Tanya Ustadz/Ustadzah: Seputar Keluarga

Dari mba Sumi Ati member A 83

Afwan ustadzah ada yang ingin saya tanyakan.

 Ini dari seorang teman, yang sudah bersuami.  Dia bilang suaminya seringkali selingkuh suka marah-marah dengan ucapan2 kasar, dan kadang dia juga ringan tangan, tidak sholat sehingga merasa sudah tidak tahan lagi menghadapi tingkahnya

Pertanyaan dia, apakah berdosa jika dia meminta untuk cerai /Khuluq.

 Ustadzah…. syukron

Jawaban Ustadzah Indra Asih:

Asalnya seorang wanita dilarang untuk meminta dicerai.

Nabi shallallahu ‘alaiahi wa sallam bersabda:

أيُّما امرأةٍ سألت زوجَها طلاقاً فِي غَير مَا بَأْسٍ؛ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الجَنَّةِ

“Wanita mana saja yang meminta kepada suaminya untuk dicerai tanpa kondisi mendesak maka haram baginya bau surga” (HR Abu Dawud no 1928, At-Thirmidzi dan Ibnu Maajah, dan dishahihkan oleh Syaikh Albani)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

الْمُخْتَلِعَاتُ وَالْمُنْتَزِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ

“Para wanita yang khulu’ dari suaminya dan melepaskan dirinya dari suaminya, mereka itulah para wanita munafiq” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 632)

Para ulama telah menyebutkan perkara-perkara yang membolehkan seorang wanita meminta khulu’ (pisah) dari suami, di antaranya:

1. Akhlak suami yang buruk terhadap sang istri, seperti suka menghinanya atau suka memukulnya.

2. Agama sang suami yang buruk, seperti sang suami yang terlalu sering melakukan dosa-dosa, seperti minum khomr, berjudi, berzina, atau sering meninggalkan sholat, dll

Bersabar lebih baik

Memang menjadi idaman setiap wanita untuk mendapatkan suami yang shalih, yang lembut, setia, pengertian, bertutur kata halus, berimu, membimbing, bertanggungjawab dan kriteria-kriteria ideal lainnya. Namun harus diingat, saat ini kita hidup di dunia, bukan di surga. Dunia adalah negeri ujian, bukan negeri pembalasan.

Sebaik-baik suami tentu tetaplah ada celah kekurangannya, dan seburuk-buruk suami tentu tetaplah ada sisi kebaikannya.

Setiap kali wanita bertemu dengan kondisi tidak ideal dalam rumah tangga yang menyusahkannya akibat perlakuan suami, maka sebaik-baik sikap adalah Shobr (tabah). Kesusahan yang dihadapi dengan Shobr karena semata-mata ingin memperoleh ridha Allah, akan menghapuskan dosa dan kesalahan seorang hamba.

Bukhari meriwayatkan
dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan keletihan, kehawatiran dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesusahan bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya.(H.R.Bukhari)

Terhapusnya dosa bermakna bersihnya diri. Bersihnya diri dan kesucian jiwa akan membuat seorang hamba dicinta Rabbnya. Jika seorang hamba sudah dicintai Rabbnya maka doanya akan didengar, kebutuhannya akan dipenuhi, dilindungi dari marabahaya, dan dibela jika disakiti. Boleh jdi juga dengan kedekatan kepada Allah seorang wanita bisa membuat ‘keajaiban’, yakni menjadi perantara suaminya menjadi orang shalih sebagaimana dirinya.

Wallahu a’lam

Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Asma’ul Husna dan Shifat Al ‘Ulya (bag-2)

Pemateri: Ust. Farid Nu’man Hasan SS.

Materi sebelumnya bisa dilihat di tautan berikut ini: Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Asma’ul Husna dan Shifat Al ‘Ulya (bag-1)

1. Sikap pertama: Tatsbit (menetapkan apa adanya sesuai zhahir nash) ……

2. Sikap Kedua: Tafwidh

Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah  berkata ketika mengunggulkan madzhab salaf tentang masalah sifat-sifat Allah Ta’ala, mengatakan:

ونحن نعتقد أن رأي السلف من السكوت وتفويض علم هذه المعاني إلى الله تبارك وتعالى أسلم وأولى بالاتباع ، حسما لمادة التأويل والتعطيل ، فإن كنت ممن أسعده الله بطمأنينة الإيمان ، وأثلج صدره ببرد اليقين ، فلا تعدل به بديلا

“Kami meyakini bahwa pendapat salaf yakni diam dan menyerahkan ilmu makna-makna ini kepada Allah Ta’ala adalah lebih selamat dan lebih utama untuk diikuti, dengan memangkas habis takwil dan ta’thil (pengingkaran), maka jika Anda adalah termasuk orang yang telah Allah bahagiakan dengan ketenangan iman, dan disejukkan dadanya dengan salju embun keyakinan, maka janganlah mencari gantinya (salaf).”

(Al Imam Asy Syahid Hasan Al Banna, Majmu Ar Rasail, Hal. 368. Al Maktabah At Taufiqiyah)

Sebagian orang ada yang mencela apa yang dikatakan oleh Al Ustadz Hasan Al Banna ini, lantaran mereka begitu ‘memaksakan’ pendapatnya bahwa kaum salaf adalah tatsbit, tidak yang lainnya.

Sebenarnya, jika mereka mau bersabar untuk melihat ke berbagai literatur yang ada, mereka akan temukan bahwa apa yang dikatakan oleh Al Ustadz Hasan Al Banna ini merupakan kesimpulan dan sikap para Imam Ahlus Sunnah sebelumnya. Sehingga tidak perlu sampai keluar celaan untuknya, yang secara tidak langsung hal itu juga celaan untuk para ulama sebelumnya.

Imam Adz Dzahabi Rahimahullah mengatakan bahwa sikap salaf terhadap Bab Sifat-Sifat Allah Ta’ala adalah tafwidh, berikut ucapannya:

فقولنا في ذلك وبابه: الاقرار، والامرار، وتفويض معناه إلى قائله الصادق المعصوم

Adapun pendapat kami tentang itu dan dalam bab ini adalah  mengakui, membiarkan, dan menyerahkan (tafwidh) maknanya kepada pengucapnya yang benar dan ma’shum (Imam Adz Dzahabi, Siyar A’lam An Nubala, 8/105)

Begitu pula Imam Al Alusi Rahimahullah, ketika menafsirkan Surat Al An’am ayat  158:

أَوْ يَأْتِىَ بَعْضُ ءايات رَبّكَ

“Atau Kedatangan sebagian ayat Tuhanmu”

Berkata Imam Al Alusi dalam tafsir Ruhul Ma’ani:

وأنت تعلم أن المشهور من مذهب السلف عدم تأويل مثل ذلك بتقدير مضاف ونحوه بل تفويض المراد منه إلى اللطيف الخبير مع الجزم بعدم إرادة الظاهر

“Engkau telah mengetahui, bahwa yang masyhur dari madzhab salaf adalah meniadakan takwil seperti itu, baik dengan cara menambahkan atau lainnya, tetapi (mereka) tafwidh (menyerahkan) maksudnya kepada Al Lathiful Khabir (maksudnya Allah Ta’ala) beserta meyakininya  dengan tanpa memaknainya secara literal.” (Ruhul Ma’ani,  6/80)

Begitu pula ketika menafsiri Al A’raf ayat 54:

ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ

“Kemudian Allah bersemayam di atas ‘Arys”
Berkata Imam Al Alusi:

وأنت تعلم أن المشهور من مذهب السلف في مثل ذلك تفويض المراد منه إلى الله تعالى

“Engkau telah mengetahui, bahwa yang masyhur dari madzhab salaf dalam hal seperti ini adalah tafwidh (menyerahkan) maksudnya kepada Allah Ta’ala.” (Ibid, 6/196)

Berkata Imam An Naisaburi dalam tafsirnya ketika menafsiri Al Maidah ayat 64:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ

“Dan orang Yahudi berkata: tangan Allah terbelenggu ..”

وكان طريقة السلف الإيمان بها وأنها من عند الله ثم تفويض معرفتها إلى الله

“Adalah metode kaum salaf mereka mengimaninya, bahwa itu dari sisi Allah, kemudian tafwidh (menyerahkan) pengetahuan tentangnya kepada Allah.” (Tafsir An Naisaburi, 3/186)

Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri Rahimahullah mengatakan tentang makna, ‘Alal ‘Arsyistawa’ , Dia bersemayam di atas ‘arsy:

وَلِقَوْلِهِ : { عَلَى الْعَرْشِ اِسْتَوَى } مِنْ تَفْوِيضِ عِلْمِهِ إِلَيْهِ تَعَالَى وَالْإِمْسَاكِ عَنْ تَأْوِيلِهِ

“Untuk firmanNya: ‘Ala Al ‘Arsy istawa (Dia bersemayam di atas ‘arsy), termasuk menyerahkan ilmunya kepada Allah Ta’ala, dan menahan diri dari menta’wilnya.” (Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri,Tuhfah Al Ahwadzi Syarh Sunan At Tirmidzi, 8/160)

Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki beliau berkata:

فإِنَّ أحدًا لا يعرفُ كيفيةَ ما أخبر الله به عن نفسه ، ولا يقف على كنه ذاته وصفاته غيره ، وهذا هو الذي يجبُ تفويضُ العلم فيه إِلى الله عزَّ وجلَ

“Maka, sesungguhnya tak ada satu pun manusia yang mengetahui bagaimana caranya, tentang apa-apa yang Allah kabarkan tentang diriNya, dan tidak ada yang mengerti asalNya, DzatNya, SifatNya, selain diriNya, dan yang demikian itulah yang diwajibkan untuk menyerahkan (tafwidh) ilmu tentang hal itu kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” (Mujmal I’tiqad A’immah As Salaf,  Hal. 141)

Demikianlah.
Imam Al Alusi justru mengatakan, tafwidh baik itu tafwidhul murad (menurut istilah Imam Al Alusi ), atau tafwidhul ma’na (menurut istilah Imam Adz Dzahabi), atau tafwidhul ma’rifah (menurut istilah Imam An Naisaburi), atau tafwidhul ‘ilmi (menurut istilah Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki) yang semuanya bermakna sama yakni  menyerahkan maksud/makna/pengetahuan/ilmu tentang sifat-sifat Allah  kepada Allah Ta’ala, ternyata sebagaimana dikatakan Imam Al Alusi- itu adalah madzhab masyhur dari para ulama salaf.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun melakukan tafwidh

Disadari atau tidak, sengaja atau tidak, ternyata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga melakukan tafwidh terhadap sifat-sifat Allah Ta’ala.
Padahal tafwidh adalah pemahaman yang sangat dia benci.

Demikian katanya:

” الْإِيمَانُ بِصِفَاتِ اللَّهِ تَعَالَى وَأَسْمَائِهِ ” الَّتِي وَصَفَ بِهَا نَفْسَهُ وَسَمَّى بِهَا نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ وَتَنْزِيلِهِ أَوْ عَلَى لِسَانِ رَسُولِهِ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَيْهَا وَلَا نَقْصٍ مِنْهَا وَلَا تَجَاوُزٍ لَهَا وَلَا تَفْسِيرٍ لَهَا وَلَا تَأْوِيلٍ لَهَا بِمَا يُخَالِفُ ظَاهِرَهَا وَلَا تَشْبِيهٍ لَهَا بِصِفَاتِ الْمَخْلُوقِينَ ؛ وَلَا سِمَاتِ المحدثين بَلْ أَمَرُوهَا كَمَا جَاءَتْ وَرَدُّوا عِلْمَهَا إلَى قَائِلِهَا ؛ وَمَعْنَاهَا إلَى الْمُتَكَلِّمِ بِهَا . وَقَالَ بَعْضُهُمْ – وَيُرْوَى عَنْ الشَّافِعِيِّ – : ” آمَنْت بِمَا جَاءَ عَنْ اللَّهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مُرَادِ رَسُولِ اللَّهِ “

“Beriman kepada Sifat Allah Ta’ala dan NamaNya” yang telah Dia sifatkan diriNya sendiri, dan Dia namakan diriNya sendiri, di dalam KitabNya dan wahyuNya, atau atas lisan RasulNya, dengan tanpa penambahan atau pengurangan atasnya, tidak melampauinya, tidak menafsirkannya dengan apa-apa yang menyelisihi zhahirnya, tidak menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk, dan apalagi dengan pembawa berita, tetapi membiarkan sebagaimana datangnya, dan mengembalikan ilmunya kepada yang mengucapkannya, dan mengembalikan maknanya kepada yang membicarakannya.

