Oleh: Dr. Saiful Bahri, M.A
Materi sebelumnya http://www.iman-islam.com/2016/02/qs-nuh-bag-2.html?m=1
Kukuh Dalam Kesalahan
Lihatlah bagaimana mereka bersikukuh pada ego mereka. Para pemuka kaum menyeru tak henti-henti pada semua orang. Anehnya perkataan mereka lebih didengar daripada perkataan Nabi Nuh as. Padahal mereka jelas-jelas menjerumuskan kepada kesesatan.
”Dan mereka berkata: Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr”. (QS. 71: 23)
Wadd, suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr adalah nama-nama berhala yang mereka sembah.
Imam Bukhary meriwayatkan perkataan sahabat Ibnu Abbas ra.,”Tuhan-tuhan mereka ini kemudian disembah orang-orang di semenanjung Arab . Wadd disembah kabilah al-Kalb yang bertempat di Daumah al-Jandal, Suwwa’ disembah oleh Hudzail, Yaghuts oleh Murad dan Bani Ghutaif, Ya’uq disembah Kabilah Hamdan serta Nasr disembah Kabilah Hamir di Yaman …” ([6]).
Dulunya mereka adalah orang-orang shalih yang baik yang kemudian dikultuskan secara berlebihan oleh orang-orang yang datang setelah mereka. Syaitan pun bermain di sana untuk menyesatkan manusia.
”Dan sesudahnya mereka menyesatkan kebanyakan (manusia); dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan. Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka. Maka mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah”. (QS. 71: 24-25)
Karena itu, sebagai pamungkas Nabi Nuh memohon yang terbaik. Menyerahkan ketentuan kepada Allah. Supaya Allah menghukum mereka.
” Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.” (QS. 71: 26-27)
Dan sebagaimana kita tahu, air pun melimpah dari segala arah.
”Maka kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemulah air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan”. (QS. 54: 11-12)
Keluarga yang Dibanggakan
Namun, Nabi Nuh bersyukur karena beliau masih mendapati kedua orang tuanya mengimani risalahnya. Setidaknya ini menjadi obat kesedihan karena kehilangan istri dan anak kesayangannya. Sebagai gantinya kebahagiaan menyusupi relung hati beliau
”Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dalam keadaan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan”. (QS. 71: 28)
Mungkin inilah keberkahan itu. Bahwa keberkahan usia manusia tidaklah semata dilihat dari panjangnya usia. Tidak juga diukur dengan standar manusia. Tak banyak yang memuji Nabi Nuh. Bahkan kebanyakan dari kaumnya mendurhakai dan mendustakannya. Karena itulah, tak heran bila Allah menyematkan penghargaan khusus kepadanya. Sebagai salah satu orang pilihan-Nya. Sebagai salah satu dari lima nabi-Nya yang diberi gelar ulul ’azmi minarrusul.
Senada dengan keberkahan usia ini, Ibnu Atha`illah as-Sakandary berpesan dalam kata-kata hikmahnya,
”Siapa yang diberkahi umurnya, maka dalam waktu singkat ia dapat meraih berbagai karunia Allah. Sebuah karunia yang sulit diungkapkan melalui kata-kata, dan tidak terjangkau lewat isyarat”
kemudian beliau menyambungnya dengan penekanan keberkahan umur,
”Kadang umur seseorang panjang masanya tapi sedikit manfaatnya. Dan ada pula umur yang pendek masanya, namun penuh dengan manfaat” ([7]).
Disamping itu Ibnu Katsir menyebut keberkahan dari sisi lain. Beliau sitir sebuah hadits Nabi saw. yang diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudry,
”Jangan bersahabat kecuali dengan orang beriman, jangan kau biarkan seseorang memakan makananmu kecuali orang bertakwa” (HR. At-Turmudzi). Namun, Imam Turmudzi mengatakan hadits ini termasuk hadits gharib (aneh)([8]).
Akan tetapi setidaknya hal ini menunjukkan bahwa dalam memilih sahabat dan teman dekat lebih diutamakan orang-orang yang bertakwa. Supaya kita bisa menjaga agama kita dan selalu ada yang mengingatkan.
Dan saat kita dikaruniai sebuah keluarga, marilah sama-sama kita mengajak mereka untuk lebih dekat kepada Allah. Karena Allah secara eksplisit memerintahkan kita untuk menjaga diri dari api neraka, juga keluarga dan famili kita. Hal itu berarti perintah untuk membimbing mereka. Untuk lebih dekat pula dengan al-Qur’an. Niscaya dengan mengikuti petunjuknya keberkahan dan rahmat Allah akan diturunkan ([9]),
”Dan Al-Quran itu adalah Kitab yang kami turunkan yang diberkahi, Maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat”. (QS. 6:155)
Dengan tidak melupakan berkiprah sosial dan berdakwah di tengah masyarakat, keberkahan di tengah keluarga semoga Allah karuniakan juga. Ni’mal maula wa ni’mannashir.
—————————————————————————–
([1]) Imam Badruddin az-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulumi al-Qur’an, Beirut: Darul Fikr, Cet. I, 1988 M/1408 H, Vol. I, hal. 249. Juga lihat: Prof. Dr. Jum’ah Ali Abd Qader,Ma’alim Suar al-Qur’an, Cairo: Universitas Al-Azhar, Cet.I, 2004M/1424H, Vol. 2, hal. 710
([2]) Ma’âny al-Qur’an karangan az-Zajjâj, Cairo: Dar al-Hadits, 2004 M/1424 H, Vol. V, hal. 178. lihat juga: tesis penulis, Kitab Lawami’ al-Burhan wa Qawathi’ al-Bayan fi-Ma’any al-Qur’an li al-Ma’iny, Dirasah wa Tahqiq, Cairo: Universitas Al-Azhar, 2006 M, Vol. II, hal. 712.
([3]) Anaknya bahkan dengan congkaknya tidak mau tunduk pada Nabi Nuh di detik-detik menjelang air menggulungnya. Seperti dikisahkan Allah dalam surat Hud ayat 42-43
([4]) Adapun istrinya dijadikan perumpamaan bagi orang-orang kafir (lihat surat at-Tahrim: 10)
([5]) Hadits dari Ibnu Abbas ra ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, hadits nomer 1518 (Sunan Abu Dawud, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, 2003 M/1424 H, hal. 247), juga oleh Ibnu Majah, hadits nomer 2819 (Sunan Ibnu Majah, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet. I, 2002 M/1423 H, hal 612)
([6]) Ibnu hajar al-Asqalany, Fathul Bâri bi Syarhi Shahih al-Bukhary, Cairo: Darul Hadits, Cet.I, 1998 M/1419 H,Vol.III, hal. 821. Juga Ibnu Katsir, Tasfir al-Qur’an al-’Azhim, Cairo: al-Maktabah al-Qayyimah, Vol. IV, hal. 552.
([7]) Ibnu Atha`illah as-Sakandary, Kitab Al-Hikam, (terj. Dr. Ismail Ba’adillah), Jakarta: Khatulistiwa Press. Cet.II, 2008, hal. 290, hikmah ke 221.
([8]) Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Op.Cit, hal. 554.
([9]) Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawy, Kaifa Nata’amal ma’a al-Qur’an, Beirut: Darusysyuruq, Cet. I, 1999 M/1419 H,hal.13
Dipersembahkan:
www.iman-islam.com