Bagaimana Bersikap Saat Dilanda Kecewa

📆 Rabu, 13 Rajab 1437H / 20 April 2016

📚 MOTIVASI

📝 Pemateri: Ustadz Abdullah  Haidir, Lc

📝 Bagaimana Bersikap Saat Dilanda Kecewa

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

As’adallahu shobaahakum…semoga Allah bahagiakan Anda di pagi ini😊

🍁Jangan tersandera oleh kekecewaan. Jadikan dia motivasi lakukan perbaikan…

🍁Kekecewaan ibarat tikungan tajam bagi seorang pembalap. Di sana dia dapat terjungkal, atau justru menyalip lawan.
Tergantung penyikapan…

🍁Kekecewaan akan selalu menyapa. Sebagai isyarat, walau kita harus ikhtiar sekuat tenaga, tapi jangan menuntut segalanya harus sempurna…

🍁Kecewa sering lahir dari espektasi dan pemujaan berlebihan. Selalulah bersikap wajar…..tapi jangan liberal…:)

🍁Kecewa tak mungkin kita hindari. Tapi kita dapat hindari sikap dan ucapan tak terkendali.

🍁Saat kita kecewa, banyak juga orang lain yang kecewa. Hanya saja, ada yang menatanya dengan tenang, ada yang melampiaskannya dengan berang.

🍁Yang menyedihkan adalah kekecewaan berlebihan untuk hal-hal yang dia tidak tahu persis latar belakang masalahnya dan tidak terlibat langsung di dalamnya.

🍁Sebagaimana kecewa, kemarahanpun sering menerpa. Jika memang harus terjadi, jangan mudah melampiaskannya. Ingat pesan nabi Muhammad salallahu ‘alayhi wa sallam,

مَنْ كَظَمَ غَيظاً، وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أنْ يُنْفِذَهُ، دَعَاهُ اللهُ سُبحَانَهُ وَتَعَالى عَلَى رُؤُوسِ الخَلائِقِ يَومَ القِيامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنَ الحُورِ العِينِ مَا شَاءَ

🌷“Siapa yang menahan amarah padahal dia mampu melampiaskannya, Allah akan panggil dia di hadapan makhluk-makhluknya yang mulia di hari kiamat, lalu dipersilahkan untuknya memilih bidadari yang dia suka.”
(HR. Abu Daud dan Tirmizi)

🌷Jika ada saudara kita yang sedang marah dengan saudaranya, jangan ikut-ikutan marah. Jika mampu medamaikannya, bagus. Jika tidak, cukup doakan dan diam.

🌷Sahabat akrab dari sahabat kita, layak kita akrabi. Sahabat yang sedang tidak akrab dengan sahabat kita, tidak mesti harus kita musuhi.

🍁Jika begitu saja kita ikut memusuhi orang yang dimusuhi sahabat kita, boleh jadi di lain waktu mereka berbaikan sedangkan kita masih bermusuhan.

❣Jika Allah selamatkan kita dari sengketa yang terjadi di antara saudara-saudara kita, mestinya kita selamatkan sikap dan lidah kita dari sengketa tersebut.

❣Semoga hati kita selalu disatukan dalam cinta karena Allah, marah dan kecewa segera sirna berganti cinta, canda dan tawa…

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

Kitab Ath Thaharah (bersuci) (12) – Bab Al Miyah (Tentang Air) (Bag.2)

📆 Selasa,  12 Rajab 1437H / 19 April 2016

📚 Fiqih dan Hadits

📝 Ustadz Farid Nu’man Hasan, SS.

📋 Kitab Ath Thaharah (bersuci) (12) – Bab Al Miyah (Tentang Air) (Bag.2)
🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

Materi sebelumnya
http://www.iman-islam.com/2016/04/kitab-ath-thaharah-bersuci-12-bab-al.html?m=1

📋3⃣ . Apakah ini berlaku untuk semua anjing atau tertentu saja?

 Pada hadits ini tidak disebutkan secara spesifik, oleh karena itu ini berlaku untuk semua anjing secara mutlak. Baik  anjing yang bisa dimanfaatkan, terlebih lagi anjing liar. Kaidahnya adalah yang mutlak tetap berlaku selama belum ada yang mengkhususkannya.

                Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah menjelaskan:

والكلب هنا هو الحيوان المعروف وظاهر الحديث أنه يشمل الكلب الذي يباح اقتنائه وغيره والكلاب التي يباح اقتنائها ثلاثة أنواع .

1- كلب الحرث يعني يكون للإنسان بستانا ويجعل فيه كلبا يحرث البستان عن الذئاب والثعالب وغيرها .

2- كلب الماشية يكون عند الإنسان ماشية في البر يحتاج إلى حمايتها وحفظها يتخذ كلبا ليحميها من الذئاب والسباع ومن السراق ونحوهم لأن بعض الكلاب معلم إذا أتي شخص أجنبي نبح حتى ينتبه صاحبه له

3- كلب الصيد يتخذ الإنسان كلبا يعلمه الصيد ويصيد به

📌                Anjing dalam konteks hadits ini adalah hewan yang telah dikenal, secara zahirnya hadits ini mencakup anjing yang dibolehkan untuk disimpan (dipelihara) dan lainnya. Anjing yang diperbolehkan untuk dipelihara ada tiga jenis:

1⃣ Pertama, Kalbul Hartsi (Anjing Ladang),  yaitu   manusia menempatkannya di kebun, dan menjadikannya sebagai penjaga dari anjing hutan, serigala, dan lainnya.

2⃣ Kedua, Kalbul Maasyiyah (Anjing penjaga peternakan),  yaitu manusia memiliki hewan ternak yang hidupnya di darat, mereka membutuhkan perlindungan dan penjagaan, maka dijadikanlah anjing untuk menjaga hewan ternaknya dari ganggunan anjing hutan, serigala, pencuri, dan semisalnya. Sebab sebagian anjing telah diajarkan jika datang seorang asing, maka dia akan menggonggong  sehingga pemiliknya terjaga.

3⃣ Ketiga, Kalbul Shayd (Anjing Pemburu), manusia memanfaatkannya untuk diajarkan berburu dan berburu dengannya. (Asy Syarh Al Mukhtashar ‘ala Bulughil Maram, 2/8. Mawqi’ Al Islam)

                Termasuk dalam kategori anjing pemburu adalah anjing dimanfaatkan oleh kepolisian yakni anjing pelacak.

                Nah, selain jenis anjing ini, maka jumhur ulama memakruhkan memeliharanya. Seperti anjing sekedar untuk hobi, untuk dilombakan, dan semisalnya.

📚Memelihara Anjing Untuk Hobi

                Ada fenomena yang memiriskan hati. Tidak sedikit orang yang memelihara anjing, dia rela mengeluarkan uang ratusan ribu bahkan jutaan untuk anjingnya sebagai biaya perawatan dalam satu bulan,  saat yang bersamaan ada tetangganya yang kelaparan dan lebih membutuhkan bantuannya, justru didiamkan. Bahkan dibanding dengan keluarganya sendiri, dia lebih perhatian dengan anjingnya. Lalu bagaimana hal ini sebenarnya dalam kacamata Islam?

                Jika kita lihat berbagai dalil yang ada, akan kita dapati bahwa memelihara anjing bukan karena kebutuhan dan asas manfaat, adalah terlarang. Larangan ini bukan karena najisnya, tetapi memang secara nash (teks agama) dia dilarang. Najis adalah satu hal, sedangkan memeliharanya adalah hal lain.  Hal ini perlu ditegaskan agar tidak ada yang menganggap bahwa larangan pemeliharaan itu karena faktor kenajisannya semata. Tidak, bukan karena itu.

📚 Dalil-Dalil Pelarangan

             1⃣   Pertama, hal ini dilarang karena mencegah masuknya malaikat, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَتَانِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ لِي أَتَيْتُكَ الْبَارِحَةَ فَلَمْ يَمْنَعْنِي أَنْ أَكُونَ دَخَلْتُ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ عَلَى الْبَابِ تَمَاثِيلُ وَكَانَ فِي الْبَيْتِ قِرَامُ سِتْرٍ فِيهِ تَمَاثِيلُ وَكَانَ فِي الْبَيْتِ كَلْبٌ فَمُرْ بِرَأْسِ التِّمْثَالِ الَّذِي فِي الْبَيْتِ يُقْطَعُ فَيَصِيرُ كَهَيْئَةِ الشَّجَرَةِ وَمُرْ بِالسِّتْرِ فَلْيُقْطَعْ فَلْيُجْعَلْ مِنْهُ وِسَادَتَيْنِ مَنْبُوذَتَيْنِ تُوطَآَنِ وَمُرْ بِالْكَلْبِ فَلْيُخْرَجْ