Sebagian mereka berkata: -diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i- : Aku beriman dengan apa-apa yan datang dari Allah, dan yang datang dari Rasulullah Shllalalhu “Alaihi wa Sallam dengan maksud dari Rasulullah.” (Majmu’  Fatawa, 1/ 294)

Apa yang dikatakannya: “ … dan mengembalikan ilmunya kepada yang mengucapkannya, dan mengembalikan maknanya kepada yang membicarakannya.” Tak lain dan tak bukan adalah tafwidhul ilmi (menyerahkan ilmunya kepada Allah Ta’ala) dan tawidhul ma’na (menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala).

Sungguh, ini sangat jelas persamaannya. Wallahu A’lam.

Sedangkan, kita melihat adanya dua sikap dari Al Ustadz Hasan Al Banna, dia menampakkan bahwa sikap yang benar sebagaimana salaf adalah mengimani dan menetapkan sebagaimana datangnya (tatsbit), dan menyerahkan maknanya kepada Allah Ta’ala (tafwidh), tanpa takwil dan ta’thil.

3. Sikap ketiga: Takwil (memberikan makna yang tidak mengotori kesucian Allah Ta’ala)

Kita akan dapati pula, bahwa sebagian salaf, mulai dari sahabat dan tabi’in juga ada yang melakukan ta’wil terhadap sifat-sifat yang disandarkan kepada Allah Ta’ala. Namun, pada generasi selanjutnya, metode ta’wil inilah yang lebih sering ditempuh oleh para ulama.
Maka boleh kita katakan, ta’wil merupakan madzhab jumhur setelah masa-masa abad-abad pertama Islam.

Ta’wil yang kita bahas di sini, bukanlah ta’wil kaum zindik yang memang telah melakukan penyimpangan terhadap makna-makna sifat Allah Ta’ala.

Sebelum saya paparkan tentang  contoh ta’wil para Imam Ahlus Sunnah, saya akan berikan rambu-rambu ta’wil, dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah:

Syaikh Utsaimin membagi ta’wil menjadi tiga dalam kitab,  Lum’ah al I’tiqad, Hal. 19 (saya ringkas saja):

1. Dilakukan melalui ijtihad dan niat yang baik. Maka ini dimaafkan.

2. Dilakukan karena hawa nafsu dan fanatisme, dan memiliki argumentasi bahasa Arab, maka pelakunya fasiq, kecuali jika pendapatnya itu terdapat penguarangan atau aib terhadap Allah maka itu bias kufur.

3. Dilakukan karena hawa nafsu dan fanatisme, dan tanpa memiliki argumentasi bahasa Arab. Keloimpok ini kufur, karena pada hakikat nya kedustaan yang tidak berdasar.

Berikut ini beberapa contoh ta’wil yang dilakukan oleh sahabat nabi dan tabi’in ridhwanullah ‘alaihim jami’an, terhadap ayat-ayat sifat

Firman Allah Ta’ala tentang ‘tangan’:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ

“Dan orang Yahudi berkata: tangan Allah terbelenggu ..”

Ayat ini tidak mungkin dipahami sesuai teksnya, sebab membawa makna Allah Ta’ala serupa dengan makhlukNya sendiri yang tangannya terbelenggu.

Oleh karena itu, Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan:

ليس يعنون بذلك أن يد الله موثقةٌ، ولكنهم يقولون: إنه بخيل أمسك ما عنده، تعالى الله عما يقولون علوًّا كبيًرا

“Maknanya bukanlah tangan Allah terikat, tetapi mereka mengatakan: Sesungguhnya Allah Ta’ala bakhil, lantaran telah menahan apa-apa yang ada padaNya, Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang besar.”

Sementara Qatadah Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:

أما قوله:”يد الله مغلولة”، قالوا: الله بخيل غير جواد!

“Ada pun tentang firmanNya, Tangan Allah Terbelenggu, mereka mengatakan: “Allah itu bakhil tidak dermawan.” (Imam Abu Ja’afar bin Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran, 10/452-453)

Imam Ibnu Katsir telah menyebutkan, dari Ibnu Abbas tentang makna ‘terbelenggu’: yakni bakhil. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 3/146)

Imam Al Baghawi Rahimahullah berkomentar tentang ayat tersebut:

قال ابن عباس وعكرمة والضحاك وقتادة: إن الله تعالى كان قد بسط على اليهود حتى كانوا من أكثر الناس مالا وأخصبهم ناحية فلما عصوا الله في أمر محمد صلى الله عليه وسلم وكذبوا به كف الله عنهم ما بسط عليهم من السعة، فعند ذلك قال فنحاص بن عازوراء: يد الله مغلولة، أي: محبوسة مقبوضة عن الرزق نسبوه إلى البخل، تعالى الله عن ذلك

“Berkata Ibnu Abbas, Ikrimah, Adh Dhahak, dan Qatadah: “Sesungguhnya Allah Ta’ala begitu lapang terhadap Yahudi sampai-sampai mereka menjadi manusia yang paling banyak hartanya dan kelompok paling makmur di antara mereka. Lalu, ketika mereka mengingkari Allah dalam urusan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mendustakannya, maka Allah Ta’ala menahan buat mereka apa-apa yang dahulu Dia lapangkan, maka saat itulah Finhash bin ‘Azura berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, yaitu dikekang dan dicabut dari rezeki, mereka menyandarkanNya dengan kebakhilan.

Maha Tinggi Allah dari hal itu.” (Imam Al Baghawi, Ma’alim At Tanzil, 3/76)

Ayat lainnya:

قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ

“ Katakanlah: “Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah..” (QS. Ali Imran (3): 73)

Imam Ibnu Katsir menta’wil ayat ini, katanya:

أي: الأمورُ كلها تحت تصريفه، وهو المعطي المانع، يَمُنّ على من يشاء بالإيمان والعلم والتصور التام، ويضل من يشاء ويُعمي بصره وبصيرته، ويختم على سمعه وقلبه، ويجعل على بصره غشاوة، وله الحجة والحكمة

“Yaitu semua urusan di bawah pengaturanNya. Dialah yang memberi dan menolak. Dia memberikan karunia berupa ilmu, iman, dan seluruh tindakan kepada siapa saja secara sempurna. Serta menyesatkan, membutakan penglihatannya dan mata hatinya, menutup pendengarannya dan hatinya, dan menjadikan pada pandangannya halangan, dan  Dialah yang memiliki hujjah dan hikmah.” (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/60)

Dalam ayat lain, yang menyebutkan sifat Wajhullah (Wajah Allah), para Imam Ahlus Sunnah pun melakukan ta’wil:

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengatakan:

وهكذا قوله ها هنا: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ } أي: إلا إياه

“Demikian juga, firmanNya di sini: “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajahNya”, yaitu kecuali DiriNya” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 6/261)

Begitu pula Imam Al Qurthubi Rahimahullah mengatakan, tentang makna ‘Wajah Allah’:

قال: ” إنما نطعمكم لوجه الله ” أي لرضائه وطلب
ثوابه، ومنه قوله صلى الله عليه وسلم: (من بنى مسجدا يبتغي به وجه لله بنى الله له مثله في الجنة)

“Allah Ta’ala berfirman: ‘Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian, hanyalah demi wajah Allah.’ Yaitu demi ridhaNya, dan mencari pahalaNya, dari itulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Barangsiapa membangun masjid dengan mengharap wajah Allah, maka akan Allah bangunkan baginya yang seumpama itu di surga.” (Al Jami’ Li Ahkamil Quran, 2/84)

Belau juga mengatakan:

(ويبقى وجه ربك) أي ويبقى الله، فالوجه عبارة عن وجوده وذاته سبحانه، قال الشاعر: قضى على خلقه المنايا * فكل شئ سواه فاني
وهذا الذي ارتضاه المحققون من علمائنا: ابن فورك وأبو المعالي وغيرهم
وقال ابن عباس: الوجه عبارة عنه كما قال: (ويبقى وجه ربك ذو الجلال والاكرام) وقال أبو المعالي: وأما الوجه فالمراد به عند معظم أئمتنا وجود الباري تعالى، وهو الذي ارتضاه شيخنا

“Dan Yang tersisa hanyalah wajah Rabbmu, yaitu yang tersisa hanyalah Allah, wajah merupakan ibarat (perumpamaan) dari wuudNya dan ZatNya yang Maha Suci.

Berkata seorang penyair:
“Telah ditetapkan atas hambaNya kematian, Segala sesuatu selainNya adalah binasa (fana).”

Inilah yang disetujui para muhaqqiq (peneliti) dari ulama kami, seperti: Ibnu Furak, Abu Al Ma’ali, dan lainnya.

Ibnu Abbas mengatakan: Wajah merupakan ibarat dariNya, sebagaimana frmanNya: “Dan yang tersisa hanyalah wajah Rabbmu yang memiliki keagungan dan kemuliann.”

Abul Ma’ali mengatakan: “Ada pun wajah maksudnya adalah menurut imam-imam besar kami adalah wujud Allah Ta’ala, dan itulah yang disetujui oleh guru kami.” (Ibid, 17/165)

Ayat lainnya:

سَنَفْرُغُ لَكُمْ أَيُّهَا الثَّقَلانِ

“Kami akan memperhatikan sepenuhnya kepadamu Hai manusia dan jin.” (QS. Ar Rahman: 31)

Para ulama salaf pun melakukan ta’wil  atas ayat “kami akan memperhatikan” , sebab jika dipahami secara zhahir makna ‘memperhatikan’ membutuhkan alat penginderaan, dan itu mustahil bagi Allah Ta’ala.

Oleh karena itu Imam Ibnu Jarir berkata tentang ayat tersebut:

وأما تأويله : فإنه وعيد من الله لعباده وتهدد

“Ada pun ta’wilnya adalah ancaman dari Allah dan menakut-nakuti.” Begitu pula yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Adh Dhahak. (Jami’ul Bayan, 23/41-42)
Ayat lain:

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ

“ ..dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. Al Hadid (57): 4)

Ayat ini mesti dita’wil, sebab jika tidak, akan bertentangan dengan kalimat yang ada pada ayat itu sendiri bahwa Allah bersemayam di ‘ArysNya.

Oleh karena itu Imam Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya pun yang sangat anti ta’wil, juga menakwil ayat ini.

Ayat ini tidak berarti Allah Ta’ala secara zat ada di setiap tempat kita berada, dan tidak boleh mengartikan demikian.

Kata Imam Ibnu Jarir  takwilnya adalah:

وهو شاهد لكم أيها الناس أينما كنتم يعلمكم، ويعلم أعمالكم، ومتقلبكم ومثواكم، وهو على عرشه فوق سمواته السبع

“Dia menyaksikan kalian, wahai Manusia, dimana saja kalian berada Dia mengetahui kalian, mengetahui perbuatan kalian, lalu lalang kalian, dan di tempat tinggal kalian,dan Dia di atas ‘ArsyNya, di langit yang tujuh.” (Ibid, 23/196)

Demikianlah. Sebenarnya masih sangat banyak ta’wil yang dilakukan para ulama terhadap ayat-ayat sifat, dalam rangka menjaga kesucian sifat-sifatNya dari penakwilan menyimpang manusia.

