Pilihan Dakwah Rahasia (سرّية الدعوة)

Pemateri: DR. WIDO SUPRAHA

Dakwah yang pertama kali dipilih oleh Rasulullah Saw atas perintah dakwah yang telah diturunkan adalah secara rahasia.

Pilihan ini dibuat berdasarkan kebutuhan masa awal pengembangan Islam untuk melahirkan kemaslahatan agama yang lebih besar.

Sejarah memperlihatkan bahwa pilihan itu adalah pilihan yang tepat.

Dakwah dengan segera telah dimulai Nabi Muhammad Saw. ketika turun Surat Al-Muzzamil

“Bangunlah, lalu berilah peringatan!”

 Ayat 1-7 dari surat ini memberikan pelajaran yang besar dalam dakwah, dan tujuh ayat ini diakhiri dengan perintah kesabaran.

Ayat-ayat ini merangkum seluruh hal mendasar yang dibutuhkan dalam kerja dakwah.[1]

1. Menjaga eksistensi agama jauh lebih utama dari sekedar eksistensi diri

Tentu dapat dibayangkan bahwa dakwah yang baru disemai ini harus lenyap karena kehilangan pengusungnya sementara infrastruktur kekuatan belum terbangun sama sekali.

Maka menjaga kemaslahatan yang lebih besar tentu jauh lebih diprioritaskan.

Tercatat dalam sejarah tokoh-tokoh yang masuk dalam asabiqunal awwalun, adalah Abu Bakar As-Shiddiq yang kemudian diikuti Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Demikian juga Khadijah Al-Kubra yang diikuti Zaid bin Haritsah, dan Waraqah bin Naufal.

Tidak lupa tokoh besar seperti Ali bin Abi Thalib,[2] dan Arqam bin Abi Arqam.

Maka masuklah kemudian golongan berikutnya seperti Bilal bin Rabah, Abu Ubaidan Amir bin Al Jarrah, Abu Salaman bin Abdul Asad, Arqam bin Abil Arqam al-Makhzumy, Utsman bin Mazh’un dan kedua saudaranya, Qudamah dan Abdullah, Ubaidan bin Al-Harits bin Al-Muththalib, Sa’id bin Zaid dan istrinya Fathimah binti al-Khaththab al-Adawiyyah, Khabbab nin Al-Aratt, Abdullah bin Mas’ud, dan laiinya.[3]

2. Tabi’at Dakwah Para Nabi dan Rasul adalah diikuti oleh mayoritas lapisan akar rumput.

Dakwah para Nabi pada tahap awal lebih banyak disambut oleh masyarakat yang fakir, lemah dan bahkan kaum budak.[4]

Shuhaib ar-Rumi dan Bilal al-Habsyi adalah contoh paling tepat yang menyambut seruan Islam meski mereka berasal dari negeri asing.

Dalam hal ini kita dapat melihat sejarah dakwah Nabi Nuh a.s., Nabi Musa a.s., dan Nabi Shaleh a.s.

Allah berfirman dalam Surat Hud ayat 27,

“Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: “Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta”.”

Allah berfirman dalam Surat Al-A’raf [7] ayat 137,

“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya.

Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka.

Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka.”

Allah berfirman dalam Surat Al-A’raf [7] ayat 75-76,

“Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka:
“Tahukah kamu bahwa Shaleh di utus (menjadi rasul) oleh Tuhannya?”.

Mereka menjawab:
 “Sesungguhnya kami beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya”.”

Ketika dakwah mulai diikuti 30 orang, Rasulullah Saw mulai menetapkan satu tempat untuk meningkatkan pembinaan Islam.

Maka dipilihlah rumah Arqam bin Abi Arqam yang juga telah masuk ke dalam Islam. Nabi membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah yang turun kepadanya.[5]

3. Tabiat Penolakan Kaum Elit adalah egoisme daripada penolakan kebenaran

Sebagai contoh dapat kita saksikan dalam peristiwa peperangan Al-Qadisiyah, khususnya menarik mencermati dialog Rustum (komandan Persia) dan Rub’i bin Amir (prajurit dalam komando Sa’ad bin Abi Waqqash).

Proses dakwah secara rahasia ini berlangsung selama kurang lebih 3 tahun,[6] sebelum kemudian dakwah secara terang-terangan nantinya diperintahkan Allah ketika jumlah kaum muslimin telah mencapai minimal 30 orang.

Turunlah firman Allah Swt dalam Surat Al-Hijr ayat 94.

Maraji’

1] Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Ar-Rahiq al-Makhtum, Bahtsum fi As-Sirah an-Nabawiyah ‘ala Shahibiha afdhalish-Shalati wassalam, Riyadh: Darussalam, 1414H

2] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zaad al-Ma’ad, Jilid 3, Dar at-Taqwa lil Nasyr wa at-Tauzi’, 1999

3] Ibn Ishaq, As-Sirah An-Nabawiyah

4] Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, Fiqh as-Sirah: Dirasat Minhajiah ‘Ilmiyah li-Shirat al-Musthafa ‘alaihishshalatu wa salam, Libanon: Darul Fikr, 1977

5] Musthafa as-Siba’i, As-Sirah An-Nabawiyah, Kairo: Dar as-Salam, Cet. I, 1998
6] Ibnul Jauzi, Al-Wafa bi Ahwali al-Musthofa, Beirut: Maktabah al-‘Ashriyah, 2004

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Ustadz Menjawab: Jual Beli

Oleh: Ust. Rikza Maulan Lc. M Ag.

Pertanyaan:

Ustadz kalo per kayuan biasanya begini prosesnya :dari petani Pohon berdiri(kubikasi belum pasti) dijual ke Penebang,  dari penebang dipotong sehingga ukuran (kubikasi jelas), terus dijual ke Pangkalan harga per kubikasi,

Apakah aktivitas Beli Si Penebang termasuk yg dikharamkan ?

Kalo ini termasuk diharamkan… Siap meninggalkan profesi beli pohonnya,  ganti profesi

(I-09 Mustolih)

Jawaban:

Wa’alaikumussalam wr wb.

Menaksir harga kayu dari pohonnya yg sudah siap tebang, hukumnya boleh.

Karena objek akad jual belinya sudah ada (wujud) dan keberadaannya sdh jelas.

Adapun ukuran kubikasi yg belum jelas, tidak mengapa dengan syarat ada standar umum harga pohon berdasarkan ukurannya.

Misal utk pohon dgn diameter tertentu, maka harganya sekian, kalau diameter lebih besar, harga lebih tinggi, kalau lebih kecil harga lebih rendah.

Kemudian kualitas pohon lebih baik juga harga lebih tinggi dst.

Jadi, selama ada patokan umum boleh saja.

Yang tidak boleh adalah ketika pohonnya masih kecil diperjualbelikan dengan pengambilan pohonnya ketika sudah besar.

Maka kalau seperti itu tidak boleh, mengandung unsur gharar.

Wallahu A’lam

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

NASEHAT AYAH KEPADA ANAK

Oleh: Pemateri: DR. WIDO SUPRAHA

Anak adalah dambaan setiap sepasang manusia yang mengikat tali suci untuk meraih ridho Ilahi. Dengannya nasab Islam akan berlanjut, dengannya agama Rasulullah Saw insya Allah akan terus hidup, dan dengannya insya Allah, seluruh alam akan merasakan keberkahan hidup bersama seorang Muslim. Maka terlahirnya seorang anak bukanlah akhir dari sebuah cita-cita, melainkan awal dari sebuah pekerjaan besar nan mulia untuk menumpuk investasi jariyah yang nilainya amat tinggi, mengalahkan investasi materi di dunia.

Untuk inilah sebuah keluarga harus mencurahkan sepenuh jiwanya, bersama do’a kaum muslimin yang mengharapkan kebaikan, melahirkan sebuah proses berkesinambungan, tanpa harus bersedih jika hasil tidak sesuai dengan asa, karena Allah Sang Pencipta hanya akan menilai proses bukan hasil kerja.

Peran seorang ayah begitu penting sebagai imam dalam keluarga, sebagai panutan dalam tindakan, sebagai guru bagi murid-muridnya, yang tidak lain adalah isteri dan anak-anaknya. Begitu pentingnya peran seorang ayah, sehingga satu halaman Al-Qur’an secara khusus mengajarkan kepada seorang ayah nasihat apa yang pantas disampaikan kepada anak-anaknya pada kesempatan pertama seorang anak mampu untuk menyerap ilmu. Allah mengarahkan seorang ayah agar menjadi guru yang memberikan mau’izhoh (pelajaran) inti dan mendasar, agar dari lisannya pertama kali seorang anak mendengarkannya, bukan dari orang lain, meskipun orang lain itu seorang yang shalih, karena keshalihan utama dalam sebuah keluarga harus terpancar dari seorang imam keluarga.

Allah ‘Azza wa Jalla memilihkan sosok Luqman bin Anqa’ bin Sadun untuk menjadi teladan para ayah dalam bab ini, karena ia sosok panutan yang sangat pandai bersyukur akan nikmat-Nya, dan akan kita lihat bagaimana cara Luqman mensyukuri nikmat dikaruniai seorang anak, khususnya puteranya yang bernama Tsaran.
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. [Q.S. 31.12]

Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar”. [Q.S. 31.13]

Inilah inti agama para Nabi, hakikat da’wah para Rasul, dan bangunan awal nan mendasar yang diletakkan di dasar jiwa setiap anak-anaknya. Ketika dasar ini tertanam kokoh dalam relung hati setiap manusia, niscaya pribadinya akan siap untuk menerima syari’at agama yang akan melahirkan kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyyah).

Ayah melanjutkan pelajarannya dengan mengingatkan seorang anak untuk mencurahkan perhatiannya untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya, wa bil khushus, ibunya. Seorang anak harus belajar mensyukur nikmat Allah, nikmat memiliki ayah dan ibu yang shalih dan shalihah.

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” [Q.S. 31.14]

Iman seorang anak adalah kepada Sang Pencipta, bukan kepada ayah dan ibunya. Kalaupun ia berbakti kepada orang tuanya, itu murni karena penghambaannya kepada Allah Rabbul ‘Izzati wal Jalalah, bukan karena orang tuanya. Oleh karenanya, ada kalanya orang tua tersimpangkan hidupnya mengkhianati imannya kepada Allah, maka syariat ini mengajarkan umatnya untuk tetap birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua), dan mengedepankan akhlak yang mulia dalam bab mu’amalah sembari sentiasa berusaha mengingatkan untuk kembali ke jalan yang lurus (ash-shirathal mustaqim). Pelajaran ini harus disampaikan oleh seorang ayah.

“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” [Q.S. 31.15]

Keyakinan bahwa Allah sentiasa mengawasinya (muraqabatullah), memiliki kunci-kunci keghaiban sehinga mengetahui hingga hal-hal yang terkecil sekalipun, meskipun sehelai daun yang gugur, meskipun sebutir biji yang jatuh dalam kegelapan malam, meskipun ia tersimpan rapat di hati manusia. Allah telah menuliskannya di Lauh al-Mahfuzh, dan Allah akan memberikan balasan dengan Maha Sempurna dan Maha Adil. “(Lukman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” [Q.S. 31.16]

Perhatikanlah, bagaimana taujih rabbani Allah kepada seorang ayah untuk membangun kekuatan jiwa seorang anak. Saat kekuatan jiwa itu telah kokoh, barulah ayah mengajarkan dan membiasakan seorang anak tata cara ibadah yang benar sebagai wujud syukur, dan kunci semua ibadah adalah shalat. Shalat adalah ibadah yang pertama kali dihisab, dan menentukan apakah amalah kebaikan lainnya akan dihisab ataukah tidak tergantung baiknya shalat. Maka seorang anak diajarkan untuk tidak sekedar memahami bahwa shalat adalah kewajiban, akan tetapi shalat harus dinikmati, dinanti, dan dirindukan. Ia menjadi sarana seorang manusia untuk berkhalwat kepada Sang Pencipta, realisasi mi’raj ruhani. Kehidupan adalah waktu yang disiapkan Allah untuk menegakkan shalat, dan sembari menunggu waktu shalat, manusia mengisi waktunya dengan bekerja, belajar, mengajar, dan berdakwah, bukan sebaliknya, bukan shalat yang menanti dirinya. Persepsi seperti inilah yang akan melahirkan pribadi yang mampu shalih tidak hanya di dalam masjid, tetapi dalam seluruh praktik kehidupannya di luar masjid.

“Hai anakku, dirikanlah salat dan serulah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” [Q.S. 31.17]

Kesombongan, menolak kebenaran dan merendahkan manusia, tidak mungkin akan terlahir dari pribadi yang kokoh dasar imannya dan terlatih dalam kesinambungan ibadah yang benar. Maka tidak akan sulit bagi seorang ayah mengajarkan ilmu ini kepada anaknya, anak  yang akan semakin tawadhu’ seiring ilmu yang semakin banyak yang ia terima, anak yang tidak memilih-milih sahabat kecuali karena pertimbangan keshalihannya, anak yang bagus tutur katanya, karena memiliki motivasi hidup yang benar, yang akan menyuntikkannya energi asa yang tak pernah putus, bahkan berlimpah sehingga mampu dibaginya kepada alam semesta.

