Manusia Dikejar Rizki

Nikmatnya Qanaah

Pemateri: Ustadz. FARID NU’MAN HASAN SS.

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالأنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذَلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ (14)

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imran: 14)

Demikianlah manusia, Allah ‘Azza wa Jalla memberikan kepada mereka nafsu dan akal.
Nafsu mereka butuhkan, karena dengan itu mereka bisa hidup bergairah dan bersemangat.

Bagi seorang mu’min, nafsu akan ditundukkannya untuk membantunya beramal shalih, saat itu nafsu tidaklah tercela. Adakah nafsu yang mendukung amal shalih?

Dari Abu Dzar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

وفي بضع أحدكم صدقة . قالوا: يا رسول الله ! أياتي أحدنا شهوته ويكون له فيها أجر ؟ قال: أرأيتم لو وضعها في حرام أكان عليه فيها وزر ؟ فكذلك إذا وضعها في الحلال كان له أجرا

“Pada kemaluan salah seorang kalian ada sedekahnya.”
Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah! Apakah salah seorang kami mengumbar syahwatnya akan diberikan pahala?”

Beliau bersabda: “Bagaimana pendapat kalian seandainya meletakan syahwatnya pada yang haram, bukankah dia berdosa?

Maka demikian juga jika dia meletakkannya pada tempat yang halal, maka dia mendapatkan pahala.”

(HR. Muslim No. 1006, Ibnu Hibban No. 4167, Al Baihaqi dalam As Sunan No. 7612)

Sebaliknya, bukan justru nafsu yang mengendalikannya untuk dia beramal salah. Hidup terombang ambing nafsu, syahwat dunia, dan keinginan rendah tanpa batas. Saat itu, nafsu telah menyeretnya pada derajat hidup binatang.

Allah ‘Azza wa Jalla juga memberikan akal bukan sekedar pembeda dengan binatang, tapi agar manusia dapat mengendalikan hawa nafsu.

Akal berpikir dan menilai, bahkan dia menjadi hakim bagi hawa nafsu, sehingga keliaran hawa nafsu terhentikan langkahnya, kelalaiannya dapat disadarkan, ketertidurannya dapat dibangkitkan; yakni akal yang telah tersinari cahaya wahyu, akal yang telah tunduk bersimpuh di depan firman Rabb yang menciptakannya, bukan akal liar sebagaimana liarnya hawa nafsu yang akan dijaganya.

Sungguh, keterjagaan nafsu dan akal dari daya tarik dunia dan permainannya, akan membawa pribadi yang puas (qana’ah). Karena cahaya ketuhanan telah mengantarkannya kepada target yang lebih mulia dan tinggi, dan selayaknya inilah yang menggoda kita. “ ….. dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran: 14)

Percayalah …,
QANA’AH itu NIKMAT.
Kita memandang manusia dengan mata ridha dan ikhlas, tiada iri dan dengki.

Sementara kita memandang diri sendiri dengan mata syukur dan lapang.

Apa yang ada di syukuri, ada pun yang tidak ada, toh semua nanti juga akan binasa. Lalu, apa lagi yang mengganggu pikiran kita?

Palingkanlah pandangan kita dari dunia yang Allah Ta’ala titipkan kepada orang lain; justru itulah ujian dan fitnah bagi mereka! Bukankah ini kenikmatan bagi kita?

Palingkanlah pandangan kita dari jabatan yang Allah Ta’ala embankan kepada orang lain; justru itu akan meremukkan punggung dan menghabiskan waktu mereka! Bukankah ini kenikmatan bagi kita?

Palingkanlah pandangan kita dari rupiah dan harta yang membanjiri mereka; justru karena itu pertanyaan di akhirat bagi mereka tidaklah sederhana!

Bukankah ini juga kenikmatan bagi kita?

Tahukah anda, -dalam hal ini- ada sebagian orang menjadikan Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu lebih utama dibanding Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu?

Sebab Abu Bakar hidup qana’ah, karena memang dunia tidak mengejarnya, dunia tidak menggodanya, bahkan menjauhinya. Maka itu sudah sewajarnya.

Ada pun Umar, dia qana’ah dan terus menerus seperti itu, ketika dunia mengganggunya, dunia mengejar dan memanggilnya, tetapi dia tidak menoleh sama sekali. Ini lebih berat rasanya.

Namun, qana’ah bukanlah kemiskinan, bukan pula kefakiran.

Tetapi dia sikap mental terhadap semua karunia yang Allah ‘Azza wa Jalla berikan kepada kita; memandangnya dengan syukur , ridha, dan penuh amanah.

Sehingga, kita menjadi pribadi selalu berbahagia dan tersenyum puas.

Benarlah apa yang disebutkan sebuah syair:

“Jika engkau memiliki hati yang puas (qanuu’), maka engkau dan rajanya dunia adalah sama saja!”

Wallahu A’lam


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Pegang Teguh Tali Allah

SIAPAKAH SYIAH?

Pemateri: DR. WIDO SUPRAHA

Syi’ah berarti pendukung, pembela.

Syi’ah Ali adalah Pendukung Ali r.a., Syi’ah Mu’awiyah adalah pendukung Mu’awiyah r.a.

Namun baik Syi’ah Ali maupun Syi’ah Muawiyah di masa itu keduanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena aqidah dan fahamnya sama, Al-Qur’an dan As-Sunnah.[1]

Namun setelahnya Syi’ah kemudian berkembang dari aliran politik menjadi aliran aqidan dan fiqh baru.

Sumber rujukan Syi’ah yg utama dan induk ada 4 Kitab (Al-Kutub al-Arba’ah):

1. Al-Kaafi (16.199 hadits) ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad bin Ya’kub bin Ishak al-Kulaini (wafat 329H)

2. Man La Yadhurruh al-Faqih (6.593 hadits) ditulis oleh Abu Ja’far Ash-Shaduq Muhammad bin Ali Babawaih (wafat 381H)

3. At-Tahdzib (13.590 hadits) ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan Ali ath-Thusi (wafat 460H)

4. Al-Istibshar (6.531 hadits) ditulis oleh Abu Ja’far Ath-Thusi (Syaikhut Thaifah).

Keempat kitab ini terus diproduksi hingga hari ini, sehingga salah satu kitab Syi’ah berjudul Al-Muraja’at ditulis oleh Abd Husein Syarafuddin al-Musawi, diterjemahkan oleh MIZAN dengan judul “Dialog Sunnah Syi’ah” menegaskan bahwa keempat kitab tersebut telah sampai kepada kita dengan mutawatir, isinya shahih tanpa keraguan.[2]

Syi’ah kemudian berpecah menjadi banyak firqah:
Syi’ah 7, Syi’ah 12, Syi’ah 12 Ja’far, Hasyimiyah, Hamziyah, Manshuriyah, Mughiriyah, Harbiyah, Khatthabiyah, Ma’mariyah, Bazighiyah, Sa’idiyah, Basyiriyah, ‘Albaiyah, Hisyamiyah, Ruzamiyah, Nu’maniyah, Musailamiyah, Isma’iliyah, Waqifiyah, Mufawwidhah, Ghurabiyah, Kamiliyah, Nushairiyah, Ishaqiyah.[3]

Perbedaan yang banyak ini dijelaskan oleh Fakhruddin ar-Razi dalam Al-Muhashshal,

“Ketahuilah bahwa adanya perbedaan yang sangat besar seperti tersebut di atas, adalah merupakan satu bukti konkret tentang tidak adanya wasiat teks penunjukan yang jelas dan berjumlah banyak tentang Imam yang Duabelas seperti yang mereka klaim itu.”[4]

Inti ajaran Syi’ah terlihat hanya terpusat pada masalah Imam saja, dan tidak boleh diluar dari nama-nama yang mereka yakini [5]

Syi’ah yang berkembang pesat hari ini adalah Syi’ah Imamiyah Dua Belas, karena telah menjadi mayoritas di Iran, Irak, Suriah, Libanon, dan negara lainnya.[6] Meyakini bahwa kepemimpinan ada pada 12 Imam:
1. ‘Ali bin Abi Thalib
2. Hasan bin ‘Ali
3. Husein bin ‘Ali
4. Ali Zain al-Albidin
5. Muhammad al-Baqir
6. Jafar al-Shadiq
7. Musa al-Kazhim
8. Ali al-Ridha
9. Muhammad al-Jawwad
10. Ali al-hadi
11. Al-Hasan al-Askari
12. Muhammad al-Muntazhar

Muhammad al-Muntazhar dikisahkan ketika masih kecil hilang dalam gua yang terletak di Masjid Samarra, Iraq.
Mereka meyakini akan hilangnya untuk sementara dan akan kembali sebagai al-Mahdi untuk langsung memimpin umat.

Nama lainnya Imam Tersembunyi (Al-Imam al-Mustatir) atau Imam yang dinanti (Al-Imam al-Muntazhar).

Periode menanti kehadirannya disebut Al-Ghaibah al-Kubra, diisi oleh kepemimpinan raja, imam dan ulama mujtahid Syi’ah.[7]

Syi’ah Imamiyah mengklaim bahwa Al-Qur’an saja TIDAK CUKUP untuk menerangkan agama, perlu adanya seorang imam.

Kebanyakan ulama mereka terdahulu mengklaim bahwa Al-Qur’an itu kurang karena pengurangan, sehingga tentu ada kemungkinan penambahan.
Mereka juga mengklaim dari sekitar 10.000 sahabat Nabi Saw hanya 4 orang saja yang tidak mengkhianati Rasulullah Saw.

Maka mereka telah meyakini bahwa Islam telah gagal sejak kali pertama, juga kegagalan Rasulullah Saw dalam mendidik! [8]

Maka tidak heran kalau mereka memiliki banyak teori baru dalam akidah seperti Kemakshuman para Imam, Bada’ (Mengetahui hal yang Ghaib), Raj’ah (Reinkarnasi), dan Taqiyah (Kepura-puraan) [9]

Sebuah keyakinan jika tidak dibangun di atas wahyu maka yang terjadilah adalah kerusakan metodologi dan pondasi berfikir.

***

Maraji’
1] Drs. KH. Moh. Dawam Anwar, Katib Aam PBNU 1994-1998, dalam makalahnya berjudul “Inilah Haqiqat Syi’ah”.

2] KH. Thohir Abdullah al-Kaff, Mantan Ketua Yayasan Al-Bayyinat Bidang Dakwah, dalam makalahnya berjudul “Perkembangan Syi’ah di Indonesia”.

3] KH. Drs. M. Nabhan Husein, Mantan Ketua DDII Jakarta, dalam makalahnya berjudul “Tinjauan Ahlus Sunnah terhadap Faham Syi’ah tentang Al-Qur’an dan Hadits”.

4] DR. M. Hidayat Nur Wahid, Mantan Ketua Yayasan Haramain, dalam makalahnya berjudul “Syi’ah dalam Lintasan Sejarah”.

5] Farid Ahmad Okbah, Ahlussunnah wal Jamaah dan Dilema Syi’ah di Indonesia, hlm. 25.

6] Abdurrahman bin Sa’ad bin Ali asy-Syatsri, Pengajar Tetap Masjid Quba, Aqaid asy-Syi’ah al-Itsna Asy’ariyyah

7] KH. Abdul Latief Muchtar, MA., Mantan Ketua PERSIS, dalam makalahnya “Sunnah-Syi’ah Dua Ajaran Yang Saling Bertentangan”.

8] Prof. Dr. Ahmad bin Sa’ad al-Ghamidi, Hiwar Hadi ma’a ad-Duktur al-Qazwini asy-Syi’i al-Itsnai Asyari, Mukaddimah

9] Prof. Dr. Ali Ahmad as-Salus, Guru Besar Universitas Qatar, Ma’a asy-Syi’ah al-Itsna ‘Asyariah fi al-Ushul wa al-Furu’ (Mausu’ah Syamilah), Mesir: Dar at-Taqwa, 1997


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

mukmin satu tubuh

Sama Dalam Seruan Syari’ah, Berbeda Dalam Tugas & Peran

Pemateri: Ustz Eko Yuliarti Siroj S.Ag.

UMMU AIMAN bersama beberapa sahabiyat bertugas sebagai tim kesehatan dan penyiapan makanan pasukan perang Uhud.