Sikap ta’wil ini di dukung deretan para Imam kaum muslimin, seperti Imam Al Ghazali, Imam An Nawawi, Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, Imam Al Khathabi, Imam Fakruddin Ar Razi, Imam Al Jashash, Imam As Suyuthi, Imam Al Baqillani, Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Imam Izzuddin bin Abdusalam, Imam Abul Faraj bin Al Jauzi, Imam An Nasafi, Imam Al Bulqini, Imam Ar Rafi’i, Imam Al Baidhawi, Imam Al Amidi, Imam Al ‘Iraqi, Imam Ibnu Al ‘Arabi, Imam Al Qurthubi, Imam Al Qadhi ‘Iyadh, Imam Al Qarrafi, Imam Asy Syathibi, Imam Abu Bakar Ath Thurthusi, Imam Syahrustani, Imam Al Maziri, Imam Isfirayini, Imam Dabusi, Imam As Sarakhsi, Imam At Taftazani, Imam Al Bazdawi, Imam Ibnul Hummam, Imam Ibnu Nujaim, Imam Al Karkhi, Imam Al Kasani, Imam As Samarqandi, dan lain-lain.

Mereka inilah yang biasa disebut kaum Asy ‘ariyah. (sebenarnya saya ingin menguraikan satu-persatu bukti sikap mereka, namun ini sudah cukup mewakili)

Jika kita perhatikan, maka jumhur ulama adalah melakukan ta’wil. Namun, para ulama salaf (terdahulu), lebih sedikit melakukan ta’wil.

Ada apa dibalik ini?
Ini bisa terjadi, lantaran Islam dan Al Quran telah menyebar ke seluruh penjuru dunia yang penduduknya bukan berbahasa Arab. Sehingga, jika ayat-ayat dan hadits-hadits sifat ini   dibaca dan difahami secara literal (zhahiriyah), maka bisa menggelincirkan pemahaman orang awam yang tidak bercita rasa bahasa Arab.

Oleh karena itu, bangkitlah para ulama untuk melindungi nash-nash tersebut, dari kemungkinan tafsiran berbahaya orang-orang ‘Ajam (non Arab).

Dari sisi ini, maka sebenarnya antara salaf dan khalaf, memiliki tujuan yang sama dengan sikap mereka itu, yakni menjaga kesucian Al Quran.

Oleh karena itu, walau kita lebih condong kepada pemahaman salaf, tidak selayaknya menjadikan polemik ini sebagai ajang saling pengkafiran sesama umat Islam. sebab, para ulama yang berselisih pun tidak sampai tingkat seperti itu.

Sebab memojokkan kaum Asy’ariyah (para penakwil) dan menuduhnya keluar dari Ahlus Sunnah, sama juga memojokkan nama-nama para Imam kaum muslimin yang telah mendapat posisi penting di hati umumnya kaum muslimin.

Maka, renungkanlah!

Wallahu A’lam


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

Ustadzah Menjawab: Seputar Shalat

Oleh: Ustz Aan Rohana

Pertanyaan

1. Jika kita shalat sebelum azan dgn jeda waktu tdk terlalu lama krn di daerah tsb jauh dr masjid/ musholla ternyata pas kita shalat baru terdengar sayup2 azan, apakah kita hrs mengulang shalat kita lg atau tdk?

2. Mengenai qorin, sy pernah baca tp sy lupa dimana krn sdh lama skli klo qorin itu afa yg baik ada yg jahat… Tapi saat ini saya baca lagi qorin itu jahat smua kec qorinnya nabi muhammad SAW.

3. Bagaimana cara kita mhadirkan hati pd saat shalat krn seringkali kita sdh berusaha khusyu’ tp sering ada lintasan2 pikiran yg muncul

Jzklh khair ust/ ustz atas penjelasannya

Jawaban:

Jika shalat dilakukan sudah masuk waktunya. Maka shalatnya sah sekalipun belum terdengar adzan. Karena yg menjadi syarat sahnya shalat adalah sudah masuk waktunya.
Sdgk adzan itu utk panggilan shalat.

Adzan juga menjadi isyarat sudah masuk waktu shalat, namun tdk semua sang muadzdzin adzan di awal waktu shalat terkadang ada yg tertunda bbrp menit.

2. Mengenai qorin , iya semua Qarin mengajak manusia kepada keburukan, kecuali hanya Qarin yg mendampingi Rasulullah SAW selalu mengajak pada kebaikan. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah kpd Aisyah rodiyallahu anha.

3. Cara mrnghadirkan khusyuk dlm shalat , adalah;

a. Menyiapkan dan mengkondisikan jiwa  utk shalat .
b. Konsentrasikan fikiran agar bisa fokus kepada bacaan dan gerakan shalat.
c. Memahami makna semua bacaan dan gerakan shalat.
d. Menghindari dari hal2 yg mengganggu kekhusyuan shalat.
e. Banyak berdoa kpd Allah agar diberikan kekhudyuan dlm shalat.
f. Merasakan diri yg hina sedang berhadapan dgn
 Allah yang Maha agung .

Wallahu a’lam

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Ustadz Menjawab: Seputar Muamalat

Oleh: Ust. Rikza Maulan Lc. M.Ag.

Pertanyaan:

1. Afwan ust, kalau petugas insenminasi buatan atau ib bgm? Petani biasanya bayar biaya ib.

2. Manis30 Tulus: Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh. Afwan Ustad ”..mau nanya?…bagaimana tetang hukum Sperma Laki-laki yang katanya bisa di tanam ke Rahim Wanita, dari Sperma yang bukan Suaminya?”..apa istilah bayi Tabung itu Ustd?”…Jazaakallahkhair,Mohon Pencerahanya.Wassalamu alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

3. Ustadz, terkait dengan jual beli sperma,, bagaimana hukumnya bagi orang yang bekerja sebagai perantaranya..,misal rekan kami yang bekerja di dinas peternakan, salah satu kegiatan rutin mereka yaitu melakukan IB (inseminasi buatan) pada lembu, dengan memasukkan sperma unggul dari lembu lain yang merupakan benih unggul yang diperjual belikan kepada indukan. Mohon tanggapannya. Terima kasih
Abu faruqi i33

4. MANIS A55
Bgmn hukum ensiminasi buatan? Karena sekarang ini kan lagi trend, mau pilih bibit yg seperti apa silahkan saja dgn harga yg berbeda?

5. Bgmn hukum upah bg mantri/ dokter hewan yg mengkawinkan sapi dengan ensiminasi buatan?
Sangat penting info ini bg sy..krn ada sapi yg sy pelihara dg cara ini.

Jazakumullah

6. Jadi program “setetes mani sejuta harapan” yg merpkn program pemerintah mll bid pwternakan berupa peningkatan kualitas n kuantitas ternak dg inseminasi buatan ato kawin IB “tak sesuai syariah”?
Suryanto I28

Jawaban Ust Rikza:

 Wa’alaikumsalam wbr

1. Inseminasi buatan, apabika kadar mani pejantannya sdh ada, disimpan dan diproses dengan menggunakan tatacara tertentu yg bukan merupakan cara kawin alami hewan, adalah boleh, namun dengan syarat ;

1. Kadar kuantitas dan kualitasnya dapat diukur dengan jelas.
2. Proses suntik atau memasukkan mani pejantan yg sudah diproses adalah dengan cara khusus yang bukan merupakan kawin alami.
Apabila persyaratan tersebut sdh dilaksanakan, maka hukumnya boleh.

Adapun tidak boleh nya upah kawin pejantan secara alami adalah karena objek akadnya tidak jelas dan tidak diketahui serta tidak ada ukurannya secara jelas, sehingga menimbulkan gharar. Dan transaksi yg mengandung gharar adalah dilarang secara syariah.
Wallahu A’lam

2. Dalam kasus bayi tabung para ulama sepakat hukumnya boleh apabila sperma yg dimasukkan ke dalam rahim istri adalah bersumber dari sperma suami.

Apabila bukan berasal dari suaminya, maka hukumnya haram.
Wallahu A’lam

3. Petugas inseminasi buatan hukumnya boleh saja, karena hukum inseminasi nya juga boleh.

Yg tdk diperbolehkan adalah upah kawin pejantan karena mentransaksikan sesuatu yg tidak jelas keberadaan yaitu mani pejantan. Keberadaan bisa ada atau tidak ada.

Ukurannya juga tdk jelas dan cara memperoleh nya juga spekulasi bisa wujud atau tidak.
Wallahu A’lam

4, 5 & 6
 Inseminasi buatan, apabika kadar mani pejantannya sdh ada, disimpan dan diproses dengan menggunakan tatacara tertentu yg bukan merupakan cara kawin alami hewan, adalah boleh, namun dengan syarat ;

1. Kadar kuantitas dan kualitasnya dapat diukur dengan jelas.

2. Proses suntik atau memasukkan mani pejantan yg sudah diproses adalah dengan cara khusus yang bukan merupakan kawin alami.

Apabila persyaratan tersebut sdh dilaksanakan, maka hukumnya boleh.

Adapun tidak boleh nya upah kawin pejantan secara alami adalah karena objek akadnya tidak jelas dan tidak diketahui serta tidak ada ukurannya secara jelas, sehingga menimbulkan gharar.

Dan transaksi yg mengandung gharar adalah dilarang secara syariah.
Kalaupun harga bibit atau mani pejantannya berbeda tergantung kualitas nya, maka tetap boleh, selama mani tersebut sdh wujud adanya dan bukan masih berada dalam tubuh pejantan nya.

Wallahu A’lam

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Pernikahan, Cara Allah SWT memuliakan Wanita (bag-1)

Pemateri: Ust. DR. Wido Supraha

Di masa jahiliyah, wanita tidak diposisikan sebagai manusia. Mereka diperjualbelikan, dan dijadikan komoditas nafsu. Kelemahan wanita yang tidak dilahirkan untuk berperang dengan fisiknya, menjadi pembenaran bagi sebagian kaum jahiliyah untuk lebih memilih membunuh mereka semasa kecil daripada menjadi aib bagi keluarga karena tertawannya mereka di medan perang. Wanita digambarkan sebagai laki-laki yang belum lengkap, ia direndahkan dan dinistakan, tidak memiliki hak memilih sama sekali, termasuk dalam hal warisan, dan siapa pasangan hidupnya, maka secara keseluruhan wanita jauh dari martabat mulia.

