Jika Engkau…

Oleh: Ustadz DR. Saiful Bahri, M.A.

Jika engkau lelah,
rebahkan dirimu dalam pangkuan-Nya.
Niscaya kan kau temukan berjuta ketenangan.

Jika engkau gundah, dinginkanlah dengan bacaan ayat-ayat-Nya.

Jika engkau gelisah, temuilah orang-orang shalih yang engkau percaya.

Jika engkau tak tau harus apa, bacalah buku.
Sinarilah hidupmu dengan membaca dan menuntut ilmu.
Dimanapun.

Jika engkau merasa sendiri, hitunglah orang-orang yang mencintaimu, menghargaimu dan berjasa dalam hidupmu.

Jika engkau merasa tak tau apa yang kau rasakan…. Renungilah ayat-ayat kauniyah.
Fenomena alam.
Hewan-hewan dan tumbuhan semua bertasbih dengan riang.

Maka bagaimanapun kondisimu usahakan bermanfaatlah bagi orang disekelilingmu.

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

SABAR, Bahan Bakar Dakwah Yang Tidak Boleh Berkurang

Oleh: Ustadz Abdullah Haidir Lc.

Bahan bakar yang tidak boleh berkurang di jalan dakwah, apalagi di saat-saat genting  adalah sabar.

Sebab, berdakwah artinya kita akan berhadapan dengan berbagai macam  goncangan dan badai yang menghadang.

Meskipun dakwah mengusung ajaran Islam rahmatan lil aalamiin, justeru demi hal tersebut, ada pohon kebatilan yang harus tumbang, kekuatan zalim yang harus hilang dan pengusung kesesatan yang harus hengkang.

Maka, pastinya dia akan menghadapi perlawanan, karena tidak semua orang dapat menerima rahmat sebagai rahmat, justeru menganggapnya sebagai bahaya dan ancaman  kuat.

Tak heran, jika kemudian mereka melancarkan  ejekan, intimidasi, hingga pengumuman perang. Ini memang tabiat dakwah yang tak pernah berubah, sejak dahulu hingga sekarang, sejak Nabi pertama hingga rasul akhir zaman.

Maka bersabar adalah bekal penting yang harus dimiliki di jalan ini agar gerbong dakwah terus melaju, berjalan menyusuri lorong kehidupan,  menembus badai tantangan.

Suatu saat Rasulullah saw mendapatkan pengaduan yang tidak mengenakkan tentang prasangka buruk yang dialamatkan kepada dirinya.

Seketika itu dia ingat dengan kesabaran Nabi Musa alaihissalam  yang menghadapi kedegilan kaumnya, maka beliau bersabda,

رَحِمَ اللَّهُ مُوسَى قَدْ أُوذِيَ بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ

“Semoga Allah merahmati Musa, dia telah disakiti lebih dari ini, namun dia bersabar,” (Muttafaq alaih)

Jika Nabi yang begitu mulianya, sempurna kepribadiannya, lembut perangainya  masih menghadapi cemoohan, berbagai prasangka hingga tindak kekerasan, apalagi kita sebagai umatnya?!

Boleh jadi kita harus mengevaluasi hal-hal yang harus diperbaiki. Tapi jangan sekali-kali mengira bahwa semua itu membuat jalan dakwah ini lurus dan lempang tanpa onak duri menghadang.

Sabar di sini tentu bukan bersifat pasif, juga bukan menganut prinsip gereja ‘Apabila pipi kananmu ditampar, maka berikan pipi kirimu’.

🌟Tapi yang dituntut adalah sabar  yang:
– mendatangkan keteguhan,
– tidak mudah goyah dan lemah oleh tekanan,
– tegar menjawab berbagai tuduhan, baik dengan lisan atau perbuatan, dan
– tidak pernah surut mengayuh langkah di jalan perjuangan.

Sementara di sisi lain, emosi tetap terjaga dan tidak hilang kendali diri.

Inilah gambaran kesabaran yang Allah simpulkan dari pribadi para Nabi dan pengikutnya,

وَكَأَيِّن مِّن نَّبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ فَمَا وَهَنُواْ لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَمَا ضَعُفُواْ وَمَا اسْتَكَانُواْ وَاللّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ (سورة آل عمران: 146

“Berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikutnya yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, tidak lesu dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 146)

Ketahuilah, tidak ada yang paling menyenangkan musuh-musuh dakwah, kecuali mereka melihat para dai menjadi lesu dan tidak berani lagi mengusung dakwah akibat benturan yang mereka hadapi.

Atau, mereka berharap aktifis dakwah menjadi kalap, emosi liar dan melakukan tindakan merusak tak terkendali sehingga menjadi amunisi berharga bagi mereka untuk membangun opini memojokkan  dakwah.

Sebaliknya, tidak ada yang paling membuat musuh-musuh dakwah merana dan nestapa, kecuali para pengusung dakwah tetap tegar meniti  jalan dakwah walaupun berbagai ujian berat menerpa serta tetap dapat mengendalikan emosi dan tidak terseret pada tindakan di luar kendali.

Maka, langkah pertama menghadapi guncangan  di jalan dakwah adalah bersabar, berikutnya, bersabar dan seterusnya, bersabar.

Apapun yang terjadi di jalan dakwah ini, jika sabar selalu menyertai, sesungguhnya kemenangan sudah kita bukukan dan kemenangan-kemenangan berikutnya kian mendekati kenyataan.

Insya Allah…

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Hal- Hal Yang Dimakruhkan Dalam Shalat (Bag. 2)

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.

Materi sebelumnya: http://www.iman-islam.com/2016/01/hal-hal-yang-dimakruhkan-dalam-shalat.html

***

5.       Memejamkan Mata
Sebenarnya Para Ulama berbeda pendapat, antara memakruhkan dan membolehkan.

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
تغميض العينين: كرهه البعض وجوزه البعض بلا كراهة، والحديث المروي في الكراهة لم يصح
“Memejamkan mata: sebagian ulama ada yang memakruhkan, sebagian lain membolehkan tidak makruh. Hadits yang meriwayatkan kemakruhannya tidak shahih.” (Fiqhs Sunnah, 1/269. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Para Ulama Yang Memakruhkan
Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, mengatakan:
وروينا عن مجاهد وقتادة انهما كانا يكرهان تغميض العينين في الصلوة وروى فيه حديث مسند وليس بشئ
“Kami meriwayatkan dari Mujahid dan Qatadah bahwa mereka berdua memakruhkan memejamkan mata dalam shalat. Tentang hal ini telah ada hadits musnad,  dan hadits tersebut tidak ada apa-apanya.” (As Sunan Al Kubra, 2/284)

Ini juga menjadi pendapat Sufyan Ats Tsauri. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/314. Darul Fikr)
Selain mereka adalah Imam Ahmad, Imam Abu Ja’far Ath Thahawi, Imam Abu Bakar Al Kisani, Imam As Sayyid Bakr Ad Dimyathi,  dan lainnya.
Alasan pemakruhannya adalah karena memejamkan mata merupakan cara ibadahnya orang Yahudi, dan kita dilarang meniru mereka dalam urusan dunia, apalagi urusan ibadah.