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [Q.S. 31.18] “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” [Q.S. 31.19].

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Larangan Pengecualian Dalam Jual Beli

Oleh: Ust. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

Hadits Nabawi

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الْمُحَاقَلَةِ وَالْمُزَابَنَةِ وَالثُّنْيَا إلاَّ أَنْ تُعْلَمَ (رَوَاهُ النَّسَائِيّ وَالتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ )

Dari Jabir bin Abdillah ra berkata bahwa Nabi Muhammad SAW melarang jual beli muhaqalah, jual beli muzabanah dan jual beli dengan pengecualian, kecuali apabila (pengecualiannya) diketahui.’

(HR. Nasa’I dan Tirmidzi. Hadits ini dishahihkan oleh Imam Tirmidzi)

Takhrij Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dalam Jami’nya, Jami’ At-Tirmidzi, Kitab Al-Buyu’ an Rasulillah SAW, Bab Ma Ja’a Fin Nahyi an At-Tsunya, hadits no 1211.

Imam Syaukani mengemuka kan bahwa hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Nasa’I. juga oleh Imam Muslim dengan lafafdz, bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli dengan pengecualian.

Imam Syaukani juga mengemukakan bahwa Ibnu Jauzi keliru dalam takhrij hadits ini, beliau mengira bahwa hadits ini adalah muttafaqun alaih (dispekati oleh Imam Bukhari dan Muslim), sementara Imam Bukhahi sama sekali tidak mentakhrij hadits ini dalam shahihnya.

Makna Umum Hadits

Hadits ini menggambarkan tentang adanya larangan dalam muamalah, yaitu :
Bai’ Muhaqalah
Bai’ Muzabanah
Bai’ Tsunya

Larangan – larangan dalam muamalah ini sejatinya tidak bertujuan untuk menyulitkan umat Islam, namun adalah dalam rangka untuk menjaga kemaslahatan dan keselarasan dalam kehidupan.

Larangan tersebut dimaksudkan supaya tidak saling merugikan, tidak saling menipu dan membohongi, tidak saling bermuhushan karena sesuatu yang tidak diketahui pada objek jual beli, dsb.

1. Makna Muhaqalah

Makna Bai’ (jual beli) Muhaqalah adalah mencakup jual beli sebagai berikut :

– Jual beli makanan yang masih berada di pohonnya di dalam ladang dengan ukuran yang tertentu.

– Jual beli makanan (buah-buahan/ gandum) yang masih berada di tangkai pohonnya.
Berasal dari kata haql yang berarti pengolahan tanah (pembajakan) dan lahan untuk bercocok tanam. (Abu Ubaid)

– Jual biji gandum yang masih berada di tanaman (misalnya yang terdapat dalam seratus pohon yang terpisah-pisah). (Jabir ra)

– Jual beli makanan pokok yang masih berada di pohonnya (seperti gandum, dsb) sebelum jelas atau terlihat buahnya secara jelas.

Kesimpulan

Muhaqalah adalah jual beli makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (umumnya makanan pokok seperti gandum, beras, dsb) yang masih berada di tangkai pohonnya (bahkan terkadang masih belum terlihat buahnya) dan dengan ukuran dan takaran yang tidak jelas (seperti menggunakan ukuran jumlah pohon, ukuran luas area kebun atau sawah tempat ditanaminya pohon-pohon tersebut).

Jual beli seperti ini merupakan jual beli yang terlarang, bahkan Imam Syaukani dengan jelas mengatakan :

وهو يدل على تحريم المحاقلة والمزابنة

Hadits di atas menunjukkan haramnya jual beli muhaqalah dan muzabanah.

2. Makna Muzabanah

Sedangkan secara bahasa berasal dari kata (زبن) yang berarti mendorong dengan keras.

Oleh karenanya, perang disebut juga zabun, karena di dalam perang, seseorang mendorong musuhnya dengan keras.

Sedangkan secara istilah, bai’ muzabanah merupakan transaksi jual beli yang mencakup sebagai berikut :

– Jual beli dimana salah satu pihak baik penjual maupun pembeli ingin membatalkan transaksinya karena adanya tipuan dalam transaksinya sementara pihak lainnya memaksa untuk meneruskan transaksinya tersebut.

– Jual beli kurma basah (yang masih berada di tangkai di pohonnya) dengan beberapa wasaq  (ukuran timbangan Arab) tamar (kurma kering).

– Atau jual beli anggur yang masih basah dengan anggur kering (kismis).

– Jual beli sesuatu yang majhul (tidak diketahui) ataupun yang ma’lum (diketahui) dari jenis barang yang sama, di mana di dalamnya terdapat unsur riba (seperti takaranannya tidak sama).

– Jual beli sesuatu tanpa ditimbang yang tidak diketahui takarannya, timbangannya dan jumlahnya, baik yang di dalamnya terdapat unsur riba maupun tidak. (Imam Malik)

– Jual beli semua jenis buah-buahan yang masih terdapat di pohonnya dengan kurma kering yang ditimbang.

– Jual beli rutob (kurma basah) yang masih berada di pohon dengan kurma kering.

Kesimpulan :

Jual beli Muzabanah adalah jual beli yang merugikan salah satu pihak, (seperti dengan cara paksaan atau keterpaksaan) dimana umumnya terjadi dalam bentuk barter antara barang sejenis (seperti antara kurma basah yang masih ada di tangkainya di pohonnya dengan kurma kering yang sudah siap dimakan, atau antara anggur basah yang masih terdapat di pohonnya dengan anggur kering yang sudah diolah seperti kismis) dengan takaran dan timbangan yang umumnya tidak diketahui dengan jelas, atau timbangannya diktahui dengan jelas, namun menimbulkan riba.

3. Hukum Bai’ Muhaqalah & Muzabanah

Ulama sepakat akan haramnya jual beli Muhaqalah dan Muzabanah.
Bai’ muhaqalah diharamkan karena mengandung unsur:

(1) gharar yaitu ketidak jelasan ukuran dan timbangan makanan yang diperjual belikan tersebut dan karena adanya unsur

(2) tidak bisa diserah terimakan pada saat terjadinya akad.

Bai’ Muzabanah diharamkan karena mengandung unsur:

(1) paksaan atau keterpaksaan,

(2) gharar, yaitu ketidakjelasan ukuran dan takarannya,

(3) adanya unsur riba di dalamnya, karena menukar barang sejenis dengan takaran dan timbangan yang tidak sama.

4. Transaksi Kontemporer Yang Menyerupai Muhaqalah atau Muzabanah

Pada Transaksi Muhaqalah

Seperti jual beli ijon, dimana seorang pembeli menawar mangga yang masih kecil bahkan terkadang masih berwujud bunga yang terdapat di dalam pohonnya, dengan harga Rp 500.000,- satu pohon yang akan diambil ketika mangganya sudah besar dan matang.

Pada Transaksi Muzabanah :

Seperti seorang suplayer menjual barang kepada satu perusahaan, lalu dibayar dengan cek atau sertifikat uang namun baru bisa dicairkan pada dua bulan mendatang.

Nah, karena ia butuh uang cash, maka ia jual sertifikat uang tersebut atau cek tersebut kepada orang lain dengan harga yang lebih rendah dari nominal uang yang tertera di dalam ceknya.

5. Bai’ Tsunya

Tsunya secara bahasa berarti sesuatu yang dikecualikan, berasal dari kata (الإستثناء) yaitu pengecualian.

Sedangkan pengertiannya secara umum adalah sebagai berikut:

– Menjual suatu barang tertentu (baik makanan, tanaman, tanah, rumah, hewan ternak, dsb), yang dilakukan dengan cara ada yang dikecualikan dari barang-barang tersebut, dan yang dikecualikan tidak diketahui atau tidak disepakati.

Seperti seseorang berkata, aku jual tanah ini kepadamu, kecuali sebagiannya (tanpa menyebutkan bagian mana yang dikecualikan).

Imam Syaukani mengemukakan bahwa jual beli tsunya adalah transaksi yang tidak sah, karena mengandung unsur jahalah (ketidak tahuan) objek akadnya dan gharar (adanya ketidakjelasan) terhadap objek akad.

Sehingga ketika terjadi ketidakjelasan, pembeli tidak bisa mengetahui bagian manakah dari tanah tersebut yang sudah menjadi miliknya dan mana yang belum menjadi miliknya.
Karena pengecualiannya tidak jelas.

Adapun apabila yang dikecualikan adalah jelas, seperti penjual berkata, aku jual tanah ini kepada mu seluas 1000 m2, kecual 200 m2 (20 X 10) yang terletak di bagian sebelah depan paling kanan.

Apabila pengecualiannya jelas, maka ulama sepakat bahwa hukumnya adalah boleh dan transaksinya sah.

Kesimpulan

Dalam hadits ini, Nabi SAW melarang tiga bentuk jual beli yaitu sebagai berikut :

Bai’ Muhaqalah, yaitu jual beli makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (umumnya makanan pokok seperti gandum, beras, dsb) yang masih berada di tangkai pohonnya dengan ukuran dan takaran yang tidak jelas (seperti menggunakan ukuran jumlah pohon, ukuran luas area kebun atau sawah tempat ditanaminya pohon-pohon tersebut.

Bai’ Muzabanah, yaitu jual beli yang merugikan salah satu pihak, terjadi dalam bentuk barter antara barang sejenis (seperti antara kurma basah yang masih ada di tangkainya di pohonnya dengan kurma kering yang sudah siap dimakan) dengan takaran dan timbangan yang umumnya tidak diketahui dengan jelas, atau timbangannya diketahui dengan jelas, namun menimbulkan riba.

Bai’ Tsunya, yaitu Menjual suatu barang tertentu (baik makanan, tanaman, tanah, rumah, hewan ternak, dsb), yang dilakukan dengan cara ada yang dikecualikan dari barang-barang tersebut, dan yang dikecualikan tidak diketahui atau tidak disepakati.

Ketiga transaksi tersebut dilarang secara syariah, karena mengandung unsur jahalah (ketidaktahuan), gharar (ketidakjelasan), merugikan salah satu pihak yang berakad, tidak bisa diserahterimakan pada saat akad, dan juga bahkan mengandung unsur riba.

Pelarangan syariah terhadap bentuk-bentuk jual beli atau transaksi tertentu adalah dalam rangka menjaga kemasalahatan kaum muslimin, agar terhindar dari kesalahpahaman yang dapat merusak ukhuwah Islamiyah

Serta agar umat Islam mendapatkan rizki yang halal dan thayib. Karena harta yang kotor tidak akan diterima oleh Allah dan pelakunya akan dimasukkan ke dalam neraka.

Mudah-mudahan kita semua terhindar dari transaksi yang diharamkan syariah.

والله تعالى أعلى وأعلم بالصواب
والحمد لله رب العالمين

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Dari Seorang Nabi Palsu, Menjadi Seorang Pejuang Tauhid

Pemateri: Ust. Agung Waspodo, SE, MPP

Pertempuran Buzakha – September 632

Pertempuran pada bulan Jumadits Tsani 11 Hijriah (September 632) ini mempertemukan Khalid ibn al-Walid (ra) Thulayha ibn Khuwailid ibn Nawfal al-Asadi.

Latar Belakang

Thulayha adalah seorang kepala suku Arab dari Banu Asad ibn Khuzaymah yang kaya raya dan terkenal, namun ia menolak bahkan memerangi Nabi Muhammad (saw) ketika menyampaikan da’wahnya. Pada tahun 625, yaitu 2 tahun setelah hijrah, ia dikalahkan dalam Pertempuran Qatan yang merupakan serangan mendadak oleh kaum Muslimin dipimpin Abu Salamah (ra) ketika Banu Asad sedang bersiap untuk mengepung kota Madinah.

Kekalahan itu tidak membuatnya jera, bahkan ia turut bergabung dengan suku Quraysh lainnya bersama suku Yahudi dalam mengepung kita Madinah dalam Pertempuran Khandaq/al-Ahzab pada tahun 627.

Pada tahun 630, ia masuk Islam langsung dihadapan Nabi Muhammad (saw) tidak lama setelah Makkah dibebaskan dari kejahiliahan. Namun, setahun setelah itu ia memberontak dengan mengklaim dirinya juga mendapat wahyu sebagai nabi. Thulayha menjadi orang ketiga yang mengklaim kenabian diantara bangsa Arab. Pengakuan dari berbagai suku Arab lainnya membuat Thulayha lupa diri dan ambisius untuk membentuk konfedetasi suku Arab melawan kaum Muslimin.