Kehadiran Islam secara perlahan merevisi ragam pemikiran, adat istiadat, kepercayaan orang tua, keyakinan keghaiban, yang tidak sejalan dengan tujuan diciptakannya manusia, termasuk dalam hal ini, merevisi secara total cara pandangan manusia terhadap wanita. Islam kemudian mengembalikan wanita kepada derajat dan martabat sebenarnya sebagai sesama hamba Allah Swt yang sejajar dan setara dalam pandangan Allah Swt.[1]

Ketika Islam hadir, standar kebaikan wanita berganti dari yang bersifat fana menjadi iman,[2] maka menikahi wanita dari kalangan budak jauh lebih mulia daripada menikahi wanita musyrik meski cantiknya luar biasa.[3] Bersama iman, wanita diposisikan sebagai kesenangan hidup di dunia bagi setiap lelaki yang mencari ridho Allah semata[4] yang telah memerintahkan kaum lelaki untuk berlaku seadil-adilnya kepada wanita, sekaligus jaminan dan keamanan untuk hidup wanita dalam tanggung jawabnya.[5]

Wanita yang menjadi perhiasan dunia itu sejatinya adalah wanita yang mampu menjaga kehormatan dirinya hingga hari akad pernikahannya,[6] dan Allah Swt sudah mendidiknya langsung dengan membiasakannya untuk menutup auratnya secara benar.[7] Wanita telah dididik untuk terbiasa menjaga lisannya dari ucapannya kepada sesama wanita pada khususnya[8] dan juga kepada lawan jenisnya. Wanita pun dididik untuk tidak merusak aqidahnya dengan ragam keyakinan terhadap hal-hal khurafat seperti zodiak, ramalan tangan, ramalan perbintangan, dan keyakinan lainnya.[9]Wanita juga diajarkan untuk menjadi ‘akuntan’ yang kredibel di rumah tangganya sehingga menjadi kepercayaan seisi rumah.[10]

Wanita yang terbiasa hidup dalam tarbiyah Allah Swt akan termudahkan untuk mampu menta’ati dan memposisikan suaminya sebagai imam dalam ketaatan kepada Allah,[11] dan kebiasaannya itu memudahkannya untuk memelihara dirinya dalam kesendirian di rumah suaminya.[12]Wanita yang mulia adalah yang membantu suaminya meraih setengah agama.[13] Seorang suami tidak lagi memiliki celah untuk berlaku keji kepada istrinya dengan bentuk tuduhan tanpa bukti nyata nan zhahir,[14] menyamakan istri dengan ibunya,[15] sehingga lahirlah kehatian-hatian dalam mengarungi tangga pernikahan menuju maqam yang lebih tinggi, dan berhati-hati untuk mengucapkan kalimat-kalimat buruk seperti sumpah tidak menyentuh,[16]kalimat ‘perpisahan’ yang dibenci itu.[17]Bahkan Islam menjaga wanita yang telah dinikahi namun belum disentuh.[18]

Islam menghadirkan sosok-sosok wanita terbaik untuk dijadikan teladan oleh para wanita, seperti Maryam bin ‘Imran a.s.,.[19] anak-anak wanita Syu’aib a.s.,[20]istri Ibrahim a.s,[21] istri Fir’aun,[22] istri ‘Imran a.s.,[23] istri-istri Nabi Muhammad Saw,[24] sebagaimana dihadirkan juga sosok-sosok wanita durhaka yang tidak layak dijadikan teladan seperti Istri Luth a.s.[25] dan istri al-‘Aziz yang kelak bertaubat.[26]

Dalam hal menjalani kehidupan rumah tangga, wanita diingatkan akan ketidaksamaannya dengan pria,[27] dan bahwa penciptaannya yang setingkat lebih rendah dari pria, sehingga tidak layak wanita dipaksa bekerja di luar rumah.[28] Islam mendorong pemisahan antara harta pria dan wanita dalam kehidupan rumah tangga,[29] Untuk tujuan kesucian, kesehatan dan keselamatan jiwa, seorang suami pun tidak lagi diizinkan ‘menyentuh’ wanita di kala haidh,[30] sebagaimana untuk tujuan kebaikan nasab, Islam mengatur wanita mana yang boleh dinikahi dan mana yang tidak, seperti menikahi wanita yang telah dinikahi ayah,[31]wanita bersuami,[32] atau wanita-wanita tertentu.[33] Untuk tujuan ridho Allah, seluruh perselisihan dalam rumah tangga pun diarahkan untuk diperoleh solusinya dengan cara-cara yang baik.[34]

Pernikahan kemudian mengingatkan para pengamalnya untuk memperbanyak generasi penyembah Allah Swt, dengan seluruh pelajaran dan hikmah yang telah diwariskannya.[35]Mengandung dan melahirkan menjadi sebuah aktivitas yang sangat dimuliakan dengannya.[36] Demikian pula dengan memperhatikan seluruh asupan yang baik untuk tumbuh kembangnya dengan baik,[37] hingga waktu yang ditetapkan Allah Swt.[38] __________________________

Rujukan :

[1] Lihat Q.S. Al-Maidah [5] ayat 38, At-Taubah [9] ayat 71, 72, An-Nahl [16] ayat 97, An-Nur [24] ayat 2, Al-Ahzab [33] ayat 35, 36, 73, Al-Mukmin [40] ayat 40, Asy-Syuro [42] ayat 49, 50, Al-Fath [48] ayat 5, 6, 25, Al-Hadid [57] ayat 18

[2] Lihat Q.S. Al-Mumtahanah [60] ayat 10-12

[3] Lihat Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 221

[4] Lihat Q.S. Ali ‘Imran [3] ayat 14

[5] Lihat Q.S. An-Nisa [4] ayat 3

[6] Lihat Q.S. An-Nisa [4] ayat 25

[7] Lihat Q.S. An-Nur [24] ayat 31, Al-Ahzab [33] ayat 59

[8] Lihat Q.S. Al-Hujuran [49] ayat 11

[9] Lihat Q.S. Al-Falaq [113] ayat 4

[10] Lihat Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 282

[11] Lihat Q.S. An-Nisa [4] ayat 34

[12] Lihat Q.S. Hud [11] ayat 72

[13] Lihat Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 187, 223, Al-A’raf [7] ayat 189, An-Nahl [16] ayat 72, Al-Furqon (25) ayat 74, Ar-Rum [30] ayat 21

[14] Lihat Q.S. An-Nur [24] ayat 6, 23, Al-Ahzab [33] ayat 4

[15] Lihat Q.S. Al-Mujadilah [58] ayat 2

[16] Lihat Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 226

[17] Lihat Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 229-232

[18] Lihat Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 236-237, Al-Ahzab [33] ayat 49

[19] Lihat Q.S. Ali ‘Imran [3] ayat 42

[20] Lihat Q.S. Al-Qashash [28] ayat 25

[21] Lihat Q.S. An-Nisa [4] ayat 32

[22] Lihat Q.S. Al-Qashash [28] ayat 9

[23] Lihat Q.S. Ali ‘Imran [3] ayat 35-36

[24] Lihat Q.S. Al-Ahzab [33] ayat 28-32

[25] Lihat Q.S. Hud [11] ayat 81, An-Naml [27] ayat 57

[26] Lihat Q.S. Yusuf [12] ayat 23-34

[27] Lihat Q.S. An-Nisa [4] ayat 1

[28] Lihat Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 228

[29] Lihat Q.S. An-Nisa [4] ayat 32

[30] Lihat Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 222

[31] Lihat Q.S. An-Nisa [4] ayat 22

[32] Lihat Q.S. An-Nisa [4] ayat 24

[33] Lihat Q.S. An-Nisa [4] ayat 23

[34] Lihat Q.S. An-Nisa [4] ayat 35

[35] Lihat Q.S. An-Nisa [4] ayat 32, Al-Hujurat[49] ayat 13

[36] Lihat Q.S. Fathir [35] ayat 11, Fushshilat [41] ayat 47

[37] Lihat Q.S. Ath-Thalaq [65] ayat 6

[38] Lihat Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 234

(bersambung ke bag-2)

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

POTRET KASIH SAYANG RASULULLAH S.A.W DALAM PENDIDIKAN ANAK(2): BERMAIN DAN BERCANDA DENGAN ANAK

Pemateri: Ustzh. INDRA ASIH
Di tengah kesibukan mengurusi umat, perang, keluarga, dan masalah-masalah duniawi, Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam selalu memberi dan menakar sesuatu sesuai dengan haknya. Beliau memberikan anak-anak kecil haknya untuk disayang dan dimanja. Beliau seringkali bermain dan bercanda bersama mereka, untuk membuat mereka ceria dan senang.
Abu Hurairah Ra pernah menceritakan bagaimana Nabi Saw bermain dan bercanda dengan cucu beliau, Al-Hasan. “Rasulullah Saw pernah menjulurkan lidahnya bercanda dengan Al-Hasan bin Ali Ra. Iapun melihat merah lidah beliau, lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira”.
Anas bin Malik Ra menuturkan, bahwa beliau juga senang bercanda dengan Zainab. “Rasulullah sering bercanda dengan Zainab, putri Ummu Salamah Ra, beliau memanggilnya dengan: Ya Zuwainab, Ya Zuwainab, berulang kali”. Zuwainab artinya Zainab kecil.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Mereka (anak-anak itu) berkata, “Ya Rasulullah, mengapa engkau bercanda dengan kami?” Kemudian Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam pun menjawab,
“Ya, akan tetapi aku selalu berkata benar, walau dalam senda gurau.” (HR Ahmad)
Di antara candaan beliau adalah apa yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa beliau memanggilnya dengan sebutan, “wahai orang yang berkuping dua.” (HR Abu Daud).
Seorang anak kecil bernama Abu Umair adalah anak Ummi Sulaim yang sering diajak bercanda oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam. Pada suatu hari, terlihat wajah anak ini kelihatan murung. Rupanya dia sedang bersedih karena burung pipit peliharaannya mati. Kemudian Rasulullah pun menghampirinya dan mencoba untuk menghiburnya dengan berkata, “Hai Abu Umair, apa yang dilakukan burung pipitmu?” (Muttafaq ‘alaih)
Pada kesempatan lain, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam nampak asyik saat bercanda dengan anak-anak (kedua cucunya), sering kali Rasulullah digelantungi oleh mereka berdua. 
Al-Barra berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam digelantungi Hasan, dan Beliau berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah ia.” 
(HR Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).
Al-Barra’ juga mengatakan, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memperhatikan Hasan dan Husain, lalu berkata, ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mencintai keduanya, maka cintailah keduanya.”
(HR Tirmidzi)
Sebagai imam masjid, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam sangat memaklumi perilaku anak-anak, meskipun mereka agak “menganggu”. Beliau memaklumi, dunia anak-anak memang demikian dan kecintaan anak-anak kepada masjid harus ditumbuhkan dengan dibiasakan mendatangi masjid dan dibina agar berlaku baik ketika berada di masjid. Hal tersebut nampak pada kejadian berikut,
Ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam sedang berjalan menuju masjid guna menunaikan shalat berjamaah, di tengah jalan didapati beberapa anak-anak yang sedang bermain.
Saat mereka melihat kedatangan beliau, anak-anak itu langsung mengerubunginya, bahkan memegang dan menarik-narik baju beliau.
Diantara mereka bahkan sampai mengatakan:
“Jadilah engkau untaku.”
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam melayani ajakan anak-anak itu sehingga beliau agak terlambat datang ke masjid dari biasanya.
Bilal bin Rabah yang sudah menunggu kedatangan Rasul di masjid akhirnya harus mencari dimana Rasulullah ber shalallahu ‘alaihi wassalam ada. Ternyata ia mendapati, beliau sedang bermain dan dikerubungi anak-anak itu.
Bilal mendatangi mereka dan bermaksud menjewer telinga anak-anak itu agar mau melepaskan Rasul. Tetapi Rasul mencegah Bilal dengan mengatakan:
“Sempitnya waktu shalat lebih kusukai daripada harus menyakiti anak-anak ini.”
Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam kemudian memerintahkan Bilal untuk mencari makanan di rumah beliau agar bisa diberikan kepada anak-anak.
Bilal segera kembali kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dengan membawa kacang. 
Beliau kemudian mengatakan: 
“Apakah kalian mau menjual unta kalian dengan kacang ini?”
Anak-anakpun bergembira dengan mengambil kacang-kacang itu dan melepaskan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam yang melanjutkan perjalanan menuju masjid yang diikuti oleh anak-anak itu. Bilal terharu menyaksikan apa yang baru saja terjadi.
Penelitian yang dilakukan Rana Esseily dari Paris West University Nanterre La Defense dan teman-temannya menunjukkan bahwa bercanda bersama anak membantu mereka menjadi lebih bahagia dan hal tersebut akan meningkatkan perhatian, motivasi, persepsi, daya ingat, yang pada gilirannya meningkatkan pembelajaran mereka.
Mereka melakukan penelitian tentang hubungan antara humor dengan kemampuan balita dalam belajar.
Penelitian tersebut melibatkan bayi berusia 18 bulan dengan menemukan bahwa anak-anak yang sering bercanda atau tertawa karena tingkah laku orang tua atau orang dewasa mampu mengulangi sebuah tindakan dibandingkan mereka yang tidak tertawa
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rana ini akan menyimpulkan bahwa kecerdasan anak dalam belajar ternyata berkaitan dengan kebahagiaan anak. Dengan kata lain, mental anak yang bahagia mendukung anak-anak untuk mencoba sesuatu yang baru dan berhasil ketika mempelajari sesuatu.
Berikut cara yang dilakukan oleh Rana Esseily dan teman-teman dalam mengetahui bahwa bercanda bisa membuat anak lebih cerdas:
Dalam satu kelompok, orang dewasa hanya bermain dengan mainan; tetapi pada kelompok lain, orang dewasa melemparkan mainan di lantai, yang membuat separuh anak-anak dalam kelompok tertawa. Hasilnya, anak-anak yang tertawa karena tingkah laku orang dewasa mampu mengulangi sebuah tindakan daripada mereka yang tidak tertawa.
Kesimpulan:
Nabi shalallhu ‘alaihi wassalam senang bercanda dengan anak-anak. Bermain dan bercanda dengan anak ini merupakan salah satu hal yang penting untuk diperhatikan oleh orang tua. 
Sebagian orang tua merasa malu dan gengsi untuk bermain dan bercanda bersama anak-anaknya. Padahal cara ini merupakan salah satu cara yang sangat jitu dan manjur untuk menumbuhkan keakraban dan kedekatan anak dengan orang tuanya. Ketika orang tua sudah akrab dengan anak-anaknya, maka pada saat itu anak akan lebih terbuka untuk menceritakan apa yang dia hadapi kepada orang tuanya.
Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Ketika seseorang berada di tengah-tengah keluarganya, hendaklah ia menjadi seperti anak kecil; penuh kasih sayang, bercanda dan bermain-main dengan anaknya. Tapi, ketika kehorrmatannya dilecehkan, ia menjadi lelaki sejati.”
Orang tua hendaklah menyempatkan waktu untuk bermain-main dengan anak-anak. Dalam mendidik anak, bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah bermain dan belajar bersama anak-anak. Betapa senang anak-anak apabila orang tua mau bermain-main dan bergembira bersama mereka. Para orang tua jangan menganggap bermain-main dengan anak sebagai sesuatu yang tidak penting. Penelitian telah menunjukkan, orang tua yang memiliki waktu untuk bermain dengan anak-anak, memberikan pengaruh yang positif bagi perkembangan anak.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Siapa memiliki anak kecil, hendaklah ia bercanda dan bermain dengan mereka.” (HR. Ad-Dailami dan Ibnu ‘Asakir)
Dipersembahkan:
www.iman-islam.com
Sebarkan! Raih pahala…