          📌      “Malaikat Jibril ‘Alaihis Salam  mendatangiku, dia berkata kepadaku: ‘Aku mendatangimu semalam, tak ada yang menghalangiku masuk ke rumah kecuali karena di pintu rumah terdapat patung, di rumah ada gorden yang bergambar patung, dan di rumah terdapat anjing. Maka, perintahkanlah agar patung yang di rumah agar dipotong kepalanya sehingga bentuknya seperti pohon, dan perintahkanlah agar gorden itu dirobek dan dijadikan dua buah bantal untuk diduduki, dan perintahkan agar anjing itu dkeluarkan.”    (HR. Abu Daud No. 4158, At Tirmidzi No. 2806, katanya: hasan shahih, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 6314, Ahmad No. 9063, dengan lafaz yang lebih ringkas. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih sesuai syarat syaikhan (Bukhari – Muslim). Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 9063)

            2⃣    Kedua,   karena bisa mengurangi pahala amal shalih. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَمْسَكَ كَلْبًا يَنْقُصْ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ إِلَّا كَلْبَ حَرْثٍ أَوْ كَلْبَ مَاشِيَةٍ

            📌    Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda: “Barangsiapa yang memelihara anjing maka nilai amal shalihnya berkurang setiap hari sebesar satu qirath, kecuali anjing penjaga ladang atau anjing penjaga binatang.”  (HR. Bukhari No. 3324)

                Sementara dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ اتَّخَذَ كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ زَرْعٍ أَوْ غَنَمٍ أَوْ صَيْدٍ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ

            📌    “Barangsiapa yang memelihara anjing, kecuali anjing penjaga tanaman, atau penjaga ternak, atau anjing pemburu, maka berkuranglah pahalanya setiap harinya satu qirath.”   (HR. Muslim No. 1574, 56)

                Dalam riwayat Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, disebutkan berkurang pahalanya dua qirath.

 مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا لَيْسَ بِكَلْبِ مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارِيَةٍ نَقَصَ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ قِيرَاطَانِ

        📌        Barang siapa yang memelihara seekor anjing bukan untuk menjaga ternak  atau bukan untuk dilatih berburu, maka berkurang dari pahalanya setiap hari sebanyak dua qirath.         (HR. Bukhari No. 5480)

Tentang ukuran satu qirath, hanya Allah Ta’ala yang tahu sebagaimana yang dikatakan Imam An Nawawi dan Imam Sulaiman bin Khalaf Al Baji Rahimahumallah.[1]

Tertulis dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, bahwa para ulama berselisih pendapat kenapa pahala amalnya berkurang: Ada yang mengatakan karena dengan anjing itu membuat tercegahnya malaikat masuk, ada juga yang mengatakan sebagai hukuman bagi pemiliknya karena dia telah memelihara sesuatu yang dilarang untuk dipelihara, dan itu merupakan pembangkangan, atau karena kelalaian pemiliknya untuk memcuci liurnya  jika anjing tersebut menjilat.  (Al Minhaj, 5/426)

                Perlu diketahui, larangan di atas dalam pandangan jumhur hanya bernilai makruh (dibenci), bukan haram. Sebab jika haram, maka tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membolehkannya untuk keperluan berburu,  menjaga ladang, dan ternak. Para ulama kita menyebutkan, di antara hikmah dibalik pelarangan memelihara anjing bila tanpa keperluan adalah; jika anjing itu menggonggong dapat membuat takut dan membuat lari tamu atau orang yang lewat.

📚Memelihara Anjing pemburu, Penjaga Ladang, dan Penjaga Hewan Ternak

                Jika kita baca hadits-hadits di atas bisa kita fahami bahwa Rasulullah Shallallah ‘Alaihi wa Sallam memberikan izin memelihara anjing selama untuk beburu, menjaga, ladang dan hewan ternak. Untuk zaman sekarang fungsinya bisa ditambah sebagai pelacak penjahat, pelacak bom, dan lain-lain. Ini semua dibolehkan berdasarkan pengecualian hadits-hadits di atas.

                Dari Abdullah bin Mughaffal bahwa Rasulullah Shallallahu “Alaihi wa Sallam:

ثُمَّ رَخَّصَ فِي كَلْبِ الصَّيْدِ وَكَلْبِ الْغَنَمِ

📌“Kemudian beliau memberi  keringanan terhadap anjing pemburu dan anjing penjaga kambing”.   (HR. Muslim No. 1573, 48)

                 Imam Abul Walid Sulaiman bin Khalaf Al Baji Rahimahullah mengatakan:

قَالَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللَّهُ : لَا بَأْسَ بِاِتِّخَاذِ الْكِلَابِ لِلْمَوَاشِي كُلِّهَا

   📌             Berkata Imam Malik Rahimahullah, “Tidak mengapa memelihara anjing untuk menjaga semua binatang.”   (Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’, 4/410. Mawqi’ Al Islam)

📚Larangan Jual Beli Anjing

                Hal ini ditegaskan oleh hadits dari Abu Mas’ud al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِيِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ

📌“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  melarang hasil penjualan anjing, mahar (hasil) pelacur, dan upah dukun.”   (HR. Bukhari No. 2237 dan Muslim No. 1567, 39)

Keharamannya sangat tegas, bahkan disamakan dengan hasil pelacuran dan perdukunan. Oleh karena itu Imam Muslim membuat bab berjudul: Bab Tahrim Tsamanil Kalbi …dst, yang artinya Bab Diharamkannya harga anjing…

Imam Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah mengatakan:

وَظَاهِر النَّهْي تَحْرِيم بَيْعه ، وَهُوَ عَامّ فِي كُلّ كَلْب مُعَلَّمًا كَانَ أَوْ غَيْره مِمَّا يَجُوز اِقْتِنَاؤُهُ أَوْ لَا يَجُوز

📌                Menurut zhahir larangannya menunjukkan haram atas penjualannya, dan hal ini umum untuk setiap anjing baik anjing yang terlatih atau tidak, baik yang dibolehkan yang djpelihara atau yang dilarang dipelihara. (Fathul Bari, 4/426)

                Demikianlah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, walau ada pula yang membolehkan penjualan anjing pemburu yakni Imam ‘Atha dan Imam Ibrahim an Nakha’i.(Ibid)

                Pelarangan-pelarangan ini sifatnya adalah ibadah (ta’abbudi), sama sekali bukan menunjukkan bahwa Islam tidak memiliki belas kasihan. Justru Islam memberikan apresiasi tinggi kepada siapa saja yang menyelamatkan makhluk Allah Ta’ala, termasuk anjing.

                Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menceritakan, adanya seorang laki-laki yang menjumpai anjing di padang pasir sedang menggonggong sambil makan debu karena kehausan. Lantas laki-laki itu menuju sebuah sumur dan mengambilkan air sepenuh sepatunya untuk anjing tersebut, hingga anjing tersebut minum sampai puas. Setelah itu Beliau bersabda:

فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَه

  📌              “Maka Allah berterima kasih kepadanya, dan mengampuni dosa orang itu.”  (HR. Bukhari No. 6009)

                Selesai.

3⃣ . Pada hadits ini juga diajarkan tentang tata cara membersihkan najis liur anjing tersebut. Yaitu dengan dibuang airnya, lalu dicuci  bejananya sebanyak tujuh kali, yang pertama atau yang terakhirnya menggunakan tanah.

📚Wajibkah tujuh kali?

Berbagai riwayat juga menyebutkan bahwa mencucinya adalah tiga kali, ada juga tujuh kali, dan juga delepan kali. Sehingga ada yang menyebutkan tujuh kali itu hanya sunah bukan wajib, sebab Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu pernah memerintahkan mencucinya tiga kali sebagaimana diriwayatkan oleh Ad Daruquthni dan Ath Thahawi. Tetapi  riwayat yang menyebut tujuh kali lebih banyak  dan lebih kuat sanadnya dan disebutkan oleh Bukhari dan Muslim pula. Inilah yang benar sebagaimana dikatakan Imam Ash Shan’ani dalam Subulus Salam.

                Imam Ash Shan’ani Rahimahullah mengatakan:

أنه دل الحديث على وجوب سبع غسلات للإناء وهو واضح.

📌                Sesungguhnya hadits ini menunjukkan kewajiban mencuci tujuh kali, dan ini begitu jelas. (Subulus Salam, 1/22)

                Beliau mengoreksi pihak-pihak yang mengatakan tidak wajibnya mencuci “tujuh kali”, katanya:

وأجيب عن هذا: بأن العمل بما رواه عن النبي صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم، لا بما رآه، وأفتى به، وبأنه  مُعَارَضٌ بما روى عنه أيضاً: أنه أفتى بالغسل سبعاً وهي أرجح سنداً، وترجح أيضاً بأنها توافق الورواية المرفوعة. وبما روى عنه صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم أنه قال في الكلب يلغ في الإناء: “يُغسلُ ثلاثاً أو خمساً أو سبعاً” قالوا: فالحديث دل على عدم تعيين السبع وأنه مخير، ولا تخيير في معين، وأجيب عنه، بأنه حديث ضعيف لا تقوم به حجة.