Kekuatan yang Bertarung

Pada bulan Juli 632, khalifah Abu Bakr (ra) memobilisir pasukan untuk memerangi suku-suku Arab yang memberontak. Balatentara ini dibagi 3 dengan komandannya masing-masing diserahkan kepada ‘Ali ibn Abi Thalib (ra), Talhah ibn ‘Ubaidillah (ra), dan az-Zubayr ibn al-Awwam (ra). Balatentara kaum Muslimin ini menyerang konfederasi pimpinan pengaku nabi Thulayha di Pertempuran Dzu al-Qassa yang juga merupakan pendadakan (pre-emptive strike) pada pusat penggalangan kekuatan lawannya. Kekalahan tertimpa pada pihak Thulayha dan memaksa mereka mundur ke ke Dzu al-Hassa.

Kini Abu Bakr (ra) menugaskan Khalid ibn al-Walid (ra) untuk menghancurkan sisa kekuatan Thulyha, kedua kekuatan ini berjumpa di sebuah tempat yg bernama Buzakha. Khalid (ra) berkekuatan 6.000 personil sedangkan Thulayha memiliki 15.000 personil yang loyal kepadanya.

Pertempuran

Khalid (ra) menantang duel Thulayha sebelum pertempuran. Ia menyambut ajakan duel tersebut namun cidera hingga lari berlindunh di belakang pasukannya. Pertempuran ini berlangsung sengit, dalam jarak dekat, serta bertubi-tubi dimana kemenangan terlihat akan jatuh kepada pihak yang paling kokoh. Hampir tidak ada manuver-manuver taktis yang menjadi ciri khas Khalid (ra) dikemudian hari terlihat pada pertempuran ini. Keahlian tanding pasukan Muslimin secara individual sangat menonjol pada pertempuran ini. Dengan perbandingan 1:2 pasukan Muslimin yang lebih sedikit berhasil kemudian mendapatkan kemenangan.

Setelah kekalahan telak yang menimpa suku-suku pendukung Thulayha, banyak yang kemudian insyaf dan masuk Islam kembali. Namun Thulayha berhasil lolos kembali dan bersembunyi di Syam. Setelah Syam pula berhasil ditaklukkan kaum Muslimin barulah Thulayha menerima Islam secara menyeluruh.

Setelah itu, Khalid (ra) diperintahkan langsung bergerak menuju pusat kekuatan tokoh pemberontak lainnya yang bernama Sajah dan mengalahkannya di Pertempuran Zafar pada bulan berikutnya.

Kesudahan & Kisah Thulayha di Kemudian Hari

Thulayha meminta ampunan kepada khalifah Abu Bakr (ra) dan ia beserta sukunya mendapatkan ampunan tersebut. Namun mereka dilarang Abu Bakr (ra) untuk turut serta berperang bersama kaum Muslimin yang tidak oernah murtad maupun memberontak.

Tahun 634, pada masa kekhilafahan ‘Umar ibn al-Khaththab (ra) barulah Thulayha dan sukunya mendapatkan kesempatan untuk menebis masa lalunya yang kelam. Mereka dikerahkan oleh ‘Umar (ra) untuk berperang di front Irak melawan balatentara Sassania Persia. Pertama kalinya ia berperang pada pihak kaum Muslimin adalah pada Pertempuran Jalula.

Thulayha menuliskan sejarah gemilang pada Pertempuran Qadhisiyya sebagaimana yang tertulis pada kitab Tarikh al-Umam wal-Muluk karya Imam Thabari. Thulayha dan suku Bani Asad menjadi penentu bertahannya pasukan kaum Muslimin di hari pertama dalam pertempuran al-Qadhisiyya yang dikenal sebagai Yaum-ul-Armats (يوم أرماث) atau hari kekacauan  (“The Day of Disorder”). Ia tercatat dalam serbuan seorang diri ke barisan lawan pada malam hari serta berhasil membawa tawanan perang. Ia juga tercatat pernah menerobos hingga ke barisan tenda di lini belakang Sassania serta berhasil merubuhkan tenda-tenda lawan, membunuh 2 pasukan elit Sassania, merampas 2 kuda perang berbaju zirah yang ia bawa kembali ke barisan kaum Muslimin, berikut menyerahkan 1 tawanan kepada panglima Sa’ad ibn Abi Waqqasy (ra).

Thulayha mendapatkan syahidnya di Pertempuran Nihavand dengan mengorbankan jiwa raganya guna memancing balatentara Sassania Persia ke dalam jebakan kaum Muslimin sehingga membawa pada kemenangan yang menjadi titik nadir dan kekalahan total dinasti Sassania.

Agung Waspodo, mencatat sebuah epos kehidupan seorang Thulayha yang berawal sebagai musuh Nabi (saw) namun mengakhirinya sebagai pejuang di jalan Allah Ta’ala. Semoga ia diampuni atas dosanya terdahulu dan diterima sebagai mujahid yang ikhlas.. 1.383 tahun kemudian.

Depok, 2 September.. masuk waktu subuh.

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Tipu Daya Berbalas Tipu Daya, Selalu Bersiap Siagalah!

Pemateri: Ust. Agung Waspodo, SE, MPP

Pertempuran di Ascalon – 12 Agustus 1099

Pertempuran yang terjadi pada hari Jum’at 22 Ramadhan 492 Hijriah ini terjadi tidak lama setelah al-Quds direbut oleh Pasukan Salib gelombang pertama dari tangan kerajaan syi’ah Fathimiyah yang berbasis di Mesir. Godfrey de Bouillon memimpin Pasukan Salib yang menghalau rombongan Fathimiyah yang semula hendak membebaskan al-Quds. Pertempuran ini terjadi di luar kota Ascalon pada akhir babak Perang Salib Pertama 1096-99.

Latar Belakang

Pada awalnya Pasukan Salib sudah mencoba bernegosiasi dengan kekuatan Fathimiyah untuk mendapatkan kota al-Quds namun menemui jalan buntu. Selama pergerakan Pasukan Salib menuju al-Quds mereka memperoleh jawaban dari pihak Fathimiyah yang bersedia kehilangan Syria tapi tidak untuk Jerusalem. Tentu saja hal ini memancing emosi Pasukan Salib yang merasa lebih berhak atas gereja Holy Sepulchure; tempat yang diyakini dimana Yesus disalib. Kota al-Quds dikepung dan jatuh pada hari Jum’at 23 Sya’ban (15 Juli) setelah dikepung cukup lama. Setelah kota suci itu jatuh ke tangan Pasukan Salin barulah mereka mengetahui dari arsip surat-menyurat bahwa kekuatan Fathimiyah di Mesir telah mengirimkan bantuan menuju al-Quds.

Dinamika di Pihak Pasukan Salib

Perkembangan ini menuntut Pasukan Salib bergerak cepat; Godfrey de Buillon segera dinobatkan sebagai Defender of the Holy Sepulchre pada tanggal 22 Juli, Arnulf de Chocques sebagai Patriarch of Jerusalem pada 1 Agustus, dan salib-asli True Cross konon ditemukan pada tanggal 5 Agustus. Utusan dari Fathimiyah datang untuk memerintahkan mereka semua keluar dari al-Quds namun ia ancaman tersebut dinilai kosong.

Pada tanggal 10 Agustus, Godfrey memimpin pasukan yang masih dapat dikerahkan setelah pertahanan Jerusalem dicukupkan. Pasukan ini bergerak cepat menuju Ascalon; jaraknya sekitar 1 hari berkuda cepat. Pada saat yang sama, Peter the Hermit memimpin para pemuka agama Katholik dan Orthodox dalam sebuah prosesi dan doa keagamaan Nasrani dari Holy Sepulchure ke bekas Kuil Yahudi. Robert II dari Flanders dan Arnulf turut berangkat menemani Godfrey, tetapi Raymond IV dari Toulouse dan Robert dari Normandy tidak ikut. Mereka tidak langsung bergerak karena adanya perselisihan sebelumnya; namun setelah satuan pengintai mereka memastikan bahaya kebenaran info tersebut, maka keduanya bergegas berangkat menyuaul Godfrey.

Di dekat Ramla keduanya bertemu Tancred dan Eustace (saudara Godfrey) yang pada awal bulan telah diberangkatkan untuk merebut kota Nablus. Balatentara yang sudah berangkat lebih dahulu kini bersemangat karena meyakini bahwa bersama mereka ada salib-asli serta tombak-suci Holy Lance yang dipercayai pernah dipakai untuk menusuk jasad Yesus untuk memastikan kematiannya di tiang salib. Arnulf bertugas membawa salib-asli sedangkan Raymod dari Aguilers membawa tombak-suci dan kedua relik itu dikawal ketat.

Pertempuran

Pasukan Fathimiyah dipimpin oleh menteri al-Afdhal Syahansyah yang membawahi sekitar 50 ribu pasukan; adapula yang mengatakan 20-30 ribu dan bahkan 200 ribu dalam klaim fantastis Gesta Francorum. Balatentara Fathimiyah ini terdiri dari pasukan yang beragam mulai dari bangsa Saljuq, Arab, Persia, hingga Kurdi. Al-Afdhal berencana untuk mengepung dan merebut al-Quds walau hal itu amat disangsikan mengingat ia tidak membawa mesin-kepung seperti katapul manjaniq. Walaupun begitu, ia membawa armada laut dari Mesir yang berlabuh di Ascalon; mungkin di kapal inilah perbekalan serta peralatan untuk mengepung itu dibawa.

Jumlah pasti Pasukan Salib tidak dapat diperkirakan, tetapi Raymond dari Aguliers mencatat 1.200 pasukan berkuda berat serta 9.000 pasukan infanteri. Catatan sejarah yang paling tinggi menghitungnya pada kisaran 20.000 personil.

📌 Tipu Daya Berbalas Tipu Daya 👇

Al-Afdhal mengistirahatkan balatentaranya di Padang al-Majdal di luar kota Ascalon, ia tidak menyadari bahwa Pasukan Salib sedang memacu kudanya dengan cepat menuju kota Ascalon itu sendiri. Pada tanggal 11 Agustus rombongan Pasukan salib menemukan kumpulan hewan ternak yang ditinggalkan merumput di luar kota. Menurut informasi dari pasukan Fathimiyah yang tertawan di Ramla ini adalah jebakan biasa al-Afdhal untuk memecah kekuatan lawan. Oleh sebab itu Pasukan Salib tidak mengamankan hewan tersebut namun justru membawanya di belakang barisan tempur menuju Ascalon. Al-Afdhal yang masih belum menyadari bahaya yang mendatanginya kemudian terkaget melihat begitu besar jumlah Pasukan Salib yang menuju ke posisinya; ia tidak tahu jika debu yang banyak berterbangan itu lebih disebabkan oleh sekumpulan hewan miliknya yang diajak berbaris.

Pada pagi hari Jum’at tanggal 12 Agustus, kesatuan pengintai dari Pasukan Salib menemukan bahwa tenda Fathimiyah dibangun berbaris-baris di luar dinding benteng kota. Pasukan Salib membagi barisannya menjadi 9 divisi dengan Godfrey di lini kiri, Raymond di lini kanan, sedangkan lini tengah dipenuhi oleh pasukan Tancred, Eustace, Robert dari Normandy, dan Gaston IV dari Béarnmade. Setiap divisi dipecah menjadi dua bagian dengan pasukan infanteri berbaris di depan keduanya.

Banyak Jumlah Tapi Lemah Kekuatan 👇

Sumber catatan sejarah dari kedua pihak menyepakati bahwa Fathimiyah terkagetkan dengan serangan ini sehingga pertempuran berjalan singkat, walau Albert of Aix mengatakan sebaliknya dimana pertempuran berlangsung alot dan Fathimiya sudah siap tempur. Kedua pihak saling menembaki dengan lesatan panah sampai keduanya cukup dekat untuk bertempur jarak dekat.

Kontingen infanteri Sudan menyerang lini tengah Pasukan Salib sedangkan pasukan terdepan Fathimiyah berhasil mengepung lini belakang; kondisi genting bagi Pasukan Salib ini terselamatkan oleh datangnya bantuan dari pasukan Godfrey. Jumlah pasukan al-Afdhal yang lebih banyak itu tidak sekuat pasukan Saljuq yang pernah dihadapi Pasukan Salib sehingga mereka masih kuat bertahan.

Keunggulan pertempuran berbalik sehingga kini kesatuan Fathimiyah yang mulai porak poranda hingga mundur tidak teratur; bahkan kesatuan kavaleri beratnya ikut mundur tanpa sempat ikut kontak senjata. Sebagian pasukan Fathimiyah masih dapat mundur ke dalam kota sebelum gerbang ditutup, sebagian yang terkunci di luar terpaksa lari ke pantai atau ke padang belukar sehingga mudah tersusul pasukan berkuda lawan dan banyak yang terbantai di sana. Al-Afdhal juga terpaksa meninggalkan tenda dan perbekalannya ke tangan musuh dan korban jatuh di pihak Fathimiyah sekitar 10-13 ribu personil.