Dan inilah yang dilakukannya saat pasukan panah tidak memenuhi instruksi Rasulullah sehingga musuh berhasil memukul mundur pasukan muslimin.

Saat mereka lari ketakutan, Ummu Aiman menghadang mereka sambil melempar pasir ke muka mereka

“Ini bedak yang pantas kalian terima. Ambil pedang kalian dan kembali ke medan perang!”.

Bersama para sahabiyat ia mencari kabar tentang Rasulullah. Dan ia merasa tenang saat mengetahui Rasulullah selamat.

AR-RUBAYYI binti MU’AWWIDZ adalah teladan bagi setiap muslimah yang sedang belajar.

Ia menguasai ilmu dengan baik dan sangat berhati-hati dalam menyampaikan setiap kata dan maknanya.

Semua orang mengakui kedudukan dan kehormatannya dan menyanjung kekuatan ilmunya.

Banyak sahabat dan tabi’in yang menemuinya untuk bertanya tentang hukum agama dan banyak penduduk madinah yang meriwayatkan hadits darinya.

Ini mereka lakukan karena mereka tahu kedudukan Ar-Rubayyi’ di mata Rasulullah dan kebiasaan yang dilakukannya yaitu berkunjung kepada Aisyah ra. untuk belajar memperdalam dan memahami ilmu khususnya ilmu agama.

UMMU HISYAM  binti HARITSAH salah seorang sahabiyat yang turut dalam rombongan umroh bersama Rasulullah pada bulan Dzulqo’dah tahun 6 hijrah.

Saat mengetahui Rasulullah akan datang, orang-orang Quraisy sepakat untuk menghadang beliau.

Dan saat mendekati Makkah, Rasulullah mengutus Utsman bin Affan untuk berunding. Waktu berlalu namun Utsman tak kunjung kembali.

Kaum muslimin mulai gelisah dan mereka bersumpah setia rela mengorbankan nyawanya. Rasulullah memegang tangan mereka dan semua kaum muslimin bersumpah setia kecuali seorang munafik bernama Jaad bin Qais.

Tak lama Utsman muncul dan ia pun ikut bersumpah setia.

Sumpah setia ini dilakukan dibawah sebuah pohon dan inilah yang dinamakan baiatur Ridwan.

Ummu Hisyam termasuk diantara yang bersumpah setia rela untuk mati.

***

Pada banyak aspek umum dalam kehidupan, laki-laki dan perempuan memiliki posisi dan perlakuan yang sama dari Allah SWT.

Keduanya Allah seru secara bersama-sama dalam ayat-ayat yang dimulai dengan kata “يا أيها الناس”.

Dalam sebuah ayat, Allah SWT menyebut keduanya secara rinci dalam kalimat yang setara. Allah SWT berfirman :

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS Al-Ahzab : 35).

Dalam ayat ini Allah SWT menempatkan laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sejajar untuk mendapatkan ampunan dan pahala yang besar dengan berlakunya syarat yang sama dalam pekerjaan yang dilakukan.

Demikian juga di surat At-Taubah ayat 17 Allah SWT berfirman :

“Dan orang-orang yang beriman laki -laki dan perempuan sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.”

Bukan hanya kaum mukminin yang menjadi penolong tapi Allah tegaskan keduanya (mukminin dan mukminat) bisa SALING bantu, SALING tolong menolong.

Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda :

النساء شقائق الرجال

“Perempuan adalah saudara kandung laki-laki.” (HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi)

Abu Halim Abu Syuqqoh dalam kitab tahrirul mar’ah fii ‘ahdi risalah menyebutkan bahwa makna syaqoiq (saudara kandung) menunjukkan laki-laki dan perempuan memiliki KEDUDUKAN SETARA didalam Islam.

Yang membedakan keduanya adalah fungsi & peran.

Didalam ayat-ayat lain, Allah menjelaskan bahwa fungsi diciptakannya laki-laki dan perempuan untuk saling menyempurnakan dalam menunaikan misinya sebagai manusia.

Mereka adalah mitra dalam seluruh aspek kehidupan. Mereka adalah mitra dalam berkeluarga. Allah SWT berfirman :

“Dan Allah menjadikan bagi kamu istri-istrimu dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istrimu anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rizki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari ni’mat Allah?” (QS An-Nahl:72)

Disamping fungsi untuk SALING MENGUATKAN dan menjadi mitra, Allah SWT menciptakan laki-laki dan perempuan dengan kekhususan masing-masing.

Kekhususan itu terkait erat dengan perbedaan fisik, psikologi, dan fungsi sebagian organ tubuhnya.

Perbedaan inilah yang menyebabkan laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan tugas dan peran.

Perbedaan ini tidak menjadikan yang satu lebih unggul dari yang lain karena keunggulan hanya ditentukan oleh ketakwaan dan kesiapan menunaikan misi hidup sebagai manusia (ibadah & memakmurkan bumi).

PEREMPUAN dengan kelembutan, keibuan, kasih sayang dan sifat kewanitaannya adalah sumber stabilitas dan ketenangan bagi lingkungannya.

Dengan fitrah sabarnya, Allah takdirkan ia menanggung beban kehamilan, melahirkan, menyusui, mengasuh, merawat dan mengurus anak-anaknya.

LAKI-LAKI dengan kekuatan fisiknya diwajibkan untuk terjun ke dunia yang keras berupaya konsisten mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarga, membimbing dan melindungi seluruh anggota keluarga.

Masing-masing Allah berikan tugas sesuai dengan kondisi yang telah Allah siapkan.

Oleh karenanya tidak ada ruang untuk saling mencemburui dan menggugat tugas & peran yang telah ditetapkan Allah.
Imam Ahmad dalam musnadnya dan Ibnu Jarir At-Thabary dalam tafsirnya menjelaskan asbabun nuzul dari QS An-Nisa:32.

Mujahid menyampaikan bahwa Ummu Salamah berkata :
“Wahai Rasulullah, kaum laki-laki digarda depan peperangan, kami tidak pergi berperang. Kami juga mendapatkan setengah hak waris dari laki-laki.”

Maka Allah menurunkan ayat

:”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain.
(Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan.

Dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An-Nisa:32)

Kisah para sahabiyat diatas menunjukkan kematangan para sahabiyat dalam menunaikan perannya di tengah masyarakat tanpa mengganggu peran para sahabat bahkan memberikan dorongan untuk terus bekerja/berjihad.

Sebaliknya para sahabat menerima dengan lapang dada kehadiran para sahabiyat.

Bahkan untuk hadir di medan perang mereka lakukan akan tetapi mereka bertugas sesuai fitrahnya.

Para sahabiyat juga menuntut ilmu sebanyak-banyaknya dan turut berjanji setia kepada Allah dan RasulNya.

Memahami kesamaan dihadapan Allah dan perbedaan dalam beberapa tugas dan peran merupakan bagian penting dari pondasi kehidupan berkeluarga.

Agar setiap anggota keluarga baik ayah, ibu, dan anak-anak tidak memiliki ketergantungan karena masing-masing memiliki posisi yang sama dihadapan Allah.

Agar masing-masing tidak melakukan tugas dan peran yang terbalik.

Ibu fokus pada peran utamanya mengurus keluarga, ayah fokus pada peran utamanya mencari nafkah dan anak-anak hormat dan berbakti pada orang tuanya bukan sebaliknya.

Maka ketika mulai ada tugas dan peran yang dilakukan terbalik, terjadilah kerusakan di muka bumi.

Dari kefahaman akan pembahasan ini, kita akan mudah memaknai dan menerima pernikahan, tujuannya, makna qowwamah, kerjasama dalam keluarga, membentuk keluarga harmonis, menangani problematika dalam keluarga, dll.

Bagi mereka yang belum menikah, fahamilah pondasi-pondasi dan prinsip-prinsip berkeluarga ini dengan baik.

Dan bagi mereka yang sudah menikah, tidak ada salahnya bila kita menata ulang prinsip-prinsip yang harus kita tanamkan dalam kehidupan berkeluarga.

Semoga Allah ridhoi setiap detik kehidupan kita dan Allah jadikan keluarga kita keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

Wallohu a’lam bis showwab.


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

puasa di bulan Muharram

Hukum dan Pelajaran di bulan Muharam Dan Hari Asyuro

Pemateri: Ustadz. ABDULLAH HAIDIR Lc.

Ibnu Abbas ra berkata, “Ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, beliau menyaksikan orang-orang Yahudi ber-puasa pada hari ‘Asyuro, maka dia berkata, “(Hari) apa ini?”

Mereka menjawab, “Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah selamatkan Bani Isra’il dari musuhnya, karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini.” Rasulullah saw bersabda:

« فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ »

“Saya lebih berhak mengikuti Musa daripada kalian.”

Maka beliau berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.”

(Shahih Bukhari, Kitab Ash-Shaum, no. 2004,  redaksi dari beliau, dan Shahih Muslim, Kitab Ash-Shiyam, no. 127-(1130), redaksinya: “Kita lebih layak terhadap musa dari kalian.”)

1. Umat Muhammad Rasulullah saw adalah Ummatun Marhumah, ummat yang disayang oleh Allah Ta’ala.

Selain bahwa umat ini tidak diazab secara nasal spt umat terdahulu, sebagaimana dinyatakan Rasulullah saw dalam salah satu haditsnya,  di sisi lain kita dapatkan juga kasih sayang Allah kepada umat ini dengan berbagai kesempatan  yang disediakan untuk beramal sebanyak-banyaknya.

Sehingga walaupun ummat ini berusia lebih pendek di banding umat terdahulu, namun seakan-akan mereka diberi usia panjang dengan banyak kesempatan beramal shaleh yang pahalanya Allah lipatgandakan.

Baru saja kemarin kita disibukkan dengan amal ibadah di bulan Ramadhan, kemudian Allah perintahkan kita untuk berpuasa enam hari di bulan Syawwal, lalu setelah itu kita dipertemukan dengan sepuluh hari bulan Dzulhijjah dengan berbagai keutamaan serta ibadah yang Allah sediakan bagi kita, kemudian sete-lah itu di bulan Muharram, kita diperte-mukan dengan hari Asyuro dengan ibadah dan keutamaan di dalamnya.

2. Hubungan berdasarkan keimanan, lebih kuat dan lebih bermanfaat daripada hubungan yang sekedar kekerabatan atau kesukuan.

Hal tersebut tercermin dalam ungkapan Rasulullah saw yang mengomentari sikap orang Yahudi yang mengikuti Nabi Musa berpuasa ‘Asyuro dengan landasan hubungan kekerabatan. Beliau bersabda:

“Aku lebih berhak mengikuti Musa dibanding kalian.”

Karena hubungannya dengan Nabi Musa adalah hubungan keimanan yang berada di atas hubungan kekerabatan.

3. Hijrah merupakan pelajaran yang sangat berharga dalam kehidupan seorang muslim yang ingin menjaga keimanan dan keyakinannya.

Hari ‘Asyuro mengingatkan kita pada sejarah Nabi Musa tentang  pengorbanan dan perjuangan untuk membela dan melindungi keimanan, apapun resikonya, sampai pada taraf mereka harus angkat kaki dari negerinya untuk membawa dan menyelamatkan keimanannya.

4. Umat Islam seharusnya memiliki jati diri yang nyata dalam kehidupan.

Perintah Rasulullah saw dalam berbagai kesempatan agar kita berbeda dengan orang Yahudi dan Nashrani adalah sebuah ajaran agar kita sebagai seorang muslim memiliki karakteristik khusus sesuai dengan keimanan kita kepada Allah Ta’ala.

Jangan sampai kita menggantungkan kecintaan kita, kebiasaan hidup kita, apalagi dalam masalah ibadah dan keyakinan kita dengan mengikuti ajaran keyakinan lain.

5. Pentingnya melakukan tabayyun (pengecekan) dalam berbagai hal, lalu menyatakan sikap yang tegas untuk mengatasinya.

Ketika Rasulullah saw melihat kaum Yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharram, beliau bertanya dahulu tentang alasan mereka berpuasa, baru setelah itu beliau menyikapinya.

6. Ibadah merupakan realisasi syukur yang paling nyata kepada Allah Ta’ala.

Selamatnya nabi Musa alaihissalam dari  kejaran Fir’aun disikapi dengan beribadah puasa sebagai rasa syukur kepada Allah Ta’ala, bukan dengan berpesta pora plus kemaksiatan, sebagaimana yang sering kita saksikan.

