tidak ada asalnya.” As Subki berkata dalam Al Asybah wan Nazhair, mengutip dari Al Baihaqi: ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir Al Ju’fi, seorang yang dhaif, dari Asy Sya’bi, dari Ibnu Mas’ud, dan hadits ini munqathi’ (terputus). Aku (As Suyuthi) berkata: Abdurrazzaq dalamMushannaf-nya, telah mengeluarkannya dengan jalan ini. Itu adalah riwayat mauquf(terhenti) pada ucapan Ibnu Mas’ud, bukan marfu’(Sampai kepada Rasulullah). Kemudian, berkata Ibnu As Subki: ” “Namun, sesungguhnya kaidahnya sendiri,  yang ada pada hadits ini adalah shahih (benar). (Al Asybah wan Nazhair, 1/194)

Inilah yang dipilih oleh MUI kita, kalau pun mereka membolehkan karena dharurat saja, yaitu dalam keadaan memang tidak ada penggantinya yang halal, atau dalam konteks haji, hanya dibolehkan untuk haji yang wajib bukan haji sunah (haji kedua, ketiga, dst).

2.       Membolehkan.

Ini pendapat dari segolongan Hanafiyah, seperti Imam Abu Ja’far Ath Thahawi. Nampaknya ini juga diikuti oleh ulama kerajaan Arab Saudi.

Alasannya adalah karena ketika sudah menjadi vaksin, maka itu sudah menjadi wujud baru, tidak lagi dikatakan campuran. Sedangkan fiqih melihat pada wujud baru, bukan pada wujud sebelumnya. Dahulu ada sahabat Nabi ﷺ yang membuat cuka berasal dari nabidz anggur (wine). Ini menunjukkan bahwa benda haram, ketika sudah berubah baik karena proses alami atau kimiawi, maka tidak apa-apa dimanfaatkan ketika sudah menjadi wujud baru. Dianggap, unsur haramnya telah lenyap. Hal ini bagi mereka juga berlaku untuk alat-alat kosmetik dan semisalnya. Ini juga yang dipegang oleh Syaikh Al Qaradhawi Hafizhahullah.

Dari kedua pendapat ini, pendapat pertama nampak lebih hati-hati. Di sisi lain, tidaklah apple to apple menyamakan unsur Babi dalam vaksin dengan wine yang menjadi cuka. Sebab, wine berasal dari buah anggur yang halal, artinya memang sebelumna adalah benda halal. Beda dengan Babi, sejak awalnya memang sudah haram.

Pembolehan hanya jika terpaksa, belum ada gantinya yang setara, dan terbukti memang vaksin itu penting, dan pada haji pertama. Kalau ada cara lain, atau zat lain yang bisa menggantikan vaksin tersebut maka itulah yang kita pakai. Ini sekaligus menjadi tantangan bagi ilmuwan muslim untuk menemukannya.

Wallahu A’lam


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Bolehkah Wanita yang Sedang dalam Masa Iddah Bekerja?

Pertanyaan

Assalamu ‘alaikum …….. Ustazah  saya mau nitip pertanyaan dari teman istri.. begini pertanyaannya:
teman saya suami nya meninggal …..sementara dia terikat kerja dg perusahaan …bgmn dg masa iddah nya…
apakah benar2 tidak boleh keluar untuk bekerja slm ms iddah tsb atau bgm? mhn informasinya …jazakillah.

Jawaban

✏ Oleh: Ustadzah Indra Asih

Wanita yang dalam kondisi iddah dibolehkan keluar siang hari untuk bekerja. Kalau telah masuk     malam hari, maka dia harus berdiam diri di rumah.

Jadi  tidak mengapa dia bekerja, jika hal itu dilakukan hanya waktu siang saja.

Ibnu Qudamah rahimahullah di Mugni, 8/130 berkata, “Wanita yang masih dalam iddah dibolehkan keluar untuk memenuhi keperluannya waktu siang hari. Baik idddah karena dicerai atau karena meninggal dunia.

Sebagaimana diriwayatkan Jabir beliau berkata, ‘Bibiku dicerai tiga kali, kemudian beliau keluar  untuk memotong dan memetik kurmanya. Kemudian beliau bertemu dengan seorang  laki-laki yang melarangnya.