Kesudahan

Pasukan Salib bermalam di tenda-tenda yang tertinggal dan bersiap perang lago esok pagi namun mereka justru mendapatkan pasukan Fathimiyah telah mundur ke perbatasan Mesir pada malam harinya. Al-Afdhal sendiri mundur menggunakan kapal pribadinya. Setelah Pasukan Salib berhasil menjarah dan membawa pergi rampasan perang, maka sisa tendanya dibakat sebelum mereka mundur ke Jerusalem pada tanggal 13 Agustus.

Karena terjadinya perselisihan antara Godfrey dan Raymond atas siapa yang lebih berhak atas kota tersebut, maka garnizun Fathimiyah di Ascalon enggan menyerahkan kotanya sehingga ditinggal mundur oleh sisa Pasukan Salib yang banyak sudah rindu kampung halaman. Kota Ascalon tetap menjadi milik Fathimiyah walau mereka kalah di luar kota. Kota ini terus diperkuat oleh Fathimiyah dan menjadi basis penyerangan ke wilayah Pasukan Salib pada tahun berikutnya; itu baru berakhir ketika kota Ascalon akhirnya direbut oleh Pasukan Salib pada tahun 1153.

Agung Waspodo, kembali mencatat bahwa tipu daya itu mutlak dalam setiap konflik dan pertempuran, padahal sudah 916 tahun berlalu, lewat 14 hari pula..

Depok, 27 Agustus 2015.. menjelang maghrib

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Bijak dalam Memberi Nasihat – Siap Menerima Kritik dan Saran

Oleh: Ust. DR Wido Supraha

1. Bijak dalam Memberi Nasihat

Memberi nasihat merupakan salah satu bentuk metodologi ta’lim.

Memberi nasihat dalam rangka memperbaiki seseorang dari kesalahan (tashhih al-akhta’), adalah kewajiban muslim dan bagian dari manhaj Qur’ani.

Nasihat diberikan pada umumnya bersifat pencegahan, teguran, ataupun pelurusan terhadap suatu kesalahan.

Cara Nabi Saw. dalam memberikan nasihat adalah cara terbijak.

Memahaminya akan memberikan kesadaran atas kelemahan aturan buatan manusia, sehingga mampu menggunakan cara yang terbaik sesuai kondisi, peristiwa, dan output yang diinginkan.

Memberikan nasihat bukanlah pekerjaan sederhana, namun ia menjadi karakter dasar dalam ber-Islam.

Namun tentu dalam pelaksanaannya membutuhkan pemahaman akan prinsip-prinsip dasar.

Terutama mengikhlaskan diri hanya karena Allah dan memahami bahwa berbuat kesalahan adalah tabiat manusia.

Nasihat yang kita berikan hendaknya berdasarkan dalil syar’i dan bukti kesalahan yang dilakukan.

Semakin besar kesalahan saudara kita, tentunya semakin besar pula perhatian kita kepadanya.

Namun penting untuk membedakan antara pelaku kesalahan yang tahu bahwa ia salah dan tidak mengetahui bahwa ia salah, dan baru kemudian membedakan jenis kesalahannya, apakah menyangkut syari’at ataukah pribadi atau apakah termasuk dosa besar ataukah dosa kecil.

Mengetahui maksud baik dari kesalahan yang dibuat seseorang jangan sampai menghalangi upaya kita untuk meluruskannya.

Di dalam memberikan nasihat kita harus adil dan tidak memilih-milih dalam hal menegur satu jenis kesalahan yang sama, namun begitu perlu diperhatikan cara yang digunakan agar tidak menyebabkan kesalahan yang lebih besar.

Dalam hal ini kita pun perlu membedakan antara orang yang bersalah namun memiliki segudang kebaikan sebelumnya, dengan orang yang memang ahli maksiat, dan membedakan antara orang yang melakukan kesalahan berkali-kali dengan orang-orang yang baru sekali melakukannya, atau orang yang melakukan kesalahan secara berturut-turut dengan orang yang jarang melakukannya, atau bahkan membedakan antara orang yang melakukan kesalahan secara terang-terangan dengan orang yang melakukannya secara sembunyi-sembunyi.

Tentunya kekuatan internalisasi agama seseorang mempengaruhi seberapa besar upaya kita untuk meluluhkan hatinya.

Nasihat yang baik adalah nasihat yang dilakukan tanpa membuka aibnya ke publik.

Tatkala memberi nasihat kita harus mempertimbangkan kedudukan dan posisi seseorang.

Menasihati orang yang lebih tua, tentu berbeda dengan menasihati anak kecil yang juga memiliki perbedaan psikologis dalam setiap jenjang usianya.

Menasihati lawan jenis yang bukan mahram pun membutuhkan kehati-hatian.

Upaya kita dalam meluruskan berbagai kesalahan dan memperbaiki dampaknya jangan sampai melupakan kita untuk memberikan terapi atas pokok kesalahannya.

Maka diperlukan kiat-kiat dalam memperbaikinya, di antaranya tidak mengada-ada dalam membuktikan suatu kesalahan, atau tidak perlu memaksa untuk mendapat pengakuan dari pelaku kesalahan atas kesalahannya.

Kita perlu memberi waktu yang cukup baginya untuk memperbaiki diri, dan tidak mengesankan bahwa ia adalah ‘musuh’.

Nabi kita yang mulia memberikan banyak teladan dalam hal memberikan nasihat ini, seperti bersegera setelah melihat suatu kesalahan dan menjelaskan hukumnya dengan jelas, dan berkonsentrasi pada prinsip dasar yang dilanggar, baru kemudian pemahaman akan prinsip tersebut yang diluruskan, dan melanjutkan terapinya dengan mengulang-ulang dalam beberapa kesempatan.

Beliau pun membimbing ke arah pencegahan terjadinya kesalahan.

Untuk hal-hal yang terkait dengan hubungan sesama manusia, Nabi Saw mendesak pelaku kesalahan untuk bersegera meminta maaf, dan mengingatkan keutamaan orang yang diperlakukan salah.

2. Siap Menerima Kritik dan Saran

Menasihati yang paling utama adalah mendahului dengan menasihati diri sendiri.

Kritik atas datang kepada diri kita hendaknya dianggap sebagai bagian dari skenario Allah untuk menasihati diri kita, sehingga posisinya menjadi sesuatu yang sangat ditunggu-tunggu.

Bahkan jika tidak pernah muncul, perlu kita cari dan upayakan agar dapat hadir.

Maka sangat baik bagi seorang muslim menjadi sosok yang rindu kritik dan nasihat, dan aktif mencari dan bertanya kepada orang lain, menikmati setiap kritikan yang kita dapatkan, mensyukurinya.

Kadangkala kritikan dan nasihat yang datang tidak sesuai dengan keinginan kita.

Ada kalanya isinya benar namun dengan cara yang salah.

Nikmatilah kritikan yang datang dengan tidak memotong pembicaraan, tidak berkomentar, apalagi membantah. Sementara menjadi pendengar yang baik.

Jangan lupa untuk mengucapkan terima kasih sesudahnya, dan perdalam prinsip dasarnya jika dibutuhkan sebagai bahan untuk mengevaluasi diri lebih komprehensif, dan membuat program perbaikan yang sesuai.

Jangan lupa jika telah diperbaiki untuk memberikan update kepada pemberi nasihat atau ucapan terima kasih dalam bentuk material.

Doakan ia tanpa ia ketahui untuk dapat terus menjaga kita dalam kebaikan.

Kritik adalah kunci kemajuan kita menuju kesuksesan.

Ia akan disenangi karena sentiasa berbuat kebaikan yang membuat masyarakat di sekitarnya menjadi senang dan sayang.

Ia akan disukai dan didekati karena jauh dari hal-hal yang dibenci.

Yakinlah bahwa upaya kita untuk mensyukuri setiap kritikan dan nasihat akan meningkatkan kemuliaan kita.

Mereka yang sering menganggap kritikan sebagai suatu penghinaan, hal yang menyakitkan dan merendahkan, dan menganggap pengkritik adalah musuh, adalah mereka yang nyaman berada di area comfort zone.

Jika perasaan aman dan nyaman terganggu maka akan muncul semangat perlawanan.

Tabiatnya, kritikan tidak pernah muncul pada saat yang tepat,  karena kita biasanya lebih siap untuk dipuji dibandingkan dikritik.

Kalaulah mereka menyampaikan kritikan tidak dengan cara yang baik, maka fahamilah bahwa kita tidak berhak mengatur orang lain bertindak sesuai yang kita inginkan.

Ambillah hikmah dari setiap peristiwa.

Orang yang tidak pernah dikritik boleh jadi adalah orang yang tidak melakukan apa-apa, tidak mengatakan apa-apa, tidak akan menjadi apa-apa, dan tidak akan sukses.

Maka terimalah kritik dengan tidak membawa ke ranah pribadi, berpikirlah positif, dan terimalah dengan hati terbuka, karena yang kita tunggu-tunggu telah didatangkan Allah.

Wallahu a’lam.

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Hal- Hal Yang Dibolehkan Dalam Shalat (Bag. 1)

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.

Yang dimaksud Hal-Hal Yang Dibolehkan adalah Perbuatan yang tidak membatalkan shalat dan tidak pula haram dan makruh. Di antaranya adalah:

1. Menangis, baik karena takut kepada Allah atau sebab lainnya selama tidak dibuat-buat.
Dalil-Dalil:

Allah Ta’ala berfirman:
 إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا
“Jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, maka mereka tersungkur sambil sujud dan menangis.” (QS. Maryam: 58)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq:
والاية تشمل المصلي وغيره.
“Ayat ini juga mencakup bagi orang shalat dan selainnya.” (Fiqhus Sunnah, 1/259)

Dari Abdullah bin Syikhir, dia berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَفِي صَدْرِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الرَّحَى مِنْ الْبُكَاءِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dan di dadanya ada suara seperti air mendidih karena nangisnya beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam. (HR. Abu Daud No. 904, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Misykah Al Mashabih No. 1000)

Dan masih banyak riwayat yang menceritakan menangisnya Rasulullah, Abu Bakar, Umar, dan lainnya ketika shalat. Tetapi ini hanya berlaku bagi tangisan disebabkan takut kepada Allah Taala, AzabNya, neraka, azab kubur, dan hal-hal yang terkait dengan akhirat. Ada pun menangisi musibah pribadi yang terkait keduniaan adalah tidak boleh bahkan membatalkan shalat; nangis karena rumah kebanjiran, tidak bisa membayar hutang, ditinggal suami/istri, dan perkara dunia lainnya.

Berkata Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin Rahimahullah:
أن البكاء في الصلاة إذا كان من خشية الله عز وجل والخوف منه وتذكر الإنسان أمور الآخرة وما يمر به في القرآن الكريم من آيات الوعد والوعيد فإنه لا يبطل الصلاة وأما إذا كان البكاء لتذكر مصيبة نزلت به أو ما أشبه ذلك فإنه يبطل الصلاة لأنه حدث لأمر خارج عن الصلاة وعليه فيحاول علاج نفسه من هذا البكاء حتى لا يتعرض لبطلان صلاته وعليه أيضاً بل يشرع له أن لا يكون في صلاته مهتماً بغير ما يتعلق بها فلا يفكر في الأمور الأخرى لأن التفكير في غير ما يتعلق بالصلاة في حال الصلاة ينقصها كثيرا ًفإن ذلك من عمل الشيطان ومن وساوسه ومن سرقته لصلاة العبد
Sesungguhnya menangis dalam shalat jika disebabkan rasa takut kepada Allah Azza wa Jalla, dan takut dari azabNya, dan manusia mengingat urusan-urusan akhirat, dan apa-apa yang Al Quran ceritakan tentang akhirat, berupa ayat janji dan ancaman, sesungguhnya itu tidak membatalkan shalat. Sedangkan, jika menangis karena mengingat musibah menimpanya, atau yang semisal itu, sesungguhnya itu membatalkan shalat karena dia mensisipkan hal di luar shalat. Wajib atasnya untuk merubah dirinya dari tangisan seperti ini sehingga shalatnya   tidak menjadi batal.  Wajib baginya juga, bahkan disyariatkan baginya agar dalam shalatnya tidak dipecahkan oleh selain yang terkait dengan shalat. Maka, janganlah dia memikirkan perkara lainnya, sebab memikirkan perkara lain selain shalat dalam keadaan shalat dapat banyak menguranginya, sebab hal itu merupakan perbuatan syetan,  was-was dari syetan, dan bentuk syetan dalam mencuri shalat seorang hamba. (Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Fatawa Nur Alad Dar, Bab Ash Shalah, No. 378)

2. Menoleh Jika Ada Kebutuhan

Dalil-Dalil:
Sahl bin Hanzhalah Radhiallahu ‘Anhu, berkata:
فجعل رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم يصلي وهو يلتفت إلى الشِّعب
“Maka Rasulullah menoleh pandangan dalam shalatnya menuju celah bukit.” (HR. Abu Daud 2501, Al Baihaqi dalam Al Sunan Al Kubra, No.  2083, dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 2051. Al Hazimi mengatakan: hasan. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad, 4/289)