 📌               Saya jawab: sesungguhnya yang dipraktekkan adalah apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukan mengamalkan pendapatnya (Abu Hurairah), dan dia berfatwa dengan hal itu dan itu bertentangan dengan apa yang diriwayatkan darinya juga: bahwa dia (nabi) berfatwa dengan mencucinya tujuh kali dan ini sanadnya lebih kuat, dan diperkuat pula bahwa ini sesuai dengan riwayat yang marfu’ (sampai kepada nabi). Ada pun dengan riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang anjing yang minum di bejana: “Dicuci tiga   atau lima atau tujuh kali.” Mereka mengatakan: “Hadits ini menunjukkan tidak ada  pengkhususan tujuh kali, itu hanya opsional (pilihan) saja.  Tidak pilihan dalam hal yang sudah khusus.” Saya jawab: “Hadits ini dhaif, tidak bisa dijadikan hujjah.” (Ibid)

                Sedangkan diriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Beliau mewajibkan delapan kali. Berikut ini keterangannya:

وروي عن الإمام أحمد رواية أخرى بوجوب غسل نجاسة الكلب والخنزير ثماني مرات إحداهن بالتراب ، وإلى هذا ذهب الحسن البصري ؛ لقوله صلى الله عليه وسلم في بعض روايات الحديث : وعفروه الثامنة بالتراب

📌                Diriwayatkan dari Imam Ahmad –pada riwayatnya yang lain- wajibnya mencuci najis anjing dan babi sebanyak delapan kali salah satunya dengan tanah, dan inilah pendapat Al Hasan Al Bashri, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda pada sebagian riwayat hadits: “ …  lumurilah yang ke delapan dengan tanah.” (Imam Ibnu Qudamah,Al Mughni, 1/52)

📚Kapankah Tanah dicampurkan?

                Hadits  yang kita bahas ini menyebutkan: ulahunna bit turaab  (yang pertama dengan tanah), ada juga ukhraahunna(yang akhirnya), ada juga ihdaahunna (salah satunya), tetapi ulaahunna lebih banyak dan disebutkan oleh Bukhari dan Muslim.

                Sebagian ulama menyebutkan tidak masalah pada cucian ke berapa tanah itu dicampurkan, sebab yang penting adalah bersihnya dari najis telah tercapai, sedangkan kapankah tanah dicampurkan? Itu bukan tujuannya.

                Disebutkan dalam Al Mausu’ah:

وَمَتَى غُسِل بِهِ أَجْزَأَهُ ، لأِنَّهُ رُوِيَ فِي حَدِيثٍ : إِحْدَاهُنَّ بِالتُّرَابِ وَفِي حَدِيثٍ : أُولاَهُنَّ وَفِي حَدِيثٍ : فِي الثَّامِنَةِ فَيَدُل عَلَى أَنَّ مَحَل التُّرَابِ مِنَ الْغَسَلاَتِ غَيْرُ مَقْصُودٍ .

📌                Kapankah dianggap sah dicucinya dengan tanah, karena telah diriwayatkan dalam hadits: salah satunya dengan tanah, pada hadits lain: yang pertama, pad ahadits lain: yang kedelapan, maka ini menunjukkan bahwa posisi (waktu) pencampuran tanah pada pencucian bukanlah tujuannya. (Al Masu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/193)

Namun,  diawalkan lebih utama dibanding diakhirkan.  Disebutkan demikian:

وَيَكْتَفِي بِوُجُودِ التُّرَابِ فِي وَاحِدَةٍ مِنَ الْغَسَلاَتِ السَّبْعِ ، وَلَكِنْ يُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ فِي غَيْرِ الأْخِيرَةِ ، وَجَعْلُهُ فِي الأْ ولَى أَوْلَى

  📌          Sudah mencukupi pemakaian tanah pada salah satu dari tujuh kali cucian itu, tetapi disukai hal itu  bukan pada yang terakhir, hendaknya dipakainya pada yang pertama kali, itu lebih utama. (Lihat Mughni Muhtaj, 1/83, Al Mughni, 1/52, Al Jumal ‘ala Syarhil Minhaj,  1/184)

📚Wajibkah campuran tanah dan air itu?

Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah mewajibkan mensucikan najisnya anjing, babi, dan kotoran mereka dengan menggunakan campuran air dan tanah, sesuai zahir hadits Abu Hurairah ini. Sedangkan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat itu tidak wajib. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 3/114)

Selanjutnya ……..

Dalam masalah campuran tanah dan air. Tidak ada perbedaan antara pencampuran tanah dan air tersebut; apakah air yang dimasukkan ke tanah, atau tanah yang dicampurkan ke air. (Subulus Salam, 1/22)

📚Bolehkah dengan selain tanah?

                Saat ini sudah ada sabun, atau semisalnya, yang bisa membersihkan najis tersebut bahkan bisa jadi lebih bersih. Selain juga lebih harum aromanya. Apakah ini dibolehkan?

                Sebagian kalangan Hanabilah (Hambaliyah)   membolehkan hal itu ketika memang tidak didapatkannya tanah, selama tujuannya tetap tercapai dan terpelihara, yaitu hilangnya najis, maka alat apa pun tidak masalah. Hal ini sama halnya dengan menggantikan siwak dengan sikat gigi dan  pastanya, di mana Imam An Nawawi menyebutkan bahwa bersiwak dengan benda apa pun tetap disebut bersiwak walau dengan tangan, kain, kayu arok (siwak), dan lainnya, selama tidak membahayakan.[2]

                Di sebutkan sebagai berikut:

وَلِبَعْضِ الْحَنَابِلَةِ : يَجُوزُ الْعُدُول عَنِ التُّرَابِ إِلَى غَيْرِهِ عِنْدَ عَدَمِ التُّرَابِ ، أَوْ إِفْسَادِ الْمَحَل الْمَغْسُول بِهِ . فَأَمَّا مَعَ وُجُودِهِ وَعَدَمِ الضَّرَرِ فَلاَ .

            Menurut sebagian Hanabilah: dibolehkan menggantikan tanah dengan selainnya  yang sepadan dengan tanah  ketika tidak ada tanah, atau ketika rusaknya tempat yang dicuci jika dengan tanah. Ada pun kalau ada tanah dan tidak ada kerusakan, maka tidak boleh. (Lihat Al Mughni, 1/52, Raudhatuth Thalibin, 1/32-33, Syarh Raudhatuth Thalibin min Asnal Mathalib, 1/21)

                Ulama lain menyebutkan bahwa yang shahih adalah tetap tidak boleh, sebab masalah mencuci najis ini adalah perkara ta’abbudiyah yang mesti tunduk terhadap nash yang ada.

                Disebutkan dalam Al Mausu’ah:

فَالأْصَحُّ أَنَّهُ لاَ يُجْزِئُ ، لأَِنَّهُ طَهَارَةٌ أَمَرَ فِيهَا بِالتُّرَابِ تَعَبُّدًا ، وَلِذَا لَمْ يَقُمْ غَيْرُهُ مَقَامَهُ .

📌                Maka, yang shahih adalah tidak mencukupi (mencuci selain dengan tanah,pen), karena perintah bersuci dengan tanah adalah perkara ta’abbudiyah (peribadatan), oleh karenanya posisinya tidak bisa digantikan oleh selainnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/139)

                Lebih baik memang menggunakan tanah, hal itu untuk keluar dari khilafiyah. Dan, keluar dari khilafiyah adalah jalan yang lebih baik untuk dilakukan. Segitu dulu deh ……..

                Wallahu A’lam ……….., wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala aalihi wa ashhabihi ajmain

     〰〰〰〰〰〰〰〰〰

[1]  Namun, Imam Muslim meriwayatkan bahwa satu qirathadalah semisal gunung uhud. Dari Sa’ad bin Abi WaqqashRadhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda: “Barangsiapa yang mengiringi jenazah dari rumahnya, lalu menshalatkannya, lalu mengantarkannya sampai ke kuburnya, maka baginya balasan dua qirath, dan satu qirath itu semisal gunung Uhud. Barang siapa yang menshalatkan mayat lalu dia pulang, maka baginya satu qirath semisal gunung Uhud.” (HR. Muslim, Fadhl Ash Shalah ‘Ala Al Janazah wat Tiba’iha, No. 945, 53), dalam riwayat Al Bukhari dan Muslim yang lainnya disebut seukuran gunung besar.

[2] Berkata Imam An Nawawi Rahimahullah:

وينبغي إذا أراد القراءة أن ينظف فاه بالسواك وغيره والاختيار في السواك أن يكون بعود من أراك ويجوز بسائر العيدان وبكل ما ينظف كالخرقة الخشنة والأشنان وغير ذلك

                “Hendaknya jika hendak membaca Al Quran dia membersihkan mulutnya dengan siwak dan selainnya.  Siwak yang dipilih berasal dari batang kayu Arok, dan dibolehkan dengan semua jenis batang kayu, dan apa saja yang dapat membersihkan, seperti dengan kain perca yang kasar dan usang, dan selain itu.”(At Tibyan fi Adab Hamalatil Quran, Hal. 73. Mawqi’ Ruh Al Islam)

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

QS. Al-Qiyamah (Bag. 1)

📆 Senin, 11 Rajab 1437H / 18 April 2016
📚 Tadabbur Al-Qur’an

📝 Dr. Saiful Bahri, M.A

📋 QS. Al-Qiyamah (Bag. 1)

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

📚Mukaddimah: PENYESALAN – PENYESALAN

Surat al-Qiyâmah diturunkan Allah di Makkah setelah surat al-Qâri’ah [1]. Tema besar surat ini mengungkapkan kedahsyatan hari kiamat. Menggambarkan suasana yang sangat mengerikan dan menegangkan bagi siapa saja. Terlebih saat manusia dibangkitkan. Hal ini sekaligus sebagai jawaban bagi orang –orang yang mengingkari dan mendustakannya[2].