SURAT AL-KAFIRUN (Bag-3)

Pemateri: Ust. AHMAD SAHAL HASAN, Lc.
Pembahasan sebelumnya bisa dilihat tautan di bawah ini..
Penjelasan tentang ayat-ayat Surat Al-Kafirun berikut ini semoga memperkuat motivasi kita semua untuk mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran dan terus mendalaminya.
AYAT 1⃣

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ
📌Katakanlah: “Hai orang-orang kafir”
“Qul” (Katakanlah wahai Rasul-Ku): adalah perintah Allah kepada beliau untuk merespon negosiasi yang dilakukan oleh Al-Walid bin Al-Mughirah dan rekan-rekannya agar Rasulullah mau melakukan kompromi dan pencampuran ibadah. Sebuah respon negatif untuk mereka dan jawaban tegas berupa penolakan.
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa seruan ayat ini berlaku umum untuk semua orang kafir di muka bumi, meskipun seruan saat ayat ini diturunkan ditujukan untuk kafir Quraisy. (Tafsir Ibnu Katsir, 8/507).
Beberapa ulama tafsir lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan al-kafirun dalam ayat ini adalah orang-orang kafir yang tetap dalam kekafiran mereka hingga akhir hayat, seperti yang terjadi pada Al-Walid bin Mughirah dan rekan-rekannya yang menjadi sebab turunnya ayat ini. Mereka semua tidak beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan meninggal dalam kekafiran. (Tafsir Al-Qurthubi, Syamsuddin Al-Qurthubi, 20/226; Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 5/619; Nazhm Ad-Durar, Al-Biqa’i, 22/3012; At-Tafsir Al-Munir, Az-Zuhaili, 30/440).
Orang-orang Quraisy di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dinyatakan kafir oleh Allah meskipun mereka mengakui dan menyatakan Allah sebagai pencipta langit dan bumi, dan biasa menyebut kata Allah dalam pembicaraan mereka.

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
📌Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”. (QS. Al-Ankabut: 61).
Hal ini menegaskan bahwa sekadar percaya bahwa Allah adalah Maha Pencipta, apalagi sekadar percaya bahwa alam ini diciptakan tanpa keyakinan yang jelas siapa Penciptanya, maka semua itu tidak cukup untuk dikatakan beriman kepada Allah dengan benar.
Keimanan dan beragama yang benar bagi manusia yang lahir setelah diutusnya Nabi Muhammad adalah dengan beribadah hanya kepada Allah dengan tata cara yang dijelaskan oleh wahyu Allah yang disampaikan oleh Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melalui Al-Quran dan Hadits dan membenarkan semua informasi yang bersumber dari keduanya.
Dalam konteks Quraisy, awal kekafiran mereka adalah pengingkaran mereka kepada kenabian dan kerasulan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Seruan kepada mereka oleh Rasulullah menggunakan isim fa’il (kata sifat, pelaku) “kafirun” untuk menghinakan mereka dan mengisyaratkan bahwa:
1⃣ Rasulullah tidak pernah takut kepada mereka meskipun beliau memanggil mereka dengan “orang-orang kafir”, sebuah panggilan yang mereka pasti tidak suka. (At-Tahrir wa At-Tanwir, 30/581).
2⃣ . Bahwa negosiasi yang mereka lakukan adalah upaya pencampuran tauhid dengan syirik tanpa keraguan sedikitpun, dan momen menjawab negosiasi mereka adalah momen ketegasan, sehingga diperlukan bahasa yang tegas tentang al-furqan (garis pemisah) antara iman dengan kafir yang tidak menimbulkan kesan keraguan atau kelemahan.
3⃣ Seruan dakwah Rasulullah menggunakan bahasa yang sesuai situasi dan kondisi, termasuk dalam memanggil objek dakwah. Beliau menggunakan panggilan umum seperti “Ya Ayyuhan-Nas” (wahai manusia), atau panggilan yang mengandung penghormatan misalnya dengan menyebut suku atau kabilah mereka yang terhormat seperti “Ya Ma’syara Quraisy” (Wahai masyarakat Quraisy) atau “Ya Bani ‘Abdi Manaf” (Wahai anak keturunan Abdu Manaf), .. demi maslahat dakwah yang ingin diwujudkan tanpa melanggar larangan.
AYAT 2⃣ sampai dengan 5⃣

لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ
Beberapa ulama tafsir memaparkan dengan penjelasan yang berbeda. Apakah AYAT 4 adalah sekadar taukid (penguat) bagi AYAT 2, begitu juga AYAT 5 bagi AYAT 3, ataukah ada fungsi dan manfaat lainnya?
📚PENJELASAN IBNU ‘ASYUR
Ada yang memandang bahwa rangkaian AYAT dari 2 sampai 5 ini memiliki fungsi yang berbeda.
Diantaranya Ibnu ‘Asyur rahimahullah yang menyimpulkan bahwa:
AYAT 2⃣ menjelaskan situasi MASA DEPAN, bahwa Rasulullah tidak akan menyembah sesembahan mereka DI WAKTU MENDATANG.
🔹 Dalilnya adalah:
Dalil bahasa Arab, bahwa huruf nafi/negasi لا (tidak) yang masuk ke dalam fi’il mudhari’ (أعبد) mengandung makna negasi di MASA DEPAN. 
Juga dapat disimpulkan dari salah satu riwayat sabab nuzul surat ini bahwa mereka menawarkan untuk lebih dahulu beribadah kepada Allah selama setahun, baru setelah itu Rasulullah beribadah menyembah berhala mereka DI TAHUN BERIKUTNYA.
Sehingga maknanya menjadi:
“Aku tidak akan (di masa datang) beribadah kepada apa yang kalian ibadahi.”
AYAT 3⃣ mengandung negasi untuk SAAT SEKARANG, bahwa kalian orang-orang kafir tidak menjadi pelaku ibadah kepada Allah SAAT INI.
🔹 Dalilnya:
Dalil bahasa: Negasi atas kalimat yang berbentuk JUMLAH ISMIYAH adalah negasi untuk keadaan SAAT INI. Jumlah ismiyah adalah kalimat yang intinya diawali dengan isim (kata benda), di AYAT 3 ini isimnya adalah dhamir (kata ganti) – أنتم dimana “antum” (kalian) adalah mubtada (kata yang diterangkan), dengan KHABARnya (yang menerangkan) juga ISIM yaitu عابدون.
Juga dapat disimpulkan dari sabab nuzul bahwa mereka siap mulai menyembah Allah SAAT INI dengan syarat tahun berikutnya Rasulullah menyembah berhala mereka.
Maksudnya: kalian wahai tokoh-tokoh Quraisy tidak perlu SAAT INI menjadi pelaku ibadah menyembah Allah jika hal itu kalian lakukan dengan tujuan mencampur adukan keyakinan dan peribadatan, dan supaya tahun depan aku bergantian menyembah berhala kalian. Karena perbuatan itu tidaklah benar.
Sehingga terjemahannya akan menjadi:
“Dan kalian (saat ini) tidak menjadi pelaku ibadah kepada Tuhan yang aku ibadahi.”
AYAT 4⃣ merupakan athaf bagi AYAT 3 (keduanya berkedudukan sejajar, dipisahkan dengan huruf wau) dan sama-sama berbentuk JUMLAH ISMIYAH, sehingga juga mengandung negasi untuk SAAT SEKARANG.
Sehingga maknanya menjadi:
Dan aku (saat ini) tidak menjadi pelaku ibadah kepada apa yang kalian ibadahi.
AYAT 5⃣ merupakan athaf bagi AYAT 4: berfungsi sebagai penegasan perbedaan 180 derajat antara Rasulullah dengan mereka.
AYAT 5 sebagai pengulangan dari AYAT 3: sebagai isyarat bahwa Allah dengan pengetahuan-Nya yang tak dibatasi oleh apapun telah mengetahui bahwa tokoh-tokoh Quraisy yang datang kepada Rasulullah untuk menawarkan negosiasi ini tidak akan pernah sama sekali menyembah Allah sampai akhir hayat mereka. Sekaligus ini menjadi salah satu tanda kenabian atau mu’jizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
(At-Tahrir wa At-Tanwir, 30/581-583).
📚PENJELASAN ASY-SYAUKANI
🔹(Bersambung)🔹
Dipersembahkan:
💼 Sebarkan! Raih pahala…

Bab Larangan Upah Kawin Pejantan

Pemateri: Ust. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

Taujih Nabawi

Hadits #1

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ (رواه البخاري والنسائي وأبو داود)

Dari Ibnu Umar ra berkata, bahwa Nabi SAW melarang menjual air mani pejantan. (HR. Bukhari, Nasa’i dan Abu Daud)

Takhrij Hadits

Dengan sanad dari Ali bin Hakam, dari Nafi’, dari Ibnu Umar ra, diriwayatkan oleh :
Imam Bukhari dalam Shahihnya, Kitab Al-Ijarah, Bab ‘Ashbil Fahl, hadits no 2123.

Imam Turmudzi, dalam Jami’nya, Kitab Al-Buyu’ an Rasulillah SAW, Bab Ma Ja’a fi Karahiyati Asbil Fahl, hadits no 1194.