Para Ulama Yang Membolehkan
Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Zaid bin Hibban, telah bercerita kepada kami Jamil bin ‘Ubaid,katanya:
سمعت الحسن وسأله رجل أغمض عيني إذا سجدت فقا إن شئت.
“Aku mendengar bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Al Hasan, tentang memejamkan mata ketika sujud. Al Hasan menjawab: “Jika engkau  mau.” (Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/162)

Disebutkan oleh Imam An Nawawi, tentang pendapat Imam Malik Radhiallahu ‘Anhu:
وقال مالك لا بأس به في الفريضة والنافلة

“Berkata Malik: tidak apa-apa memejamkan mata, baik pada shalat wajib atau sunah.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/314. Darul Fikr)
Semua sepakat bahwa memejamkan mata tidak haram, dan bukan pembatal shalat. Perbedaan terjadi antara makruh dan mubah. Jika dilihat dari sisi dalil  -dan  dalil  adalah hal yang sangat penting-  ternyata tidak ada hadits yang shahih tentang larangannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Sayyid Sabiq, dan diisyaratkan oleh Imam Al Baihaqi. Namun, telah shahih dari tabi’in bahwa hal itu adalah cara shalatnya orang Yahudi, dan tidak boleh menyerupai mereka dalam hal keduniaan, lebih-lebih ritual keagamaan.

Maka, pandangan kompromis yang benar dan bisa diterima dari fakta-fakta ini adalah seperti apa yang diulas Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah  sebagai berikut:
وقد اختلف الفقهاء في كراهته، فكرِهه الإِمامُ أحمد وغيرُه، وقالوا:هو فعلُ اليهود، وأباحه جماعة ولم يكرهوه، وقالوا: قد يكونُ أقربَ إلى تحصيل الخشوع الذي هو روحُ الصلاة وسرُّها ومقصودها. والصواب أن يُقال: إن كان تفتيحُ العين لا يُخِلُ بالخشوع، فهو أفضل، وإن كان يحول بينه وبين الخشوع لما في قبلته من الزخرفة والتزويق أو غيره مما يُشوش عليه قلبه، فهنالك لا يُكره التغميضُ قطعاً، والقولُ باستحبابه في هذا الحال أقربُ إلى أصول الشرع ومقاصده من القول بالكراهة، والله أعلم.
“Para fuqaha telah berselisih pendapat tentang kemakruhannya. Imam Ahmad dan lainnya memakruhkannya. Mereka mengatakan itu adalah perilaku Yahudi, segolongan yang lain membolehkannya tidak memakruhkan. Mereka mengatakan: Hal itu bisa mendekatkan seseorang untuk mendapatkan kekhusyu’an, dan itulah ruhnya shalat, rahasia dan maksudnya. Yang benar adalah: jika membuka mata tidak menodai kekhusyu’an maka itu lebih utama. Dan, jika justru hal itu mengganggu dan tidak membuatnya khusyu’ karena dihadapannya terdapat ukiran, lukisan, atau lainnya yang mebuat hatinya tidak tenang, maka secara qath’i (meyakinkan) memejamkan mata tidak makruh. Pendapat yang menganjurkan memejamkan mata dalam kondisi seperti ini lebih mendekati dasar-dasar syariat dan maksud-maksudnya, dibandingkan pendapat yang mengatakan makruh. Wallahu A’lam.” (Zaadul Ma’ad, 1/294. Muasasah Ar Risalah)

6.       Memberikan Isyarat Dengan Tangan Ketika Salam

Hal ini banyak dilakukan orang awam. Mereka membuka tangan kanannya dan membalikkannya  ketika salam pertama dan begitu pula dengan tangan kiri ketika salam kedua.

Dari Jabir bin Samurah, katanya:
كنا نصلي خلف النبي صلى الله عليه وسلم فقال: (ما بال هؤلاء يسلمون بأيديهم كأنها أذناب خيل شمس  إنما يكفي أحدكم أن يضع يده على فخذه ثم يقول: السلام عليكم السلام عليكم) رواه النسائي وغيره وهذا لفظه.
“Kami shalat di belakang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia bersabda: “Kenapa mereka mengucapkan salam sambil mengisyaratkan tangan mereka, tak ubahnya seperti kuda liar! Cukuplah bagi kalian meletakkan tangannya di atas pahanya, lalu mengucapkan: Assalamu ‘Alaikum, Assalamu ‘Alaikum. “(HR. An Nasa’i  No. 1185, dan lainnya, dan ini adalah lafaz darinya. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1185)

7.       Menutup Mulut dan Menjulurkan Kain Sarung/Gamis/Celana Panjang Hingga Ke Tanah

عن أبي هريرة قال:  نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن السدل في الصلاة، وأن يغطي الرجل فاه

“Dari Abu Hurairah, katanya: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang menjulurkan kain ke bawah ketika shalat dan seseorang menutup mulutnya.” (HR.  Abu Daud No. 643, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra,  No. 3125, Ibnu Khuzaimah No. 772,  dan Hakim No. 631, katanya shahih sesuai syarat  Bukhari dan Muslim. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 6883)

Apa Maksudnya?
قال الخطابي: السدل إرسال الثوب حتى يصيب الارض، وقال الكمال بن الهمام: ويصدق أيضا على لبس القباء من غير إدخال اليدين في كمه.
Berkata Al Khathabi: Menurunkan kain maksudnya menjulurkannya hingga menggeser di tanah. Berkata Kamaluddin Al Hummam: Termasuk dalam hal ini adalah mengenakan baju tanpa memasukkan tangan ke lobang tangannya. (Fiqhus Sunnah, 1/270)

Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan:
وقد اختلف أهل العلم في السدل في الصلاة. فكره بعضهم السدل في الصلاة وقالوا هكذا تصنع اليهود وقال بعضهم: إنما كره السدل في الصلاة إذا لم يكن عليه إلا ثوب واحد، فأما إذا سدل على القميص فلا بأس وهو قول أحمد. وكره ابن المبارك السدل في الصلاة.
“Para ulama telah berbeda pendapat tentang menjulurkan kain dalam shalat. Sebagian mereka memakruhkannya, mereka mengatakan itu adalah perbuatan Yahudi. Sebagian lain mengatakan bahwasanya pemakruhan itu hanya jika menggunakan satu pakaian saja, ada pun jika  yang dijulurkan pakaian itu adalah sebagai bagian luar dari gamis, maka tidak apa-apa, ini adalah pendapat Ahmad. Ibnul Mubarak memakruhakan menjulurkan kain dalam shalat.”  (Sunan At Tirmidzi No. 376)

8.       Shalat Ketika Makanan Telah Tersedia Dan Menahan Buang Air Besar dan  Buang Air Kecil

Dari ‘Aisyah Radhiallah ‘Anha bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
“Tidak ada shalat ketika makanan sudah terhidangkan, dan menahan dua hal yang paling busuk (menahan buang air besar dan kencing).” (HR. Muslim No. 559, Abu Daud No. 89, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 4816, Ibnu Khuzaimah No. 933,  Ibnu Hibban No. 2072, dari Abu Hurairah, tanpa kalimat: “tidak ada shalat ketika makanan sudah terhidangkan.”)

Hadits ini diperkuat oleh hadits berikut:      
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وُضِعَ عَشَاءُ أَحَدِكُمْ وَأُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ وَلَا يَعْجَلْ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهُ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُوضَعُ لَهُ الطَّعَامُ وَتُقَامُ الصَّلَاةُ فَلَا يَأْتِيهَا حَتَّى يَفْرُغَ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قِرَاءَةَ الْإِمَامِ
              Dari Ibnu Umar dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Jika telah dihidangkan makan malam, dan waktu shalat telah datang, maka mulailah makan malam dan jangan tergesa-gesa sampai selesai.”  Ibnu Umar pernah dihidangkan makan dan shalat tengah didirikan, namun dia tidak mengerjakannya sampai dia menyelesaikan makannya, dan dia benar-benar mendengar bacaan  Imam.” (HR. Bukhari No. 640,641,642, Muslim No. 557, 558,559, 560.  Ibnu Majah No. 933, 934)