Ayat pertama surat ini yang sangat menyentak

📌“Aku bersumpah demi hari kiamat”. (QS.75: 1).

Pada ayat ini Allah menggunakan “lâ nafi lil qasam” yaitu menguatkan sumpah dengan cara menafikannya. Tujuannya untuk mengcounter pengingkaran orang-orang kafir [3].

Mengapa Allah perlu bersumpah? Hal ini menunjukan betapa pentingnya hari kiamat. Hari kebangkitan yang pasti terjadi itu masih saja banyak yang mengingkarinya. Dan pada hari kebangkitan itu nantinya semua manusia akan menyesali dirinya. Jika ia telah berbuat baik, maka ia menyesal mengapa tak menambah amal baiknya. Apalagi jika ia berlaku buruk, ia akan sangat menyesal. Karena semua kebenaran saat itu benar-benar terungkap. Cobalah kita renungi ayat berikutnya,

📌“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”. (QS.75: 2)

Dan sangat mengherankan jika manusia meragukan atau bahkan mengingkari hari penentuan itu,

📌“Apakah manusia mengira bahwa kami tidak mengumpulkan (kembali) tulang belulangnya?”. (QS.75: 3).

Kelak akan Allah susun lagi bagian-bagian tubuhnya hingga sempurna .

📌“Bukan demikian, sebenarnya Kami kuasa menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna”. (QS. 75: 4).

Sayangnya, justru kebanyakan manusia memperturutkan hawa nafsunya. Kemudian memperbanyak maksiat serta menunda-nunda taubat. Tak segan-segan ia menantang Allah dan mengatakan,

📌“Bilakah hari kiamat itu?”. (QS.75: 6)

📚Hari Kiamat yang Sesungguhnya

Saat hari kiamat datang. Sulit untuk dibayangkan apa yang terjadi pada alam semesta.

📌“Maka apabila mata terbelalak (ketakutan). Dan apabila bulan telah hilang cahayanya. Dan matahari dan bulan dikumpulkan”. (QS. 75:  7-9).

Mungkin saat itu orang-orang yang mengingkarinya baru benar-benar percaya dan ia benar-benar menyesal. Bahkan ia pun kebingungan apa yang harus dilakukannya. Berlari, kemanakah tempat berlari.

📌“Pada hari itu manusia berkata: “Kemana tempat berlari?” Sekali-kali tidak ada tempat berlindung! Hanya kepada Tuhanmulah pada hari itu tempat kembali”. (QS. 75: 10-12)

Hari yang lari tak bermanfaat dan tak bisa membantu menyelamatkan orang-orang yang mengingkarinya. Tidak juga ditemukan persembunyian yang benar-benar bisa dijadikan tempat berlindung [4].

📌“Pada hari itu diberikan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya. Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya. Meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya”. (QS.75: 13-15)

Di hari pengadilan Sang Maha Adil itu, tak ada seorang pun yang bisa memungkiri dirinya sendiri. Karena seluruh anggota tubuhnya menjadi saksi atas segala sesuatu yang diperbuatnya.

📌“Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan [5]”.

Maka apapun alasannya tak akan mampu meringankan keputusan yang Allah jatuhkan padanya. Karena pada tabiatnya manusia sangat menyukai alasan demi menutupi kesalahan dan keburukan yang dilakukannya untuk membela dirinya

Padahal sesungguhnya manusia telah dibekali akal untuk berpikir. Juga hati yang jernih untuk dimintai pertimbangan. Senada dengan petuah bijak dari seorang ahli hikmah dari asia tengah;al-Hakim at-Tirmidzi,

📌‘’Hari yang segala alasan menjadi tak berguna. Karena manusia telah dibekali dengan bashirah. Tapi ia menjadi buta karena hawa nafsunya. Padahal bashirah itu sebenarnya tahu bahwa ia takkan mampu mengingkari Tuhannya kalaulah tidak tertutup oleh nafsu’’[6].

📚Al-Qur’an Sumber Dakwah yang Dijaga

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

PELAJARAN FIQIH DAKWAH DARI NABI HARUN DAN NABI MUSA ‘ALAIHISSALAM

📆 Ahad, 10 Rajab 1437H / 17 April 2016

📚 FIQIH DA’WAH

📝 Pemateri: Ustadz Ahmad Sahal Hasan, Lc

📝 PELAJARAN FIQIH DA’WAH dari NABI HARUN & NABI MUSA ‘alaihimassalam

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

📌 Tak lama setelah Bani Israil diselamatkan dengan ditenggelamkannya Firaun, dan setelah Allah menurunkan rizki kepada mereka berupa manna dan salwa, Nabi Musa alaihissalam meninggalkan kaumnya untuk bergegas memenuhi janji bertemu dengan Allah di bukit Thursina selama 40 malam, yaitu 30 malam di bulan Dzul Qa’dah dan 10 malam awal Dzulhijjah sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari (13/86-87).

📌 Sebelum berangkat Nabi Musa telah berpesan kepada saudara kandungnya, Nabi Harun alaihissalam, untuk menggantikannya memimpin Bani Israil selama ia pergi.

وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلَاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً وَقَالَ مُوسَى لِأَخِيهِ هَارُونَ اخْلُفْنِي فِي قَوْمِي وَأَصْلِحْ وَلَا تَتَّبِعْ سَبِيلَ الْمُفْسِدِينَ

Dan telah Kami janjikan kepada Musa tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Rabb-nya: empat puluh malam. Dan berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: “Gantikanlah aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan.” (QS. Al-A’raf: 142).

📌 Singkat cerita, setelah Nabi Musa pergi, Samiri berhasil menyesatkan sebagian besar Bani Israil dengan penyembahan patung anak sapi. Nabi Harun menjalankan tugas da’wah sebagai Nabi dan pemimpin mereka, sekaligus menunaikan pesan Nabi Musa dengan mencegah mereka dari kesesatan dan berusaha membimbing mereka kembali ke jalan yang lurus:

وَلَقَدْ قَالَ لَهُمْ هَارُونُ مِنْ قَبْلُ يَاقَوْمِ إِنَّمَا فُتِنْتُمْ بِهِ وَإِنَّ رَبَّكُمُ الرَّحْمَنُ فَاتَّبِعُونِي وَأَطِيعُوا أَمْرِي قَالُوا لَنْ نَبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْنَا مُوسَى

Dan sesungguhnya Harun telah berkata kepada mereka sebelumnya: “Hai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak lembu itu, dan sesungguhnya Rabb kalian ialah Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah), maka ikutilah aku dan taatilah perintahku.” Mereka menjawab: “Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami.” (QS. Thaha: 90-91).

📌 Mereka tidak menaati nasihat Nabi Harun, bahkan mereka hampir membunuh beliau:

إِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُونِي وَكَادُوا يَقْتُلُونَنِي

Sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku. (QS. Al-A’raf: 150).

📌 Nabi Musa marah saat melihat kesesatan kaumnya, lalu mendatangi mereka untuk meluruskan mereka kembali (lihat surat Thaha: 86-89).
Setelah itu, barulah ia menegur Nabi Harun:

قَالَ يَاهَارُونُ مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَهُمْ ضَلُّوا أَلَّا تَتَّبِعَنِ أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي

Berkata Musa: “Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Maka apakah kamu telah mendurhakai perintahku? (QS. Thaha: 92-93).

📌 Para ulama tafsir menyebutkan maksud teguran Nabi Musa kepada Nabi Harun (ألا تتبعن) “Mengapa kamu tidak mengikuti aku?”:

✅ Mengapa kamu tidak segera pergi menyusulku bersama kelompok yang tetap beriman untuk memberitahuku tentang kesesatan mereka? (Ath-Thabari: 18/359; Ibnu Katsir: 5/312).
✅ Mengapa engkau tidak perangi mereka, karena engkau tahu kalau aku ada saat itu, pasti aku akan perangi mereka. (Zad Al-Masir: 3/172, Al-Baghawi: 3/272-273).
✅ Mengapa engkau tidak mengikutiku dengan mengingkari kemunkaran mereka? (Zad Al-Masir: 3/172, Fath Al-Qadir: 3/451). Jika yang dimaksud adalah mengingkari dengan lisan, maka Nabi Harun telah melakukannya seperti yang disebutkan oleh surat Thaha ayat 90. Berarti yang dituntut Nabi Musa adalah pengingkaran dengan tangan.