7. Islam selalu menuntut umatnya berada dalam posisi wasathiyah (pertengahan), tentu dengan bimbingan dan landasan syari’ah. Tidak bersikap Ifrath (berlebih-lebihan) dan Tafrith (Sembrono).

Menjadikan hari Asyuro sebagai hari kesedihan di satu pihak ala kaum syiah yang meratapi terbunuhnya Husein ra, sementara pihak lainnya menjadikannya sebagai hari bersuka cita……ini adalah fenomena Ifrath wa Tafrith.

8. Menolak kemungkaran tidak dibenar-kan jika dilakukan dengan kemungkaran yang lain.

Penolakan kaum Nawasib (yang memusuhi ahlul bait) yang bersuka cita pada hari kematian Husein sebagai penolakan terhadap kebatilan orang Syiah yang mengeksploitasi kesedihan pada hari yang sama adalah langkah yang tidak disetujui oleh para ulama.

Wallahu A’lam.


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Utang

Hukum Bai’ Ad-Dayn /Jual Beli Piutang

Pemateri: Ust. DR. RIKZA MAULAN Lc., MAg.

BAI’ DAYN.

Dalam transaksi muamalah dewasa ini, terkadang ditemui transaksi berupa jual beli piutang, seperti ketika seseorang yang memiliki piutang, lalu ia menjual piutang nya tersebut kepada orang lain.

Atau dalam kasus lembaga keuangan syariah, ketika suatu  LKS akan menjual asset pembiayaannya kepada LKS yang lainnya, maka bagaimanakah hukumnya?

Berikut kami simpulkan dari beberapa referensi, utamanya dari Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Syekh Wahbah Al-Zuhaily.

Syekh Wahbah Zuhaily memberikan pembahasan tentang bai’ ad-dain ( بيع الدين ) sebagai berikut  (4/432):

1. Menjual piutang dengan hutang ( بيع الدين نسيئة )

Dalam fiqh transaksi seperti ini dikenal dengan sebutan bai’ ad-dayn by ad-dayn atau dalam hadits disebut bai’ al-kali bil kali ( بيع الكاليء بالكاليء ).

Bentuk transaksi jual beli seperti ini adalah dilarang secara syariah.

Sebagaimana disebutkan dalam hadits :

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ (رواه النسائي في الكبرى والحاكم والدارقطني)

Dari Ibnu Umar ra bahwasanya Nabi SAW melarang jual beli hutang dengan hutang. (HR. An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra, Daruquthni dan Al-Hakim)[1]

Menjual piutang dengan hutang, bisa terjadi dalam dua bentuk :

a. ( بيع الدين للمدين ) Menjual piutang kepada orang yang berhutang tersebut

Yaitu seperti seseorang yang berkata kapeada orang lain,

* Saya beli dari kamu satu mud gandum dengan harga satu dinar dengan serah terima dilakukan setelah satu bulan.’

* Atau seseorang membeli barang yang akan diserahkan pada waktu tertentu lalu ketika jatuh tempo, penjual tidak mendapatkan barang untuk menutupi utangnya, lantas berkata kepada pembeli,

‘Juallah barang ini kepadaku dengan tambahan waktu lagi dengan imbalan tambahan barang’.

Lalu pembeli menyetujui permintaan penjual dan kedua belah pihak tidak saling sarah terima barang.

Cara seperti ini merupakan riba yang diharamkan, dengan kaidah

‘berikan tambahan waktu dan saya akan berikan tambahan jumlah barang.’ ( زدني في الأجل وأزيدك في القدر )

b.( بيع الدين لغير المدين )  Menjual piutang kepada orang lain yang bukan orang yang berhutang.

Hal ini seperti seseorang berkata kepada orang lain, ‘Saya jual kepadamu  20 mud gandum milikku  yang dipinjam oleh fulan dengan harga sekian dan kamu bisa membayarnya kepadaku setelah satu bulan.’

Maka transaksi jual beli seperti ini juga termasuk transaksi yang tidak diperbolehkan.

 2. Menjual piutang dengan tunai pada saat transaksi. ( بيع الدين نقدا في الحال )

Hukum menjual piutang dengan tunai diperselisih kan oleh ulama tentang hukumnya dan dapat disimpulkan sebagai berikut:

A. ( بيع الدين للمدين ) Menjual piutang kepada orang yang berhutang.

Kebanyakan ahli fiqih dari empat madzhab  memperbolehkan menjual piutang atau menghibahkan piutang kepada orang yang berhutang.

Karena penghalang dari sahnya menjual piutang dengan hutang adalah karena ketidakmampuan menyerahkan objek akad.

Sementara dalam jual beli piutang kepada orang yang berhutang di sini, tidak diperlukan lagi penyerahterimaan objek akad, karena piutang sudah ada pada orang yang meminjamnya sehingga sudah diserah terimakan dengan sendirinya.

Contohnya adalah orang yang memberikan hutang/ kreditur ( الدائن ) menjual piutangnya yang ada pada debitur (المدين ) dengan harga berupa sesuatu yang bukan sejenis piutangnya.

Namun, berbeda dengan jumhur ulama, Madzhab Zhahiriyah berperdapat bahwa menjual piutang kepada orang yang berhutang adalah tidak sah, karena jual beli ini mengandung unsur gharar.

Ibnu Hazam berkata, ‘karena jual beli ini termasuk jual beli barang yang tidak diketahui dan tidak jelas barangnya. Inilah yang disebut dengan memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.

B. ( بيع الدين لغير المدين ) Menjual piutang kepada orang lain yang bukan berhutang.

1. Mahdzhab Hanafi dan Zhahiri mengatakan bahwa oleh karena pada dasarnya tidak boleh menjual barang yang tidak bisa diserah terimakan,  maka menjual piutang kepada orang lain yang bukan berhutang adalah  tidak boleh.

Sebab piutang tidak bisa diserahkan kecuali kepada orang yang berhutang itu sendiri.

Karena piutang adalah ibarat dari harta yang ada dalam tanggungan seseorang secara hukum, atau ibarat dari mengalihkan hak kepemilikan dan menyertakannya.

Kedua hal tersebut tidak bisa diserahkan oleh penjual kepada pihak lain yang bukan berhutang.

2. Madzhab Syafii  mengemukakan bahwa :

a. Menjual piutang yang bersifat tetap[2] kepada orang yang berhutang  atau kepada pihak lain sebelum piutang itu diterima oleh orang yang memberi hutang, adalah  diperbolehkan. Karena secara zahir, kreditur (orang yang memberikan hutang) mampu menyerahkan barang tanpa ada halangan apapun.

Contoh piutang yang tetap adalah nilai barang yang dirusak (yang harus diganti) dan barang yang ada pada debitur (yang harus dikembalikan kepada si pemberi hutang).

b.    Akan tetapi apabila piutang tersebut tidak tetap, maka jika ia berupa barang yang diserahkan pada jual beli salam, hukumnya tidak boleh menjualnya sebelum barang tersebut diterima.

Hal ini karena adanya larangan secara umum tentang jual beli barang yang belum diterima.

Disamping itu juga karena kepemilikan barang dalam jual beli salam tidaklah tetap, karena ada kemungkinan barang tersebut tidak bisa diserahkan karena hilang, sehingga jual beli menjadi batal.

c.  Kemudian apabila piutang itu berupa harga barang dalam jual beli, maka dalam pendapat terbaru dari madzhab Syafii adalah juga diperbolehkan menjualnya sebelum dipegang, berdasarkan riwayat Ibnu Umar, dari Rasulullah SAW ;

لاَ بَأْسَ مَالَمْ تَتَفَرَّقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ

‘Tidak apa-apa selama keduanya belum berpisah dan diantara keduanya ada sesuatu.’ (HR. Turmudzi).[3]

3. Madzhab Hambali  berpendapat bahwa :

a.  Boleh menjual piutang yang tetap kepada debiturnya sendiri, seperti mengganti pinjaman dan mahar setelah senggama.

b.  Namun tidak boleh menjual piutang kepada orang lain yang bukan debiturnya, sebagaimana tidak boleh menghibahkan piutang kepada orang lain yang bukan debiturnya. Karena pada dasarnya hibah mengharuskan adanya barang sementara dalam hal hibang hutang ini, barangnya tidak ada.

c. Tidak boleh juga menjual piutang yang tidak tetap, seperti sewa properti sebelum selesai masa sewanya, atau seperti mahar sebelum bersenggama dengan istri atau seperti barang pada jual beli salam sebelum diterima.

Namun sebagai catatan, walaupun madzhab Hambali tidak memperbolehkan transaksi menjual piutang kepada orang lain yang bukan orang yang berhutang, namun Ibnu Qayim yang merupakan salah satu ulama besar Madzhab Hambali membolehkan jual piutang kepada orang yang berhutang maupun kepada orang lain yang bukan orang yang berhutang.

4.    Sementara Madzhab Maliki berpendapat bahwa boleh menjual piutang kepada orang lain yang tidak berhutang  apabila memenuhi delapan syarat berikut:

a.   Jual beli tidak mengakibatkan pada pelanggaran syariah, seperti   riba, gharar, atau sejenisnya.

Dengan demikian, piutang harus berupa sesuatu yang bisa dijual sebelum diterima, seperti halnya jika piutang itu berupa pinjaman dan sejenisnya. Dan jika piutang bukan berupa barang makanan.

b. Piutang harus dijual dengan harga tunai agar terhindar dari hukum jual beli piutang yang dilarang.

c.  Harga harus berupa sesuatu yang bukan sejenis piutang yang dijual atau sejenisnya tetapi harus ada persamaan jumlahnya agar tidak terjebak dengan jual beli riba yang haram.

d.  Harga tidak boleh berupa emas, jika piutang yang dijual adalah perak agar tidak terjadi jual beli uang dengan uang yang tidak tunai, tanpa diserahkan keduanya.

e. Adanya dugaan kuat untuk mendapatkan piutang (dilunasinya hutang), seperti kemungkinan hadirnya  orang yang berhutang (debitur) di tempat dilaksanakannya akad guna mengetahui kondisinya, apakah ia memiliki dana atau tidak.

f.  Orang yang berhutang (Debitur) harus mengakui hutangnya agar ia tidak mengingkarinya setelah itu.

Maka oleh karenanya tidak diperbolehkan menjual hak milik yang disengketakan.

g.  Orang yang berhutang (Debitur) adalah orang yang layak untuk membayar hutangnya; atau debitur bukanlah orang yang tidak mampu atau bukan orang yang terhalang.

Hal ini untuk memastikan agar ia bisa menyerah- terimakan barang atau hutang.

h.   Tidak adanya konflik antara pembeli dan orang yang berhutang (debitur) seingga pembeli tidak dirugikan, atau agar debitur tidak dirugikan dalam bentuk memberi peluang kepada sengketanya untuk merugikannya.

KESIMPULAN:

Bai’ ad-dayn boleh dilakukan menurut Madzhab Syafi’i, Maliki dan juga Ibnu Qayim Al-Jauzi dengan syarat bahwa :

1. Dibayar dengan tunai (cash), dan

2. Tidak boleh dibayar dengan tunda (cicil).

Karena jika dibayar dengan tunda atau cicil, mengakibatkan pada jual beli hutang dengan hutang, dan hal tersebut dilarang oleh Rasulullah SAW.

Jual beli piutang dengan tunai diperbolehkan, apabila terhindar dari praktek riba.
Sehingga diharuskan adanya kesamaan harga, antara piutang yang dijual, dengan piutang yang akan diperoleh.

Sehingga tidak boleh misalnya menjual piutang Rp. 10.000,000,-, untuk kemudian dibayarnya senilai Rp 11.000.000,-. Karena jika demikian terjadi tukar menukar uang dengan jumlah yang tidak sama, dan hal ini merupakan riba fadhl yang diharamkan.

Jadi, jual beli piutang secara cash diperbolehkan dengan syarat harganya harus sama.

Objek yang ditransaksikan haruslah jelas.
Misalnya berapa jumlahnya,
apa objek terjadinya piutang, siapa orang yang memiliki piutang, dst.

Ketidakjelasan pada aspek ini, mengakibatkan transaksi terjerumus pada bay’ gharar yang diharamkan.