Imam Nasa’i dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Bai’ Dhirabil Jamal, hadits no 4592.

Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Asbil Fahl, hadits no 2975.

Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya, Musnad Al-Muktsirin Minas Shahabah, dalam Musnad Abdullah bin Umar bin Khattab , hadits no 4402.

Hadits #2

وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ ضِرَابِ الْفَحْلِ (رواه مسلم والنسائي)

Dari Jabir ra bahwa Nabi SAW melarang upah (kawin) hewan jantan.’ (HR. Muslim & Nasa’i)

Takhrij Hadits

Dengan sanad dari Ibnu Jubair, dari Abu Zubai dari Jabir bin Abdillah ra, diriwayatkan oleh :

Imam Muslim dalam Shahihnya, Kitab Al-Musaqah, Bab Tahrim bai’ fadhlil maa’illadzi yakunu bil falati wa yuhtaju ilaihi, hadits no 2926.

Imam Nasa’i dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Bai’ Dhirabil Jamal, hadits no 4591.

Catatan :

Namun riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim dan Sunan Nasa’i, tidak menggunakan redaksi ( ضراب الفحل ) akan tetapi menggunakan redaksi ( ضراب الجمل ).

Gambaran Takhrij Hadits

Kesimpulan Hukum Riwayat Hadits

Hadits #1 merupakan hadits shahih, sesuai syarat Imam Bukhari, dan ditakhrij oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya.

Hadits ke #2 adalah hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya, dan sebagaimana dikemukakan juga oleh Imam Al-Hakim dalam Mustadraknya, :

وهذه أسانيد كلها صحيحة على شرط مسلم ولم يخرجاه

Sanad hadits ini semuanya shahih sesuai syarat Imam Muslim, namun beliau tidak mentakhrij dalam Shahihnya.
Makna Hadits

Gambaran Hadits Secara Umum

Secara umum, hadits ini menggambarkan tentang hukum jual beli sperma hewan pejantan, atau upah kawin hewan pejantan, yaitu bahwa hadits tersebut melarang transaksi dimaksud.

Maksud dari jual beli sperma hewan pejantan atau upah kawin hewan pejantan adalah seseorang memiliki hewan pejantan dari jenis-jenis hewan yang boleh dimakan seperti kambing, sapi, kerbau dan unta, kemudian ia memperjual belikan sperma pejantannya untuk ditanamkan dalam rahim hewan betina milik pembeli.

Atau seseorang yang memiliki hewan pejantan menyewakannya kepada penyewa, untuk mengawani hewan milik si penyewa.

Adapun tujuan dari jual beli sperma pejantan atau sewa/ upah kawin hewan pejantan adalah agar hewan tersebut bisa membuahi hewan betina milik si pembeli atau si penyewa.

Makna ( عسب الفحل ) Asbil Fahl

Makna ( عسب ) secara bahasa, asb berarti keturunan atau anak
Makna ( فحل ) secara bahasa, fahl berarti hewan jantan atau pejantan
Dalam Nailul Authar disebutkan, bahwa fahl adalah jenis jantan dari semua hewan, kuda, unta atau kambing, atau hewan lainnya.

Apabila digandeng, ( عسب الفحل ) memiliki beberapa pengertian, diantaranya :

Air pejantan, maksudnya sperma yang berasal dari hewan pejantan.

Upah perkawinan dari hewan pejantan.

Pandangan Ulama Tentang Hukum Upah Kawin Pejantan

Pandangan Pertama:

Pandangan yang berpegang pada dzahir nash hadits, yaitu bahwa menjual sperma hewan pejantan, atau menyewakan hewan pejantan untuk mengawini hewan betina, atau upah kawin hewan pejantan, adalah haram.

Dalam nailul authar disebutkan :

قال الشافعي وأبو حنيفة وأبو ثور وآخرون استئجاره لذلك باطل وحرام ولا يستحق فيه عوض ولو أنزاه المستأجر لا يلزمه المسمى من أجره ولا أجرة مثل ولا شئ من الأموال قالوا لأنه غرر مجهول وغير مقدور على تسليمه

As-Syafii, Abu Hanifah, dan Abu Tsaur, serta beberapa ulama lainnya mengatakan bahwa menyewakan hewan jantan untuk dikawinkan statusnya tidak sah dan haram.

Pemiliknya tidak berhak mendapatkan ganti biaya. Meskipun penyewa itu mengawinkan hewan jantan (milik orang lain) dengan betina miliknya, dia tidak berkewajiban membayar upah yang telah dinyatakan di awal, tidak pula upah yang semisal atau harta apapun.

Pandangan Kedua

Pendapat yang mengatakan bahwa larangan dalam hadits di atas bukanlah menunjukkan keharaman (tahrimi), melainkan larangan yang dimaksudkan agar dihindari (tanzihi).

Atau dengan kata lain, larangannya adalah bersifat makruh, bukan haram.

Dalam syarah shahih Muslim disebutkan

وقال جماعة من الصحابة والتابعين ومالك وآخرون يجوز استئجاره لضراب مدة معلومة أو لضربات معلومة لأن الحاجة تدعو إليه وهي منفعة مقصودة وحملوا النهي على التنزيه والحث على مكارم الأخلاق…

”Beberapa sahabat, tabiin, Imam Malik, dan beberapa ulama lainnya berpendapat, boleh menyewakan pejantan untuk dikawinkan dalam masa yang disepakati, atau untuk beberapa kali proses mengawini.

Karena ada kebutuhan untuk melakukan proses itu, danmengawinkan binatang merupakan manfaat utamanya.

Illat Dilarangnya Jual Beli Sperma Pejantan

Adapun illat (sebab/ alasan) dilarangnya jual beli sperma pejantan, atau upah kawin pejantan adalah karena adanya dua hal berikut

Jahalah (ketidaktahuan) kadar, jenis, kuantitas dan kualitasnya

Adamul qudrah alat taslim (tidak bisa diserah terimakan).

Ibnu Qayim Al-Jauzi mengatakan ;

أن ماء الفحل لا قيمة له ولا هو مما يعاوض عليه ولهذا لو نزا فحل الرجل على رمكة غيره فأولدها فالولد لصاحب الرمكة اتفاقا لأنه لم ينفصل عن الفحل إلا مجرد الماء وهو لا قيمة له

Sperma adalah benda yang tidak memiliki nilai, bukan pula benda yang layak dijual belikan. Karena itu, ketika ada hewan pejantan seseorang yang mengiwini hewan betina milik orang lain, kemudian menghasilkan anak. Maka anak hewan ini menjadi milik si pemilik hewan betina dengan sepakat ulama. Karena anak ini tidak ada hubunganya dengan si jantan, selain sebatas sperma dan itu tidak ada harganya.

Hukum Meminjamkan Hewan Pejantan Kepada Pemilik Betina

Ulama sepakat, bahwa hukum meminjamkan hewan pejantan kepada pemilik hewan betina, dengan maksud supaya hewan pejantan tersebut mengawini hewan betina, tanpa adanya konpensasi upah apapun, adalah boleh.

Hal ini sebagaimana dalam hadits :

عن أبي كبشة الأنماري ، أنه أتاه فقال : أطرقني (1) فرسك ، فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : « من أطرق فرسا فعقب له الفرس كان له كأجر سبعين فرسا حمل عليها في سبيل الله ، وإن لم تعقب كان له كأجر فرس حمل عليه في سبيل الله (رواه ابن حبان)

Dari Abi Kabsyah Al-Anmari ra, berkata ‘Pinjamkanlah kudamu padaku, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,

“Barang siapa yang meminjamkan kuda pejantannya secara cuma-cuma, lalu kuda betina yang dibuahi itu berketurunan, maka pemilik kuda jantan tersebut akan mendapatkan pahala tujuh puluh kuda yang dijadikan sebagai binatang tunggangan di jalan Allah.

Jika tidak berketurunan maka pemilik kuda pejantan akan mendapatkan pahala seekor kuda yang digunakan sebagai hewan tunggangan di jalan Allah.” (HR. Ibnu Hibban)

Memberikan Hadiah, sebagai konpensasi peminjaman hewan pejantan.

Namun bagaimana hukumnya, apabila si peminjam memberikan hadiah kepada pemilik hewan pejantan, sebagai rasa terimakasihnya telah dipinjami hewan pejantan dan mengawini hewan betinanya?

Ulama berpendapat bahwa hukumnya boleh, dengan syarat bahwa hadiah tersebut bukanlah sewa, namun benar-benar hadiah yang diberikan tanpa adanya perjanjian pemberiah imbalan dengan besaran tertentu.

Hal ini di dasarkan pada hadits dari Anas bin Malik ra dari Rasulullah SAW :

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ رَجُلاً مِنْ كِلاَبٍ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَسْبِ الْفَحْلِ، فَنَهَاهُ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا نُطْرِقُ الْفَحْلَ فَنُكْرَمُ؟ فَرَخَّصَ لَهُ فِي الْكَرَامَةِ (رواه الترمذي)

Dari Anas bin Malik ra berkata bahwa seseorang dari kabilah Kilab bertanya kepada Nabi SAW perihal upah kawin pejantan.

Lalu Nabi SAW melarangnya. Kemudian ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami meminjamkan hewan pejantan (untuk tujuan pengawinan), lalu kami mendapatkan hadiah?’ lalu Nabi SAW memperbolehkannya hadiah tersebut.’ (HR. Turmudzi)

Konsekwensi Jual Beli Sperma Pejantan, atau upah kawin pejantan.

Oleh karena hukum jual beli sperma atau upah kawin pejantan adalah dilarang, maka upah atau harga jual belinya adalah juga terlarang juga.

Karena ketika Allah SWT mengharamkan sesuatu, maka Allah haramkan juga harga atau keuntungan dari proses jual beli sesuatu tersebut.

Jadi, keuntungan atau upah kawin pejantan adalah tidak sah secara syariah, karena termasuk usaha yang dilarang secara syariah.

والله تعالى أعلى وأعلم بالصواب
والحمد لله رب العالمين

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala..

Kemenangan Tanpa Pengokohan, Mungkin Kroasia Sudah Terlalu Jauh dari İstanbul

Pemateri: Ust. Agung Waspodo SE,6 MPP

Pertempuran di Lapangan Krbava – 9 September 1493

Pertempuran ini dalam sejarah Kroasia disebut “Bitka na Krbavskom polju,” dalam bahasa Hungaria dikenal sebagai “Korbávmezei csata,” dan dalam istilah Turki adalah “Krbava Muharebesi” yang mempertemukan antara Khilafah Turki Utsmani yang dipimpin oleh Sultan Bayezid II melawan balatentara Kerajaan Kroasia ketika masih bersatu dengan Kerajaan Hungaria di Lapangan Krbava, bagian dari wilayah Lika di Kroasia.

Pasukan Turki Utsmani berada dibawah pimpinan Hadım Yakup Pasha, seorang Sancak-Bey dari Sancak Bosnia sedangkan pasukan Kroasia dipimpin oleh Emerik Derenčin, seorang Ban dari Kroasia yang loyal kepada Raja Vladislaus II Jagiello.

Pada awalnya di musim panas tahun 1493, pasukan Turki Utsmani menyerbu melintasi Kroasia hingga ke Carniola dan Styria ketika perseteruan antara keluarga Frankopan dan Ban Kroasia sedang memuncak. Namun, kehadiran pasukan Turki Utsmani ini memaksa kedua belah pihak untuk meredam konfliknya.

Para bangsawan Kroasia memobilisasi pasukan dalam jumlah yang besar dan mencegat pasukan Turki utsmani yang sedang dalam perjalanan pulang ke Sancak Bosnia. Namun, taktik yang lemah serta pemilihan lapangan yang datar yang memberikan kesempatan emas bagi kavaleri Turki Utsmani untuk bermanuver sesuai keahliannya menjadikan kekalahan memukul pihak Kroasia. Memang tidak ada konsekuensi kehilangan daerah bagi Kroasia, namun kekalahan ini memudahkan Turki Utsmani untuk masuk ke wilayah selatan Kroasia pada dekade berikutnya.