📌 Atas pertanyaan saudara kandungnya, Nabi Harun menjawab:

قَالَ يَبْنَؤُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلَا بِرَأْسِي إِنِّي خَشِيتُ أَنْ تَقُولَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ تَرْقُبْ قَوْلِي

“Hai putera ibu, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan (pula) kepalaku; sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku): “Kamu telah memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara (memperhatikan) ucapanku.” (QS. Thaha: 94)

📚 Pelajaran Fiqih Da’wah dari Nabi Harun ‘alaihissalam:

1⃣ Nasihat Nabi Harun kepada kaumnya menunjukkan urutan tema da’wah yang sangat indah:

✅ Sesungguhnya kamu hanya diuji dengan anak lembu itu: ini merupakan bentuk إزالة الشبهات (upaya melenyapkan syubhat aqidah dan pemahaman) dengan mengingatkan mereka agar jangan mudah terperosok kepada kesesatan hanya oleh seorang Samiri, padahal mereka telah meilhat berbagai mu’jizat dan ni’mat Allah melalui Nabi Musa alaihissalam.
✅ Dan sesungguhnya Rabb kalian ialah Ar-Rahman: mengingatkan mereka dengan معرفة الله (ma’rifatullah), sebagai asas iman yang benar.
✅ Maka ikutilah aku: mengingatkan mereka dengan معرفة النبوة mengenal kenabian agar dibimbing oleh utusan Allah.
✅ Dan taatilah perintahku: mengingatkan mereka untuk اتباع الشريعة (mengikuti syariat) sebagai jalan hidup yang lurus. (Lihat Mafatih Al-Ghaib, Al-Razi: 22/92).

2⃣ Ucapan Nabi Harun “Wahai putra ibu..” menunjukkan posisi seorang ibu yang amat penting bagi kedekatan anak-anaknya dengan kasih sayangnya yang melebihi seorang ayah. Nabi Harun mengingatkan Nabi Musa dengan ibu mereka berdua untuk meredakan kemarahan Nabi Musa kepadanya, meskipun mereka berdua adalah saudara kandung seayah dan seibu.

3⃣ Nabi Harun ‘alaihissalam mengetahui kapasitas dirinya sehingga ia tidak melakukan tindakan yang dapat menimbulkan akibat lebih buruk. Akan berbeda akibatnya jika yang melakukannya adalah Nabi Musa, karena ia lebih memiliki kharisma dari pada Nabi Harun. Ini tersirat dari ucapannya: “Sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah.”

4⃣ Ada fiqih muwazanat (timbangan maslahat & madharat) dan fiqih awlawiyat (prioritas) yang diperhatikan oleh Nabi Harun yang terlihat dari jawabannya atas teguran Nabi Musa (Thaha: 94).

Menurut Nabi Harun:

✅ Maslahat tetap membersamai ummat yang tersesat lebih besar dari pada maslahat meninggalkan mereka untuk menyusul Nabi Musa.
✅ Madharat perpecahan ummat jauh lebih besar dari pada madharat tidak berlaku keras atau tidak memerangi kelompok yang menyimpang, meskipun peyimpangan dan kesesatan mereka sangat nyata, dan meskipun beliau juga seorang nabi yang memiliki legalitas dan wewenang tinggi untuk berlaku keras.
Artinya Nabi Harun memprediksi akan terjadi perpecahan bahkan perang saudara jika ia dan orang-orang yang tetap beriman bersikap keras. Kesesatan mereka bisa diatasi saat Musa kembali sehingga Nabi Harun lebih memilih sabar. Sedangkan nyawa yang hilang tak dapat dikembalikan, juga keutuhan ummat sulit dipulihkan setelah cerai berai oleh perang meskipun Nabi Musa telah kembali.
Tentu, muwazanah seperti muwazanah Nabi Harun lebih layak diperhatikan terhadap hal-hal yang “penyimpangannya” masih diperdebatkan.

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

ADAB KESOPANAN DAPAT MENDATANGKAN HIDAYAH

📆 Ahad, 20 Rajab 1437H / 17 April 2016

📚 Tazkiyatun Nufus

📝 Pemateri: Ustadz Ahmad Sahal Hasan, Lc

📝 ADAB KESOPANAN DAPAT MENDATANGKAN HIDAYAH

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

📎 Jangan remehkan adab kesopanan atau minimal respect kepada sesama manusia, apalagi orang shalih, terutama kepada Rasul Allah, karena boleh jadi Allah menganugrahkan hidayah-Nya kepada seseorang karenanya, meskipun orang tersebut tadinya bergelimang dosa.

Mungkin saja, penyebab tukang sihir Fir’aun beriman kepada Allah karena adab dan respect mereka kepada Nabi Musa, dimana dalam pertarungan, mereka menyerahkan kepada Nabi Musa siapa yang lebih dulu melemparkan tongkat..

قَالُوا يَا مُوسَى إِمَّا أَنْ تُلْقِيَ وَإِمَّا أَنْ نَكُونَ نَحْنُ الْمُلْقِينَ (الأعراف: 115)

Ahli-ahli sihir berkata: “Hai Musa, kamukah yang akan melemparkan lebih dahulu, ataukah kami yang akan melemparkan? (QS. Al-A’raf: 115).

📌 Penulis tafsir Al-Khazin berkata:

✅ في هَذِهِ الآيَةِ دَقِيْقَةٌ لَطِيفَةٌ وَهِيَ أَنَّ السَّحَرَةَ رَاعُوا مَعَ مُوسَى عَلَيْهِ الصَّلَاُة وَالسَّلَامُ حُسْنَ الأَدَبِ حَيْثُ قَدَّمُوهُ عَلَى أَنْفُسِهِمْ فِي الإِلْقَاءِ لَا جَرَمَ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ عَوَّضَهُمْ حَيْثُ تَأَدَّبُوا مَعَ نَبِيِّهِ مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَنَّ عَلَيْهِمْ بِالإِيْمَانِ وَالْهِدَايَةِ.

✅ “Di ayat ini terdapat sebuah isyarat halus, yaitu bahwa para tukang sihir telah memperhatikan adab yang baik kepada Nabi Musa ‘alaihish-shalatu was-salam, dimana mereka mendahulukan Nabi Musa sebelum diri mereka dalam melempar (tongkat). Tidak diragukan lagi bahwa Allah azza wajalla memberi ganti kepada mereka dimana mereka telah berlaku adab bersama Nabi-Nya, Musa alaihissalam, dengan anugrah iman dan hidayah kepada mereka.

✅ ولَمَّا رَاعُوا الأَدَبَ أَوَّلًا وَأَظْهَرُوا مَا يَدُلُّ عَلَى رَغْبَتِهِمْ فِي ذَلِكَ قَالَ لَهُمْ مُوسَى ((أَلْقُوا)) يَعْنِي أَنْتُمْ. فَقَدَّمَهُمْ عَلَى نَفْسِهِ فِي الإِلْقَاءِ

✅ Dan ketika mereka lebih dulu memperhatikan adab itu, dan menampakkan keinginan mereka terhadapnya, Nabi Musa pun berkata kepada mereka “Lemparkanlah (tongkat) kalian lebih dulu. Nabi Musa pun mendahulukan mereka sebelum dirinya melempar tongkatnya.”

📌 (Tafsir Al-Khazin – ‘Alauddin bin ‘Ali Al-Khazin)

✔️ Saling Respect ☝️

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

MANAJEMEN MARAH

📆 Sabtu, 09 Rajab 1437H / 16 April 2016

📚 KELUARGA

📝 Pemateri: Ustadzah KINGKIN ANIDA

📝 MANAJEMEN MARAH

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌿🍀

Sahabatku yang dirahmati Allah Azza wa Jalla,
Istri adalah belahan jiwa seorang suami. Memandangnya menyejukkan mata. Mendengar tutur katanya menenangkan perasaan. Istri anugerah terindah dari Allah Yang Maha Pengasih Maha Lembut.

Allah berfirman :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَب
Artinya : Laki-laki (suami) itu pelindung  bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan mereka laki-laki telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).  Perempuan perempuan  yang kamu khawatirkan akan nusyuz ( meninggalkan kewajiban suami istri) hendaklah kamu beri  nasehat pada mereka, dan tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang) dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari cari alasan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (An-Nisa : 34).

Memahami hakikat bahwa suami adalah pelindung istri, maka lelaki yang telah menikah itu  dimaknai seperti pakaian yang melindungi badan atau bak payung melindungi pemakainya dari panas/hujan atau dapat dimaknai benteng yang melindungi penghuni dari serangan musuh. Suami itu seseorang yang berkarakter kuat, lembut, mampu menahan goncangan dan memberi rasa aman. Demikianlah tentu saja yang dilindungi (istri) mempunyai kekuatan, kelembutan, atau sifat lebih lemah darinya.