Lalu syarat-syarat lain yang disampaikan oleh Madzhab Maliki di atas, seperti adanya pengakuan dari orang yang berhutang, lalu adanya kepastian bahwa orang yang berhutang sanggup untuk melunasi hutangnya, dsb.

Syarat lainnya adalah syarat yang dikemukakan oleh Madzhab Syafi;i, yaitu bahwa objeknya (piutang) haruslah termasuk dalam kategori maal mustaqir (yang jelas dan tetap serta tidak adanya kemungkinan bahwa hutang tersebut menjadi diputihkan), dsb.

Apabila piutangnya adalah sesuatu yang bukan maal mustaqir, maka tidak boleh diperjual belikan. Karena berarti adanya ketidakjelasan pada objek yang berakibat pada bai’ gharar yang diharamkan.

Wallahu A’lam bis Shawab


[1] Hanya saja Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Bulughul Maram mengomentari bahwa hadits ini dha’if

 (1/316, lihat Al-Maktabah As-Syamilah)

[2] Dijelaskan oleh Syekh Wahbah Zuhaily, bahwa hutang yang bersifat tetap ( الدين المستقر ) adalah hutang yang tetap keharusan untuk pelunasannya dan yang oleh pemiliknya harus ditunaikan (dibayarkan) kepada orang yang memberikan hutang, tanpa ada kemungkinan lain yang menjadikan hutangnya lunas.

[3] Hadits tersebut lengkapnya adalah sebagai berikut :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كُنْتُ أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالْبَقِيعِ فَأَبِيعُ بِالدَّنَانِيرِ وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِ حَفْصَةَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَسْأَلَكَ إِنِّي أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالْبَقِيعِ فَأَبِيعُ بِالدَّنَانِيرِ وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ قَالَ لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَهَا بِسِعْرِ يَوْمِهَا مَا لَمْ تَفْتَرِقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ (رواه النسائي وأبو داود وأحمد والحاكم)

Dari Ibnu Umar, dia berkata; “Saya pernah menjual unta di Baqi’ saya menjualnya dengan beberapa dinar, dan kuambil beberapa dirham, kemudian saya datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di rumah Hafshah, saya berkata;

“Wahai Rasulullah, saya ingin bertanya. Sesungguhnya saya menjual unta di Baqi’, saya menjualnya dengan dinar dan mengambil dirham.”

Beliau bersabda: “Tidak mengapa engkau mengambilnya dengan harga pada hari itu, selama kalian berdua belum berpisah sementara (ketika itu) di antara kalian ada sesuatu.” (HR. Nasa’i, Abu Daud, Ahmad dan Al-Hakim)


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Berjihad Mencari Ridha Allah

KHALID BIN WALID (ra) – Penaklukan Damaskus. (Bag-1)

Pemateri: Ust. AGUNG WASPODO, SE., MPP.

Tetap Adil Walau Sudah Diperangi;
Tetap Sabar Walau Sudah Dikhianati.

Bukti Kuatnya Karakter Khalid ibn al-Walid (ra) pada
Pengepungan Damaskus – 21 Agustus s/d 19 September 634

Pengepungan terhadap kota Damaskus pada tahun 634 ini menandai kejatuhan kota besar Byzantium pertama dalam Penaklukan Syam pada era Khulafa ar-Rasyidin.

LATAR BELAKANG

Perang antara Byzantium dan Sassania Persia telah berakhir pada tahun 5 Hijriah (627) dimana Kaisar Heraclius menyudahi kampanye militernya di Mesopotamia (Irak) dengan berhasil.

Pada saat yang hampir bersamaan, Muhammad (saw) berhasil juga menyatukan suku-suku Arab di bawah panji tauhid al-Islam. Setelah Rasul (saw) wafat pada tahun 11 Hijriah (633), maka Abu Bakr ash-Shiddiq (ra) meneruskan kepemimpinan ummat sebagai khalifah pertama.

Setelah beliau berhasil menundukkan kaum Arab yang murtad dalam Perang Riddah maka perhatian pun diarahkan kepada kedua negara adidaya waktu itu aktif sebagai penyokong gerakan destabilisasi.

Pada bulan Muharam 12 Hijriah (April 634), Abu Bakr (ra) mengerahkan pasukannya menuju wilayah Byzantium di propinsi Syam dan mengalahkannya di Pertempuran Ajnadayn.

Setelah itu balatentara kaum Muslimin bergerak ke utara dan mengepung ibukota Propinsi Syam yaitu Damaskus.

Kota ini berhasil dikuasai setelah titik lemah pertahanannya dibocorkan oleh seorang uskup nasrani dari kalangan Monophysite kepada pangliman kaum Muslimin yang dijabat oleh Khalid ibn al-Walid (ra).

Ternyata dinding kota lebih mudah dijatuhkan pada malam hari ketika penjagaan sedang lemah.

Ketika Khalid (ra) berhasil menguasai kota bagian timur dengan serbuan, komandan garnizun kota Damaskus yang bernama Thomas sedang merundingkan penyerahan di sisi barat dengan Abu ‘Ubaydah (ra) sebagai pimpinan kedua.

Setelah menyerahnya kota, terjadi perbedaan pandangan atas status penyerahan kota.
Setelah syura komandan lapangan dilakukan akhirnya kota Damaskus disepakati menyerah lewat negosiasi seperti yang diterima oleh Abu ‘Ubaydah (ra).

Khalid (ra) dengan besar hati menerima hal tersebut.

Namun, tingkah angkuh serta sikap permusuhan dari pasukan garnizun yg diperbolehkan meninggalkan kota Damaskus mendorong Khalid (ra) untuk tetap waspada.

Ternyata firasatnya benar karena mereka tidak menuju kota Antioch sebagaimana kesepakatan damai namun menyusun kekuatan secara diam-diam.

Pasukan ini berhasil dikalahkan oleh pasukan Khalid ibn al-Khalid (ra) di al-Jayyad.

PETA SITUASI

Pada tahun 11 Hijriah (633) seluruh wilayah Jazirah ‘Arab telah terkendali di bawah Medina.

Setelah pasukan kaum Muslimin berhasil mengatasi kekuatan Sassania-Persia di propinsi Irak, maka Abu Bakr (ra) segera mengirimkan balatentaranya dalam 4 kolom menuju Syam pada tahun 12 Hijriah (634).

Syam merupakan propinsi milik Byzantium yang sangat luas dan keempat kolom militer yang dikirimkan beliau dirasakan tidak memadai sehingga dikeluarkan perintah kepada Khalid ibn al-Walid (ra) untuk membawa bala bantuan dari Irak menuju Syam.

Pasukan Khalid (ra) melintasi padang pasir dan masuk ke perbatasan Syam dari arah yang tidak biasa dipakai oleh para pedagang.

Jalur yang lebih berbahaya karena tidak terdapat sumber mata air itu ditempuh Khalid (ra) untuk memberikan pendadakan terhadap lawannya.

Benar saja, pasukan Khalid (ra) berhasil menyerbu dan menguasai ibukota Suku Ghassan dalam waktu yang singkat.

Kota Bosra jatuh ke tangan pasukan Khalid (ra) sehingga Damaskus terbuka tanpa pertahanan.

Setelah kekalahan Byzantium di Ajnadayn maka kini giliran ibukota Syam tersebut yang dikepung.

LOKASI PENGEPUNGAN

Damaskus merupakan kota tua yang sudah dihuni manusia sejak lama karena letaknya yang strategis.

Kota ini sering disebut sebagai surganya Syam dan pertahanan kotanya sesuai dengan julukannya.

Terdapat dinding pertahanan setinggi 11 meter yang mengelilingi pusat kota dengan 6 pintu gerbang:

1. Gerbang Timur (Bab Sharqi)
2. Gerbang Thomas (Bab Touma)
3. Gerbang Jabiya (Bab al-Jabiya)
4. Gerbang Surga (Bab al-Faradis)
5. Gerbang Keisan (Bab Kisan)
6. Gerbang Kecil (Bab al-Saghir)

Walaupun Sungai Baradah mengalir pada bagian utara dinding pertahanan kota Damaskus tetapi sungai tersebut terlalu dangkal untuk menjadi pertahanan natural.

Pada pengepungan ini komandan garnizun dijabat oleh Thomas, menantu Kaisar Heraclius yang terkenal relijius, pemberani, pemimpin yang cakap, cerdas, dan pembelajar.

PENGGELARAN PASUKAN

Balatentara kaum Muslimin pada abad ke-7 masehi belum memiliki alat kepung yang memadai sehingga pengepungan adalah taktik terakhir yg dipakai jika sudah tidak ada lagi pilihan.

Oleh karena itu taktik pengepungan hanya untuk memutus jalur logistik sampai kota menyerah.

Perebutan kota hanya dilakukan dengan pendekatan sabotase atau mencari informan yang dapat menunjukkan titik lemah sehingga pendekatan serbuan tidak menjadi prioritas.

Standar operasi pengepungan kaum Muslimin pada waktu itu adalah menempatkan pasukan penghadang di setiap jalur penghubung.

Untuk mengisolir Damaskus, Khalid (ra) memutus jalur transportasi dan komunikasi ke utara Syam, khususnya ke Antioch karena itu merupakan pusat komando militer Byzantium.

Untuk wilayah barat, Khalid (ra) mengerahkan detasemen berkuda di Fahal (Fihl) untuk mengikat perhatian garnizun Byzantium setempat.

Detasemen yang sama juga difungsikan untuk melindungi jalur logistik ke Madinah. Detasemen berkuda lainnya dikerahkan ke jalan menuju Emesa (Hims) di dekat Bait Lahiya sekitar 16 km dari Damaskus untuk mengintai serta menghadang kolom bantuan Byzantium yang mungkin melewatinya.

Secara khusus Khalid (ra) memerintahkan untuk meminta bantuan kepadanya jika kesulitan menghentikan lawan di jalur tersebut.

Setelah mengisolir Damaskus dari dunia luar, Khalid (ra) menggelar pasukannya untuk mengepung kota pada hari Ahad 21 Jumadits Tsani 13 Hijria (21 Agustus 634) dengan instruksi kepada setiap komandannya agar memberi kabar jika serangan dari dalam kota dirasakan terlalu berat.

Khalid (ra) mengangkat Dhirar ibn al-Azwar (ra) sebagai komandan 2.000 pasukan berkuda yang bertugas untuk mematroli area kosong diantara kesatuan; khususunya pada malam hari.

Kesatuan ini juga berfungsi sebagai elemen mobilitas bantuan sekiranya ada sektor yang membutuhkan.

Khalid (ra) membagi pasukannya sesuai dengan jumlah area gerbang kota Damaskus masing-masing berkekuatan sekitar 4.000-5.000 personil:

❂ Gerbang Thomas: Syurahbil ibn Hasana (ra)
❂ Gerbang Jabiyah: Abu Ubaidah ibn al-Jarrah (ra)
Gerbang Surga: Amr ibn al-Asy (ra)
❂ Gerbang Keisan: Yazid ibn Mu’awiyah (ra)
❂ Gerbang Kecil: Yazid ibn Mu’awiyah (ra)
❂ Gerbang Timur: Rafay ibn ‘Umayr (ra)

Khalid menempatkan pasukan utamanya di bawah Rafay ibn ‘Umayr (ra) pada Gerbang Timur dan beliau menempatkan tenda komandonya sedikit di belakang pasukan utama ini pada sebuah bangunan tak terpakai. Tempat sekarang dikenal sebagai Deir al-Khalid.

Dukungan suku-suku Arab di sekitar Damaskus kepada pasukan kaum Muslimin dikelola oleh seorang yang bernama al-Ghautsa.

BALA BANTUAN BYZANTIUM

Kaisar Heraclius yang berkedudukan di Antioch ketika kepungan ini dimulai telah mengirimkan pasukan bantuan pada 9 September 634 sejumlah 12.000 personil.

Bersambung ke bag 2


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Al Qur'an Nutrisi Akal dan Jiwa

TADABUR AL-QURAN

Pemateri: Ust. AHMAD SAHAL Lc.

Selain MEMBACA Al-Quran secara RUTIN dengan frekuensi khatam yang memadai, seorang muslim dan muslimah juga WAJIB mengusahakan keakraban dengan Al-Quran melalui TADABBUR.