Imam An Nawawi  Rahimahullah berkata:
فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث كَرَاهَة الصَّلَاة بِحَضْرَةِ الطَّعَام الَّذِي يُرِيد أَكْله ، لِمَا فِيهِ مِنْ اِشْتِغَال الْقَلْب بِهِ ، وَذَهَاب كَمَالِ الْخُشُوع ، وَكَرَاهَتهَا مَعَ مُدَافَعَة الْأَخْبَثِينَ وَهُمَا : الْبَوْل وَالْغَائِط ، وَيَلْحَق بِهَذَا مَا كَانَ فِي مَعْنَاهُ يَشْغَل الْقَلْب وَيُذْهِب كَمَال الْخُشُوع
       “Hadits-hadits ini menunjukkan kemakruhan melaksanakan shalat ketika makanan yang diinginkan  telah tersedia, karena hal itu akan membuat hatinya terganggu, dan hilangnya kesempurnaan khusyu’, dan juga dimakruhkan melaksanakan shalat ketika menahan dua hal yang paling busuk, yaitu kencing dan buang air besar.  Karena hal ini mencakup makna menyibukkan hati dan hilangnya kesempurnaan khusyu’.” (Al Minhaj Syarh   Shahih  Muslim,  2/321. Mawqi’ Ruh Al Islam)

          Bahkan kalangan madzhab Zhahiriyah menganggap batal shalat dalam keadaan seperti itu:
وَنَقَلَ الْقَاضِي عِيَاض عَنْ أَهْل الظَّاهِر أَنَّهَا بَاطِلَة
            “Dinukil  oleh Al Qadhi ‘Iyadh dari ahluzh zhahir, bahwa hal  itu batal shalatnya.” (‘Aunul Ma’bud, 1/113. Syamilah)

Bersambung

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

QS. Al-Ma’arij (Bag. 1)

Oleh: Dr. Saiful Bahri, M.A

Mukaddimah: Batas-Batas Ciptaan Allah

Surat Al-Ma’ârij diturunkan Allah setelah Surat Al-Hâqqah, juga seperti urutannya dalam mushaf usmany. Penamaan surat al-Ma’ârij diambil dari ayat ketiga yang memuat kata tersebut. Yaitu bentuk plural (jama’) darial-mi’raj yang berarti tempat naik ([1]).

Allah pernah menidurkan Nabi Uzeir as. selama seratus tahun, tapi menurut perkiraan beliau hanya sehari atau beberapa hari ([2]). Demikian juga Ashabul Kahfi, pemuda-pemuda beriman yang tangguh di zaman kejayaan Romawi itu ditidurkan Allah selama 300 tahun penanggalan matahari atau sama dengan 309 tahun penanggalan bulan ([3]). Sebelumnya, mereka mengira bahwa mereka tertidur dalam gua selama setengah hari, sehari atau sehari semalam. Tapi di luar gua terjadi jutaan peristiwa. Lebih dari 40 Kaisar Romawi berganti memegang kekuasaan. Yang di dalam gua tiada mengetahui apa yang terjadi di luar gua. Yang di luar gua tiada sedikit pun tahu apa yang terjadi di dalam gua. Sehari bagi mereka sama dengan tiga ratus tahun bagi manusia di luar gua.

Allahlah yang menyetandarkan batasan waktu tersebut. Bahkan menghilangkan limit antara waktu dan peristiwa. Karena waktu merupakan salah satu makhluk ciptaan-Nya.

Ketika seorang kafir meminta diturunkan adzab yang bila datang ia tak kuasa menahannya. Allah yang akan menurunkannya. Lidah para rasul-Nya hanya sebagai penyambung risalah dari Tuhan mereka. Dialah yang mempunyai tempat naik (al-mi`raj). Malaikat-malaikat-Nya perlu waktu satu hari untuk sampai di sana yang kadarnya sama dengan limapuluh ribu tahun bagi manusia ([4]). Atau seribu tahun minimalnya bila kita hitung-hitung dengan perhitungan kita sebagai manusia([5]).

Jarak antara Masjidil Haram (Makkah) dan Masjidil Aqsha (Al-Quds) berbilang bulan bila ditempuh dengan kendaraan unta. Hamba Allah, Muhammad bin Abdullah hanya dengan setengah malam menempuhnya atas titah-Nya. Itu belum dengan perjalanan lengkap ke tujuh langit dan sidratul muntaha yang juga memakan waktu setengah malam saja. Kemudian kembali ke tempat semula sebelum sang fajar menyingsing.

Saat itu, ribuan manusia terlelap dalam mimpi malam, tiada tahu apa yang terjadi. Kepergian anak yatim dari kaum mereka dalam perjalanan panjang yang singkat setelah dirundung duka dengan kepergian dua kekasihnya; Paman dan Istri tercinta. Allah karuniakan ketenangan kepadanya, sebagai pelipur lara. Sitar yang menjadi pembatas antara hakikat dan kehidupan manusia yang bernama waktu malam itu tak berlaku, telah dihilangkan penciptanya. Sehingga setengah malam saja sudah cukup untuk menempuh jarak yang setidaknya menurut perhitungan manusia, jutaan bahkan milyaran mil, bahkan jutaan tahun cahaya menurut takaran para ilmuwan.

Satu hari sama dengan 100 tahun. Satu hari sama dengan 300 tahun. Satu hari sama dengan 1000 tahun. Satu hari sama dengan 5000 tahun. Pembatas itu  hanya Allah saja yang mengetahui.

Kesabaran yang Baik

Pada ayat selanjutnya Allah memerintahkan “Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik”. (QS. Al-Ma`arij: 5) Petuah ini tidaklah mengada-ada karena kesabaran manusia yang yakin akan kekuasaan Tuhannya merupakan penangkal kebiasaan dan sifat-sifat buruk berkeluh kesah lagi amat kikir (sebagaimana dijelaskan lebih lanjut pada ayat 19-21). Dan secara khusus, terutama bagi Nabi Muhammad dan para pengikutnya yang tak henti-henti menerima tekanan dan teror fisik dan psikis dari kaum kuffar Quraisy. Itulah bedanya, beda sudut pandang antara orang yang beriman dan kaum pembangkang. Yaitu anggapan tentang jeda waktu yang diberikan pada manusia. Tentang azab bagi mereka yang memintanya sendiri. Atau tentang kemenangan dan janji Allah untuk orang-orang yang mau mengimaninya.

“Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu jauh (mustahil). Sedangkan Kami memandangnya dekat (pasti terjadi)”.(QS. Al-Ma`arij:6-7)

Karena Allah sajalah yang membuat limit waktu tersebut bahkan menghilangkannya. Sedang manusia dengan segala keterbatasannya terikat oleh limit kehidupan bernama waktu.

Hari yang pasti itu tergambar jelas di mata orang-orang bertakwa. Bahkan ketakutan mereka melebihi orang-orang yang seharusnya lebih takut akan hari kebinasaan itu.

📌”Pada hari ketika langit menjadi seperti luluhan perak. Dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (berterbangan). Dan tak ada seorang teman akrabpun menanyakan temannya. Sedang mereka saling memandang. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari azab hari itu dengan anak-anaknya. Dan isterinya serta saudaranya, juga familinya yang melindunginya (di dunia). Dan orang-orang di atas bumi seluruhnya kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya”. (QS. Al-Ma’ârij:8-14)

Guratan sesal yang nyata. Bagi orang-orang yang mendustakannya, bahkan menganjurkan orang-orang untuk tidak mempercayainya.

Nantinya, setelah semuanya dihisab dan ditentukan tempat akhirnya, mereka masih terus berharap ada tebusan yang bisa menghindarkan mereka dari kemurkaan Allah. Atau setidaknya dapat mengurangi siksaan yang akan mereka dapatkan sebagai pembalasan perbuatan buruk mereka.

”Sekali-kali tidak dapat, Sesungguhnya neraka itu adalah api yang bergolak. Yang mengelupas kulit kepala. Yang memanggil orang yang membelakangi dan yang berpaling (dari agama). Serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya”. (QS. Al-Ma’ârij: 15-18)

Bersambung

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Memahami Konsep Jihad

Pemateri: Ustadz Syamsuddin Arif

Tidak ada istilah paling sering disebut orang belakangan ini kecuali kata ‘terorisme’ dan ‘jihad’.