Islam memiliki parameter  dalam menilai kekuatan. Sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
“لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ“
“Orang yang kuat bukanlah jago gulat, namun orang yang kuat adalah yang mampu menahan diri manakala marah” ( HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Jika seorang istri suka marah marah, berarti dia seorang yang lemah. Baik lemah secara wawasan, jasmani, maupun rohaninya.  Para suami hendaknya bisa bersabar dan kuat menghadapi kemarahan istri. Kesabaran suami haruslah diatas kesabaran istri. Batas kemarahannya mesti berada tiga level dibawah level istri. Suami tidak menjadi marah atau tambah marah saat istrinya marah marah…

“وَإِذَا غَضِبْتَ فَاسْكُت”
“Jika engkau marah diamlah”(HR. Ahmad dan dinilai sahih oleh al-Albany).
Nasehat bagi istri yang lemah, adalah bagian dari kewajiban seorang suami sebagaimana terkandung dalam tarjamah surat An Nisa ayat 34.
Nasehatilah dia, para istri dengan :

✅ Pertama, cobalah diberi waktu istirahat atau tidur yang cukup. Bantu beberapa pekerjaan rumah yang memerlukan tenaga yang besar seperti mengepel lantai, menyetrika pakaian dan menyikat kamar mandi. Kisahkan tentang surga bagi istri yang menahan amarah, sebagaimana sabda Nabi , “Janganlah marah maka bagimu surga”. Tentunya nasehat ini diberikan padanya tidak dihadapan anak atau orang lain. Mengapa? Ya karena nasehat didepan selain dirinya, hanya akan menimbulkan “defence mechanism”. Dia semakin bertahan kuat dan nusyuz (membantah).

✅ Kedua, gambaran yang jelas tentang wanita surga itu lemah lembut, sabar dan cantik, tentu menambah kuat nilai sebuah nasehat. Setiap wanita pada dasarnya cantik. Tak ada wanita yang jelek. Seorang wanita kelihatan jelek saat dia terjebak pada kemarahan. Kemarahan juga hanya akan menambah daftar penyakit masuk kedalam tubuh.

✅ Ketiga, bila dia mau untuk bersabar tapi tak mampu melakukannya, maka seorang suami bisa menawarkan diri sebagai “Coach” yang akan membantunya dengan mengingatkan agar istri saat marah segera memegang dadanya lalu berta’awudz, menarik nafas, melepasnya dan beristighfar. Merubah posisi. Mengambil wudhu dan membaca Al Qur’an.

Tiga point diatas sudah dijalankan, namun istri pemarah mengalami kesulitan menghentikan kebiasaan marahnya?

Maka cobalah dengan langkah berikutnya :

✅ Keempat, berilah kesempatan pada istri untuk  keluar rumah, ikut Majlis Ta’lim. Hadir di Majlis taklim itu seakan piknik atau rihlah ruhiyah. Menyegarkan hati yang penat. Atau bersama ke toko Buku dan menghadiahkan kepadanya buku atau Majalah tentang Pendidikan Anak dalam Islam.

✅ Kelima, jika rangkaian hal tersebut terlalu panjang tahapannya dan ia membantah begitu diingatkan, maka saat itu segeralah peluk dia dan bacakan ayat perlindungan (surat-surat muawidzatain yaitu Annas dan Al Falaq). Jangan lupa godalah untuk bisa tersenyum! Pastikan bahwa kondisi suami juga dalam kelapangan dada. Dalam hubungan yang dekat dengan Allah Yang Maha Bijaksana.

✅ Keenam, bila istri mengulang kembali marah marahnya, maka punggungi dia ditempat tidur (untuk menunjukkan perasaan suami) dengan catatan suami tidak perlu pindah ranjang atau meninggalkan rumah maupun tidak bicara sama sekali dengan istri. Dengan membelakangi istri, kemungkingan dia akan merasa sedang ditegur.

Sahabatku yang dirahmati Allah Azza wa Jalla,
Istri adalah belahan jiwa seorang suami. Memandangnya menyejukkan mata. Mendengar tutur katanya menenangkan perasaan. Istri anugerah terindah dari Allah Yang Maha Pengasih Maha Lembut.

Setiap wanita yang mempunyai kelembutan meski sebesar dzarrah dalam hatinya tentu akan pelan pelan berubah dengan nasehat-nasehat tersebut diatas. Memerlukan waktu yang agak panjang untuk hal itu. Bersabarlah. Langkah berikut mungkin akan menjadi jalan keluar terbaik Insya Allah :

✅ Ketujuh, jelaskan padanya bahwa para suami menginginkan kebaikan dan kelembutan tumbuh dalam diri istri. Bahkan kemarahan yang terus menerus bisa mematikan cinta. Tiadanya cinta dalam perkawinan akan menurunkan gairah bersama. Menjadikan malam malam dalam kehidupan perkawinan, bak siksaan. Seperti tersiksanya hati seorang  Ayah mendengar kabar bahwa anak perempuannya dalam kesakitan, kesedihan, dan penderitaan hidup.

✅Kedelapan, kekerasan di hati seorang istri apabila tidak berkesudahan maka perlu untuk ‘dipecahkan’. Memukul dengan ringan, kemungkinan bisa menjadi jalan keluar sebagaimana yang pernah dilakukan Nabi Ayyub kepada istrinya. Dalam hal ini adalah sunnah untuk menghukum istri dengan cara memukulnya.

Pilihlah waktu pelaksanaan memukul, yaitu diwaktu hati suami sedang tenang, sehingga pukulan tak menyakitkan. Memilih alat pukul yang ringan seperti koran, sajadah, jilbab, atau perlengkapan sholat lainnya. Sampaikan terlebih dulu bahwa itu dilakukan sebagai jalan keluar terakhir sesuai perintah Allah dalam QS surat An Nisa ayat 34. Unik ya?

Semoga hal demikian akan mengubah prilaku kerasnya menjadi semakin lembut.
” Bertakwalah kalian kepada Allah dalam perkara para wanita (istri), karena kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang kalian benci untuk menginjak di hamparan (permadani) kalian, jika mereka melakukan hal tersebut maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras” (HR. Muslim).

Ya memang memukul adalah jalan paling akhir dari masalah sifat istri yang pemarah. Nabi kita mengajarkan kelembutan dan kasih sayang. Beliau kanjeng Nabi mendapat gelar “Roufur Rahim” lantaran karakter kuat dalam kelembutannya.  Dari Aisyah radhiyallahu’anha, ” Rasulullah sama sekali tidak pernah memukul seseorang pun dengan tangannya, tidak pernah memukul seorang wanita, tidak pernah pula memukul pembantunya, …” ( HR. Muslim).

Wallahu’alam bishowab

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

Tanggung Jawab Pendidikan Anak-Anak Kita Ada Pada Siapa?

📆 Sabtu, 09 Rajab 1437H / 16 April 2016

📚 KELUARGA & PARENTING

📝 Pemateri: Ustadzah Dra. Indra Asih

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁 🌿
 
Serasa terkoyak sembilu hati ini, membaca berita seorang anak yang gusar pada ibundanya karena menganggap sang bunda yang sudah renta terlalu lama membelikan nasi uduk untuk sarapan si anak. Kegusaran yang mendorong sang anak tega memukul kepala sang bunda dengan gagang cangkul hingga sang bunda yang naas ini menghembuskan nafas terakhirnya di tangan anak semata wayangnya. Sebelum kejadian menyedihkan itu berlangsung, sang bunda renta yang sedang sibuk mencuci baju kotor sudah berusaha tergopoh berlari membelikan nasi uduk untuk sang anak yang baru bangun kesiangan, merasa lapar, dan dengan kasar memerintahkan ibundanya untuk segera menyiapkan sarapan. Bukannya, merasa malu dan segera mengambil alih kerepotan ibundanya. Satu contoh dari sekian kasus yang relatif sama yang cukup banyak kita baca atau dengar. Duh, ada apa dengan kalian nak?

Sebagai seorang ibu, tercenung aku membaca headline berita, “Kenakalan Remaja Sudah Tak Wajar Dan Mulai Bergeser Ke Arah Kriminal”. Atau membaca opini yang berisi kekurangyakinan atas efektifitas pemberlakuan kurikulum pendidikan.

Muncul pertanyaan pada diri sendiri, sebagai seorang ibu, siapakah yang paling dominan membentuk kepribadian anak-anak kita? Pemerintah? Lingkungan? Masyarakat? Guru-guru atau sekolah? Pembantu? Atau..berat dan lirih aku menyebutkannya, orang tua? Ibu? Kita? Saya?

Apakah kita masih ingat untuk terus menanamkan nilai-nilai mulia ini pada anak-anak kita? “…Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya . Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS Al-Israa’ : 23-24)

Bagaimana dengan konsep, prioritas keutamaan manusia di hadapan anak-anaknya, “ibumu, ibumu, ibumu, baru ayahmu” ?

Sesuai hadits berikut,

Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, beliau berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Atau apa yang terjadi dengan mengajarkan keyakinan bahwa doa restu orang tua adalah sesuatu yang begitu sakral untuk memotivasi dan mendorong kesuksesan seorang anak?