MAKNA TADABBUR

التَّدَبُّرُ فِي اللُّغَةِ : عِبَارَةٌ عَنِ النَّظَرِ فِي عَوَاقِبِ الْأُمُوْرِ

Arti tadabbur menurut bahasa:
‘ungkapan tentang memandang kepada pengaruh atau akibat dari sesuatu.’
(At-Ta’rifat, Al-Jurjani, hlm 54).

وَفِي الاِصْطِلاَحِ : تَأَمُّلُ الْقُرْآنِ بِقَصْدِ الاِتِّعَاظِ وَالاِعْتِبَارِ

Menurut istilah ulama:

Merenungkan Al-Quran dengan maksud mendapat nasihat dan pelajaran.

(Tahrir Ma’na At-Tadabbur ‘Inda Al-Mufassirin, Makalah Dr. Fahd Mubarak Abdullah)

Dari maknanya baik secara bahasa maupun istilah dapat disimpulkan bahwa:

1. Tadabbur ayat Al-Quran dapat dilakukan setelah kita MEMAHAMI ARTI ayat secara umum dengan benar, meskipun hanya potongan ayatnya, atau beberapa kata di dalamnya.

Karena seseorang tidak dikatakan memandang apa yang ada dibalik sesuatu jika ia tidak mengetahui yang tampak jelas dari sesuatu itu.

Atau ia tidak dianggap sedang merenungkan tujuan, pengaruh atau akibat suatu kata atau kalimat atau ucapan jika ia tidak memahami arti harfiahnya dengan benar.

2. Tujuan dari tadabbur Al-Quran adalah memperoleh NASIHAT dan PELAJARAN dari ayat-ayatnya agar bertambah iman.

Maksud dari kata “itti’azh” dalam definisi adalah terpengaruh dengan mauizhah/nasihat, atau menerima mauizhah dengan hati, bukan sekadar informasi yang diterima akal.

Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Al-Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, tatkala menerima mauizhah dari beliau:

وَعَظَنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلّم مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ، وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ …

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan kami mauizhah (nasihat) yang membuat hati-hati ini bergetar dan mata menangis..

(potongan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud & Tirmidzi, lihat hadits ke-28 dari Hadits Arba’in Imam Nawawi).

TADABBUR ADALAH SALAH SATU TUJUAN AL-QURAN DITURUNKAN

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai akal pikiran. (QS. Shad: 29).

Asy-Syaukani berkata:

وَفِي الْآيَةِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ إِنَّمَا أَنْزَلَ الْقُرْآنَ لِلتَّدَبُّرِ وَالتَّفَكُّرِ فِي مَعَانِيهِ، لَا لِمُجَرَّدِ التِّلَاوَةِ بِدُونِ تَدَبُّرٍ

Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa Allah subhanahu wa ta’ala hanyalah menurunkan Al-Quran untuk dilakukan tadabbur dan berpikir pada makna ayat-ayatnya, bukan sekadar membaca tanpa tadabbur.
(Fath Al-Qadir, Asy-Syaukani, hlm 4/494).

Penulis kitab tafsir At-Tahrir wa At-Tanwir berkata:

وَكُلُّ آيَاتِ الْقُرْآنِ مُبَارَكٌ فِيهَا لِأَنَّهَا: إِمَّا مُرْشِدَةٌ إِلَى خَيْرٍ، وَإِمَّا صَارِفَةٌ عَنْ شَرٍّ وَفَسَادٍ، وَذَلِكَ سَبَبُ الْخَيْرِ فِي الْعَاجِلِ وَالْآجِلِ وَلَا بَرَكَةَ أَعْظَمُ مِنْ ذَلِك. وَالتَّدَبُّرُ: التَّفَكُّرُ وَالتَّأَمُّلُ الَّذِي يَبْلُغُ بِهِ صَاحِبُهُ مَعْرِفَةَ الْمُرَادِ مِنَ الْمَعَانِي، وَإِنَّمَا يَكُونُ ذَلِكَ فِي كَلَامٍ قَلِيلِ اللَّفْظِ كَثِيرِ الْمَعَانِي الَّتِي أُودِعَتْ فِيهِ بِحَيْثُ كُلَّمَا ازْدَادَ المُتَدَبِّرُ تَدَبُّرًا انْكَشَفَتْ لَهُ مَعَانٍ لَمْ تَكُنْ بَادِيَةً لَهُ بَادِئَ النَّظَرِ

Dan semua ayat-ayat Al-Quran adalah diberkahi karena ia merupakan pemberi arahan kepada kebaikan atau penghalang dari kejahatan dan kerusakan, dan hal itu adalah sebab bagi kebaikan di dunia maupun akhirat, dan tak ada keberkahan yang lebih agung daripada hal itu.

Dan makna tadabbur adalah berpikir dan merenung yang menyampaikan pelakunya kepada tujuan dari makna (ayat-ayat)nya.

Hal itu hanya terjadi pada ucapan yang jumlah lafazhnya sedikit tapi sarat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dimana setiap kali pelaku tadabbur menambah tadabburnya tersingkaplah kandungan nilai-nilai yang belum tampak di awal perenungan. (At-Tahrir wa At-Tanwir, Muhammad At-Thahir ‘Asyur, 23/251-252).

BERTAMBAH IMAN ADALAH TUJUAN UTAMA TADABBUR

Allah berfirman ditujukan kepada orang-orang kafir:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al-Quran? Kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. An-Nisa: 82)

Ayat di atas memerintahkan orang-orang yang tidak atau belum beriman untuk merenungkan makna ayat-ayat Al-Quran dengan sikap obyektif agar mereka beriman kepada Al-Quran bahwa ia benar-benar firman Allah, sebab jika bukan firmanNya, pasti mereka akan menemukan pertentangan di dalamnya.

Juga firman Allah yang ditujukan kepada orang-orang munafik:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran ataukah hati mereka terkunci? (QS. Muhammad: 24).

Asy-Syahid Sayyid Quthb rahimahullah berkata:

«أَمْ عَلى قُلُوبٍ أَقْفالُها؟» فَهِيَ تَحُوْلُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْقُرْآنِ وَبَيْنَهَا وَبَيْنَ النُّوْرِ؟ فَإِنَّ اسْتِغْلاَقَ قُلُوْبِهِمْ كَاسْتِغْلاَقِ الأَقْفَالِ الَّتِي لاَ تَسْمَحُ بِالْهَوَاءِ وَالنُّوْرِ!

Ataukah hati mereka terkunci?
Sehingga ia (hati yang terkunci itu) membatasi antara ia dengan Al-Quran, antara ia dengan cahaya?

Karena sesungguhnya terkuncinya hati-hati mereka seperti tertutup rapatnya (ruangan) yang tidak mengizinkan (sirkulasi) udara dan cahaya. (Fi Zhilal Al-Quran, 6/3297).

SEMAKIN JERNIH HATI, SEMAKIN BESAR PENGARUH TADABBUR BAGI KEIMANAN

Hal yang paling penting dari tadabbur Al-Quran adalah BERTAMBAHNYA KEIMANAN kita kepada Al-Quran dan rukun iman yang lain, dan itu amat terkait dengan kejernihan hati terutama saat melakukan tadabbur.

Tadabbur Al-Quran tidak harus menghasilkan kesimpulan baru atau pelajaran baru dari ayat-ayat yang direnungkan, apalagi sampai harus melahirkan kesimpulan hukum, tentu saja tidak harus demikian, karena yang mampu sampai pada level seperti itu adalah para ulama.

Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang melakukan tadabbur Al-Quran wajib “TAHU DIRI” dengan tidak memaksakan diri dengan tadabburnya untuk sampai pada kesimpulan, pelajaran, apalagi hukum baru yang belum pernah dikenal oleh para ulama tafsir, karena dikhawatirkan apa yang ia hasilkan dari tadabbur yang mengandung unsur “takalluf”(pemaksaan) itu keluar dari kaidah bahasa Arab dan bertentangan dengan syariat Islam.

Asy-Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah berkata dalam Risalah Ta’alim:

وَيُفْهَمُ الْقُرْآنُ طِبْقًا لِقَوَاعِدِ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ مِنْ غَيْرِ تَكَلُّفٍ وَلاَ تَعَسُّفٍ

Dan Al-Quran dipahami sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab tanpa pemaksaan dan penyimpangan kecendrungan.

Setelah memastikan bahwa ia telah memahami makna ayat dengan benar, yang harus diupayakan dalam tadabburnya adalah menambah keyakinannya kepada kebenaran Al-Quran seperti arahan surat An-Nisa ayat 82 di atas, dan agar Allah subhanahu wata’ala memasukkannya ke dalam golongan orang-orang yang bersih hati sehingga dapat mengamalkannya.

Inilah alasan mengapa tadabbur merupakan kewajiban setiap muslim laki-laki dan perempuan, bahkan diperintahkan juga kepada orang kafir dan munafik untuk melakukannya, karena modal dasarnya adalah memahami arti ayat atau potongan ayat dengan benar kemudian membacanya atau menyimak bacaan orang lain dengan hati yang tidak dikuasai hawa nafsu.

وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى كَوْنِ هَذَا هُوَ الْمُرَادَ بِالتَّدَبُّرِ تَوْجِيْهُ الْخِطَابِ فِي الآيَاتِ الآمِرَةِ بِهِ لِلْكُفَّارِ وَالْمُنَافِقِيْنَ، وَالْمَقْصُوْدُ مِنْ ذَلِكَ اتِّعَاظُهُمْ بِمَا وَرَدَ فِي القُرْآنِ، وَاعْتِبَارُهُمْ الهَادِي إِلَى الإِيْمَانِ وَاتِّبَاعِ الشَّرْعِ. وَهَكَذَا يَكُوْنُ الْمَقْصُوْدُ عِنْدَ تَعْمِيْمِ الأَمْرِ لِيَشْمَلَ الْمُسْلِمِيْنَ، فَالتَّدَبُّرُ مُتَوَجِّهٌ إِلَى اتِّعَاظِ القَلْبِ وَاعْتِبَارِهِ مِمَّا يُثْمِرُ بَعْدَ ذَلِكَ آثَاراً دَالَّةً عَلَى الخُشُوْعِ: كَوَجَلِ القَلْبِ، وَالبُكَاءِ، وَالخَشْيَةِ، وَزِيَادَةِ الإِيْمَانِ…

Diantara dalil bahwa tujuan tadabbur adalah meraih keimanan:
Bahwa seruan dari ayat-ayat yang memerintahkan mentadabburi Al-Quran ditujukan kepada orang kafir dan munafik dengan maksud agar mereka terpengaruh dengan mauizhah yang ada di dalam Al-Quran, dan agar mereka mendapatkan ibrah yang menunjuki mereka kepada iman dan mengikuti syariat Islam.

Begitu pula tujuan perintah tadabbur yang bersifat umum ini berlaku atas kaum muslimin.

Jadi tadabbur mengarah kepada terpengaruhnya hati dengan mauizhah, dan diraihnya ibrah, yang selanjutnya membuahkan hal-hal yang menunjukkan kekhusyu’an, seperti: hati yang bergetar, menangis, rasa gentar dan bertambahnya iman… (Tahrir Ma’na At-Tadabbur ‘Indal Mufassirin)

Perhatikan firman Allah subhanahu wata’ala tentang para nabi dan orang-orang beriman yang membaca atau dibacakan ayat-ayat yang diturunkan untuk mereka:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Rabb merekalah, mereka bertawakkal. (QS. Al-Anfal: 2).

أُولَئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا

Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil (Ya’qub), dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih.

Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. (QS. Maryam: 58)

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ …

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi diulang-ulang (membacanya), gemetar (merinding) karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah… (QS. Az-Zumar: 23)

TADABBUR, SATU CARA MERASAKAN KELEZATAN AL-QURAN

Az-Zakarsyi rahimahullah dalam kitabnya Al-Burhan menyatakan:

مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ عِلْمٌ وَفَهْمٌ وَتَقْوَى وَتَدَبُّرٌ، لَمْ يُدْرِكْ مِنْ لَذَّةِ القُرْآنِ شَيْئًا

Barangsiapa tidak memiliki ilmu, pemahaman, taqwa dan tadabbur, tidak akan mendapatkan kelezatan Al-Quran sedikitpun. (Al-Burhan fi Ulum Al-Quran, 2/155).