Beliau menceritakan hal itu kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam, kemudian beliau bersabda:

اخرجي , فجذي نخلك , لعلك أن تصدّقي منه , أو تفعلي خيرا (رواه النسائي وأبو داود)

 “Keluarlah dan rawatlah pohon kurmamu. Dengan itu engkau dapat bersadaqah darinya atau melakukan kebaikan.” (HR. Nasa’i dan Abu Daud)

وروى مجاهد قال : ( استشهد رجال يوم أحد فجاءت نساؤهم رسول الله صلى الله عليه وسلم وقلن : يا رسول الله صلى الله عليه وسلم ، نستوحش بالليل , أفنبيت عند إحدانا , فإذا أصبحنا بادرنا إلى بيوتنا ؟ فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : تحدثن عند إحداكن , حتى إذا أردتن النوم , فلتؤب كل واحدة إلى بيتها )

Diriwayatkan oleh Mujahid berkata, ‘Beberapa lelaki mati syahid waktu perang Uhud, para para janda mereka mendatangi Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam dan berkata,

‘Wahai Rasulullah, kami takut waktu malam hari. Apakah boleh kami tidur malam di salah seorang diantara kami. Kalau waktu pagi hari kami kembali ke rumah-rumah kami?

Maka Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Berbincang-bincanglah di tempat salah seorang di antara kamu, kalau kalian ingin tidur, kembalilah masing-masing ke rumahnya.”

Seorang wanita tidak diperkenankan tidur malam di selain rumahnya. Tidak juga keluar malam kecuali darurat. Karena malam merupakan sumber kerusakan, berbeda dengan siang. Ia adalah tempat untuk memenuhi kebutuhan dan kehidupan, serta memenuhi keperluan.”


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Al Quran dan Hadits

Sesuatu Yang Boleh & Tidak Boleh Diperjualbelikan

Oleh: Ust. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.

Taujih Nabawi

عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ﴿إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةِ وَالْخِنْزِيرِ وَاْلأَصْنَامِ فَقِيلَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ، فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ ؟ فَقَالَ لاَ هُوَ حَرَامٌ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ ذَلِكَ : قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ شُحُومَهَا جَمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ﴾ (رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ)

Jabir bin ‘Abdullah ra, bahwasanya dia mendengar Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharam kan khamar, bangkai, babi dan patung-patung”.

Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana dengan lemak dari bangkai (sapi dan kambing) karena bisa dimanfaatkan untuk memoles sarung pedang atau meminyaki kulit-kulit dan sebagai bahan minyak untuk penerangan bagi manusia?

Beliau bersabda: “Tidak, dia tetap haram”. Kemudian saat itu juga Rasulullah SAW bersabda: Semoga Allah melaknat Yahudi, karena ketika Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka mencairkannya lalu memperjual belikannya dan memakan uang jual belinya.” (HR. Jamaah)

Takhrij Hadits

Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, Kitab Al-Buyu’, Bab Bai’ul Maitah wal Ashnam, hadits no 2082.

Hadits diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Musaqah, Bab Tahrim bai’ al-khamr wal maitah wal khinzir wal ashnam, hadits no 2960.

Hadits diriwayatkan juga oleh Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Tsamanil Khamri Wal Maitah, hadits no 3025.

Hadits diriwayatkan juga oleh Imam Turmudzi dalam Sunan/ Jami’nya, Kitab Al-Buyu’ an Rasulillah SAW, Bab Ma Ja’a fi Bai’ Juludil Maitah wal ashnam, hadits no 1218.

Hadits diriwayatkan juga oleh Imam Nasa’i dalam Sunannya, Kitab Al-Far’ wal Athirah, Bab An-Nahyu Al-Intifa’ bi Syuhumil Maitah, Hadits no 4183 dan dalam Kitab Al-Buyu’, Bab Bai’ al-Khinzir, Hadits no 4590.

Hadits diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah, dalam Sunannya, Kitab At-Tijarat, Bab Ma La Yahillu Bai’uhu, Hadits No 2158.

Hadits diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya, hadits no. 13971

Makna Umum

Secara umum hadits menggambarkan tentang hukum jual beli, terkait dengan objek jual beli yang diharamkan sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi SAW.

Adapun objek-objek yang diharamkan untuk diperjual belikan sebagaimana yang terdapat dalam hadits di atas adalah :

Khamr; segala minuman yang memabukan dan yang mengandung unsur khamer.

Bangkai; segala hewan yang mati yang tidak disembelih dengan menyebut nama Allah SWT.

Babi; mencakup segala hal yang bersumber dari babi

Berhala; dan segala hal yang digunakan untuk kemusyrikan.

Kemudian selain hal tersebut, Nabi SAW juga melarang jual beli lemak bangkai (minyak yang berasal dari bangkai.