Pengaburan dan kejahilan sebagian orang membuat kesan seolah-olah dua kata ini sinonim atau sama artinya.

Karena gagal atau salah memahami konsep jihad dan bahkan melupakan sama sekali konteks sejarah, hukum, rukun, syarat dan adab-adabnya, terjadilah berbagai macam aksi dan reaksi yang merugikan, distorsi dan disfungsi yang kontraproduktif.

Menurut Sayyid Sabiq, ‘jihad’ berasal dari kata ‘juhd’, artinya upaya, usaha, kerja keras dan perjuangan.

Seseorang dikatakan berjihad apabila ia berusaha mati-matian dengan mengerahkan segenap kemampuan fisik maupun materiil dalam memerangi dan melawan musuh agama (lihat: Fiqh as-Sunnah, Beirut: Mu’assasat ar-Risalah, 1422 H/2002, 3:79).

Dengan kata lain, berjihad sama dengan berperang (qital), seperti dimaksud dalam imperatif ini: jaahidi l-kuffar wa l-munafiqin (QS 9:73 dan 66:9).

Adapun hadis riwayat Imam al-Bayhaqi dan al-Baghdadi yang menyatakan bahwa perang melawan hawa nafsu adalah ‘jihad akbar’, sebagian ulama seperti az-Zayn al-‘Iraqi dan Ibn Hajar al-‘Asqalani menilainya sebagai hadits lemah.

Dalam sejarah Islam, perintah jihad dalam arti qital baru turun di Madinah, pada tahun ke-2 Hijriah, atau kurang lebih 14 tahun setelah beliau berdakwah, mengajak orang kepada Islam, memperkenalkan dan mengajarkannya baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.

Selama lebih dari satu dekade di Mekkah Rasulullah SAW diperintahkan untuk menghindari konfrontasi dengan kaum pagan.

Beliau disuruh bersabar dan memaafkan mereka yang tidak henti-hentinya melakukan intimidasi dan teror.

Seperti kita ketahui, teroris-teroris semacam Abu Jahl ibn Hisyam dan Abu Lahab tidak hanya menolak, tapi juga merintangi dan berusaha melumpuhkan dakwah Islam, seringkali bahkan dengan kekerasan dan penyiksaan (torture). Namun Allah berfirman, fa-shfah ‘anhum wa qul salam, maafkan mereka dan katakanlah salam perdamaian! (QS 43:89).

Beritahukan kaum beriman, hendaklah mereka mengampuni orang-orang yang tidak mengharapkan hari-hari Allah (QS 45:14).

Kaum Muslim pada masa itu juga dilarang membalas kekerasan dengan kekerasan.

Mereka dipuji karena mampu bersabar dan membalas kejahatan dengan kebaikan, wa yadra’una bi l-hasanati s-sayyi’ah (QS 13:22).

Yang menjadi prioritas pada masa itu adalah pembinaan individu dan pembentukan jamaah Muslim yang solid (Imam Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Beirut, al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1416 H/1995, jilid 3, hlm. 213).

Penindasan, kezaliman dan teror kaum kafir Quraisy terhadap komunitas Muslim mencapai klimaksnya ketika Rasulullah SAW dan para pengikutnya mulai dipersekusi.

Saat itu di Mekkah hampir tidak ada lagi ruang yang tersisa untuk kaum Muslim menghirup kebebasan beragama.

Sejumlah petinggi-petinggi Quraisy telah berkonspirasi untuk ‘menghabisi’ Nabi Muhammad SAW, once and for all. Hanya ada dua pilihan bagi kaum Muslim pada waktu itu: bertahan di Mekkah tetapi keluar dari Islam, atau pun bertahan dalam Islam tetapi keluar dari Mekkah. Dan mereka memilih yang kedua: hijrah ke Madinah (lihat Imam Ibn Katsir, as-Sirah an-Nabawiyyah, ed. Mushthafa Abdul Wahid, Beirut, Dar al-Fikr, 1398 H/1978, jilid 2, hlm. 213-266).

Di Madinah, Rasulullah SAW melakukan penataan ke dalam dan perluasan sayap dakwah Islam ke luar. Beliau mendirikan masjid, memimpin shalat jum’at, mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, melakukan diplomasi, negosiasi dan ekspedisi dakwah, baik dengan komunitas lokal (seperti kaum Yahudi dengan membuat Perjanjian Madinah), maupun dengan komunitas internasional (dengan para kepala negara di sekelilingnya).

Kemudian turun pula perintah adzan, menyeru orang untuk shalat berjama’ah, dan perintah berpuasa di bulan Ramadhan. Dan tidak lama kemudian turunlah perintah berjihad (QS 22:39-41; 2:190-193 dan 2:216-218).

Dalam ayat-ayat tersebut di atas dijelaskan mengapa dan untuk apa jihad dilakukan. Yaitu, apabila orang Islam diperangi, dizalimi, dihalau dari kampung halamannya sendiri, semata-mata karena agama yang diyakininya itu.

Jihad diizinkan apabila jalan dakwah disekat, kaum Muslim dimusuhi dan diserang, dijajah dan dirampas hak-hak asasinya.

Apabila kaum kafir melancarkan ‘udwan, muqatalah, zhulm dan fitnah terhadap Islam dan umat Islam.

Oleh karena itu, tujuan jihad jelas,
– untuk mempertahankan diri dan menangkis serangan lawan,
– menegakkan agama Allah,
– melepaskan Umat Islam dari belenggu penindasan,
– menjamin dan melindungi hak-hak mereka,
– mengakhiri kezaliman dan permusuhan, demi terciptanya kedamaian dan keadilan (QS 4:75).

Musuh tidak dicari, namun kalau bertemu pantang lari.

Begitulah prinsip yang diajarkan (QS 8:15 dan 47:4).

Jihad hanya dihentikan jika musuh berhenti menyerang dan setuju berdamai, jika mereka berjanji tidak akan menekan dan memusuhi Umat Islam lagi (QS 2:193 dan 8:61).

Sudah barang tentu, jihad memerlukan kalkulasi yang cermat dan persiapan yang matang (QS 8:60), koordinasi yang mantap serta strategi yang tepat dan jitu (QS 61:4 dan 3:200).

Berjihad tidak boleh sembrono atau asal-asalan, tidak boleh membabi-buta dan mengikuti hawa nafsu belaka.

Perkara-perkara dalam berjihad

Ada banyak perkara yang perlu diperhatikan oleh seorang mujahid.

1. Pertama, niat yang betul, yakni li-i‘la’i kalimatillah, bukan untuk gagah-gagahan, cari popularitas, dan tujuan duniawi lainnya.

2. Kedua, harus dibawah komando seorang imam dan setelah ada deklarasi perang.

3. Ketiga, harus seizin kedua orangtua.

4. Keempat, harus banyak berzikir, berdoa dan bersabar.

5. Kelima, harus memberi kesempatan terakhir kepada musuh sebelum berperang dengan mengajak mereka masuk Islam atau membayar jizyah.

6. Keenam, dilarang membunuh kaum wanita, anak-anak, dan orang-orang lanjut usia.

7. Ketujuh, tidak boleh merusak lingkungan hidup, rumah-rumah ibadah dan fasilitas umum (lihat Abu Bakr al-Jaza’iri, Minhajul Muslim, Kairo, Dar al-Aqidah, hlm. 272-275).

Berjihad merupakan fardhu kifayah. Artinya, tidak perlu semuanya pergi ke medan perang. Harus ada juga yang ditugaskan membangun Umat di sektor-sektor lain, terutama pendidikan (QS 9:122).