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, katanya:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يلتفت في صلاته يمينا وشمالا ولا يلوي عنقه خلف ظهره
“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menoleh dalam shalatnya ke kanan dan kiri dan tidak sampai memutarkan lehernya kebelakang.” (HR. An Nasa’i No. 1201, Ahmad No. 2485, Abu Ya’la No. 2592, Ibnu Hibban No. 2288, At Tirmidzi No. 587, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 2084, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 864, katanya shahih sesuai syarat Bukhari, dan disepakati oleh Adz Dzahabi. Ibnu Khuzaimah No. 484, Al Baghawi No. 737, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya,  Shahihwa Dhaif Sunan An Nasai No. 1201, Tahqiq Misykah Al Mashabih No. 998, dll)

Tetapi jika tidak keperluan, maka itu makruh. Dari Al Harts Al Asyari, bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda:
فإذا صليتم فلا تلتفتوا فإن العبد إذا لم يلتفت استقبله جل وعلا بوجهه
“Jika kalian shalat janganlah menoleh, sesungguhnya Allah Jalla wa ‘Ala akan memandang hambaNya selama dia tidak menoleh. (HR. Ahmad No. 17170, Ibnu Hibban No. 6233, At Tirmidzi No. 2863, 2864, katanya: hasan shahih. Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 3427, 3428, Ibnul Atsir dalam Asadul Ghabah, 1/383, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya No. 1895, Abu Yala No. 1571, Ibnu Mandah dalam Al Iman No. 212, Al Hakim dalam Al Mustadrak, 1/118, 421, juga 11/17, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim, dan  Adz Dzahabi menyepakatinya. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: shahih. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 17170. juga dishahihkan oleh Syaikh Al Albani, Lihat Shahihul Jami No. 1724 )

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
سألت رسول اللّه صلى الله عليه وسلم عن التفات الرجل في الصلاة، فقال: “إنما هو اختلاسٌ يختلسه الشيطان من صلاة العبد”.
“Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang seseorang yang menoleh dalam shalat, beliau menjawab: Itu adalah sambaran kilat dari syetan terhadap shalat seorang hamba. (HR. Bukhari No. 751,3291, Abu Daud No. 910, An Nasai dalam Al Kubra No. 1120, At Tirmidzi No. 590, Ahmad No. 24412, Abu Yala No. 4634, 4913, Abu Nuaim dalam Al Hilyah , 9/30, Al  Baghawi dalam Syarhus Sunnah No. 732, Ibnu Hibban No. 2287, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 3344, dll)

3. Membunuh Ular, Kalajengking Kumbang, dan binatang membahayakan lainnya yang mengganggu shalat.

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
قتل الحية والعقرب والزنابير ونحو ذلك من كل ما يضر وإن أدى قتلها إلى عمل كثير
“Membunuh ular, kalajengking kumbang dan yang semisalnya yang bisa mengganggu shalat, walau pun dengan gerakan yang banyak untuk membunuhnya.” (Fiqhus Sunnah, 1/261)

Dalilnya:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersbada:
(اقتلوا الاسودين   في الصلاة: الحية والعقرب ) رواه أحمد وأصحاب السنن. الحديث حسن صحيح.
“Bunuhlah oleh kalian dua binatang hitam dalam shalat: ular dan kala jengking. (HR. Ahmad No.  7379, Ibnu Majah No. 1245, Ibnu Khuzaimah No. 869,  Al Baihaqi dalam Al Marifah No. 1041, 1042, Ibnul Jarud No. 213, dll. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 7379)

4. Berjalan Sedikit Karena Ada Keperluan

Dalilnya:
 عن عائشة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي في البيت والباب عليه مغلق فجئت فاستفتحت فمشى ففتح لي ثم رجع الى مصلاه. ووصفت أن الباب في القبلة. رواه أحمد وأبو داود والنسائي والترمذي وحسنه.
Dari ‘Aisyah, dia berkata: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat di rumah dan pintu di depannya tertutup, ketika saya datang saya minta dibukakan pintu. Maka beliau berjalan dan membukakan pintu kemudian kembali shalat. Aisyah mengatakan bahwa pintu tersebut ada di arah kiblat. (HR. Ahmad No. 24027, Abu Daud No. 922, An Nasai, At Tirmidzi No. 601,  dia menghasankannya, Ad Daruquthni dalam As Sunan, 2/8, Abu Yala No. 4406, Ibnu Hibban No. 2355. Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: hasan. Tahqiq Musnad Ahmad No. 24027)

Tapi pembolehan ini hanya berlaku jika berjalannya masih kearah kiblat baik depan, kanan, dan kiri, tetapi tidak berlaku ke arah membelakangi kiblat. Semua ahli fiqih sepakat berjalan dengan jumlah langkah yang banyak dalam shalat fardhu  adalah membatalkan shalat.

Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr Hafizhahullah menjelaskan:
فدل على أن مثل هذا العمل لا بأس به في الصلاة؛ لأن رسول الله صلى الله عليه وسلم فعله وهو القدوة والأسوة صلوات الله وسلامه وبركاته عليه
Maka, hadits ini menunjukkan bahwasanya hal yang semisal perbuatan ini adalah tidak apa-apa dilakukan saat shalat, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya, dan dia adalah teladan dan contoh  -semoga shalawat, salam, dan keberkahanNya tercurah kepadanya. (Syarh Sunan Abi Daud, 117. Al Misykat)

5. Menggendong Anak Kecil

Dalilnya:
 عَنْ عَمْرِو بْنِ سُلَيْمٍ الزُّرَقِيِّ أَنَّهُ: سَمِعَ أَبَا قَتَادَةَ يَقُولُ: ” إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى  وأُمَامَةُ ابْنَةُ زَيْنَبَ ابْنَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهِيَ ابْنَةُ أَبِي الْعَاصِ بْنِ الرَّبِيعِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى عَلَى رَقَبَتِهِ، فَإِذَا رَكَعَ وَضَعَهَا، وَإِذَا قَامَ مِنْ سُجُودِهِ أَخَذَهَا فَأَعَادَهَا عَلَى رَقَبَتِهِ “
Dari Amru bin Sulaim Az Zuraqiy, bahwa dia mendengar Abu  Qatadah berkata: bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang shalat sedangkan Umamah anak puteri dari Zainab puteri Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan juga puteri dari Abu Al Ash bin Ar Rabi bin Abdul Uzza – berada di pundaknya, jika Beliau ruku anak itu diletakkan, dan jika bangun dari sujud diambil lagi dan diletakkan di atas pundaknya. (HR. Ahmad No. 22589, An Nasai No. 827, Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No. 7827, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasai No. 827. Syaikh Syuaib Al Arnauth juga menshahihkannya dalamTahqiq Musnad Ahmad No. 22589, dan Amru bin Sulaim mengatakan bahwa ini terjadi ketika shalat subuh)

Apa Hikmahnya?
قال الفاكهاني: وكأن السر في حمله صلى الله عليه وسلم أمامة في الصلاة دفعا لما كانت العرب تالفه من كراهة البنات بالفعل قد يكون أقوى من القول.
 Bernays Al Fakihani: Rahasia dari hal ini adalah sebagai peringatan (sanggahan) bagi bangsa Arab yang biasanya kurang menyukai anak perempuan. Maka nabi memberikan pelajaran halus kepada mereka supaya kebiasaan itu ditinggalkan, sampai-sampai beliau mencontohkan bagaimana mencintai anak perempuan, sampai-sampai dilakukan di shalatnya. Dan ini lebih kuat pengaruhnya dibanding ucapan. (Fiqhus Sunah, 1/262)

Dalil lainnya:
Dari Abdullah bin Syadad, dari ayahnya, katanya:
خرج علينا رسول الله صلى الله عليه وسلم في إحدى صلاة العشي (الظهر أو العصر) وهو حامل (حسن أو حسين) فتقدم النبي صلى الله عليه وسلم فوضعه ثم كبر للصلاة فصلى فسجد بين ظهري صلاته سجدة أطالها، قال: إني رفعت رأسي فإذا الصبي على ظهر رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو ساجد فرجعت في سجودي.
فلما قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم الصلاة قال الناس: يا رسول الله إنك سجدت بين ظهري الصلاة سجدة أطلتها حتى ظننا أنه قد حدث أمر، أو أنه يوحى إليك؟ قال: (كل ذلك لم يكن، ولكن ابني ارتحلني فكرهت أن أعجله حتى يقضي حاجته)

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam keluar untuk shalat bersama kami untuk shalat siang (zhuhur atau ashar), dan dia sambil menggendong (hasan atau Husein), lalu Beliau maju ke depan dan anak itu di letakkannya kemudian bertakbir untuk shalat, maka dia shalat, lalu dia sujud dan sujudnya itu lama sekali. Aku angkat kepalaku, kulihat anak itu berada di atas punggung Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan beliau sedang sujud, maka saya pun kembali sujud. Setelah shalat selesai, manusia berkata: Wahai Rasulullah, tadi lama sekali Anda sujud, kami menyangka telah terjadi apa-apa, atau barangkali wahyu turun kepadamu? Beliau bersabda: Semua itu tidak  terjadi, hanya saja cucuku ini mengendarai punggungku, dan saya tidak mau memutuskannya dengan segera sampai dia puas. (HR. An Nasai No. 1141, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasai No. 1141)

Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:
هَذَا يَدُلّ لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيّ – رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى – وَمَنْ وَافَقَهُ أَنَّهُ يَجُوز حَمْل الصَّبِيّ وَالصَّبِيَّة وَغَيْرهمَا مِنْ الْحَيَوَان الطَّاهِر فِي صَلَاة الْفَرْض وَصَلَاة النَّفْل ، وَيَجُوز ذَلِكَ لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُوم ، وَالْمُنْفَرِد ، وَحَمَلَهُ أَصْحَاب مَالِك – رَضِيَ اللَّه عَنْهُ – عَلَى النَّافِلَة ، وَمَنَعُوا جَوَاز ذَلِكَ فِي الْفَرِيضَة ، وَهَذَا التَّأْوِيل فَاسِد ، لِأَنَّ قَوْله : يَؤُمّ النَّاس صَرِيح أَوْ كَالصَّرِيحِ فِي أَنَّهُ كَانَ فِي الْفَرِيضَة ، وَادَّعَى بَعْض الْمَالِكِيَّة أَنَّهُ مَنْسُوخ ، وَبَعْضهمْ أَنَّهُ خَاصّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَبَعْضهمْ أَنَّهُ كَانَ لِضَرُورَةٍ ، وَكُلّ هَذِهِ الدَّعَاوِي بَاطِلَة وَمَرْدُودَة ، فَإِنَّهُ لَا دَلِيل عَلَيْهَا وَلَا ضَرُورَة إِلَيْهَا ، بَلْ الْحَدِيث صَحِيح صَرِيح فِي جَوَاز ذَلِكَ ، وَلَيْسَ فِيهِ مَا يُخَالِف قَوَاعِد الشَّرْع ؛ لِأَنَّ الْآدَمِيَّ طَاهِر ، وَمَا فِي جَوْفه مِنْ النَّجَاسَة مَعْفُوّ عَنْهُ لِكَوْنِهِ فِي مَعِدَته ، وَثِيَاب الْأَطْفَال وَأَجْسَادهمْ عَلَى الطَّهَارَة ، وَدَلَائِل الشَّرْع مُتَظَاهِرَة عَلَى هَذَا . وَالْأَفْعَال فِي الصَّلَاة لَا تُبْطِلهَا إِذَا قَلَّتْ أَوْ تَفَرَّقَتْ ، وَفَعَلَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – هَذَا – بَيَانًا لِلْجَوَازِ ، وَتَنْبِيهًا بِهِ عَلَى هَذِهِ الْقَوَاعِد الَّتِي ذَكَرْتهَا ، وَهَذَا يَرُدُّ مَا اِدَّعَاهُ الْإِمَام أَبُو سُلَيْمَان الْخَطَّابِيُّ أَنَّ هَذَا الْفِعْل يُشْبِه أَنْ يَكُون مِنْ غَيْر تَعَمُّد ، فَحَمَلَهَا فِي الصَّلَاة لِكَوْنِهَا كَانَتْ تَتَعَلَّق بِهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَلَمْ يَدْفَعهَا فَإِذَا قَامَ بَقِيَتْ مَعَهُ ، قَالَ : وَلَا يُتَوَهَّم أَنَّهُ حَمَلَهَا وَوَضَعَهَا مَرَّة بَعْد أُخْرَى عَمْدًا ؛ لِأَنَّهُ عَمَل كَثِير وَيَشْغَل الْقَلْب ، وَإِذَا كَانَتْ الْخَمِيصَة شَغَلَتْهُ فَكَيْف لَا يَشْغَلهُ هَذَا ؟ هَذَا كَلَام الْخَطَّابِيّ – رَحِمَهُ اللَّه تَعَالَى – وَهُوَ بَاطِل ، وَدَعْوَى مُجَرَّدَة ، وَمِمَّا يَرُدّهَا قَوْله فِي صَحِيح مُسْلِم فَإِذَا قَامَ حَمَلَهَا .
وَقَوْله : ( فَإِذَا رَفَعَ مِنْ السُّجُود أَعَادَهَا ) ، وَقَوْله فِي رِوَايَة مُسْلِم : ( خَرَجَ عَلَيْنَا حَامِلًا أُمَامَةَ فَصَلَّى ) فَذَكَرَ الْحَدِيث . وَأَمَّا قَضِيَّة الْخَمِيصَة فَلِأَنَّهَا تَشْغَل الْقَلْب بِلَا فَائِدَة ، وَحَمْل أُمَامَةَ لَا نُسَلِّم أَنَّهُ يَشْغَل الْقَلْب ، وَإِنْ شَغَلَهُ فَيَتَرَتَّب عَلَيْهِ فَوَائِد ، وَبَيَان قَوَاعِد مِمَّا ذَكَرْنَاهُ وَغَيْره ، فَأُحِلّ ذَلِكَ الشَّغْل لِهَذِهِ الْفَوَائِد ، بِخِلَافِ الْخَمِيصَة . فَالصَّوَاب الَّذِي لَا مَعْدِل عَنْهُ : أَنَّ الْحَدِيث كَانَ لِبَيَانِ الْجَوَاز وَالتَّنْبِيه عَلَى هَذِهِ الْفَوَائِد ، فَهُوَ جَائِز لَنَا ، وَشَرْع مُسْتَمِرّ لِلْمُسْلِمِينَ إِلَى يَوْم الدِّين . وَاللَّهُ أَعْلَم .