Latar Belakang

Setelah masuknya Kerajaan Bosnia menjadi bagian dari kekhilafahan Turki Utsmani pada tahun 1463, maka perluasan pengaruhnya menyebar luas ke arah barat. Perkembangan ini menjadi ancaman bagi bagian selatan dan tengah dari Kerajaan Kroasia. Setelah ketegangan itu, semakin sering serbuan Turki Utsmani dirasakan di perbatasan Kroasia. Serbuan ini dilaksanakan oleh kesatuan Akıncı, yaitu kavaleri ringan Turki Utsmani, yang memilih musim semi dan panas untuk melancarkan serbuannya. Oleh karena itu penduduk setempat meninggalkan lahan di perbatasan sehingga menyebabkan benteng-benteng di wilayah itu kehilangan sumber logistiknya.

Salah satu serbuan pada bulan September 1491 bahkan sampai melintasi sungai Kupa hingga mrncapai ke Carniola. Dalam perjalanan pulang, pasukan inj disergap oleh kesatuan pimpinan Ban Ladislav dari Egervár dan Count Bernardin Frankopan dekat kota Udbina; pada Pertempuran Vrpile ini pihak Turki Utsmani terkalahkan. Kekalahan ini memaksa Turki Utsmani menghentikan penyerbuannya pada tahun 1492. Setelah Hadım Yakup Pasha diangkat menjadi Sancak-Bey utk Sancak Bosnia, maka serbuan rutin itu dimulai kembali.

Persiapan

Pada musim panas tahun 1493, Hadım Yakup Pasha memobilisir pasukan berkekuatan 8.000 kavaleri ringan Akıncı dan menyerang kota Jajce namun gagal menguasai bentengnya. Dari situ mereka bergerak menuju utara dan memasuki wilayah Carniola dan Styria serta menyerbu wilayah pinggirannya. Pada tahun yang sama terjadi lagi perseteruan antara Ban Kroasia yang dijabat oleh Emerik Derenčin (dalam bahasa Hungaria dikenal sebagai Imre Derencsényi) melawan kekuarga Frankopan yang bersekutu dengan Karlo Kurjaković; mereka memoerebutkan kendali atas wilayah Senj dan beberapa kota lainnya.

Pada pertengahan bulan Juli 1493, Count Bernardin Frankopan dan Ivan VIII (Anž) Frankopan berada di atas angin pada perang terbuka tersebut pada pengepungan Senj. Kepungan itu terpaksa diangkat ketika didatangi oleh pasukan pimpinan Ban Derenčin. Pasukan Frankopan mundur ke Sokolac serta dituduh bekerja sama dengan Turki Utsmani walau sebenarnya daerah Frankopan juga menderita serangan Turki Utsmani. Kedatangan pasukan Turki Utsmani kembali memaksa kedua pihak untuk bersatu.

Pada perjalanan pulangnya, pasukan Turki Utsmani menyerang kota Modruš di sebelah utara Lika; wilayah yang dimiliki oleh kekuarga Frankopan sebenarnya. Kedua seteru Kroasia itu mengumpulkan 3.000 pasukan berkuda beserta 8.000 pasukan infanteri dari berbagai penjuru Kroasia. Namun, sebagiannya berasal dari para petani yang menggarap ladang di Krbava. Pasukan ini memutuskan untuk menghadapi lawannya di medan terbuka; walau sempat tercetus ide untuk menjebaknya di lembah oleh Ivan Frankopan Cetinski.

Pertempuran

Pasukan Turki Utsmani memasuki palagan Krbava melalui titik terendah dan tersempit dari celah gunung di Gorcia; mereka menghindari jalur celah Vrpile yang berakhir pada kekalahan dua tahun sebelumnya. Mendapatkan informasi intelijen akan adanya pergolakan tawanan ketika perang nanti berkecamuk memaksa Hadım Yakup Pasha untuk mengeluarkan perintah eksekusi terhadap tawanan mereka di dekat Jelšani (Jošan modern sekarang) untuk meminimalisir resiko pemberontakan. Setelah itu ia berunding dengan para komandan dan menyetujui untuk mengirimkan 3.000 kavalerinya untuk membuat jebakan di hutan dekat Lapangan Krbava.

Walaupun pada mulanya rencana Kroasia adalah menyerang lawannya di padang terbuka, namun posisi awalnya mereka menempati lereng bukit dekat desa Visuć. Balatentara ini diposisikan menghadap lawan sexara frontal dalam 3 lini; pertama terdiri dari prajurit Slavonia dibawah Franjo Berislavić, kedua dipimpin Ivan Frankopan Cetinski, dan ketiga dibawah Nikola VI Frankopan dan Bernardin Frankopan. Setiap lini mendapatkan porsi infanteri dan kavaleri yang seimbang. Panglima umum balatentara Kroasia dipimpin oleh Ban Emerik Derenčin.

Balatentara Turki Utsmani juga terbagi tiga; pertama dibawah İsmail Bey Sancak-Bey dari Sncak Kruševac, kedua dibawah Mehmed Bey dari Sancak Üsküp (Skopje), dan ketiga yang berada di lini tengah dibawah Hadım Yakup Pasha. Perlu juga dicatat bahwa İshak Bey Kraloğlu (Sigismund dari Bosnia), anak dari Raja Bosnia, Stephen Thomas (w. 1461) juga ikut serta berperang pada pihak Khilafah Turki Utsmani.

Pertempuran di Lapangan Krbava – 9 September 1493

*Rencana Turki Utsmani

Rencana balatentara Turki Utsmani adalah menarik pergerakan pasukan Kroasia menjauh ke arah barat ke dekat hutan dimana sudah dipersiapak suatu jebakan. Sayap kiri İsmail melakukan gerakan pertama menyerbu ke sisi kiri Kroasia. Serangan ini membuat lawan terpancing dan mereka meninggalkan posisi lereng bukit dan balik menyerang pasukan Turki Utsmani dan perang terbuka tak terelakkan lagi.

Pertempuran pada hari Senin 27 Dzul Qa’dah 898 Hijriah (9 September 1493) itu dipertarungkan menggunakan pedang tanpa sempat ada anak panah yang dilesatkan.

Pada awalnya Turki Utsmani yang terdesak dan mulai mundur, namun ini justru menjadi awal terjebaknya pasukan Kroasia karena mereka lengah dan membiarkan sayap belakangnya diserbu olrh 3.000 kavaleri yang sedari tadi bersembunyi di hutan Krbava. Setelah pendadakan itu barulah pasukan utama dibawah Hadım Yakup Pasha yang juga bersembunyi di huta keluar dan melancarkan serangan umum terhadap lini depan, kanan, dan belakang pasukan Kroasia. Sayap kiri pasukan Kroasia dibawah Bernardin Frankopan yang menerima hantaman serangan itu tidak dapat lama bertahan serta mulai mundur. Sebagian besar infanteri Kroasia terkurung dan tidak dapat melarikan diri. Kekalahan telak ini hanya menyisakan sedikit pasukan Kroasia yang berlindung di dalam perlindungan dinding kota Udbina.

Pertempuran yang dimulai sekitar jam 0900 itu berakhir pada sore hari. Ban Derenčin tertawan dan dieksekusi atas kekejaman sebelumnya. Saudaranya yang bernama Pavao terbunuh dalam pertempuran. Nikola VI Frankopan Tržački yang juga tertawan berhasil lolos dari maut setelah ditebus oleh keluarganya. Diantara para bangsawan yang gugur pada pertempuran itu termasuk Ivan Frankopan Cetinski, Petar II Zrinski, Juraj Vlatković, dan Ban dari Jajce qyaitu Mihajlo Pethkey. Count Bernardin Frankopan dan Franjo Berislavić berhasil lolos dari kekalahan di Krbava.

Kesudahan

Walaupun para bangsawan elit Kroasia menderita kekalahan telak hingga Kerajaan Kroasia menjadi terhapus dari sejarah, namun khilafah Turki Utsmani tidak mendapatkan pertambahan wilayah sebagai hasilnya. Karena kekalahan yang begitu besar maka dalam sejarah Kroasia pertempuran ini dikenang sebagai Palagan Berdarah atau “Field of Blood”. (dalam bahasa Kroasia: Krvavo polje).

Perdamaian antara koalisis Kroasia-Hungaria dan Turki Utsmani disepakati pada bulan April 1495. Ekspedisi Turki Utsmani besar berikutnya terjadi pada tahun 1512-1513 yang dimrnangi oleh Kroasia di Pertempuran Dubica. Zona perang ini kemudian dikosongkan dan penduduk migrasi menjauhinya ke area barat-laut Kroasia, pantai Laut Adriatik, dan bahkan keluar dari wilayah Kroasia. Franjo Berislavić menjadi Ban untuk Jacjr pada tahun 1494.

Agung Waspodo mencatat bahwa ada beberapa kemenangan di medan perang Turki Utsmani yang tidak membawa pada perluasan wilayah sehingga tidak menopang perkembangan kebudayaan  Islam pada fase selanjutnya; bahkan kemudian lepas dari orbit. Pelajaran lagi dari 522 tahun yang lalu.

Depok, Jumat 18 September 2015, hawa pagi beranjak panas, peristiwanya telah lewat 9 hari

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

TIGA SIFAT UNGGULAN MANUSIA PILIHAN ALLAH SWT. (Bag. 3)

Pemateri: Ust. DR. Abas Mansur Tamam

Materi sebelumnya bisa d lihat di tautan berikut ini:

Bag. 1: http://goo.gl/CrOkHT
Bag. 2: http://goo.gl/5zg3rd

2. BERWAWASAN LUAS (ULIL ABSHAR):

1. Cerdas (al-‘Aqlu):

2. Pengetahuan Tentang Kitab Allah (al-Ilmu bi Kitabillah):

Indikator kedua dari orang yang memiliki wawasan luas adalah memiliki pengetahu an tentang Alquran (al-ilmu bikitabillah), demikian menurut Qatadah.

Membuat batasan operasional dari indikator ini sedikit sulit, karena Alquran itu sendiri merupakan kitab pengetahuan.

Allah swt. berfirman:

وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللّهِ مِن وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ

Artinya: “Jika engkau mengikuti kemauan mereka (Yahudi dan Nasrani) setelah ilmu (Alquran) datang kepadamu, maka Allah tidak akan lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu” (Al-Baqarah [2]: 120).

Menurut pengertian ini, memiliki wawasan Alquran mengindikasikan keharusan menguasai kajian Alquran, dan itu tidak bisa dijangkau oleh umumnya kita.

Indikator ini akan menjadi operasional jika kita membagi penguasaan terhadap ilmu-ilmu Alquran kedalam dua bagian: tataran ideal dan tataran praktis.

a. Tataran Ideal:

Gambaran ideal dari orang yang memiliki indikator ini adalah seorang ahli tafsir. Karena seorang mufassir dituntut untuk menguasai semua disiplin ilmu Alquran (ulumul Quran) yang diperlukan untuk menafsir kannya.

Dahulu di antara sejumlah sahabat yang paling berprestasi di bidang ini adalah Ubai bin Ka’ab.

Rasulullah saw. mengumumkan: “Wa aqrauhum Ubay” (Tirmizi, 5/3790, hadits hasan).

Kata aqra dalam hadits di atas bukan hanya ahli membaca, tetapi ahli dalam semua aspek yang berhubungan dengan penguasaan Kitab Allah.

Itu sebabnya Ubai menjadi pendiri Mazhab Madinah dalam kajian Alquran. Sebagaimana Ibn Abbas telah melahirkan Mazhab Makkah, dan Ibn Mas’ud melahirkan Mazhab Kuffah dalam kajian Alquran.