Jihad bisa menjadi fardhu ayn apabila kampung halaman kita diserang dan diduduki musuh (seperti terjadi pada zaman kolonial dahulu, sekarang, maupun yang akan datang).

Namun demikian, terdapat puluhan ayat al-Qur’an dan hadits Nabi SAW yang menerangkan keutamaan jihad dan penghargaan yang akan diperoleh oleh seorang mujahid, apalagi untuk mereka yang gugur sebagai syuhada’ (Imam an-Nawawi, Riyadh as-Shalihin, Damaskus: Dar Ibn Katsir, 1422 H/2002, 415-435).

Dalam konteks Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya dewasa ini, dimana Islam belum secara total direalisasikan, para tokoh gerakan Islam umumnya berpendapat bahwa agenda utama yang mesti didahulukan saat ini adalah membina individu dan organisasi Muslim serta membangun kekuatan Umat pada semua lini.

Dengan kata lain, belum tiba masanya bagi orang Islam sekarang ini untuk melakukan konfrontasi militer melainkan dalam kasus-kasus yang kita semua maklum (lihat: Husayn ibn Muhammad ibn Ali Jabir, at-Thariq ila Jama’at al-Muslimin, Dar al-Wafa’, 1407 H/1987).

Wallahu a’lam.

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

KELUARGA HARMONIS, BUKAN BERARTI TANPA PERTENGKARAN (Bag-1)

Pemateri: Ustadzah Dra. INDRA ASIH

Keluarga harmonis bukanlah keluarga yang menghindari konflik atau pertengkaran tapi justru menghadapinya dan mengkomunikasikannya. Menghargai perbedaan pendapat dan menyesuaikan satu sama lain, tanpa ada penghakiman di dalamnya.

Karena dari konflik atau pertengkaran dan perbedaan yang timbul, kita jadi lebih mengenal satu sama lain.

Selanjutnga perbedaan yang ada tersebut  bisa berpotensi untuk menguatkan hubungan karena kedua belah pihak berusaha untuk saling menyesuaikan satu sama lain.

Menjadi bahaya jika konflik dihindari atau salah satu pihak terus mengalah. Hubungan akan melelahkan dan suasana harmonis yang sesungguhnya sulit tercipta.

Tapi, memang banyak orang salah memandang konflik sehingga orang cenderung menghindari konflik dan tidak mengkomunikasikannya. Akibatnya, salah persepsi yang ada bisa terus berlanjut antara satu sama lain. Hal seperti ini tidak sehat. Harmonis bukanlah tidak ada perbedaan tetapi bagaimana mengharmonisasikan setiap perbedaan yang ada menjadi hubungan yang sehat dan kuat.

☝Ketika Pertengkaran Terjadi

Dalam keluarga harmonis pertengkaranpun kadang terjadi diantara mereka. Sebagaimana hal ini juga mungkin terjadi di keluarga kita. Hanya saja, pertengkaran yang terjadi di keluarga yang dewasa sangat berbeda dengan pertengkaran yang terjadi di keluarga yang tidak dewasa.

Keluarga yang tidak dewasa, mereka bertengkar tanpa aturan. Satu sama lain saling menguasi dan saling mendzalimi. Sedikitpun tidak ada upaya untuk mencari solusi. Yang penting aku menang, yang penting aku mendapat hakku. Tak jarang pertengkaran semacam ini sampai memunculkan caci-maki, kekerasan, atau bahkan pembunuhan.

Berbeda dengan keluarga yang dewasa, sekalipun mereka bertengkar, pertengkaran mereka dilakukan tanpa melanggar aturan. Sekalipun mereka saling sakit hati, mereka tetap menjaga jangan sampai mendzalimi pasangannya. Dan mereka berusaha untuk menemukan solusinya dari pertengkaran ini. Umumnya sifat semacam ini muncul pada keluarga yang lemah lembut, memahami aturan syariat dalam fikih keluarga, dan sadar akan hak dan kewajiban masing-masing.

Apapun kesedihan yang ditimbulkan dari pertengakaran yang kita alami, yakinlah bahwa hal itu merupakan bagian dari ujian hidup.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidak ada satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung, sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di badannya, kecuali Allah jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari).

Renungkan pula bahwa bisa jadi pertengkaran ini disebabkan dosa yang pernah kita lakukan. Kemudian Allah memberikan hukuman batin dalam bentuk masalah keluarga. Perlu untuk menghadirkan perasaan bahwa Allah akan menggugurkan dosa-dosa kita dengan kesedihan yang kita alami. Lalu kita bertaubat dan memohon ampun kepada Allah SWT.

Yang Harus Dihindari dalam Pertengkaran Rumah Tangga

Dalam hadis dari Hakim bin Muawiyah Al-Qusyairi, dari ayahnya, bahwa beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kewajiban suami kepada istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، أَوِ اكْتَسَبْتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْت

“Kamu harus memberi makan kepadanya sesuai yang kamu makan, kamu harus memberi pakaian kepadanya sesuai kemampuanmu memberi pakaian, jangan memukul wajah, jangan kamu menjelekannya, dan jangan kamu melakukan boikot kecuali di rumah.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).

Hadis ini merupakan nasehat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para suami. Tentu saja, beberapa larangan yang disebutkan dalam hadis ini juga berlaku bagi wanita.

Dari hadis ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati agar:

1. Menghindari kekerasan

Dalam Al-Quran Allah membolehkan seorang suami untuk memukul istrinya ketika sang istri membangkang. Sebagaimana firman Allah di surat An-Nisa:

وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan tidak tunduk, nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya..(QS. An-Nisa: 34)

Namun ini izin ini tidak berlaku secara mutlak. Sehingga suami bebas melampiaskan kemarahannya dengan menganiaya istrinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan batasan lain tentang izin memukul,

A. Tidak boleh di daerah kepala

Sebagaimana sabda beliau, “jangan memukul wajah.” Mencakup kata wajah adalah semua kepala. Karena kepala manusia adalah hal yang paling penting. Ada banyak organ vital yang menjadi pusat indera manusia.

B. Tidak boleh menyakitkan

Batasan ini disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbah beliau ketika di Arafah.

إِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ

“Jika istri kalian melakukan pelanggaran itu, maka pukullah dia dengan pukulan yang tidak menyakitkan.” (HR. Muslim)

Atha’ bin Abi Rabah pernah bertanya kepada Ibnu Abbas,

قلت لابن عباس : ما الضرب غير المبرح ؟ قال : السواك وشبهه يضربها به

Saya pernah bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Apa maksud pukulan yang tidak menyakititkan?’ Beliau menjawab, “Pukulan dengan kayu siwak (sikat gigi) atau semacamnya.” (HR. At-Thabari).

Termasuk makna pukulan yang tidak menyakitkan adalah pukulan yang tidak meninggalkan bekas, seperti memar, atau bahkan menimbulkan luka dan mengeluarkan darah. Karena sejatinya, pukulan itu tidak bertujuan untuk menyakiti, tapi pukulan itu dalam rangka mendidik istri.

Namun, meskipun ada izin untuk memukul ringan, tidak memukul tentu jauh lebih baik. Karena wanita yang lemah bukanlah lawan yang seimbang bagi lelaki yang gagah. Lawan bagi suami yang sesunguhnya adalah emosinya. Suami yang mampu menahan emosi, sehingga tidak menyikiti istrinya, itulah lelaki hebat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الغَضَبِ

“Orang yang hebat bukahlah orang yang sering menang dalam perkelahian. Namun orang hebat adalah orang yang bisa menahan emosi ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Seperti itulah yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

A’isyah menceritakan,

مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ، وَلَا امْرَأَةً، وَلَا خَادِمًا، إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul wanita maupun budak dengan tangan beliau sedikitpun. Padahal beliau berjihad di jalan Allah. (HR. Muslim).