“Hadits ini menjadi dalil bagi madzhab Syafi’i dan yang sepakat dengannya, bahwa bolehnya shalat sambil menggendong anak kecil, laki atau perempuan, begitu pula yang lainnya seperti hewan yang suci, baik shalat fardhu atau sunah, baik jadi imam atau makmum.
Kalangan Maliki mengatakan bahwa hal itu hanya untuk shalat sunah, tidak dalam shalat fardhu. Pendapat ini tidak bisa diterima, sebab sangat jelas disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memimpin orang banyak untuk menjadi imam, peristiwa ini adalah pada shalat fardhu, apalagi jelas disebutkan itu terjadi pada shalat shubuh.

Sebagian kalangan Maliki menganggap hadits ini mansukh (dihapus hukumnya) dan sebagian lagi mengatakan ini adalah kekhususan bagi Nabi saja, dan sebagian lain mengatakan bahwa Beliau melakukannya karena darurat. Semua pendapat ini tidak dapat diterima dan mesti ditolak, sebab tidak keterangan adanya nasakh (penghapusan), khusus bai Nabi atau karena darurat, tetapi justru tegas membolehkannya dan sama sekali tidak menyalahi aturan syara. Bukankah Anak Adam atau manusia itu suci, dan apa yang dalam rongga perutnya dimaafkan karena berada dalam perut besar, begiru pula mengenai pakaiannya. Dalil-dalil syara menguatkan hal ini, karena perbuatan-perbuatan yang dilakukan ketika itu hanya sedikit atau terputus-putus. Maka, perbuatan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam itu menjadi keterangan tentang bolehnya berdasarkan norma-norma tersebut. Dalil ini juga merupakan koreksi atas apa yang dikatakan oleh Imam Al Khathabi bahwa seakan-akan itu terjadi tanpa sengaja, karena anak itu bergelantungan padanya, jadi bukan diangkat oleh Nabi. Namun, bagaimana dengan keterangan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ketika hendak berdiri yang kedua kalinya, anak itu diambilnya pula. Bukankah ini perbuatan sengaja dari Beliau? Apalagi terdapat keterangan dalam  Shahih Muslim: Jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bangkit dari sujud, maka dinaikkannya anak itu di atas pundaknya. Kemudian keterangan Al Khathabi bahwa memikul anak itu mengganggu kekhusyuan sebagaimana menggunakan sajadah yang bergambar, dikemukakan jawaban bahwa memang hal itu mengganggu dan tidak ada manfaat sama sekali. Beda halnya dengan menggendong anak yang selain mengandung manfaat, juga sengaja dilakukan oleh Nabi untuk menyatakan kebolehannya. Dengan demikian, jelaslah bahwa yang benar dan tidak dapat disangkal lagi, hadits itu menyatakan hukum boleh, yang tetap berlaku bagi kaum muslimin sampai hari kemudian. Wallahu Alam (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2/307. Mawqi Ruh Al Islam)  
 
6. Memberikan Salam dan Mengajak Berbicara Orang Shalat

Dalilnya:
 عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: أَرْسَلَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُنْطَلِقٌ إِلَى بَنِي الْمُصْطَلِقِ، فَأَتَيْتُهُ وَهُوَ يُصَلِّي عَلَى بَعِيرِهِ ، فَكَلَّمْتُهُ، فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا، ثُمَّ كَلَّمْتُهُ، فَقَالَ بِيَدِهِ هَكَذَا، وَأَنَا أَسْمَعُهُ يَقْرَأُ، وَيُومِئُ بِرَأْسِهِ، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ: ” مَا فَعَلْتَ فِي الَّذِي أَرْسَلْتُكَ، فَإِنَّهُ لَمْ يَمْنَعْنِي إِلَّا أَنِّي كُنْتُ أُصَلِّي.
Dari Jabir bin Abdullah katanya: “Saya diperintahkan nabi untuk datang, saat itu beliau hendak pergi ke Bani Musthaliq. Ketika saya datang beliau sedang shalat di atas kendaraannya. Saya pun berbicara kepadanya dan beliau memberi isyarat dengan tangannya seperti ini. Saya berbicara lagi dan beliau memberi isyarat dengan tangannya, sedangkan bacaan shalat beliau terdengar oleh saya sambil beliau menganggukkan kepala. Setelah beliau selesai shalat beliau bertanya: Bagaimana tugasmu yang saya minta untuk diselesaikan? Sebenarnya tak ada halangan bagi saya membalas ucapanmu itu, hanya saja saya sedang shalat.” (HR. Muslim No. 540, Ahmad No. 14345, Abu Daud No. 926, Abu ‘Awanah, 2/140, Ibnu Khuzaimah No. 889, Ibnu Hibban No. 2518, 2519)

Dari Ibnu Umar: “Aku bertanya kepada Bilal:
كيف كان النبي صلى الله عليه وسلم يرد عليهم حين كانوا يسلمون في الصلاة؟ قال: كان يشير بيده.
“Bagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab salam kepada mereka ketika beliau sedang shalat?” Bilal menjawab: “Memberikan isyarat dengan tangannya.”   (HR. Ibnu Majah No. 1017, At Tirmidzi No. 368, katanya: hasan shahih.  An Nasa’i No. 1187, Ad Darimi No. 1362, dari Suhaib)

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
ويستوي في ذلك الاشارة بالاصبع أو باليد جميعها أو بالايماء بالرأس فكل ذلك وارد عن رسول الله صلى الله عليه وسلم.
“Dalam hal ini sama saja, baik isyarat dengan jari, tangan atau anggukkan kepala, semua ini adalah boleh karena memiliki dasar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Fiqhus Sunah, 1/264)

Syaikh Abul ‘Ala Muhammad bin Abdurrahman bin Abdurrahim Al Mubarkafuri Rahimahullah mengatakan:
فَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ أَشَارَ مَرَّةً بِأُصْبُعِهِ وَمَرَّةً بِيَدِهِ
“Maka, dibolehkan memberikan isyarat, sekali dengan jari dan sekali dengan tangannya.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/365. Cet. 2, Al Maktabah As Salafiyah, Madinah)

Bersambung

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Tadabbur Al-Qur’an: QS. Al-Qalam

Oleh: Dr. Saiful Bahri, MA

Mukaddimah: Sebuah Dukungan Rabbani

Surat al-Qalam termasuk surat yang pertama-tama diturunkan Allah di Makkah; menurut sebagian ahli tafsir diturunkan setelah surat al-’Alaq.

Saat Nabi Muhammad saw berdakwah, respon yang beliau terima dari kaumnya sangat mengecewakan. Bahkan lebih merupakan teror-teror psikis dan tak jarang juga terror fisik beliau terima, juga orang-orang yang mengikuti dakwah beliau.

Salah satu teror psikis yang beliau terima adalah stempel ”gila” yang diberikan kepada beliau. Padahal sebelum itu kaumnya sendiri yang menyematkan julukan ”al-Amin (yang terpercaya)” kepada beliau. Kini semua berbalik. Beliau dicap sebagai orang yang gila harta dan jabatan. Bahkan sebagian benar-benar menuduh gila dalam artian yang sebenarnya.

Dan Allah lah yang kemudian menjawab segala tuduhan di atas. “Dan sesunguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(QS. 68: 4)

Dukungan spiritual ini diberikan saat kaumnya menganggapnya gila ketika beliau menyampaikan risalah-Nya. Bahwa Allah juga tak henti-hentinya memberikan dukungan serta menjanjikan pahala yang tak putus-putus atas kesabaran yang ekstra dalam menghadapi kaumnya.

Sejenak kita tilik gaya bahasa yang dipakai al-Qur’an. ”la‘alâ khuluqin ’azhîm” pada ayat keempat, digunakan kata ”’alâ” (di atas) bukan dengan kata ”fî” (dalam). Hal ini mengindikasikan bahwa Nabi Muhammad saw memang berada di atas standar akhlak dan budi pekerti manusia pada umumnya.

Ketika beliau mendakwahi para pemuka kaumnya, Quraisy; saat itu Abdullah bin Ummi Maktum ra. -yang buta- masuk ke tempat tersebut. Seketika raut muka Rasulullah berubah sedikit muram, berubah masam. Beliau tak mengatakan apa-apa, memarahi, menghardik atau menegurnya. Hanya saja air wajah beliau menunjukkan agak terganggu dengan kehadiran Abdullah tersebut.

Seketika Allah menegur beliau “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?”. (QS. `Abasa: 1-4)

Barangkali bagi orang biasa, hanya bermuka masam seperti di atas mungkin belum terlalu dianggap kurang baik. Namun, kebersihan diri beliau serta pengawasan Allah lah yang menjadikan standar akhlak beliau memang benar-benar mulia. Di atas standar akhlak manusia biasa. Di atas akhlak orang yang paling mulia sekalipun, yang pada waktu itu ada dalam suku Quraisy atau suku-suku lain yang ada disekitarnya. Bahkan paling mulia di antara sekian makhluk Allah yang pernah ada dan yang akan ada.

Karena itu, tak ada alasan bagi Nabi Muhammad saw untuk larut dalam kesedihan memikirkan cemoohan dan berbagai teror dari kaumnya. Dan yang terbaik adalah meneruskan dakwah ini kepada kaumnya. ”Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat. Siapa di antara kamu yang gila. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya; dan Dia-lah yang paling mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. 68: 5-7). Karena terkadang orang gila tak merasa bahwa dirinya adalah orang gila. Dan ketika mereka sadar, keterlambatan itu sudah tiada berguna lagi untuk menghindarkan mereka dari siksaan Allah yang Maha Pedih.

Para Pendusta dan Pencela Nabi Muhammad saw

”Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah.  Yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa.  Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya. Karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak. Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kam, ia berkata: “(Ini adalah) dongeng-dongengan orang-orang terdahulu”. Kelak akan kami beri tanda dia di belalai(nya)”. (QS. 68: 8-16)

Ada perbedaan ahli tafsir, siapa yang dimaksud Allah dalam ayat ini. Karena ayat 10-16 diturunkan untuk menyindir seseorang. Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan beberapa riwayat [1]. Sebagian mufassirin berpendapat ayat-ayat ini diturunkan Allah untuk menyindir al-Walid bin Mughiroh [2], sebagian lagi berpendapat: al-Akhnas bin Syuraiq, atau al-Aswad bin Abdi Yaghuts.

Allah melarang mengikuti mereka (orang-orang kafir Quraisy). Orang-orang kafir dan mereka yang mencaci Rasulullah saw. Larangan ini semula diperuntukkan kepada Nabi Muhammad saw, namun ditujukan pula kepada kita, sebagai umat yang mengikuti ajaran yang beliau bawa.

Sifat pertama yang ditunjukkan Allah dalam ayat ini adalah “mendustakan”.  Mendustakan ayat-ayat-Nya, para utusannya, meskipun sebelumnya mereka dikenal kaumnya sebagai orang terpercaya lagi baik budinya. Ciri-ciri inilah yang memasukkan kaum Ad dan Tsamud serta Ashabu Madyan, dan Rass ke dalam kategori orang-orang yang kafir. Pembangkang serta memusuhi kekasih Allah. Dan pada gilirannya Allah menghancurkan mereka dengan tentara-tentara Allah. Angin topan yang menggulung kesombongan mereka. Menghabiskan kedustaan yang mereka lakukan kepada Allah dan para Rasul-nya

Mereka ingin dihargai sementara mereka tiada mau menghargai orang lain. Ingin diperlakukan dengan lunak dan lemah lembut, sementara mereka tidaklah demikian.