Apa yang disebutkan oleh Az-Zarkasyi merupakan perangkat yang lengkap untuk melakukan tadabbur yang menghasilkan kelezatan berinteraksi dengan Al-Quran:

1. ILMU

Yaitu lmu syar’i yang diperlukan untuk tadabbur mendalam terutama yang ilmu yang berkaitan dengan tafsir Al-Quran.

2. PEMAHAMAN

Dengan memahami makna ayat Al-Quran yang akan ditadabburi dengan pemahaman yang benar.

Ini adalah bekal ilmu minimal untuk melakukan tadabbur, jika belum dapat memiliki perangkat ilmu tafsir yang lengkap.

3. TAQWA

Yang sumbernya dari kejernihan hati, iman yang benar terhadap semua rukun iman, dan niat yang ikhlas.

4. TADABBUR

Yaitu aktifitas perenungannya itu sendiri sesuai pengertian yang telah dijelaskan.

Merasakan kelezatan Al-Quran ini akan berdampak pada kekhusyu’an membacanya di dalam atau di luar shalat.

Di dalam shalat sunnah yang ia lakukan sendirian misalnya, seorang mukmin akan betah berlama-lama dengan bacaan Al-Quran setelah membaca surat Al-Fatihah, baik dengan memilih surat yang panjang atau mengulang-ulang membaca ayat atau beberapa ayat, atau membaca doa terkait dengan ayat yang ia baca.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

إِذَا مَرَّ – مُتَدَبِّرُ القُرْآنِ – بِآيَةٍ وَهُوَ مُحْتَاجٌ إِلَيْهَا فِي شِفَاءِ قَلْبِهِ كَرَّرَهَا وَلَوْ مِائَةَ مَرَّةٍ وَلَوْ لَيْلَة، فَقِرَاءَةُ آيَةٍ بِتَفَكُّرٍ وَتَفَهُّمٍ خَيْرٌ مِنْ قِرَاءَةِ خَتْمَةٍ بِغَيْرِ تَدَبُّرٍ وَتَفَهُّمٍ، وَأَنْفَعُ لِلْقَلْبِ، وَأَدْعَى إِلَى حُصُولِ الِإيْمَانِ وَذَوْقِ حَلاَوَةِ القُرْآنِ

Jika orang yang sedang bertadabbur melewati sebuah ayat yang ia butuhkan dalam menyembuhkan hatinya, hendaklah ia MENGULANG-ULANG meskipun hingga seratus kali atau sepanjang malam.

Membaca satu ayat dengan tafakkur dan tafahhum lebih baik dari membaca khatam tanpa tadabbur dan tafahhum, lebih bisa bermanfaat bagi hati, dan lebih mampu mencapai iman dan merasakan lezatnya Al-Quran.

(Ibnul Qayyim, Miftah Daris As-Sa’adah, hlm 221).

‘Urwah bin Az-Zubair bin ‘Awwam radhiyallahu ‘anhuma mengisahkan tentang ibunya, Asma binti Abu Bakar, radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia masuk ke rumah mendapatkan Asma sedang shalat:

فَسَمِعْتُهَا وَهِيَ تَقْرَأُ هَذِهِ الْآيَةَ {فَمَنَّ اللهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ} [الطور: 27] فَاسْتَعَاذَتْ فَقُمْتُ وَهِيَ تَسْتَعِيذُ فَلَمَّا طَالَ عَلَيَّ أَتَيْتُ السُّوقَ ثُمَّ رَجَعْتُ وَهِيَ فِي بُكَائِهَا تَسْتَعِيذُ

Maka aku mendengar ia sedang membaca ayat:

فَمَنَّ اللهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ

Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. (QS. Ath-Thur: 27).

Lalu ia berdoa memohon perlindungan (kepada Allah) darinya, lalu aku berdiri dan ia masih memohon perlindungan.

Ketika aku merasakan lama, aku keluar pergi ke pasar kemudian kembali dan ia masih dalam tangisnya memohon perlindungan. (Hilyah Al-Aulia wa Thabaqat Al-Ashfiya, Al-Ashbahani, 2/55).

Tentu saja yang membuat Asma betah berlama-lama dalam tangis dan munajatnya adalah tadabburnya terhadap ayat tersebut yang melahirkan interaksi dalam bentuk doa perlindungan.

Itulah dahsyatnya kelezatan Al-Quran dengan tadabbur.

Kisah yang hampir sama terjadi pada Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Ibnu Katsir menyebutkan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dengan sanadnya dari Aisyah radhiyallahu ‘anha:

Bahwa ia membaca ayat ini:

فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلُ نَدْعُوهُ إِنَّهُ هُوَ الْبَرُّ الرَّحِيمُ

Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka. Sesungguhnya kami dahulu menyembah-Nya. Sesungguhnya Dialah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang. (QS. Ath-Thur: 27-28).

Maka ia (Aisyah) berdoa:

اللَّهُمَّ مُنَّ عَلَيْنَا وَقِنَا عَذَابَ السَّمُومِ، إِنَّكَ أَنْتَ الْبَرُّ الرَّحِيمُ

Ya Allah karuniakan kepada kami dan pelihara kami dari azab neraka, sesungguhnya Engkaulah yang melimpahkan kebaikan lagi Maha Penyayang.

Al-A’masy, salah seorang perawi kisah ini ditanya:
Di dalam shalat?
Ia menjawab: Ya.

Diriwayatkan juga oleh Abdul Razzaq, Ibnu Abi Syaibah, Ibnu Al-Mundzir, dan Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Iman seperti yang disebutkan pada Ad-Durr Al-Mantsur 7/634).

Asy-Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah menyebutkan dalam bukunya Nazharat fi Kitabillah:

وذكر أبو بكر أحمد بن علي بن ثابت الحافظ في كتابه المسمى “أسماء من روى عن مالك” عن مرداس بن محمد بن بلال الأشعري قال: حدثنا مالك عن نافع عن ابن عمر قال: تَعَلَّمَ عُمَرُ الْبَقَرَةَ فِى اثْنَتَيْ عَشْرَةَ سَنَةً، فَلَمَّا خَتَمَهَا نَحَرَ جَزُوْرًا، شُكْرًا للهِ

Dan Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit Al-Hafizh telah menyebutkan dalam kitabnya berjudul “Asma Man Rawaa ‘an Malik” (Nama-Nama Siapa Saja yang Meriwayatkan dari Imam Malik).

Dari Mirdas bin Muhammad bin Bilal Al-Asy’ari ia berkata: Telah berbicara kepada kami Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar (bin Khatab) ia berkata:

Umar mempelajari surat Al-Baqarah selama dua belas tahun, tatkala selesai, ia pun menyembelih unta sebagai tanda syukur kepada Allah.

(Nazharat Fi Kitabillah, Hasan Al-Banna hlm 157; Lihat juga: Ad-Durr Al-Mantsur, As-Suyuthi, 1/54)

Tentunya dua belas tahun yang dihabiskan oleh Umar untuk mempelajari surat Al-Baqarah saja menunjukkan kedalaman tadabbur yang dilakukan saat membacanya, bukan sekadar membaca untuk khatam.

Dan kebahagiaan mentadabburi surat Al-Baqarah dengan tadabbur ini setelah selesai diungkapkan dengan menyembelih unta sebagai tanda syukur kepada Allah subhanahu wata’ala.

HUBUNGAN TAFSIR DENGAN TADABBUR

Jika tafsir hanya berisi penjelasan tentang makna ayat secara umum, maka tafsir seperti ini merupakan bekal awal untuk melakukan tadabbur.

Tetapi jika tafsir ayat Al-Quran juga berisi makna tersirat dari ayat atau menjelaskan nilai-nilai yang tidak tampak jika hanya melihat terjemahan ayat, apalagi sampai pada istanbath (kesimpulan hukum atau hikmah kehidupan) yang memperkuat iman, maka tafsir seperti ini merupakan hasil dari tadabbur sang penafsir atau ia mengutip hasil tadabbur orang lain.

Dalam hal ini tadabbur adalah bagian dari tafsir.

Sedangkan tafsir yg berasal dari wahyu (tafsir Al-Quran dengan Al-Quran & tafsir Al-Quran dengan Sunnah Rasulullah) atau berasal dari riwayat sahabat Rasulullah yg telah dipastikan merupakan informasi dari Rasulullah, jelas bukan merupakan tadabbur, tetapi ia menjadi penjelasan penting dalam mentadabburi ayat-ayat yang telah dijelaskan oleh wahyu atau riwayat tersebut.

YANG MEMBANTU TADABBUR

Diantara hal penting yang dapat membantu seorang muslim dalam tadabbur:

* Memenuhi semua adab tilawah Al-Quran diantaranya dalam keadaan bersuci, menghadap kiblat, memilih waktu yang tepat, dll.

* Menghadirkan perasaan bahwa ayat Al-Quran sedang berbicara kepadanya, kemudian merenungkan apakah posisinya saat ini sudah sesuai dengan kehendak Al-Quran atau belum.

* Tilawah dengan perlahan dan khusyu’ dan tidak memikirkan harus sampai akhir surat atau akhir juz.
Dalam hal ini hendaknya seorang muslim memiliki waktu khusus untuk tadabbur di luar waktu untuk tilawah dengan target khatam.

* Memikirkan ayat yang sedang dibaca dengan perlahan, menganalisanya berulang sambil memperhatikan korelasi antar ayat sebelum dan sesudahnya.

* Memiliki pemahaman yang baik terhadap dasar-dasar ilmu tafsir

* Menelaah pendapat ulama tafsir, terutama saat mereka yang menjelaskan hubungan antar ayat, atau antar surat.

* Memperhatikan tujuan asasi Al-Quran atau syariat secara umum, diantaranya pelurusan aqidah tauhid dan seluruh rukun iman, penegasan kemuliaan manusia dan hak-haknya yang utuh ruhani maupun jasmani khususnya kaum yang lemah,  penegasan wasathiyah (kemoderatan) ajaran Islam, penyucian jiwa dan pelurusan akhlak, keadilan dan kasih sayang, dll.

والله أعلم


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

puasa di bulan Muharram

Puasa Sunah ‘Asyura: Waktu dan Keutamaannya

Pemateri: Ust. FARID NU’MAN HASAN SS.

Tidak Sedikit manusia bertanya, bagaimanakah puasa sunah ‘Asyura itu?

Kapankah pelaksanaannya?

DALIL-DALIL NYA:

Berikut ini adalah dalil-dalil puasa tersebut:

Hadits Dari Muadz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu:

 فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَيَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى { كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِلَى قَوْلِهِ طَعَامُ مِسْكِينٍ } فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَصُومَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا أَجْزَأَهُ ذَلِكَ

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dahulu berpuasa tiga hari pada tiap bulannya dan berpuasa pada hari ‘Asyura, lalu Allah Ta’ala menurunkan wahyu:

“Diwajibkan atas kalian
berpuasa (Ramadhan) sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian”  hingga firmanNya: “memberikan makanan kepada orang miskin” maka sejak itu barang siapa yang ingin berpuasa (puasa tiga hari tiap bulan dan ‘Asyura) maka silahkan dia berpuasa, dan barang siapa yang ingin berbuka maka silahkan dia berbuka, dan memberikan kepada orang miskin setiap hari yang demikian itu akan mendapatkan ganjaran.”

(HR. Abu Daud No. 507. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 507)

Hadits dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

 كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ

“Hari ‘Asyura adalah hari yang pada masa jahiliyah orang-orang Quraisy melaksanakan puasa, saat itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga berpuasa.

Ketika Beliau  sampai ke Madinah beliau berpuasa dan memerintahkan manusia agar berpuasa pada hari itu.
Maka, tatkala diwajibkan puasa Ramadhan, dia meninggalkan puasa ‘Asyura.

Maka, barang siapa yang mau silahkan dia puasa dan barang siapa yang tidak maka tinggalkanlah.” (HR. Bukhari No. 2002, 4504, Muslim No. 1125)

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

 كَانُوا يَصُومُونَ عَاشُورَاءَ قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ رَمَضَانُ وَكَانَ يَوْمًا تُسْتَرُ فِيهِ الْكَعْبَةُ  فَلَمَّا فَرَضَ اللَّهُ رَمَضَانَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ أَنْ يَصُومَهُ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتْرُكَهُ فَلْيَتْرُكْهُ

“Dahulu mereka berpuasa pada hari ‘Asyura sebelum diwajibkannya Ramadhan dan saat itu hari ditutupnya Ka’bah.