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لاَ تُرَدُّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ ، وَدَعْوَةُ الصَّائِمِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ

“Tiga do’a yang tidak tertolak yaitu do’a orang tua, do’a orang yang berpuasa dan do’a seorang musafir.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro)

Dalam pembicaraan sehari-hari, ada istilah ibukota, untuk menggambarkan kota yang utama di suatu wilayah atau negeri, tempat berpusat semua aktifitas-aktifitas penting. Ada juga ibu jari, untuk menyebut jari yang paling besar dan menonjol di telapak tangan kita. Pada sebuah computer, motherboard adalah bagian tempat pusat pemrosesan. Ada juga ibu pertiwi, ada sel induk,ada pasar induk dan seterusnya. Tentu saja, maksud tulisan ini bukan untuk membahas istilah-istilah, tapi lebih untuk mengangkat bahwa sadar ataupun tidak sadar, ketika kita ingin menyebut satu bagian dalam suatu sistem, adalah bagian yang terpenting atau sebagai pusat pengorganisasian bagian-bagian lain, maka tak ayal, kata ibu, mother atau induk akan digunakan.

Masihkah anak-anak kita menganggap bahwa kita adalah bagian terpenting di rumah-rumah kita? Ketika, wujud dan keberadaan kita hampir-hampir tidak nampak di mata anak-anak kita, dengan berbagai alasan. Mengejar karir, eksistensi diri, atau bahkan kegiatan-kegiatan menghabiskan waktu untuk keasyikan dan kesenangan diri kita semata. Bagaimana dengan anak-anak? Cukup kita sediakan buat mereka pembantu-pembantu yang dengan sigap melayani kebutuhan mereka. Pendidikan mereka? Cukup kita sekolahkan mereka pada sekolah-sekolah yang kita anggap baik seharian penuh, ditambah dengan kursus-kursus tambahan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka.

Sebagian ibu sekarang ketika ditanya, “Sekarang kerja dimana?”, meresponnya dengan berat, atau bahkan berusaha mengalihkan pembicaraan atau menjawab dengan suara lirih sambil tertunduk “Saya adalah ibu rumah tangga”. Malu!
Apalagi jika yang menanyakan itu, seorang ibu yang “sukses” berkarir di sebuah perusahaan besar.
Apalagi jika yang ditanya adalah ibu lulusan universitas ternama dengan prestasi bagus atau bahkan berpredikat cumlaude tapi telah “menyia-nyiakan kepandaiannya” dengan menjadi ibu rumah tangga.

Wahai ibu, posisi dan peran kita begitu mulia.

Realitanya sekarang menyedihkan! Tidak semua memang, tapi banyak dari para ibu yang sibuk bekerja dan tidak memperhatikan bagaimana pendidikan anak mereka.
Bagaimana mungkin pekerjaan menanamkan budi pekerti yang baik di dada-dada anak-anak kita bisa dikalahkan dengan gaji jutaan rupiah di perusahaan bergengsi? Atau kepuasan eksistensi diri kita?

Tapi, bisa saja banyak ibu-ibu penuh waktu mereka di rumah, namun tidak juga mereka memperhatikan pendidikan anak-anak mereka, bagaimana kepribadian anak mereka dibentuk. “Full” di rumah tapi tidak perduli dengan pendidikan anak-anak mereka. Membesarkan anak seolah hanya sekedar memberinya makan dan uang jajan saja.

Bukan masalah bekerja atau tidak bekerja, atau masalah keluar atau tidak keluar rumah, tapi yang utama adalah kesadaran kita bahwa mendidik anak-anak kita bukanlah hanya bertujuan menginginkan serta mengarahkan anak-anak kita bahwa kesuksesan mereka adalah keberhasilan akademis dan karir mereka, meraih hidup yang berkecukupan, cukup untuk membeli rumah mewah, cukup untuk membeli mobil mentereng, cukup untuk membayar sekian pembantu, mempunyai keluarga yang bahagia, berakhir pekan di tempat-tempat rekreasi.

Bukan hanya itu!

Wahai ibu…

Di usia tua kita, dalam kondisi makin lemah, apakah anak-anak kita akan teringat keutamaan kita kalau kita tidak optimal mendidik anak-anak kita?

Apakah justru mereka sedang sibuk dengan karir mereka yang dulu selalu kita bangga-banggakan melebihi kebanggaan atas keberhasilan mereka belajar menata perilaku dan akhlak mereka?
Atau mungkin mereka sedang asyik dengan istri dan anak-anak mereka?

Sedangkan kita? Sosok renta yang membebani mereka, tidak berguna, dan mengganggu kesenangan mereka?

Hangat terasa air mataku mengalir, tak sanggup membayangkannya..

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

Menganggap bahwa taubat hanya layak dilakukan apabila telah yakin bahwa dirinya tidak akan kembali bermaksiat.

📆 Jumat, 08 Rajab 1437H / 15 April 2016

📚 Motivasi

📝 Ustadz Abdullah Haidir Lc.

📋 KEKELIRUAN SEPUTAR TAUBAT

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

Kekeliruan:

✅Menganggap bahwa taubat hanya layak dilakukan apabila telah yakin bahwa dirinya tidak akan kembali bermaksiat.

✅Menunda-nunda bertaubat karena khawatir dirinya akan mengulangi kemaksiatan yang sama.

✅Kian larut dalam maksiat tanpa keinginan mengurangi. Menganggap bahwa taubat tak bermanfaat selama masih suka berdosa.

✅Jika kembali berbuat dosa dirinya menganggap telah mempermainkn taubat dan bersikap munafik.

✅Lebih mengedepankan motivasi duniawi ketimbang ikhlas semata krn Allah seraya berharap ridho dan ampunanNya.

✅Rancu dlm memahami antar “tekad” tak kembali bermaksiat dengan “jaminan” tidak kembali bermaksiat.

✅Tekad tidak kembali bermaksiat adalah syarat taubat. Tapi jaminan tdk kembali bermaksiat bukan syarat taubat.

✅Meninggalkan kewajiban-kewajiban agama dan menjauhi majelis orang-orang saleh dan majelis zikir dengan anggapan dirinya masih penuh kotoran maksiat.

✅Hanya suka membesar-besarkan dosanya, lupa dengan kemurahan dan ampunan Allah yg lebih besar.

✅Tidak bertaubat lagi jika ternyata mengulangi maksiat dengan anggapan taubat berikutnya tidak diterima.

💦Yang benar,
❣jika bermaksiat lagi, taubat lagi…
❣bermaksiat lagi, taubat lagi.
❣Kalahkan setan oleh taubatmu sebelum dia mengalahkanmu dg ke-putus asa-an mu..

❣Sebelum nyawa sampai kerongkongan, atau matahari terbit dari barat, tidak ada yg menutup pintu taubat, selama ikhlas…

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

Berkisah kembali tentang Uhud. Teringat kisah Nusaibah Ummu umarah.

📆 Jumat, 08 Rajab 1437H / 15 April 2016

📚 Motivasi

📝 Ustadzah Rochma Yulika

📋 Mari Kita Belajar dari Nusaibah Ummu Umarah

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁

🍁Berkisah kembali tentang Uhud.
Teringat kisah Nusaibah Ummu umarah.

💦Kematiannya di Medan perang disambut oleh para penduduk langit.

Dari kejauhan langit nampak hitam berarak seolah sedang bersuka cita menyambut hadirnya sang Mujahidah yang Syahid dalam kisah Uhud.

🌷Beliau seorang wanita yang memiliki 2 anak yang keduanya telah dipersembahkan untuk perjuangan dakwah ilallah setelah suaminya tiada ketika kedua anaknya masih belia.

🍃Dengan penuh keyakinan dia serahkan anak-anaknya kepada Rasulullah untuk membantu perjuangan ini.
Keduanya pun akhirnya syahid.

💦Hingga akhirnya tiada lagi yang bisa diserahkan untuk menjadi pasukan, maka dirinyalah yang akhirnya maju ke gelanggang untuk berhadapan dengan musuh di bukit Uhud.

💡Seorang ibu yang gagah berani bahkan tak ada rasa gentar sedikit pun kala harus menghadapi kaum kafir Quraisy.

Dia sempat terluka hingga tak sadarkan diri.
Ketika tersadar ia berjumpa dengan Ibnu Mas’ud.
Dia tak menghiraukan keadaan dirinya, yang pertama kali dilakukan ketika sadar adalah bertanya tentang keadaan Rasulullah.

🍁Ibnu Mas’ud pun bercerita bahwa Rasulullah terluka hingga ada giginya yang tanggal.

❣Kecintaan yang amat sangat terhadap Rasulullah membuat gelora jihad di dalam dadanya membuncah.

Seketika Nusaibah memohon agar Ibnu Mas’ud agar meminjamkan kuda perang dan senjatanya.

Pada Awalnya Ibnu Mas’ud menolak, namun Nusaibah ummu Umarah memaksanya hingga akhirnya diberikan kuda perang dan senjata tersebut.

Seketika itu Nusaibah menuju gelanggang perang untuk melawan musuh Allah.
Dia pun berhasil membunuh salah satu tentara Quraisy.