Karena itu idealnya kita harus menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan untuk memahami Alquran dengan baik.

Ilmu-ilmu itu seperti:
– sejarah pengumpulan Alquran,
– kodifikasi dan urutan surat-surat Alquran,
– tata cara turunnya Alquran, – sebab-sebab turunnya Alquran (asbabun nuzul),
– surat-surat atau ayat-ayat yang diturunkan di Makkah (Makiyyah) dan yang diturunkan di Madinah (Madaniyah),
– ayat-ayat yang menghapus dan dihapus (nasikh-mansukh),
– ayat-ayat yang memiliki makna-makna yang lugas (muhkam) dan yang tidak lugas (mutasyabih),
– mazhab-mazhab dan syarat-syarat tafsir,
– kemukjizatan Alquran,
– kisah-kisah Alquran dan tujuan-tujuannya,
– hukum-hukum yang dikandung di dalam Alquran, dan
– ilmu-ilmu lain-lain yang berhubungan erat dengan Alquran.

Meskipun penguasaan terhadap ilmu-ilmu di atas sangat sulit untuk dicapai, tetapi orang yang bercita-cita menjadi manusia unggulan di sisi Allah dan Rasul-Nya tidak boleh menganggapnya mustahil, untuk kemudian berhenti menapaki dan mencarinya.

Sebaliknya, orang yang mempunyai obsesi untuk itu tetap menjadikannya sebagai target yang terus diupayakan sedikit demi sedikit, dengan cara menambah wawasan kita tentang Alquran.

Syiar kita adalah seperti yang diajarkan oleh Alquran:

وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا

Artinya: “Katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan” (Thoha [20]: 114).

b. Tataran Praktis:

Adapun tataran praktis yang harus dicapai oleh setiap muslim adalah wawasan yang merupakan kewajiban muslim terhadap Alquran.

Hal itu bisa disederhanakan menjadi empat aspek yang wajib dilakukan setiap muslim terhadap Kitab sucinya, yaitu:

Aspek Keimanan:

Maksudnya setiap muslim wajib mengetahui hal-hal paling dasar dalam keimanannya kepada Alquran. Bahwa Alquran adalah wahyu Allah dalam lafal-lafal berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang sampai kepada kita dengan mutawatir (Syaltout, Al-Islam, 471).

Pengetahuan ini wajib dimiliki hingga menyampaikan kita pada keimanan bahwa Alquran merupakan kebenaran yang tidak ada keraguan di dalamnya, dan menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.

Firman Allah:

ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ

Artinya: ”Itulah Kitab Allah yang tidak ada keraguan di dalamnya, dan menjadi petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa” (Al-Baqarah [2]: 2).

Seseorang tidak disebut sebagai orang beriman kecuali dia meyakini sepenuhnya bahwa Alquran mengandung ajaran kebenaran yang harus dijadikan pegangan dalam hidup manusia.

Alquran harus memandu kehidupan, hingga umat manusia mendapatkan kesejahteraan dan kebagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Kegagalan hidup manusia dalam pengertian yang sesungguhnya disebabkan karena ia berpaling dari Alquran. Sistem sosial apapun yang tidak bersumber dari Kitab Allah akan mengantarkan umat manusia pada kegagalan dan kesengsaraan dalam hidupnya.

Pemahaman ini membuat seorang mukmin siap untuk menerima setiap titah dan larangan Allah dalam Alquran.

Sehingga lahir trilogi: pengetahuan-iman-kesiapan melaksanakan ajaran Alquran.

Ibn Mas’ud mengatakan:
“Jika engkau mendengar Allah berfirman: wahai orang-orang yang beriman, maka pasanglah pendengaran engkau.

Karena ujaran setelah itu bisa merupakan perintah dimana engkau diperintah untuk melaksanakannya, atau merupakan larangan dimana engkau dilarang untuk melaksanakan nya” (Tafsir As-Samarqandi, 1/131).

Aspek Tilawah dan Tahfiz

Aspek tilawah maksudnya kemampuhan untuk membaca Alquran dengan tartil. Sedangkan tahfiz maksudnya adalah upaya menghapal sebagian atau keseluruhan Alquran.

Keharusan membacanya dengan tartil karena orang yang trampil dalam membacanya akan hidup bersama para rasul kelak di dalam surga.

Rasulullah saw. bersabda:

عن عَائِشَةَ قالت قال رسول اللَّهِ ﷺ الذي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وهو مَاهِرٌ بِهِ مع السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ، وَالَّذِي يَقْرَؤُهُ وهو عليه شَاقٌّ فَلَهُ أَجْرَانِ

Artinya: “Orang yang membaca Alquran dengan lancar, dia bersama para rasul (atau malaikat) yang mulia. Sedangkan orang yang membacanya dengan susah, dia mendapatkan dua pahala” (Abu Daud 5/2904; Tirmidzi 5/2904, hadits hasan sahih).

Kemampuan ini harus dipraktikkan dengan cara membaca Alquran setidaknya SEJUZ dalam SEHARI, sehingga bisa khatam Alquran pada setiap bulan.

Rasulullah saw. menyuruh Abdullah bin Amr bin Ash untuk mengkhatamkan Alquran dalam sebulan (iqra’ Alqurana fi syahrin!).

Tetapi Abdullah menawar karena merasa mampu melakukan lebih dari itu. Rasulullah saw. memerintahkannya agar mengkhatamkan Alquran selama 20 hari. Ia masih menawar, maka Rasulullah saw. memerintahkannya agar mengkhatamkan Alquran dalam 15 hari.

Ia masih menawar, maka Rasulullah memerintahkan nya untuk mengkhatamkan nya dalam 10 hari.

Ia masih menawar, hingga Rasulullah memerintah kannya untuk mengkhatam kan Alquran dalam seminggu, dan melarang untuk mengkhatamkan Alquran lebih cepat dari seminggu (Abu Daud, 2/1388).

Dalam riwayat lain, ia masih terus menawar, hingga Rasulullah saw. memberikan dispensasi untuk mengkhatamkan Alquran dalam 3 hari dan tidak boleh lebih cepat darinya: “Tidak akan memahami Alquran orang yang membacanya kurang dari 3 hari” (Abu Daud, 2/1390).

Meskipun tidak sampai pada batas kelayakan sehari sejuz, sesibuk apapun orang yang ingin mendapatkan keunggulan di sisi Allah maka ia harus menyempatkan untuk membaca Alquran sebisa mungkin.

Demikian Umar bin Abdul Aziz ketika sangat sibuk dengan tugasnya sebagai khalifah. Dikabarkan bahwa beliau selalu menyempatkan untuk membaca mushaf Alquran dua atau tiga ayat agar tidak dikategorikan sebagai orang yang telah mengabaikan Alquran.

Keharusan untuk menghapalnya karena orang yang menghapal Alquran akan menjadi “keluarga” Allah dan orang yang dekat dengan-Nya.

Rasulullah saw. bersabda:

عن أَنَسِ بن مَالِكٍ قال قال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ من الناس! قالوا يا رَسُولَ اللَّهِ: من هُمْ؟ قال: هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ

Artinya: “Allah memiliki “keluarga” dari manusia. Siapa mereka wahai Rasulullah?
Beliau menjawab: mereka adalah ahlul Quran: “keluarga” Allah dan orang-orang dekat-Nya” (Ibn Majah 1/215).

Aspek Pemahaman dan Perenungan

Pemahaman artinya upaya memahami makna-makna serta ajaran yang dikandungnya. Sedangkan perenungan artinya merefleksikan  makna-makna dan ajarannya itu (tadabbur).

Aspek pemahaman karena hal yang melekat dengan tilawah adalah pemahaman. Itu sebabnya Rasulullah saw. melarang untuk mengkhatamkan Alquran kurang dari 3 hari.

Alasannya karena orang yang membaca Alquran dengan super cepat tidak akan disertai dengan upaya menangkap makna-makna yang dikandungnya.

Karena itu idealnya semua kita mengerti bahasa Alquran, sehingga setiap kalimat yang dibaca bisa ditangkap makna-makna yang dikandungnya. Setidaknya kita harus terus berusaha memberdayakan kemampuhan itu.

Di zaman ini banyak program atau cetakan mushaf Alquran yang bisa memberikan ketrampilan ini bagi umat Islam sekarang.
Abu Ja’far berkata:
“Aku heran dengan orang yang membaca Alquran tetapi tidak mengerti maknanya. Bagaimana mungkin dia bisa menikmati bacaannya?” (Yaqut Hamawi, Mu’jam Udaba, 5/256).

Aspek perenungan karena orang yang memahami saja belum tentu bisa terlibat secara emosi dan terpengaruh dengan makna dan ajaran Alquran.

Cara terpenting untuk hal itu adalah menerungkannya.
Alquran mengajarkan bahwa dengan merenungkan ayat-ayat Alquran akan membuat hati menjadi terbuka untuk menangkap hidayah Allah swt.
Allah berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Artinya: “Apakah mereka tidak merenungkan Alquran ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad [47]: 24).

Orang yang memahami dan merenungkan makna-makna Alquran akan terlibat secara emosi dengan pembicaraan Alquran.

Sehingga bisa menangis dan bahagia karena kesedihan dan kebahagiaan yang dibahas di dalam Alquran.

Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ هذا الْقُرْآنَ نَزَلَ بِحُزْنٍ، فإذا قَرَأْتُمُوهُ فَابْكُوا! فَإِنْ لم تَبْكُوا، فَتَبَاكَوْا! وَتَغَنَّوْا بِهِ! فَمَنْ لم يَتَغَنَّ بِهِ فَلَيْسَ مِنَّا

Artinya: “Sesungguhnya Alquran ini diturunkan dengan kesedihan. Jika kalian membacanya, maka menangislah! Jika tidak bisa menangis, maka berusahalah untuk menangis! Dan lagukanlah bacaannya! Siapa yang tidak membacanya dengan indah, maka dia bukan bagian dari kami” (Ibn Majah, 1/1337).

Pada suatu malam, Umar bin Khattab mendengar seorang qari membaca Surat At-Thur (1-8). Ia mendengar firman Allah:
إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ لَوَاقِعٌ. مَا لَهُ مِن دَافِعٍ

Artinya: “Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi. Tidak seorangpun yang dapat menolaknya” (At-Thur [52]: 7-8).

Ketika itu Umar berujar: “Sumpah yang benar demi Allah Pemilik Ka’bah”, dan beliau pingsan, karena takut dengan azab yang akan terjadi. Seorang sahabatnya bernama Aslam membawa pulang ke rumahnya. Dan beliau sakit selama 30 hari, hingga orang-orang menengoknya.

Hal ini menjadi contoh bagaimasa seseorang terlibat secara emosi dengan pembicaraan Alquran.

Aspek Amal

Orang yang mengimani, membaca dan menghapalnya, memahami dan merenungkan makna-makna yang dikandung di dalamnya sampai pada tingkat terlibat secara emosi dengan pembicaran Alquran, maka dia pasti akan mampu mengamalkan ajarannya.

Demikian kebiasaan para sahabat dalam mempalajari Alquran, mereka belajar ilmu dan amal.

Abu  Abdirrahman as-Sulami berkata:
Para sahabat yang mengajarkan al-Quran kepadaku (Utsman bin Affan, Abdullah bin Ma’sud dan lain-lain) mengatakan: jika  mereka belajar sepuluh ayat dari Nabi Saw. mereka tidak melewatinya sampai tuntas mempelajari kandungannya, baik ilmu maupun amal.

Mereka mengatakan: kami belajar ilmu dan amal” (Musnad Ahmad, 5/23529)

Demikian indikator kedua, yaitu memiliki wawasan Alquran sebagai kategori orang yang berwawasan

(Bersambung)

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…