Maksud pernyataan A’isyah, “Padahal beliau berjihad di jalan Allah” untuk membuktikan bahwa sejatinya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok yang pemberani. Beliau pemberani di hadapan musuh, bukan pemberani di hadapan orang lemah.

Beliau tidak memukul wanita atau orang lemah di sekitarnya. Karena memukul orang lemah bukan bagian dari sifat ‘pemberani’.

2. ….bersambung pekan depan, insyaa Allah

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Aqiqah Setelah Hari Ketujuh dan Ketika Dewasa

Oleh: Ust. Farid Nu’man Hasan

Assalamualaikum wrwb.
Izin bertanya ust,
Bisa tolong di jelaskan kembali tentang aqiqah ust?
dari referensi yang saya tahu, waktu pemotongan hewan aqiqah itu di hari ke 7, atau 14 atau 21.
Yang jadi pertanyaan saya, bagaimana kalau aqiqah tidak dilaksanakan pada hari ke 7, 14 atau 21 ?
Karena alasan tidak memiliki biaya untuk hitungan hari itu. Apakah aqiqah tetap bisa dilaksanakan saat sudah memiliki biaya serta hukumnya bagaimana?
(Iman-I51)

***

Para ulama sepakat bahwa hari ketujuh dari kelahiran bayi adalah paling utama (afdhal), tetapi mereka berbeda pendapat tentang aqiqah selain hari ketujuh, bolehkah atau tidak. Kebanyakan ulama membolehkannya. Ada yang mengatakan sama sekali tidak boleh dan jika dilakukan, maka itu bukanlah aqiqah. Sebagian lain ada yang membolehkan pada hari ke 14 dan 21, ada pula yang membolehkan sebelum hari ke tujuh, bahkan ada yang membolehkan kapan pun dia memiliki kemampuan, walau sudah dewasa.

Dari Samurah bin Jundub, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Setiap bayi digadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur kepalanya, dan diberikan nama.” (HR. Abu Daud No. 2838. Ahmad No. 19382. Ad Darimi No. 2021. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 8377. Hadits ini shahih. lihat Syaikh Al Albani, Irwa’ Al Ghalil No. 1165. Al Maktab Al Islami. Imam An Nawawi, Al Adzkar, No. 843. Darul Fikr)

Imam Asy Syaukani mengomentari demikian:

“Dalam hadits ini terdapat pensyariatan penamaan pada hari ketujuh, dan sebagai bantahan bagi pihak yang mengatakan bahwa penamaan itu pada saat penyembelihan, dan disyariatkannya pula menghilangkan gangguan (mencukur rambut), dan menyembelih aqiqah pada hari itu.” (Nailul Authar , 5/135. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi, menjelaskan demikian:

“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa waktu aqiqah adalah hari ke tujuh kelahiran. Sesungguhnya tidak disyariatkan sebelum dan sesudahnya. Ada yang mengatakan: Sudah mencukupi dilakukan pada hari ke 14 dan 21, sebab telah dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dari Abdullah bin Buraidah, dari Ayahnya, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda: ‘Aqiqah disembelih pada hari ke- 7, 14, dan 21.’ Hadits ini disebutkan dalam kitab Subulus Salam. Imam At Tirmidzi mengutip dari para ulama bahwa mereka menyukai menyembelih aqiqah pada hari ke 7, jika dia belum siap maka hari ke 14, jika dia belum siap maka di hari ke 21.” (‘Aunul Ma’bud, 8/28. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Para Imam Ahlus Sunnah pun membolehkan aqiqah dilakukan setelah hari ketujuh kelahiran.

Berikut keterangannya:

“Abu Daud mengatakan dalam kitab Al Masail, aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) berkata: Aqiqah disembelih pada hari ke 7. Berkata Shalih bin Ahmad: “Ayahku (Imam Ahmad) berkata tentang aqiqah, bahwa disembelih pada hari ke 7, jika belum melaksanakannya maka hari ke 14, dan jika belum melaksanakannya aka hari ke 21. Berkata Al Maimuni: Aku bertanya kepada Abu Abdillah, kapankah dilaksanakannya aqiqah? Dia menjawab: ‘Ada pun ‘Aisyah mengatakan pada hari ke 7, 14, dan 21.’ Berkata Abu Thalib: Imam Ahmad berkata aqiqah disembelih pada satu hari, hari ke 21. Selesai.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal. 43. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Imam Ibnul Qayyim juga menceritakan bahwa Imam Hasan Al Bashri mewajibkan aqiqah pada hari ketujuh. Imam Laits bin Sa’ad mengatakan bahwa aqiqah dilakukan pada hari ketujuh kelahiran, jika belum siap, boleh saja dilakukan pada hari setelahnya, dan bukan kewajiban aqiqah pada hari ketujuh. Sementara Abu Umar (Ibnu Abdil Bar) mengatakan bahwa Imam Laits bin Sa’ad mewajibkan aqiqah hari ketujuh. Semenara ‘Atha lebih menyukai aqiqah dilakukan hari ketujuh dan mengakhirkannya hingga hari ketujuh selanjutnya (hari ke 14). Ini juga pendapat Ahmad, Ishaq, dan Asy Syafi’i, Malik tidak menambahkan hingga hari ke 14, sementara menurut Ibnu Wahhab tidak mengapa hingga hari ke 21. Ini juga pendapat Aisyah, ‘Atha, Ishaq, dan Ahmad. (Ibid, Hal. 44)

Tapi, perkataan Imam Ibnul Qayyim bahwa Imam Hasan Al Bashri mewajibkan di hari ketujuh bertentangan dengan riwayat dari Imam Ibnu Hazm  bahwa Imam Hasan Al Bashri membolehkan aqiqah ketika dewasa.

Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:

“Penyembelihan dilakukan pada hari ke tujuh setelah kelahiran jika dia lapang, jika tidak maka pada hari ke 14, jika tidak maka hari ke 21 dari hari kelahirannya. Jika masih sulit, maka bisa lakukan di hari apa pun. Dalam Hadits Al Baihaqi: “disembelih pada hari ke 7, 14, dan 21.” (Fiqhus Sunnah, 3/328. Darul Kitab Al ‘Arabi)

Demikian perselisihan ini, bahkan ada pula yang mengklaim bahwa secara ijma’ (aklamasi) tidak boleh aqiqah pada hari sebelum dan sesudah hari ke 7. Namun klaim ini lemah dan bertentangan dengan realita perselisihan yang ada.

Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:

“Pengarang Al Bahr mengutip dari Imam Yahya, bahwa menurut ijma’ aqiqah tidaklah sah dilakukan sebelum dan sesudah hari ke 7. Namun, klaim adanya ijma’ ini hanyalah prasangkaan semata, tidakkah Anda mengetahui perselisihan yang sudah disebutkan.” (Nailul Authar, 5/133. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah)

Bolehkah Aqiqah setelah Dewasa?

Para ulama berbeda pendapat, antara membolehkan dan tidak. Mereka yang melarang beralasan bahwa hadits tentang bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengaqiqahkan dirinya setelah dewasa adalah dhaif.

Dari Anas bin Malik, katanya:

 عق رسول الله صلى الله عليه وسلم عن نفسه بعد ما بعث بالنبوة  

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah beliau diangkat menjadi nabi.” (HR. Abdurrazaq, No. 7960)

Hadits ini sering dijadikan dalil bolehnya aqiqah ketika sudah dewasa.

Shahihkah hadits ini?  Sanad hadits ini dhaif menurut para ulama.

Lantaran dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muharrar. Para Imam Ahli hadits tidaklah menggunakan hadits darinya.