Diantara sifat al-Walid yang menonjol adalah banyak bersumpah. Namun sering ia langgar sendiri. Sungguh hina orang-orang yang mempermainkan sumpahnya. Selain itu suka mencela dan mencaci, menebar fitnah, menjadi provokator dan menghalangi kebaikan. Kasar dan sudah terlanjur dikenal keculasan dan kejahatannya. Padahal ia memiliki banyak anak dan harta. Tapi sekali-kali ia tak pernah insyaf dan bertaubat kepada Allah.

Di akhir peringatan ini Allah memberitahukan lagi salah satu ciri mereka. Yaitu mereka akan mengatakan kepada setiap orang yang mengajak mereka kepada kebaikan. “Itu hanyalah merupakan cerita-cerita orang terdahulu” hanyalah merupakan cerita-cerita orang terdahulu” hanyalah merupakan cerita-cerita orang terdahulu” hanyalah merupakan cerita-cerita orang terdahulu” hanyalah merupakan cerita-cerita orang terdahulu”. Mungkin kalau bahasa kita, setelah kita memperingatkan atau mengajak pada sesuatu yang ma`ruf. Mereka akan mengangganya ”lagu lama” yang disamakan dengan dongeng-dongeng serta cerita rakyat yang penuh mitos.

Mereka sudah terlebih dahulu mengklaim sesuatu yang disampaikan oleh Rasulullah. Padahal mereka tak mengetahui apa pun tentangnya. Bagaimana mungkin mereka akan menerimanya.

Allah akan menghinakannya juga kuffar Quraisy itu dengan memberi tanda khusus di hidung mereka [3]. Sebagai tanda kebohongan dan kedustaan mereka. Menghinakan mereka sebagaimana mereka menghinakan ayat-ayat Allah dan para Rasul-Nya.

Al-Qur`an menggambarkannya dengan kata-kata “belalai”. Kata-belalai sebagaimana lazimnya tak dipakai kecuali untuk binatang. Bukan untuk manusia. Tentunya hal tersebut dimaksudkan untuk semakin menghinakan serta menurunkan derajatnya sebagai manusia. Mereka sama dengan binatang. Bahkan lebih rendah darinya. Karena mereka mempunyai akal. Namun tak mereka gunakan untuk menerima dan memikirkan ayat-ayat Allah.

Kisah Para Pemilik Kebun

Dalam surat ini ada kandungan kisah tentang para pemilik kebun. Allah menurunkan adzab kepada mereka, dalam rangka memberi mukaddimah ancaman kepada para pencela dan pengejek Rasulullah saw. Jika mereka mengetahui atau setidaknya merasakan penyesalan dan kepedihan serta keputusasaan dalam kisah ini tentu mereka akan takut ditimpa dengan adzab yang lebih pedih dari itu, adzab akhirat.

Siapakah para pemilik kebun yang dimaksud dalam ayat-ayat ini ?[4]

Dikabarkan, mereka telah membagi-bagi dan mengkaplingkan hasil kebun mereka yang akan akan mereka tuai esoknya. Mereka memastikannya, bahkan telah bersumpah. Hasilnya untuk keperluan ini dan untuk keperluan itu.. Mereka sama sekali tak menyisakan bagian untuk kaum dhu`afa dan fakir miskin. Mereka juga sombong. Seolah merekalah yang memutuskan segalanya. Yang menjamin kelangsungan hidup hari esok. Sehingga mereka melupakan Allah. Tiada mensyukuri nikmat-Nya. Tak menyebutnya sama sekali. Bahkan mereka tak mau untuk sekedar mengatakan: “Insya Allah ”.

Adapun penafsiran ayat ke 18 memang berbeda-beda. Jika konteksnya berhubungan dengan kepercayaan pada Allah dan pemastian pembagian hasil kebun. Maka lebih pas untuk diartikan dengan “tidak mengatakan Insya Allah ”. Namun, jika konteksnya adalah amal kemanusiaan yang berhubungan dengan hak fakir miskin. Maka bisa diartikan,”Mereka tak memberikan bagian dari hasil tersebut serta menyisakannya untuk fakir miskin”. Padahal para pendahulu mereka, kakek dan bapak mereka mendermakan sebagian harta hasil dari perkebunan tersebut kepada fakir miskin. Sementara mereka mempunyai karakter yang sebaliknya, bakhil. Sangat memusuhi hati nurani kemanusiaan.

Penggambaran kebakhilan mereka terlihat dari ayat 24. Dimulai ketika mereka bangun dari tidur di waktu shubuh, mereka bergegas saling membangunkan, serta saling memanggil dan mengingatkan. Kemudian bertolak ke kebun mereka dengan diam-diam dan mengendap-endap dengan tujuan agar fakir miskin yang ada di kampung mereka tak mengetahuinya. Kemudian dikhawatirkan mereka meminta bagian dari hasil kebun tersebut.

Mereka tak mengetahui keadaan sesungguhnya. Mereka tak menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi pada kebun-kebun mereka. Mereka tak mengetahui apa yang Allah perbuat terhadap kebun mereka ketika mereka terlelap dalam tidur ketamakan semalaman. Ketika mereka mendekat, melihat dengan kedua mata mereka sendiri. Keadaan kebun-kebun mereka sungguh jauh di luar dugaan dan penggambaran mereka. Kebun-kebun mereka menghitam pekat. Sehitam hati mereka yang tetutupi hawa nafsu, cinta dunia dan kebakhilan sehingga menghalangi rasa kemanusiaan mereka.

Lenyaplah ribuan angan mereka. Hilanglah pembagian penghasilan yang mereka rancang sebelumnya. Terbanglah bayangan-banyangan kesenangan dunia.

Apakah mereka tak merasakan kesengsaraan serta penderitaan fakir miskin yang tak mendapat uluran kasih sayang dan bantuan dari mereka? Mereka telah menghalangi fakir miskin dari mendapatkan haknya dari harta mereka, padahal mereka mampu dan sanggup melakukannya.

Kemudian, ada seseorang yang masih mempunyai pemikiran baik diantara mereka mengingatkan. Bukankah aku telah mengatakan, sebaiknya kalian bertasbih kepada Tuhan kalian.

Peringatan, ajakan bertasbih ini. Tentulah sangat baik. Akan tetapi mereka mengucapkannya dengan bibir-bibir kering. Dengan keputusasaan. Dengan tertutupnya hati. Merekapun bertasbih. Namun, tak mengetahui hakikat makna dan kandungan tasbih tersebut. Hal ini terbukti dan terlihat dari fenomena permusuhan di antara mereka setelah itu. Mereka saling mencela. Saling menyalahkan di antara sesama mereka. Tiada menerima yang Allah cobakan kepada mereka

Penyesalan. Ribuan penyesalan. Bahkan tiada terhitung penyesalan yang mereka keluhkan. Mereka mengakui kelemahan dan kezhaliman mereka. Namun, penyesalan ini tidaklah sanggup mengembalikan kebun mereka kembali menghijau seketika itu. Kembali menjanjikan hasil dunia yang menggiurkan dan melenakan mereka.

Jika mereka benar-benar menyesalinya. Dan penyesalan seperti ini ketika masih ada kesempatan memperbaikinya. Tentul Allah akan menerimanya. Menerima taubat yang sungguh-sungguh dari hamba-hambaNya.

Namun, bukan penyesalan mereka. Penyesalan orang-orang kafir, para pencela Rasulullah. Penyesalan yang kelak baru mereka rasakan ketika adzab akhirat melucuti tubuh dan perasaan mereka. Jika mereka mengetahui dan menyelami kisah pemilik-pemilik kebun tersebut. Sungguh mereka akan cepat-cepat bertaubat dan memperbaiki diri. Dan barang siapa yang tidak mengetahuinya, ketahuilah bahwa adzab akhirat sangatlah pedih. Melebihi pedihnya adzab dan cobaan dunia. Tak terbayangkan oleh siapapun yang ada di dunia ini. Hanya Allah saja yang mengetahui kedahsyatannya.

Lihatlah akhir hidup Abu Jahal, seorang penjahat kelas kakap yang terbunuh dalam Perang Badar di tangan dua orang anak kecil, Muadz dan Muawidz  [5]. Lihat pula al-Walid bin Mughiroh. Justru anaknya Khalid bin Walid menjadi panglima besar Islam  juga saudara-saudaranya, membela dakwah Rasulullah. Maka yang demikian itu sangat menghinakan mereka.

Kabar Gembira

Dan sebaliknya Allah memberikan kabar gembira untuk orang-orang yang mau mengikuti risalah Rasulullah saw. ”Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) syurga-syurga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya. Maka apakah patut kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)?” (QS. 68: 34-35)

Tentu saja Allah tak menyamakan kedua golongan yang sangat jauh perbedaannya. Masing-masing telah Dia sediakan balasan yang setimpal sesuai dengan amal dan perbuatannya. Masing-masing dari manusia telah diberi kebebasan memilih jalan masing-masing. Hanya saja ia mesti mempertanggungjawabkan pilihannya kelak. Maka jika demikian halnya. Orang-orang yang bertakwa mengikuti jejak para Nabi Allah. Jejak yang jelas ujungnya, meski banyak duri serta cobaan berada disepanjang jalan pilihan tersebut.

Tunggulah sampai datang hari yang dijanjikan itu. ”Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa”. (QS. 68: 42)

Pada waktu itu orang-orang yang sombong tersebut dipanggil satu persatu. Mereka diinstruksikan untuk bersujud di hadapan Allah. Mereka pun tak kuasa melakukannya. Karena mereka tak pernah melakukannya di dunia. Atau jika melakukannya, hanya karena mereka terjangkit split personality. Hipokrit dan munafik, untuk meraup keuntungan dunia semata. Hari itu keadaan sesungguhnya menjadi nyata. Pamrih sesungguhnya dari apa yang ia lakukan menjadi jelas terlihat. Karena hati mereka tertutup oleh dunia dan segala kesenangannya.

Sujud merupakan suatu pekerjaan yang berat bagi hati yang tak khusyuk. Bagi hati yang keras. Hati yang dipenuhi oleh gengsi kedudukan dan status sosial. Sujud akan mudah dilakukan oleh hati yang lembut. Hati yang tunduk, khusyuk dengan penuh pengakuan di depan kebesaran yang Maha Hidup dan Mencipta kehidupan. Sehingga sujud merupakan wirid harian yang menjadi obat kegundahan dan kegelisahan menghadapi berbagai permasalahan dunia.

Hari itu mereka benar-benar ingin melakukannya. Namun mereka tak sanggup melakukannya. Sementara ketika mereka berada dalam kelapangan dan dalam keadaan yang sejahtera, mereka menolak ketika diseru untuk bersujud. Namun mereka cepat mengambil keputusan untuk menolak ajakan tersebut dan memutuskan sekali lagi untuk tidak akan melakukannya. Maka orang-orang yang berkelakuan demikian –kata Allah- serahkan saja segala urusannya kepada-Nya. Hanya Allah yang mampu memperlakukan mereka sesuai perbuatan yang mereka lakukan.

Wasiat Sakti

Tetaplah bersabar. Demikian Allah mewasiatkan kepada Nabi-Nya yang mulia Muhammad saw. Sebuah wasiat yang menjadi senjata pamungkas dalam menghadapi kelakuan orang-orang yang memusuhi dakwahnya.

Sabar dengan ketetapan Allah. Sabar untuk terus mendakwahkan kebenaran yang telah diyakini sebagai jalan benar. Sebagai pilihan yang tepat. Dan akan dipertanggungjawabkan. Serta janji Allah berupa balasan kemuliaan.

Allah menceritakan kisah pendahulu Nabi Muhammad ketika menghadapi kaumnya. Dikisahkan, Yunus bin Matta as diutus Allah ke daerah bernama Naynawa. Beliau mengajak kaumnya untuk menyembah Allah. Akan tetapi kaumnya membangkang dan bersikeras untuk tetap menjauhi ajakan Nabi Yunus as. Mereka memilih jalan kekafiran sebagai respon negatif terhadap dakwah Nabi Yunus. Yunus pun marah dan bermaksud meninggalkan kaumnya. Setelah beliau mengancam dengan turunnya adzab Allah kepada mereka. Sepeninggal Nabi Yunus dari kaumnya. Tanda-tanda ancaman siksa dari Allah terlihat oleh mereka. Mereka pun sadar dan meyakini kebenaran ajakan Nabi Yunus. Bertaubatlah mereka. Keluarlah mereka berbondong-bondong ke sebuah tanah lapang di padang pasir yang luas. Anak-anak mereka, Istri-istri mereka, yang tua dan yang muda serta dengan binatang peliharaan mereka. Semuanya bermunajat dengan khusyuk kepada Allah memohon ampunan dan agar adzab tersebut tak diturunkan kepada mereka. Sedangkan Yunus, telah pergi jauh meninggalkan kaumnya dalam keadaan marah. Allah memuat cerita Yunus lebih terperinci dalam surat Ash Shaffât dari ayat 139 – 148.