Ketika Allah Ta’ala mewajibkan Ramadhan, bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Barang siapa yang mau puasa (‘Asyura) silahkan, barang siapa yang mau meninggalkannya, silahkan.”
(HR. Bukhari No. 1592, Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 7495, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 9513)

Dan lain-lain.

Dari tiga hadits di atas, kita dapat memahami bahwa dahulu puasa ‘Asyura adalah   RUTINITAS Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya.

Lalu,  puasa itu menjadi PILIHAN saja setelah diwajibkannya puasa Ramadhan, bagi yang menghendakinya.

Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani menjelaskan, bahwa sebagaian ulama, yakni kalangan Hanafiyah mengatakan dahulu puasa ‘Asyura itu WAJIB, mereka berdalil dengan zahir hadits bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan hal itu:

“ …. ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampa ke Madinah beliau berpuasa dan memerintahkan manusia agar berpuasa pada hari itu.”

Lalu, ketika diwajibkan puasa Ramadhan, kewajiban puasa ‘Asyura di hapus (mansukh).

Namun mayoritas ulama mengatakan bahwa tidak ada satu pun puasa yang wajib, sebelum diwajibkannya   puasa Ramadhan, mereka berdalil dari hadits Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu secara marfu’: “Allah tidak mewajibkan berpuasa (‘Asyura) atas kalian.”.

Ada pun perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hadits tersebut tidak menunjukkan kewajiban, tetapi anjuran saja. (Lihat Fathul Bari, 4/103. Darul Fikr)

Yang shahih –Insya Allah- adalah pendapat jumhur ulama. Hadits yang dimaksud adalah dari Mu’awiyah bin Abu Sufyan Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إن هذا يوم عاشوراء، ولم يكتب عليكم صيامه، وأنا صائم، فمن شاء صام، ومن شاء فليفطر

“Sesungguhnya ini adalah hari ‘Asyura, dan kalian tidaklah diwajibkan berpuasa padanya, dan saya sedang puasa, jadi barangsiapa yang mau puasa silahkan, yang mau buka juga silahkan.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Hadits ini diucapkan juga sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, maka jelaslah bahwa sebelum wajibnya puasa Ramadhan, TIDAK ADA puasa wajib termasuk ‘Asyura.

KEUTAMAAN ‘ASYURA DAN PUASANYA

1. Puasa Paling Afdhal Setelah Puasa Ramadhan.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم وأفضل الصلاة بعد الفريضة صلاة الليل

“Puasa paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Muharam.” (HR. Muslim No. 1163. Ad Darimi No. 1758.  Ibnu Khuzaimah No. 2076. Ahmad No. 8534, dengan tahqiq Syaikh Syu’aib Al Arna’uth)

2. Diampuni Dosa Setahun Sebelumnya.

Dari Abu Qatadah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 وَصَوْمُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ
أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ

“Dan berpuasa ‘Asyura, sesungguhnya saya menduga atas Allah bahwa dihapuskannya dosa setahun sebelumnya.” (HR. Abu Daud  No. 2425, Ibnu Majah No. 1738. Syaikh Al Albani mengatakan shahih dalam Al Irwa, 4/111, katanya: diriwayatkan oleh Jamaah kecuali Al Bukhari dan At Tirmidzi.  Shahihul Jami’ No. 3806)

3. Hari ‘Asyura adalah Hari  di mana Allah Ta’ala Membebaskan Nabi Musa dan Bani Israel dari kejaran Fir’aun dan Bala tentaranya

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة فرأى اليهود تصوم عاشوراء
فقال: ” ما هذا؟ ” قالوا: يوم صالح، نجى الله فيه موسى وبني السرائيل من عدوهم، فصامه موسى فقال صلى الله عليه وسلم: ” أنا أحق بموسى منكم ” فصامه، وأمر بصيامه

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampai di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa ‘Asyura. Beliau bertanya: “Apa ini?” mereka menjawab:
“Ini hari baik, Allah telah menyelamatkan pada hari ini Musa dan Bani Israel dari musuh mereka, maka Musa pun berpuasa.”

Maka, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Saya lebih berhak terhadap Musa dibanding kalian.” Maka, beliau pun berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa (‘Asyura).” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

KAPANKAH PELAKSANAANYA?

Terjadi perselisihan pendapat para ulama.

1. Pihak yang mengatakan 9 Muharam (Ini diistilahkan oleh sebagian ulama hari tasu’a).

Dari Al Hakam bin Al A’raj, dia berkata kepada Ibnu Abbas:

أَخْبِرْنِي عَنْ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَيُّ يَوْمٍ هُوَ أَصُومُهُ قَالَ إِذَا رَأَيْتَ هِلَالَ الْمُحَرَّمِ فَاعْدُدْ ثُمَّ أَصْبِحْ مِنْ التَّاسِعِ صَائِمًا قَالَ فَقُلْتُ أَهَكَذَا كَانَ يَصُومُهُ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ

“Kabarkan kepada aku tentang puasa ‘Asyura.” Ibnu Abbas berkata: “Jika kau melihat hilal muharam hitunglah dan jadikan hari ke-9 adalah berpuasa.” Aku berkata; “Demikiankah puasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?”  Ibnu Abbas menjawab: “Ya.” (HR. Muslim No. 1133, Ahmad No. 2135)

Juga  dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:

 حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa pada hari ‘Asyura dan dia memerintahkan manusia untuk berpuasa pada hari itu, para sahabat berkata:

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani ….,”

Maka dia bersabda: “Jika datang tahun yang akan datang – Insya Allah- kita akan berpuasa pada hari ke-9.”
Ibnu Abbas berkata: “Sebelum datangnya tahun yang akan datang, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah wafat.” (HR. Muslim No. 1134 dan Abu Daud No. 2445)

Sementara dalam lafaz lainnya:

لئن سلمت إلى قابل لأصومن اليوم التاسع

“Jika saya benar-benar masih sehat sampai tahun depan, maka saya akan berpuasa pada hari ke-9.” (HR. Muslim No. 1134. Ibnu Majah No. 1736. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 8185. Ahmad No. 1971)

Dalam Shahih Muslim disebutkan tentang puasa hari ke-9:

وفي رواية أبي بكر: قال: يعني يوم عاشوراء

“Dalam riwayat Abu Bakar, dia berkata: yakni hari ‘Asyura.” (HR. Muslim No. 1134)

Dari Ibnu Abbas secara marfu’:

لئن عشت إلي قابل لأصومن التاسع يعني يوم عاشوراء

“Jika saya masih hidup sampai tahun depan, saya akan berpuasa pada hari ke -9, yakni ‘Asyura.” (HR. Ahmad No. 2106, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: sanadnya qawwi. Musnad Ibnu Al Ja’d No. 2827)

2. Pihak   yang mengatakan 10 Muharam, dan ini pendapat mayoritas ulama. Puasa ‘Asyura, sesuai asal katanya – al ‘asyr – yang berarti sepuluh.

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah:

واختلف أهل الشرع في تعيينه فقال الأكثر هو اليوم العاشر ، قال القرطبي عاشوراء معدول عن عاشرة للمبالغة والتعظيم ، وهو في الأصل صفة لليلة العاشرة لأنه مأخوذ من العشر

“Telah berselisih pendapat para ahli syariat tentang waktu spesifiknya, kebanyakan mengatakan adalah hari ke sepuluh. Berkata Al Qurthubi ‘Asyura disetarakan dengan kesepuluh untuk menguatkan dan mengagungkannya.

Pada asalnya dia adalah sifat bagi malam yang ke sepuluh, karena dia ambil dari kata al ‘asyr (sepuluh).” (Fathul Bari, 6/280)

Lalu beliau melanjutkan:

وعلى هذا فيوم عاشوراء هو العاشر وهذا قول الخليل وغيره : وقال الزين ابن المنير : الأكثر على أن عاشوراء هو اليوم العاشر من شهر الله المحرم

“Oleh karena itu, hari ‘Asyura adalah ke sepuluh, inilah pendapat Al Khalil dan lainnya. Berkata Az Zain bin Al Munir, “ mayoritas mengatakan bahwa ‘Asyura adalah hari ke 10 dari bulan Allah, Al Muharram. (Ibid)

Pendapat   ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بصيام عاشوراء يوم العاشر

“Kami diperintahkan puasa ‘Asyura oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hari ke sepuluh.” (HR. At Tirmidzi No. 755, katanya: hasan shahih. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 755)

Lalu, bagaimana dengan dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak yang mengatakan ‘Asyura adalah tanggal 9 Muharam?

Al Hafizh Ibnu Hajar memberikan penjelasan: “Zahirnya hadits ini menunjukkan hari ‘Asyura adalah hari ke-9, tetapi berkata Az Zain bin Al Munir: “Sabdanya jika datang hari ke sembilan” maka jadikanlah  ke sepuluh, dengan maksud yang ke sepuluh karena janganlah seseorang berpuasa pada hari ke-9 kecuali setelah berniat pada malam yang akan datang yaitu malam ke sepuluh.”  Lalu beliau mengatakan:

  قلت : ويقوي هذا الاحتمال ما رواه مسلم أيضا من وجه آخر عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم قال ” لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع فمات قبل ذلك ” فإنه ظاهر في أنه صلى الله عليه وسلم كان يصوم العاشر وهم بصوم التاسع فمات قبل ذلك ، ثم ما هم به من صوم التاسع يحتمل معناه أنه لا يقتصر عليه بل يضيفه إلى اليوم العاشر إما احتياطا له وإما مخالفة لليهود والنصارى وهو الأرجح

“Aku berkata: yang menguatkan tafsiran ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Muslim juga dari jalan lain, dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:“jika saya masih ada sampai tahun depan saya akan berpuasa pada hari ke-9, dan dia wafat sebelum itu.”

Pada zahir hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berpuasa pada hari ke-10, dan   meraka diperintah  melakukannya pada hari ke-9 dan dia wafat sebelum itu. Kemudian apa yang mereka lakukan berupa puasa hari ke-9, tidaklah bermakna membatasi, bahkan menambahkan hingga hari ke -10, baik karena kehati-hatian, atau demi untuk menyelisihi orang Yahudi dan Nasrani. Inilah pendapat yang lebih kuat.” (Ibid)

Sebenarnya kelompok ini tidaklah mengingkari puasa hari ke-9. Beliau mengutip dari para ulama:

وقال بعض أهل العلم : قوله صلى الله عليه وسلم في صحيح مسلم ” لئن عشت إلى قابل لأصومن التاسع ” يحتمل أمرين ، أحدهما أنه أراد نقل العاشر إلى التاسع ، والثاني أراد أن يضيفه إليه في الصوم ، فلما توفي صلى الله عليه وسلم قبل بيان ذلك كان الاحتياط صوم اليومين

“Berkata sebagian ulama: Sabdanya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam Shahih Muslim: Jika aku masih hidup sampai tahun depan maka aku akan berpuasa pada hari ke -9” bermakna dua hal;

Pertama, yaitu perubahan dari hari ke-10 menjadi ke-9.
Kedua, yaitu puasanya ditambahkan.

Ternyata Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keburu meninggal sebelum menjelaskan hal itu, maka demi kehati-hatian puasa tersebut ada dua hari.” (Ibid)

Berkata Ibnu Abbas secara mauquf:

صوموا التاسع والعاشر وخالفوا اليهود

“Berpuasalah pada hari ke 9 dan 10 dan berselisihlah dengan Yahudi.” (HR. Ahmad No. 3213, sanadnya shahih mauquf/sampai Ibnu Abbas saja)

3. Pihak yang mengatakan puasa ‘Asyura itu adalah 9, 10, dan 11 Muharam.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menulis dalam kitab Fiqhus Sunnah sebuah sub bab berjudul :

صيام محرم، وتأكيد صوم عاشوراء ويوما قبلها، ويوما بعدها

“Puasa Muharam dan ditekankan puasa ‘Asyura, dan Puasa sehari sebelumnya, serta sehari sesudahnya.” (Fiqhus Sunnah, 1/450. Darul Kitab ‘Arabi)

Sama dengan kelompok kedua, hal ini demi kehati-hatian agar tidak menyerupai puasa Yahudi yang mereka lakukan pada hari ke-10, sebagai perayaan mereka atas bebasnya Nabi Musa ‘Alaihissalam dan bani Israel dari kejaran musuhnya.