Kendatipun bisa dimanfaatkan untuk melumasi dan campuran cat, namun apabila bersumber dari yang haram maka hukumnya adalah haram untuk diperjual bel

Imam Syaukani mengemuka kan :
Hadits ini merupakan dalil haramnya jual beli lemak yang najis, yaitu lemak atau minyak yang bersumber dari bangkai yang tidak disembelih dengan nama Allah SWT, atau dari hewan yang mati (bangkai).

Haramnya hal tersebut, dikuatkan dengan hadits dari Ibnu Abbas ra :

وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ﴿لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ حُرِّمَتْ عَلَيْهِمْ الشُّحُومُ فَبَاعُوهَا وَأَكَلُوا أَثْمَانَهَا ، وَإِنَّ اللَّهَ إذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ﴾ (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد)

Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Semoga Allah melaknati orang-orang Yahudi (diucapkan sebanyak tiga kali), (karena) Allah mengharamkan atas mereka lemak-lemak itu, tetapi mereka (tetap) menjualnya dan memakan hasil penjualannya.

Sesungguhnya apabila Allah mengharamkan sesuatu pada suatu kaum, maka Allah mengharamkan pula harga sesuatu itu.” (Shahih) Ahadits Al Buyu’.

Syarah Hadits

Haramnya Jual Beli Bangkai

Imam Syaukani mengemuka kan :
Sabda Nabi SAW ( والميتة ) ‘bangkai’. Yang dimaksud bangkai adalah segala hewan yang telah hilang nyawanya tanpa melalui proses penyembelihan yang sesuai syariat.

Dikemukakan oleh Ibnu Mundzir bahwa sudah menjadi ijma’ ulama tentang haramnya jual beli bangkai dan bahkan jual beli bagian tubuh binatang yang telah menjadi bangkai.

Namun dikecualikan dari jual beli bankai ini adalah, segala jenis hewan yang halal dimakan tanpa melalui proses penyembelihan, seperti ikan, cumi-cumi, belalang, dan yang sejenisnya.

Haramnya Jual Beli Babi

Imam Syaukani mengemuka kan :
Sabda Nabi SAW ( والخنزير ) dan babi; adalah dalil jual beli babi dan seluruh bagian dari babi.

Ibnu Hajar Al-Atsqalani menjelaskan bahwa sudah menjadi ijma’ ulama akan haramnya jual beli babi beserta semua unsur babi.

Adapun illat (alasan) haramnya jual beli babi dan bangkai adalah karena faktor an-najasah (termasuk barang najis), maka hukumnya mencakup haramnya jual beli segala hal yang mengandung unsur najis.

Haramnya Jual Beli Patung

Imam Syaukani mengemuka kan :
Sabda Nabi SAW ( والأصنام ) adalah jama’ dari shanam (patung/ berhala).

Dalam ini terdapat perbedaan antara ( الوثن ) dengan ( الصنم ).
Al-Watsn adalah yang berbentuk atau memiliki tubuh, sedangkan shanam adalah yang berbentuk gambar.

Illat dalam haramnya jual beli patung adalah karena tidak ada manfaat yang mubah yang dapat diambil dari patung.

Namun sebagian ulama mengemukakan, bahwa apabila ada manfaatnya setelah dihancurkan/ pecah maka boleh diperjual belikan, karena sudah tidak lagi berwujud patung.

Haramnya Jual Beli Lemak Bangkai

Imam Syaukani mengemuka kan :
Riwayat ( أرأيت شحوم الميتة )

‘Bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai?’. Yaitu maksudnya, ‘apakah karena terdapat banyak manfaat pada lemak bangkai, menjadikannya boleh diperjualbelikan?

Kemudian pertanyaan sahabat ( ويستصبح بها الناس ) ‘sebagai bahan minyak untuk penerangan manusia?’

Menunjukkan bahwa lemak bangkai tersebut memiliki banyak manfaat, untuk melumasi sarung pedang, melumasi kulit-kulit, dan bahkan untuk bahan untuk menyalakan lantera sebagai penerang bagi manusia di kegelapan.

Kemudian Nabi SAW bersabda, ‘Tidak, itu haram ( لا، هو حرام ).

Kebanyakan ulama mengatakan bahwa dhamir ( هو ) kembali kepada ( البيع ). Maksudnya adalah bahwa jual beli lemak bangkai adalah haram.

Artinya, kendatipun demikian banyaknya manfaat yang dihasilkan dari lemak bangkai tersebut, namun karena ia berasal dari sesuatu yang haram, maka hukumnya tetap haram.

Haramnya Hilah

Dalam hadits di atas juga disabdakan oleh Nabi SAW, bahwa Allah SWT melaknat orang-orang Yahudi, lantaran ketika mereka diharamkan lemak bangkai, mereka mencairkannya lalu memperjualbelikannya dan memakan uang jual belinya.’