Yahya bin Ma’in mengatakan, Abdullah bin Muharrar bukanlah apa-apa (tidak dipandang).Amru bin Ali Ash Shairafi mengatakan, dia adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan).Ibnu Abi Hatim berkata: Aku bertanya kepada ayahku (Abu Hatim Ar Razi) tentang Abdullah bin Muharrar, dia menjawab: matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan), munkarul hadits (haditsnya munkar), dan dhaiful hadits (haditsnya lemah).Ibnul Mubarak meninggalkan haditsnya.  Abu Zur’ah mengatakan, dia adalah dhaiful hadits. (Imam Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wat Ta’dil, 5/176. Dar Ihya At Turats)

  Sementara Imam Bukhari mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah munkarul hadits. (Imam Bukhari, Adh Dhu’afa Ash Shaghir, Hal. 70, No. 195. Darul Ma’rifah)

Muhammad bin Ali Al Warraq mengatakan, ada seorang bertanya kepada Imam Ahmad tentang Abdullah bin Muharrar, beliau menjawab: manusia meninggalkan haditsnya. Utsman bin Said mengatakan: aku mendengar Yahya berkata: Abdullah bin Muharrar bukan orang yang bisa dipercaya. (Al Hafizh Al Uqaili, Adh Dhu’afa, 2/310. Darul Kutub Al ‘ilmiyah)

 Imam An Nasa’i mengatakan, Abdullah bin Muharrar adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). (Imam An Nasa’i, Adh Dhu’afa wal Matrukin, Hal. 200, No. 332)

 Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa Abdullah bin Muharrar adalah diantara hamba-hamba pilihan, sayangnya dia suka berbohong, tidak mengetahui, dan banyak memutarbalik-kan hadits, dan tidak faham. (Imam Az Zaila’i, Nashb Ar Rayyah, 1/297)

  Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa Abdullah bin Muharrar adalah seorang yang dhaif jiddan (lemah sekali). (Imam Ibnu Hajar,Talkhish Al Habir, 4/362. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

 Ada pun ulama yang mendhaifkan hadits ini adalah Al Hafizh Ibnu Hajar, Imam An Nawawi menyebutnya sebagai hadits batil, sedangkan Imam Al Baihaqi menyebutnya hadits munkar. (Ibid)

Oleh karena itu, dengan dasar dhaifnya hadits ini,  ulama kalangan Malikiyah dan sebagain Hambaliyah melarang aqiqah ketika sudah dewasa.
Tetapi, banyak pula imam kaum muslimin yang membolehkan.  Sebab hadits di atas memiliki beberapa syawahid (penguat), sehingga terangkat menjadi shahih.

Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Kitab Musykilul Atsar No. 883: Berkata kepada kami Al Hasan bin Abdullah bin Manshur Al Baalisi, berkata kepada kami Al Haitsam bin Jamil, berkatakepada kami Abdullah bin Mutsanna bin Anas, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu,  katanya

: أن النبي صلى الله عليه وسلم عق عن نفسه بعدما جاءته النبوة

Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah datang kepadanya nubuwwah (masa kenabian).

Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 994: Berkata kepada kami Ahmad, berkata kepada kami Al Haitsam (bin Jamil), berkata kepada kami Abdullah (bin Mutsanna), dari Tsumamah, dari  Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أن النبي عق عن نفسه بعد ما بعث نبيا

Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah diutus sebagai nabi

Ketiga, diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla, 7/528, Darul Fikr:  Kami meriwayatkan dari Ibnu Aiman, berkata kepada kami Ibrahim bin Ishaq As Siraaj, berkata kepada kami ‘Amru bin Muhammad An Naaqid, berkata kepada kami Al Haitsam bin Jamil, berkata kepada kami Abdullah bin Al Mutsanna bin Anas, berkata kepada kami Tsumamah bin Abdullah bin Anas, dari Anas, katanya:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَقَّ، عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا جَاءَتْهُ النُّبُوَّةُ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah datang kepadanya masa kenabian.

Syaikh Al Albani memberikan komentar tentang semua riwayat penguat ini:

قلت : و هذا إسناد حسن رجاله ممن احتج بهم البخاري في “ صحيحه ” غير الهيثم ابن جميل ، و هو ثقة حافظ من شيوخ الإمام أحم              

Aku berkata: Isnad hadits ini hasan, para perawinya adalah orang-orang yang dijadikan hujah oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, kecuali Al Haitsam bin Jamil, dia adalah terpercaya, seorang haafizh, dan termasuk guru dari Imam Ahmad. (As Silsilah Ash Shahihah, 6/502)  Sehingga, walau sanad hadits riwayat Imam Abdurrazzaq adalah dhaif –karena di dalamnya ada  Abdullah bin  Muharrar yang telah disepakati kedhaifannya-  Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menshahihkan hadits ini dengan status SHAHIH LI GHAIRIHI, karena beberapa riwayat di atas yang menguatkannya. (Ibid)

Ulama yang membolehkan aqiqah ketika sudah dewasa adalah Imam Muhammad bin Sirin, Al Hasan Al Bashri, Atha’, sebagian Hambaliyah dan Syafi’iyah.

Imam Ahmad ditanya tentang bolehkah seseorang mengaqiqahkan dirinya ketika sudah dewasa? Imam Ibnul Qayyim menyebutkan dalam kitabnya sebagai berikut:

وقال أن فعله إنسان لم أكرهه  “

Dia (Imam Ahmad) berkata: Aku tidak memakruhkan orang yang melakukannya.” (Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal 61. Cet. 1. 1983M-1403H.Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

 Imam Muhammad bin Sirin berkata:

لَوْ أَعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يُعَقَّ عَنِّي ، لَعَقَقْتُ عَنْ نَفْسِي.

Seandainya aku tahu aku belum diaqiqahkan, niscaya akan aku aqiqahkan diriku sendiri. (Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 24718)

Imam Al Hasan Al Bashri berkata:

إذا لم يعق عنك ، فعق عن نفسك و إن كنت رجلا              

Jika dirimu belum diaqiqahkan, maka aqiqahkan buat dirimu sendiri, jika memang kamu adalah laki-laki. (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 8/322)

Dan, inilah pendapat yang lebih pas, Insya Allah. Hanya saja di negeri kita umumnya, memang  tidak lazim aqiqah ketika sudah dewasa. Aquulu qauliy haadza wa astaghfirullahu liy wa lakum

Wallahu A’lam  wa Lillahil ‘Izzah

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Jumlah Kambing Aqiqah

Untuk jumlah kambing yg disembelih bagaimana ketentuannya? Soalnya di daerah kampung saya di padang, ketentuan nya itu untuk laki2 1 kambing jantan, untuk perempuan 1 kambing betina.
Mohon penjelasan nya ust. Jazakallah.

***

Bismillah wal hamdulilkah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ba’d:

Aqiqah buat bayi laki-laki afdhalnya dua ekor kambing, dalilnya:

Dari  Ummu Kurzin Radhiallahu ‘Anha, katanya:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافَأَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, bahwa untuk anak laki-laki adalah dua kambing yang sepadan, dan bagi anak perempuan adalah satu ekor kambing.” (HR. At Tirmidzi No. 1550. Ibnu Majah  No. 3162. An Nasa’i No. 4141. Lafaz ini milik Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Wa Dhaif Sunan An Nasa’i  No. 4215)

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم أن نعق عن الغلام شاتين، وعن الجارية شاة.

            “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami untuk meng-aqiqahkan anak laki dengan dua ekor kambing, dan anak perempuan seekor kambing.” (HR. Ibnu Majah No. 3163. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil No. 1166)

Tapi, boleh dan sah jika hanya stau ekor kambing, dalilnya:

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu Anhuma:

 أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا

“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam meng-aqiqahkan Hasan dan Husein masing-masing satu kambing kibas.” (HR. Abu Daud No. 2841. Dishahihkan oleh Abdul Haq dan Ibnu Daqiq Al ‘Id, lihat Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al HabirNo. 1983. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Juga dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Irwa’ Al Ghalil No. 1167. Maktab Al Islami)

Imam Abu Thayyib mengatakan:

قال الحافظ شمس الدين بن القيم رحمه الله: احتج بهذا من يقول الذكر والأنثي في العقيقة سواء لا يفضل أحدهما على الآخر وأنها كبش كبش كقول مالك وغيره.