Kesalahan yang dilakukan Nabi Yunus as adalah meninggalkan kaumnya. Meninggalkan tanggungjawabnya. Padahal kaumnya telah bertaubat dan hidup dalam keadaan mengimani dakwah yang ia serukan selama ini. Hanya saja beliau agak terburu-buru. Meninggalkan kaumnya dengan ancaman siksa Allah. Namun, Allah mengampuni mereka setelah semua bermunajat dengan sungguh-sungguh kepada-Nya.

Pelajaran kesabaran lah yang dimaksudkan di sini. Untuk menghadapi tingkah laku kaum yang tidak mengindahkan seruan dakwah. Bahkan melecehkannya. Hanya bersabar. Sampai datang keputusan dari Allah.

Ketika dalam perut ikan –menurut riwayat Auf al-A’raby sebagaimana dinukil Ibnu Katsir dalam tafsir Al Anbiya’ ayat 87-88- Yunus mengira bahwa dirinya telah mati. Kemudian ia menggerak-gerakkan kakinya. Kemudian bersujud seraya membisikkan dengan lemah “Ya Allah aku menjadikan tempat ini sebagai tempat sujud yang belum pernah dicapai seorang pun”. Dan beliau pun bertasbih kepada Tuhannya.

Tasbih yang diucapkan dan dimunajatkan oleh Yunus adalah tasbih khusyuk dan penuh tadharru’. Penuh ketenangan dan pengakuan akan kelemahan dan kezhaliman diri. Sehingga rintihan lemah ini di dengar oleh para malaikat-Nya. Sehingga Allah pun menitahkan pada ikan yang menelannya untuk memuntahkan kembali Yunus. Yunus pun selamat dan kembali ke kaumnya setelah bertaubat.

Berbeda dengan tasbih para pemilik kebun ketika salah seorang terbaik mereka menyeru untuk bertasbih. Mereka pun segera bertasbih. Namun, hanya menjadi hiasan bibir belaka. Ketidakikhlasan mereka terlihat, ketika masih ada kedengkian diantara mereka. Mereka saling mencaci sesamanya.

Tasbih sendiri mempunyai makna yang dalam, sehingga mempunyai pengaruh bila seseorang mengucapkannya dengan penuh penghayatan. “Maha Suci Engkau Wahai Allah, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim”.

Bagian pertama tasbih ini, mensucikan Allah dari segala kekurangan dan hal-hal yang tak layak bagi Tuhan dengan segala kebesaran-Nya. Kemudian bagian kedua menegaskan kelemahan diri dan kesalahan yang dilakukan dengan mengakui kezhaliman yang telah diperbuat.

Dua komponen ini merupakan bentuk penyesalan yang sempurna. Penyesalan yang diikuti keinginan untuk memperbaiki diri. Dan untuk memperbaiki diri tersebut kita memerlukan bantuan dari Allah. Minimalnya, bantuan netralisir kesalahan. Dengan menurunkan ampunan-Nya kepada kita atas segala kesalahan yang telah kita lakukan.

Inilah yang dilakukan kekasihnya dalam kegelapan lapis tiga. Dan sanggup menerobos sampai kelangit berlapis tujuh. Didengar oleh semua penduduk langit. Meski dengan suara yang sangat lemah dan pelan. Namun, terdengar sangat jelas. Jelas, karena mengakui kemahasucian Allah. Dan Allah memasukkan Yunus kedalam golongan hamba-hambaNya yang salih.

Ikhtitam: Berbahagialah yang Berani Mengambil Jalan Rasulullah

Ketika Nabi Muhammad saw. menyampaikan ayat-ayat Allah, orang-orang kafir mencibir dan melecehkannya. Bahkan, menganggap Muhammad telah benar-benar gila. Karena mereka tak mau menggunakan hati nurani untuk menerima ayat-ayat Allah.

Ketahuilah bahwa Al-Qur’an tak lain hanya merupakan peringatan bagi semua umat yang ada. Dan tugas Nabi Muhammad, juga tugas para penerusnya, para da’i hanya sekedar mengingatkan kaumnya. Mengingatkan umat yang diserunya untuk mengikuti dan memahami ayat-ayat tersebut. Hanya menyampaikan peringatan ini.

Jika mereka mencibirnya. Maka bersabarlah. Ketahuilah bahwa para pendahulu kita juga mendapat perlakuan yang tak jauh beda dari keumnya ketika mereka menyampaikan ayat-ayat yang mereka bawa dari Tuhan mereka.

Hanya menyampaikan dan telah kita sampaikan. Maka Allahlah yang menentukan. Memberi hidayah kepada mereka atau membiarkan mereka dalam kesesatan karena mereka telah memilihnya demikian. WalLâhu a’lam.

—————————————————————————-

([1]) Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Bârî bi syarhi Shahih al-Bukhari, Cairo: Darul Hadits, Cet. I, 1998 M-1419 H Vol. VIII, hal. 815.

([2]) Ini pendapat jumhur ulama, seperti dikuatkan oleh Imam al-Qurthuby dalam tafsirnya al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Cairo: Darul Hadits, Cet. 2002 M – 1423 H, Vol. IX, hal. 451. Juga dalam tesis Magister penulis, Kitab Lawami’ al-Burhan wa Qawathi’u al-Bayan fi Ma’ani al-Qur’an li al-Ma’iny, Cairo: Universitas Al-Azhar-Jurusan Tafsir, 2006 M – 1427 H, Vol.II, hal. 685

([3]) lihat dalam ayat 16.

([4]) menurut riwayat Imam Ibnu Jarir at-Thabary dan Ibnu Mundzir mereka adalah sekelompok orang di negeri Yaman. Ini yang dirajihkan Imam Ibnu Katsir dalam Qashashul Qur’annyanyanya juga dipakai oleh jumhur mufassirin. Ada sebagian ahli tafsir yang meriwayatkan mereka berasal dari Habasyah (Etiophia)

([5]) Sebenarnya Abdullah bin Mas’ud lah yang berniat membunuh Abu Jahal. Tapi dua anak kecil tersebut mendahuluinya. Seperti yang diriwayatkan Imam Bukhori dalam Jami’ Shahihnyanyanya hadits ke-3962 (lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bârî, Ibid. Vol.VII, hal. 361).

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Rapat Shaf Rapat Ukhuwah

Oleh: Ust. DR. Wido Supraha

Setiap Muslim wajib merapatkan shaf di saat shalat, namun apakah ritual itu mampu merapatkan ukhuwah di antara kaum muslimin?

Meluruskan dan merapatkan shaf adalah bagian daripada sunnah nabawiyah, karena Nabi saw. pernah memerintahkan hal itu melalui sabdanya, ”Luruskanlah shof kalian.” Beliau membimbing sahabat-sahabatnya untuk meluruskan shaf, sehingga mereka benar-benar memahaminya secara baik.

Suatu masa, Rasulullah saw. keluar bersamaan dengan terdengarnya iqomah, namun beliau melihat salah seorang sahabat tampak dadanya membusung ke depan, maka beliau pun bersabda,

”Wahai hamba-hamba Allah, luruskanlah shaf kalian, atau Allah akan memecah belah persatuan kalian.”
(Muttafaqun ’Alaih)

Kalimat tersebut memiliki penekanan dengan tiga bentuk piranti penguat dalam bahasa Arab, yakni sumpah, hurum lâm dan nûn.

Tidak lurusnya shaf dapat memecah belah pola pikir, sehingga hati akan saling berselisih, sehingga tidak diragukan lagi bahwa hal itu merupakan ancaman terhadap orang yang tidak melakukan pelurusan shaf.

Oleh sebab itu, sebagian ulama berpendapat bahwa meluruskan shaf hukumnya wajib dan bukan sunnah.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menegaskan bila jamaah shalat tidak meluruskan shaf, maka mereka akan berdosa, dan itulah pendapat yang eksplisit dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam al-Ikhtiyârôtu ‘l-Fiqhiyyah min Fatâwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah atau Majmu’ Fatâwâ Syaikhul Islam.

Yang menjadi standar dalam meluruskan shaf adalah bahu, bagian atas tubuh, dan mata kaki di bagian bawah tubuh, yang dilakukan di saat tubuh tegak lurus.

Sementara jari-jari kaki tidak bisa dijadikan patokan, karena jari-jari kaki seseorang berbeda-beda satu dengan yang lain.

Nabi memerintahkan hal ini dan menganjurkan umatnya membuat shaf seperti para malaikat menyusun shaf mereka di sisi Rabb mereka.

Merapatkan shaf berarti tidak membiarkan adanya celah bagi setan, meski tidak juga berarti berdesak-desakan.

Nabi saw. Bersabda,
“Rapatkan shaf, dan  jangan biarkan adanya celah-celah untuk dimasuki setan.” (HR. Abu Daud)

Fenomena di masa kini sering kita dapati jarangnya perhatian jamaah atas masalah ini, dan menganggapnya sebagai hal yang biasa saja. Terkadang mereka terpaku pada posisi format sajadah dan tidak mau merapatkannya meskipun jarak antara format sajadah adalah renggang.

Terkadang di saat salah seorang hendak merapatkan dirinya dengan jamaah di sisi kanan atau kirinya, jamaah tersebut malah bergeser menjauhkan diri dari rapatan yang dilakukan.

Belum lagi terlihat begitu banyak jamaah yang tidak memperhatikan kelurusan shaf, sehingga barisan shaf sangat tidak rapih terlihat, dan anehnya lagi, imam tidak mengambil peran sebagaimana mestinya untuk mengatur jamaah agar teratur dalam masalah ini.

Tentu saja hal-hal ini adalah akibat daripada ketidaktahuan jamaah akan pentingnya ilmu sebelum amal.

Di saat tubuh kita menempel rapat dengan jamaah di samping kita, dimana di saat itu bahu bertemu bahu, dan mata kaki bertemu mata kaki, maka kita akan merasakan sebuah energi persaudaraan yang pasti tidak kita rasakan di saat tubuh kita berjauhan seakan-akan sebuah keterasingan dan dikhawatirkan akan memudarlah semangat kebersamaan, persaudaraan, dan ikatan hati.

💡Sungguh, dalam setiap hal shalat berjama’ah, terdapat pelajaran yang mampu kita petik untuk diterapkan di luar kegiatan shalat.

Bisa dikatakan bahwa shalat berjamaan semacam miniatur daripada kehidupan islami yang diarahkan oleh ajaran suci ini. Sehingga sepatutnya antara hikmah yang kita peroleh dari kegiatan shalat berjama’ah dan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari, berjalan bersamaan tanpa ada dikotomi di antara keduanya.

Rasulullah saw. bersabda, “Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Setiap muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, ia tidak boleh menzhaliminya, membiarkannya (tanpa memberikan pertolongan), tidak berbohong kepadanya, dan tidak memperhinakan nya.

Takwa itu ada di sini – seraya menunjuk ke hatinya tiga kali -.  Cukuplah bagi seseorang suatu keburukan bila ia menghina saudaranya seislam. Setiap muslim itu haram: darah, harta, dan kehormatannya.”

(HR. Muslim)

Di dalam Haji Wada, dengan bahasa yang selaras, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian, seperti keharaman hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini.” (Al Hadits)

Ikatan ukhuwah (persaudaraan) adalah ikatan yang tidak bisa terbeli oleh nilai apapun juga. Ia adalah ikatan yang mampu merekatkan hubungan sesama manusia di atas kualitas emosional hubungan sedarah sekalipun, karena ikatan ukhuwwah dibangun di atas pondasi taqwa.

Ukhuwah menjadi menarik, bernilai tinggi, dan pemicu kebaikan lainnya, tatkala ia dijalankan dengan penuh kasih dan menghindarkan sejauh mungkin dari hal-hal yang dapat merusaknya, khususnya hasad, ghibthoh, saling membenci, saling membelakangi, dan lainnya.

Rapatnya hati sesama kaum muslimin adalah salah satu implementasi dasar dari rutinitas shalat berjama’ah yang kita lakukan sehari-hari. Ia harus dibangun dengan penuh kasih sayang sesama saudara seiman, sehingga melahirkan semangat untuk saling memenuhi dan saling melengkapi satu sama lainnya, selayaknya satu tubuh (jasad al wahid), tanpa melihat status sosial, dan status-status lain yang hanya ada dan tercipta di dunia ini.

Mari kita mulai praktik merapatkan hati ini dari lingkungan kita masing-masing. Kunci suksesnya adalah kualitas komunikasi yang baik, prasangka baik, dan berdo’a yang baik untuk kebaikan saudara kita tanpa ia mengetahui sedang kita do’akan.

Wallāhu ta’ala a’lam,

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…