Iman Syaukani mengemuka kan bahwa hadits ini merupakan dalil haramnya hilah dan segala hal yang mengarah pada yang haram.

Maka segala hal yang Allah haramkan terhadap hamba-hamba-Nya, maka memperjualbelikannya juga haram.

Allah SWT bahkan melaknat orang Yahudi, lantaran hilah yang mereka lakukan; yaitu ketika Allah SWT mengharamkan lemak bangkai, mereka merubah wujudnya menjadi cair (minyak). Kemudian mereka menjualnya, lalu memakan keuntungan dari jual beli tersebut.

Secara bahasa, hilah adalah bentuk jama’ dari hiyal yang berarti sebuah upaya untuk mengelak dari ketentuan syariat (hukum agama) yangsecara teknik tidak dipandang sebagai melanggar hukum.

Sedangkan secara istilah, hilah adalah melakukan suatu amalan yang dzahirnya boleh untuk membatalkan hukum syar’i serta memalingkan kepada hukum yang lainnya.

Ibnu Qayim Al-Jauziyah mengatakan bahwa hilah adalah mencari jalan dengan cara yang licik untuk menyembunyikan kenyataan bahwa sebenarnya tujuannya adalah melakukan sesuatu yang diharamkan.

Hilah dalam rangka untuk menghalalkan segala apa yang diharamkan Allah SWT adalah tidak diperbolehkan, sebagaimana digambarkan oleh Nabi SAW dalam hadits di atas perihal dilaknatnya orang-orang Yahudi karena melakukan hilah, untuk menghalalkan lemak bangkai dengan cara, mengubah wujudnya dari lemak menjadi minyak.

Objek Lainnya Yang Haram Diperjual Belikan

1. Jual beli anjing.

Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW

وَعَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو قَالَ : { نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ } .رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ

Dari Abu Mas’ud ra, ia berkata; Nabi SAW melarang untuk memakan hasil keuntungan dari anjing, upah pelacur dan komisi dukun.

Menurut Jumhur Ulama; hukum jual beli anjing adalah haram; baik anjing yang terlatih (seperti untuk buruan), maupun anjing biasa yang tidak terlatih.

Namun menurut Imam Abu Hanifah, boleh memperjual belikannya. Demikian juga Imam Atha’ mengatakan boleh memperjualbelikan nya, apabila merupakan anjing untuk berburu yang terlatih.
Karena dalam riwayat disebutkan :

عَنْ جَابِرٍ قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ إلاَّ كَلْبَ صَيْدٍ

Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melarang harga jual beli anjing kecuali anjing buruan.’ (HR. Nasa’i dan Ahmad bin Hambal)

Menguatkan haramnya jual beli anjing adalah riwayat sebagai berikut :

وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ { : نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَقَالَ : إنْ جَاءَ يَطْلُبُ ثَمَنَ الْكَلْبِ فَامْلَأْ كَفَّهُ تُرَابًا} رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد

Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata: Rasulullah melarang kita dari harga anjing dan jika ada seseorang yang meminta harga anjing maka penuhilah telapak tangannya dengan debu. (HR. Imam Ahmad dan Abu Daud)

2. Upah Pelacur & Komisi perdukunan.

Hadits di atas menyebutkan haramnya hasil upah pelacur dan komisi dari perdukunan.
Jumhur ulama juga sepakat haramnya upah pelacur dan komisi perdukunan. Karena kedua jenis usaha tersebut merupakan usaha yang haram, sehinga segala yang haram untuk dimakan, dilakukan dan diusahakan, maka haram pula hasil keuntungan dari usaha tersebut.

3. Jual beli darah.

Darah termasuk ke dalam objek yang haram untuk dimakan dan dimanfaatkan. Oleh karenanya, mentransaksikannya dalam jual beli juga menjadi haram. Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW :

وَعَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ إنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَرَّمَ ثَمَنَ الدَّمِ وَثَمَنَ الْكَلْبِ وَكَسْبَ الْبَغِيِّ وَلَعَنَ الْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَآكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَلَعَنَ الْمُصَوِّرِينَ } .مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Abu Juhaifah berkata bahwa “Rasulullah SAW telah melarang harga (uang hasil jual beli) darah, anjing, upah pelacuran budak wanita dan melarang orang yang membuat tato dan yang minta ditato dan pemakan riba’ dan yang meminjamkan riba, serta melaknat pembuat patung. (Muttafaqun Alaih)

4. Upah jasa pembuatan tato.

Karena tato merupakan sesuatu yang dilarang dalam syariah, bahkan Nabi SAW melaknat pembuat tato dan yang minta dibuatkannya. Oleh karena itulah, upah jasa pembuatan tato juga menjadi haram, sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.