Dalilnya adalah dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Ahuma secara marfu’:

صوموا يوم عاشوراء وخالفوا اليهود ، صوموا يوما قبله أو يوما بعده

“Puasalah pada hari ‘Asyura dan berselisihlah dengan Yahudi, dan berpuasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.” (HR. Ahmad No. 2154, namun Syaikh Syu’aib Al Arna’uth mengatakan sanadnya dhaif)

Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah –setelah merangkum semua dalil yang ada:

وعلى هذا فصيام عاشوراء على ثلاث مراتب : أدناها أن يصام وحده ، وفوقه أن يصام التاسع معه ، وفوقه أن يصام التاسع والحادي عشر والله أعلم

“Oleh karena itu, puasa ‘Asyura terdiri atas tiga tingkatan:

1. Paling rendah yakni berpuasa sehari saja (tanggal 10).

2. Puasa hari ke-9 dan ke-10.

3.  Paling tinggi   puasa hari ke-9, 10, dan ke-11.

(Ibid. lihat juga Fiqhus Sunnah, 1/450)

Wallahu A’lam


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Pegang Teguh Tali Allah

Sama Dalam Penciptaan, Berbeda Dalam Sifat dan Karakter (Bag-2)

Pemateri: Ustadzah. EKO YULIARTI SIROJ,  M.Ag.

Lantas, dimana letak perbedaan manusia?

Rasulullah SAW bersabda :

إن الله خلق آدم من قبضة قبضها من جميع الأرض, فجاء بنو آدم على قدر الأرض جاء منهم الأبيض والأحمر والأسود وبين ذلك والخبيث والطيب والسهل والحزن وبين ذلك

Artinya:
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan Adam dari segumpal tanah yang diambil-Nya dari segala macam tanah.

Kemudian datanglah anak-anak Adam menurut tanah asal mereka. Mereka ada yang putih, merah, hitam dan sebagainya; ada pula yang jelek, baik, sederhana, bersedih dan sebagainya.” (H.R. Abu Daud dan Tirmizi)

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً ۚ يَخْلُقُ مَاا يَشَاءُ ۖ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ

“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban.

Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS Ar Ruum : 54)

Disinilah perbedaannya…..
dalam perjalanan itu.

Dalam tumbuh kembang dan pembentukan karakternya.

Berbedanya pola hidup, makanan, minuman dan budaya membuat manusia memiliki karakter umum yang berbeda-beda.

Ada orang Timur yang ramah dan santun, ada orang Barat yang terbuka dan terus terang.

Ada orang Arab yang penuh semangat, ada orang Inggris yang penuh etika.

Karakter umum itu kemudian mengerucut menjadi karakter khusus orang per orang.

Ada orang yang berhati
lembut, ada yang keras hatinya.
Ada yang pemaaf, ada yang pemarah.
Ada yang pendiam ada yang ramai.
Ada yang terbuka ada yang tertutup.
Ada yang bergerak cepat, ada yang santai.
Dan yang lainnya.

Karakter khusus ini dilandasi oleh sifat dasar seseorang yang dipengaruhi dengan sangat besar oleh pola asuh, kondisi lingkungan, kondisi ekonomi dan pendidikan.

Maka menjadi sebuah keniscayaan bahwa setiap orang memiliki karakter yang berbeda.

Perbedaan karakter ini membuat manusia harus saling mengenal.
Agar interaksi diantara mereka dapat berjalan dengan harmonis. Interaksi yang hangat, saling memahami dan terhindar dari banyak masalah yang muncul karena perbedaan.

Allah SWT berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al Hujurat:13)

Maka mulialah dua sahabat besar Abu Bakar RA dan Umar bin Khattab RA. Dua insan yang Allah ciptakan sama sebagai manusia kemudian keduanya berjalan dengan takdirnya sendiri-sendiri.

Abu Bakar RA sahabat berhati lembut, berparas tampan, bersegera dalam berderma dan dalam semua kebaikan. Ia  yang rela menghadapi rintangan yang sangat berat demi  menemani Rasulullah SAW dalam perjalanan hijrahnya. Ia yang diakhir hayatnya meminta agar kekayaan yang ia dapat saat menjadi khalifah, dikembalikan ke baitul maal kaum muslimin.
Dan inilah Umar bin Khattab RA… Sahabat berhati baja, berpostur gagah, bersegera menghadang musuh-musuh Allah yang akan mengganggu Rasulullah SAW dan bersegera menghunus pedangnya saat mendengar kemunkaran terjadi.

Ia yang disebutkan dalam hadits riwayat Aisyah sebagai seseorang yang ditakuti oleh syaitan. Ia yang begitu murka saat mendengar orang mengatakan Rasulullah telah wafat.

Allah ciptakan keduanya sama sebagai manusia…dengan karakter yang jauh berbeda.

Namun perbedaan karakter yang hampir seratus delapan puluh derajat itu tidak membuat mereka harus berhadapan, berselisih atau berpisah karena merasa tidak cocok.
Justru perbedaan karakter itu mereka kelola dalam interaksi mereka sehingga menghasilkan amal solih yang luar biasa.

Abu Bakar yang menangis tersedu saat Allah membenarkan pandangan Umar tentang tawanan perang Badar dan Umar yang berlinang air mata saat tahu apa yang setiap pagi dilakukan Abu Bakar dirumah seorang nenek tua dipinggiran kota Madinah.

Keduanya menjadi manusia mulia karena ketakwaan yang mereka miliki bukan sekedar karena karakter belaka.

❁Dan disinilah kita hari ini. Belajar dan terus belajar, berusaha dan terus berusaha agar perbedaan karakter antara suami, istri, anak, orang tua, mertua, ipar, dan kerabat lainnya dapat kita kelola menjadi sebuah harmoni yang indah bukan menjadi sebab terjadinya perpecahan.❁

Di keluargalah kita belajar mengelola beragam karakter ini karena diluar sana, di masyarakat luas, kita akan berhadapan dengan karakter yang lebih beragam.

Sebagai insan yang berbeda, suami istri pasti akan mengahadapi  ketidakcocokan.

Tapi benarkah ketidakcocokan harus menjadi factor yang menyebabkan suami istri berpisah padahal itu adalah hal yang niscaya?

Jika sampai terjadi, maka sesungguhnya kekurangan yang ada pada keluarga-keluarga kita adalah keterampilan untuk mengelola ketidakcocokan itu bukan ketidakcocokan itu sendiri.

Keluarga-keluarga kita kurang terampil mengelola perbedaan bukan perbedaan itu sendiri yang menyebabkan banyak perpisahan.

Maka, memahami persamaan dalam penciptaan  dan perbedaan dalam karakter merupakan prinsip ketiga yang perlu difahami oleh anggota keluarga setelah prinsip pertama yaitu memahami misi sebagai manusia dan prinsip yang kedua yaitu fitrah manusia yang terjaga dengan mengikuti petunjuk Allah SWT dan Rasulullah SAW.

Semoga Allah kuatkan pondasi-pondasi keluarga kita dan Allah tingkatkan kefahaman kita terhadap ilmu dalam berkeluarga.

Aamiin ya Robbal ‘alamiin….


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Pegang Teguh Tali Allah

Sama Dalam Penciptaan, Berbeda Dalam Sifat dan Karakter (Bag-1)

Pemateri: Ustadzah. EKO YULIARTI SIROJ,  M.Ag.

❃ Tentang nasib para tawanan Badar, keduanya berbeda pandangan.

Dengan kelembutan hatinya, sahabat mulia ini berpandangan bahwa mereka harus diberikan hak untuk hidup. Dilindungi dan dikasihi, sebesar apapun kesalahan dan kebencian mereka kepada Rasulullah SAW.

Sahabat mulia yang lain teguh dengan pandangannya bahwa mereka harus dibunuh karena kekafiran, penolakan dan kebenciannya kepada Rasulullah SAW.

Setelah mempertimbangkan kedua pandangan tersebut, Rasulullah SAW bersabda:

“Allah SWT melembutkan hati beberapa orang diantara kalian lebih lembut dari susu.
Dan Dia mengeraskan hati beberapa orang diantara kalian lebih keras dari batu.”

Kepada Abu Bakar RA, Rasulullah berkata :
“Engkau seperti Ibrahim AS yang mengatakan,
“Dia yang mengikutiku adalah salah satu dari kami, dan dia yang tidak mengikutiku, maka ya Allah, Engkau Maha Pemurah untuk memaafkannya”.

Kepada Umar bin Khattab RA, Rasulullah berkata :
“Engkau seperti Nuh AS yang mengatakan,
“Ya Allah, jangan tinggalkan satupun dari orang yang tidak beriman itu di bumi ini.”

Dan Rasulullah pun menerima saran Abu Bakar RA.

Namun keesokan harinya, Umar mendapati Rasululah dan Abu Bakar sedang menangis.

Umar bertanya:
“Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu menangis? Katakan padaku sehingga aku ikut menangis bersamamu.”

Rasulullah menjawab :
“Wahai Umar, tidak ada yang perlu engkau tangisi karena seharusnya engkau berbahagia.
Allah telah menguatkan pandanganmu tentang tawanan Badar, dan menegur mereka yang mengambil pandangan yang bertentangan.”

Kemudian Rassulullah SAW membacakan ayat :

“Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan
sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi.

Kalian menghendaki harta benda duniawiah,
sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untuk kalian).
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. “(QS Al-Anfaal:67)

❆ Di kesempatan lain…..

Suatu hari, Umar mengawasi Abu Bakar di waktu fajar.
Sesuatu telah menarik perhatian Umar.

Saat itu Abu Bakar pergi ke pinggiran kota Madinah setelah shalat subuh. Abu Bakar mendatangi sebuah gubuk kecil beberapa saat, lalu dia pulang kembali ke rumahnya.

Umar tidak mengetahui apa yang ada di dalam gubuk itu dan apa yang dilakukan Abu Bakar di sana. Umar mengetahui segala kebaikan yang dilakukan Abu Bakar kecuali rahasia urusan gubuk tersebut.

Hari-hari terus berjalan, Abu Bakar tetap mengunjungi gubuk kecil di pinggiran kota itu. Umar masih belum mengetahui apa yang dilakukan Abu Bakar di sana.

Sampai akhirnya Umar memutuskan untuk masuk ke dalam gubuk itu sesaat setelah Abu Bakar meninggalkannya.

Umar ingin melihat apa yang ada di dalam gubuk itu dengan mata kepalanya sendiri. Dia ingin mengetahui apa yang dilakukan oleh sahabatnya di situ.

Saat Umar masuk ke dalam gubuk kecil itu, Umar mendapatkan seorang nenek tua yang lemah tanpa bisa bergerak. Nenek itu juga buta kedua matanya. Tidak ada sesuatu pun di dalam gubuk kecil itu.

Umar tercengang dengan apa yang dilihatnya, dia ingin mengetahui ada hubungan apa nenek tua ini dengan Abu Bakar RA.

Umar bertanya:
“Apa yang dilakukan laki-laki itu di sini?”

Nenek menjawab:
“Demi Allah, aku tidak mengetahui, wahai anakku. Setiap pagi dia datang, membersihkan rumahku ini dan menyapunya.

Dia menyiapkan makanan untukku. Kemudian dia
pergi tanpa berbicara apapun denganku.”

Berlinang air mata Umar mendengarnya dan ia mengucapkan kalimatnya yang sangat masyhur,

“Sungguh, engkau telah membuat lelah khalifah sesudahmu wahai Abu Bakar.” (Ensiklopedi Kisah Generasi Salaf)
♢♢♢

❁ Manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan penciptaan yang sama.
Dilahirkan sebagai seorang bayi merah, lemah tak berdaya, tanpa sehelai benang di tubuhnya, hanya berbekal tangis sebagai alat untuk berkomunikasi.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً  وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ  إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا  ﴿النساء:١﴾

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.

Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.

Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”(QS An-Nisaa:1)

Karena Allah menciptakan manusia berpasangan yaitu laki-laki dan perempuan, maka merekapun berkembang biak. Bertambah jumlahnya dan menjadi banyak.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.” (QS. Ar-Ruum:20)

Ayat-ayat diatas secara nyata menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dengan kondisi yang sama.

Lantas, dimana letak perbedaan manusia?

Bersambung ke bag-2


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678