                “Berkata Al Hafizh Syamsuddin bin Al Qayyim Rahimahullah: Hadits ini dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan bahwa bayi laki dan perempuan adalah  SAMA SAJA dalam aqiqah, tidak ada kelebihan antara satu atas yang lainnya, yaitu masing-masing satu kibas, sebagaimana pendapat Malik dan lainnya.” (Aunul Ma’bud, 8/30. Lihat juga Imam Ibnul Qayyim, Hasyiyah  ‘Ala Sunan Abi Daud, 8/30. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Selain Imam Malik, ini juga pendapat kalangan sahabat Nabi seperti Ibnu Umar, Urwah bin Zubeir, dan lainnya. Tetapi mayoritas ulama mengatakan bahwa dua ekor buat bayi laki-laki adalah AFDHAL (lebih utama), sedangkan satu ekor kambing BOLEH dan SAH.

Berkata Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim Abadi Rahimahullah:

فَإِنَّ الْعَدَد لَيْسَ شَرْطًا بَلْ مُسْتَحَبّ اِنْتَهَى .

“Sesungguhnya jumlah tersebut bukanlah syarat, tetapi anjuran saja. Selesai.” (‘Aunul Ma’bud, 8/31. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah juga mengatakan:

ويجوز ذبح شاة واحدة عن الغلام لفعل الرسول صلى الله عليه وسلم ذلك مع الحسن والحسين – رضي الله عنهما

                “Dibolehkan menyembelih satu ekor kambing  untuk anak laki-laki, lantaran Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan hal itu terhadap Hasan dan HuseinRadhiallahu ‘Anhuma.” (Fiqhus Sunnah, 3/328. Darul Kitab Al ‘Arabi)

 Disebutkan dalam Nailul Authar sebagai berikut:

أَنَّ الشَّاتَيْنِ مُسْتَحَبَّةٌ فَقَطْ وَلَيْسَتْ بِمُتَعَيَّنَةٍ وَالشَّاةُ جَائِزَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ .

                “Sesungguhnya mbing adalah sunah saja, bukan kewajiban, dan satu kambing adalah boleh, tidak sunah.” (Nailul Authar, 5/134. Maktabah Al Islamiyah Syabab Al Azhar)

                Maka, tidak samar lagi, bahwa dua kambing untuk bayi laki-laki adalahafdhal (lebih utama) dan bukan wajib, sedangkan satu kambing adalah boleh. Sedangkan, untuk bayi perempuan, telah ijma’ (sepakat) semua ulama adalah satu kambing.

                Berikut penjelasannya:

وأما الأنثى فالمشروع في العقيقة عنها شاة واحدة إجماعا كما في البحر .

                “Ada pun bayi perempuan, telah ijma’ disyariatkan aqiqah dengan satu ekor kambing, sebagaimana tertera dalam kitab Al Bahr.” (Ibid)

    Wallahu A’lam

Farid Nu’man Hasan

Dipersembahkan oleh:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Jangan Asal Bilang Sudah Kenal…

Pemateri: Ust. Abdullah Haidir Lc.

Mengenal orang memang tidak mudah, apalagi memberi tazkiyah (rekomendasi kelakuan baik), tidak cukup orang itu kelihatan rajin shalat di masjid, meskipun hal ini merupakan catatan penting.

Suatu saat Umar bin Khattab kedatangan seseorang yang ingin memberikan persaksian di hadapannya.

Maka Umar berkata kepadanya, “Datangkan orang yang dapat memperkenalkanmu.”

Maka datanglah seseorang. Lalu Umar bertanya kepadanya,

“Apakah kamu men-tazkiyah-nya? Apakah kamu telah mengenalnya?”

“Ya.” Jawab orang itu

“Bagaimana kamu mengenalnya? Apakah kamu menjadi tetangganya sehingga kamu mengetahui pergi pulangnya?” Tanya Umar lagi

“Tidak.”

“Apakah kamu pernah bertransaksi dinar dan dirham (uang) kepadanya sehingga engkau mengetahui amanahnya orang ini?”

“Tidak.”

“Apakah kamu pernah safar bersamanya sehingga kamu telah mengetahui akhlak orang ini yang sesungguhnya?”

“Tidak.”

“Tampaknya kamu cuma melihat dia di masjid sujud dan ruku, lalu kamu mentazkiyah-nya?!” Kata Umar

“Ya.” Jawab orang itu.

Maka Umar bin Khattab berkata, “Pergilah, engkau sesungguhnya belum mengenalnya……”

Kisah ini diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam kitab ‘Al-Kifayah’.

Ibnu Katsir berkata, “Diriwayatkan oleh Al-Baghawi dengan sanad yang baik. Ibnu Hajar mengatakan bahwa atsar ini dishahihkan oleh Abu Ali As-Sakan.

Sementara Al-Uqaili menyatakan dha’if riwayat ini.

Syekh Al-Albany mencantumkan atsar ini dalam Kitab Irwa’ul Ghalil (8/260) dan beliau cenderung menyatakan shahih.

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…

Tiga Perkara

Pemateri: Ust. Abdullah Haidir Lc.

ثَلاَثُ مُهْلِكَاتٍ وَ ثَلاَثُ مُنْجِيَاتٍ وَ ثَلاَثُ كَفَّارَاتٍ وَ ثَلاَثُ دَرَجَاتٍ ;

Ada Tiga Perkara
Membinasakan,
Menyelamatkan,
Menghapuskan Dosa dan Meningkatkan Derajat

فَأَمَّا الْمُهْلِكاَتُ: فَشُحٌّ مُطَاعٌ وَ هَوًى مُتَّبَعٌ وَ إِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ

1. Adapun yang membinasakan;
Bakhil yang dituruti,
Hawa nafsu yang diikuti dan
Bangga terhadap diri sendiri.

وَ أَمَّا الْمُنْجِيَاتُ: فَالْعَدْلُ فِي الْغَضَبِ وَ الرِّضَا وَ الْقَصْدُ فِي الْفَقْرِ وَ الْغِنَى وَ خَشْيَةُ اللهِ تَعَالَى فِي السِّرِّ وَ الْعَلاَنِيَةِ ;

2. Adapun yang menyelamatkan adalah:
Adil saat marah maupun ridha,
Hemat  saat miskin maupun kaya, dan
Takut kepada Allah saat sendiri maupun ramai.

وَ أَمَّا الْكَفَّارَاتُ: فَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ وَ إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ فِي السَّبَرَاتِ وَ نَقْلُ اْلأَقْدَامِ إِلَى الْجَمَاعَاتِ ;

3. Adapun yang menghapus dosa adalah:
Menunggu waktu shalat (berikutnya) setelah shalat (sebelumnya),
Menyempurnakan wudhu saat cuaca sangat dingin dan
Melangkahkan kaki untuk menghadiri (shalat) jamaah.

وَ أَمَّا الدَّرَجَاتُ: فَإِطْعَامُ الطَّعَامِ وَ إِفْشَاءُ السَّلاَمِ وَ الصَّلاَةُ بِاللَّيْلِ وَ النَّاسُ نِيَامٌ (رواه الطبراني وحسنه الألباني في جامع الصغير

4. Adapun yang meninggikan derajat adalah:
Memberi makan,
Menebarkan salam dan
Shalat malam saat orang lain tertidur.”

(HR. Thabrani, dinyatakan hasan oleh Al-Albany dalam Jami Ash-Shagir)

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

Sebarkan! Raih pahala…