5. Riba.

Riba diharamkan dalam syariah Islam, bahkan pengharamannya demikian “kerasnya” disebutkan dalam Al-Qur’an. Oleh karenanya, setiap transaksi yang di dalamnya terdapat unsur riba, menjadi haram hukumnya.

Dan keharamannya berlaku bagi yang membayar maupun yang menerimanya, atau bagi debitur maupun krediturnya.

6. Jasa pembuatan patung.

Karena patung merupakan sesuatu yang haram untuk dimanfaatkan, maka bukan hanya jual belinya; namun upah dari jasa pembuatan patungnya juga menjadi haram, karena substansi patungnya haram.

7. Jual beli kucing.

Dalam hadits disebutkan :

وَعَنْ جَابِرٍ { أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ } .رَوَاهُ أَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَأَبُو دَاوُد

Dari Jabir bin Abdullah bahwasanya Rasulullah SAW melarang harga anjing dan kucing (bagi umat Islam).”

Hadits ini menggambarkan tentang larangan jual beli kucing, sehinga memperjual belikannya menjadi haram, (menurut Abu Hurairah, Imam Mujahid dan Jabir bin Zaid. Mereka melihat dari dzahir riwayat di atas.

Namun menurut Imam Syaukani, kebanyakan ulama memperbolehkan jual beli kucing. Alasannya adalah bahwa riwayat yang melarang jual beli kucing adalah dhaif.

Lagi pula jenis pelarangan nya bukan tahrimi (pengharaman), namun lebih bersifat tanzihi (pemakruhan yang sebaiknya dihindari).

Kesimpulan Haramnya Jual Beli Objek Yang Haram

1. Barang yang Haram Dimakan

Segala jenis barang yang haram dimakan, maka haram ditransaksikan, seperti jual beli daging babi, daging anjing, kue yang mengandung rum, makanan mengandung arak, dsb

2. Barang Yang Haram Diminum

Segala jenis barang yang haram untuk diminum, maka haram pula ditransaksikan, seperti segala jenis khamr (minuman keras)

3. Barang yang haram dimanfaaatkan

Segala jenis barang yang haram dimanfaatkan secara syariah maka haram diperjualbelikan, seperti jual beli berhala, alat maksiat, konten porno, konten ramalan, dsb

4. Barang yang haram karena proses mendapatkannya

Segala jenis barang yang bersumber dari proses yang haram, maka haram diperjualbelikan. Misalnya seperti barang hasil curian, hasil usaha perampokan, dsb.

والله تعالى أعلى وأعلم بالصواب
والحمد لله رب العالمين


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Ustadz Menjawab: Hukum memakai Kalung / Gelang Kesehatan

Pertanyaan

Mau tanya ust.:hukum memakai kalung dan gelang kesehatan yg terbuat dari batu giok hitam,apakah termasuk perhuatan syrik  ?syukron…

Jawaban

Oleh: Ust. Farid Nu’man Hasan, SS

Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ba’d:

Memakai hukum kalung atau gelang untuk pengobatan memiliki rincian, sbb:

1. Jika dianggap benda2 ini memiliki kekuatan supranatural, bukan sebab medis ilmiah dan empirik, maka itu termasuk tamiimah/penangkal dan  syirik. Sebagaimana hadits Shahih, dr Abu Daud: innar ruqaa wat tamaaim wat tiwaalah syirk, sesungguhnya mantra, penangkal2, dan guna2 adalah syirik.

2. Jika benda2 itu tidak diyakini sbg benda yg memiliki kekuatan supranatural, melainkan obat biasa saja sbgmn refleksi dgn jarum, pijat listrik, tapi dia meyakini sbgai satu2nya penyebab kesembuhan, maka ini juga syirik. Sebab Allah berfirman: idza maridhtu fahuwa yasyfiin.. Jika aku sakit maka Allah yang menyembuhkan

3. Jika benda tersebut diyakini bukan benda supranatural, tapi diteliti secara medis dan ilmiah mengandung obat alamiah, baik krn gelombang elektromagnetiknya, gel listrik, istilah lain yg dipahami ilmu kedokteran modern, lalu kita memakainya sebagai sebab kauniyah saja, bukan penentu utama kesembuhan dan  meyakini kesembuhan dr Allah semata, maka ini boleh.

Wallahu a’lam


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678