Qadarullah tangan kanan Nusaibah terkena tebasan pedang hingga putus.
Keadaan itu tak membuatnya gentar dan semangat memudar. Justru keadaan itulah yang semakin menghadirkan semangat untuk melawan musuh.

Dengan menggunakan tangan kiri yang serba terbatas dia tetap berjuang melawan musuh.
Tak ayal lagi sang ibu pemilik 2 syahid pun harus rela kehilangan tangan kirinya.

🍃Hingga akhirnya ujung kesyahidan menjadi miliknya yakni ketika pasukan Quraisy mampu menebas tubuhnya.

Masya Allah laa quwwata illa billah….

✅Dimana kini Nusaibah-nusaibah pencetak sejarah???

✅Masihkah ada wanita tangguh yang gagah tuk berjuang di sabilillah???

✅Atau sudah tidak ada lagi penerus perjuangan yang memiliki semangat yang menggelora selayaknya para shahabiyah di masa lampau??

💦Ketika menapaktilasi sejarah hidup mereka, diri merasa malu dan seolah tak pantas untuk bersanding dengan para syuhada’.

Mereka hidup hanya untuk Allah…. Hingga besarnya kecintaan itu mengalahkan rasa yang mendera.

Dan kita????

💧Sudah saatnya kita memantaskan diri hingga layak bersanding dengan para pendahulu kita di hadapan Ilahi nanti.

💧Selalu berusaha untuk meneladani para shahabiyah dan mengambil hikmah agar diri tak salah melangkah.

💧Menjadilah kuat agar semangat tetap melekat.
Menjadilah tegar agar jiwa kita kokoh seperti pejuang Badar.

💧Mari segera bergegas agar diri pantas berada di antara para mukminah pencetak sejarah Islam.

🔹Man jadda wa jadda….

💧Kehidupan akhirat yang tiada berujung jadikan sebagai inspirasi agar tetap mampu bertahan di jalan dakwah ini.

💧Dan miliki harapan agar menjadi pribadi dahsyat yang mampu meninggalkan jejak kebaikan melalui karya dan kiprah kita yang tiada henti di jalan Ilahi.

Wallahu musta’an

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Dipersembahkan:
www.iman-islam.com

💼 Sebarkan! Raih pahala…

logo manis4

Kedudukan & Makna Hadist Tasyabbuh Bil Kuffar

💦💥💦💥💦💥

Pertanyaan

Assalamualaikum ustadz/ah…saya mau bertanya tentang:

1. Kedudukan hadits: “من تشبه بقوم فهو منهم”

2. Bagaimana aplikasi hadits diatas dlm keseharian kita. Apakah HANYA menyangkut aqidah? Fiqih? Mu’amalah? Atau SEMUA sisi kehidupan kita?
Karena, hampir sebagian hidup kita banyak mengadopsi kebudayaan non muslim seperti makanan, pakaian, teknologi, bahasa, hiburan dll.
جزاكم الله خيرا….
🅰0⃣8⃣


Jawaban

Oleh: Ustadz Farid Nu’man Hasan

Wa’Alaikumussalam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘ala Rasulillah wa Ba’d:

Langsung aja ya ..

📕Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.” (HR. Abu Daud No. 4031, Ahmad No. 5115, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf  No.33016, dll) (1)

📘Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Bukan golongan kami orang yang menyerupai selain kami, janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani.(HR. At Tirmdizi No. 2695, Al Qudha’i, Musnad Asy Syihab No. 1191) (2) (Keshahihan hadits ini lihat pada catatan kaki)

Ketika menjelaskan hadits-hadits di atas, Imam Abu Thayyib mengutip dari Imam Al Munawi dan Imam Al ‘Alqami  tentang hal-hal yang termasuk penyerupaan dengan orang kafir:

“Yakni berhias seperti perhiasan zhahir mereka, berjalan seperti mereka, berpakaian seperti mereka, dan perbuatan lainnya.” (Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim, ‘Aunul Ma’bud, 11/51)

Imam Abu Thayyib Rahimahullah juga mengatakan:

Lebih dari satu ulama berhujjah dengan hadits ini bahwa dibencinya segala hal terkait dengan kostum yang dipakai oleh selain kaum muslimin. (Ibid, 11/52)

Demikianlah keterangan para ulama bahwa berhias dan menggunakan pakaian yang menjadi ciri khas mereka –seperti topi Sinterklas, kalung Salib, topi Yahudi, peci Rabi Yahudi- termasuk makna tasyabbuh bil kuffar – menyerupai orang kafir yang begitu terlarang dan dibenci oleh syariat Islam.

Ada pun pakaian yang bukan menjadi ciri khas agama, seperti kemeja, celana panjang, jas, dasi, dan semisalnya, para ulama kontemporer berbeda pendapat apakah itu termasuk menyerupai orang kafir atau bukan.  Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah menganggap kostum-kostum ini termasuk menyerupai orang kafir, maka ini hal yang dibenci dan terlarang, bahkan menurutnya termasuk jenis kekalahan secara psikis umat Islam terhadap bangsa-bangsa penjajah. Sedangkan menurut para ulama di Lajnah Daimah kerajaan Saudi Arabia seprti Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, dan lainnya, menganggap tidak apa-apa pakaian-pakaian ini. Sebab jenis pakaian ini sudah menjadi biasa di Barat dan Timur. Bukan menjadi identitas agama tertentu.

Pendapat kedua inilah yang lebih tepat, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam riwayat shahih, pernah memakai Jubah Romawi yang sempit. Sebutan “Jubah Romawi” menunjukan itu bukan pakaian kebiasaannya, dan merupakan pakaian budaya negeri lain (Romawi), bukan pula pakaian simbol agama, dan Beliau memakai jubah Romawi itu walau agama bangsa Romawi adalah Nasrani.

Dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakai jubah Romawi yang sempit yang memiliki dua lengan baju.(HR. At Tirmidzi No. 1768, katanya: hasan shahih. Ahmad No. 18239. Al Baghawi, Syarhus Sunnah No. 3070. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Al Albani, dan lainnya)

Sementara dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengenakan Jubbah Syaamiyah (Jubah negeri Syam).  Riwayat ini tidak bertentangan dengan riwayat Jubbah Rumiyah. Sebab, saat itu Syam termasuk wilayah kekuasaan Romawi.

Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan:

Banyak terdapat dalam riwayat Shahihain dan lainnya tentang Jubbah Syaamiyah, ini tidaklah menafikan keduanya, karena Syam saat itu masuk wilayah pemerintahan kerajaan Romawi. (Tuhfah Al Ahwad zi, 5/377)

Syaikh Al Mubarkafuri menerangkan, bahwa dalam keterangan lain,  saat itu terjadi ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang safar. Ada pun dalam riwayat Malik, Ahmad, dan  Abu Daud, itu terjadi ketika perang Tabuk, seperti yang dikatakan oleh Mairuk. Menurutnya hadits ini memiliki pelajaran bahwa bolehnya memakai pakaian orang kafir, sampai-sampai walaupun terdapat najis, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakai Jubah Romawi tanpa adanya perincian (apakah baju itu ada najis atau tidak). (Ibid)

📌Mengambil Ilmu Dari Mereka (Orang Kafir) Bukan Termasuk Tasyabbuh (penyerupaan)

Begitu pula mengambil ilmu dan maslahat keduniaan yang berasal dari kaum kuffar, maka ini boleh. Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menggunakan cara Majusi dalam perang Ahzab, yaitu dengan membuat Khandaq (parit) sekeliling kota Madinah. Begitu pula penggunakaan stempel dalam surat, ini pun berasal dari cara kaum kuffar saat itu, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengikutinya.

Oleh karena itu, memakai ilmu keduniaan dari mereka, baik berupa penemuan ilmiah, fasilitas elektronik, transportasi, software, militer, dan semisalnya, tidak apa-apa mengambil manfaat dari penemuan mereka. Ini bukan masuk kategori menyerupai orang kafir. Sebab ini merupakan hikmah (ilmu) yang Allah Ta’ala titipkan melalui orang kafir, dan seorang mu’min lebih berhak memilikinya dibanding penemunya sendiri, di mana pun dia menjumpai hikmah tersebut.

Jadi, tidak satu pun ketetapan syariat yang melarang mengambil kebaikan dari pemikiran teoritis dan pemecahan praktis non muslim dalam masalah dunia selama tidak bertentangan dengan nash yang jelas makna dan hukumnya serta kaidah hukum yang tetap. Oleh karena hikmah adalah hak muslim yang hilang, sudah selayaknya kita merebutnya kembali. Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan –dengan sanad dhaif- sebuah kalimat, “Hikmah adalah harta dari seorang mu’min, maka kapan ia mendapatkannya, dialah yang paling berhak memilikinya.”

Meski sanadnya dhaif, kandungan pengertian hadits ini benar. Faktanya sudah lama kaum muslimin mengamalkan dan memanfaatkan ilmu dan hikmah yang terdapat pada umat lain. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr, bahwa Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu pernah berkata, “Ilmu merupakan harta orang mu’min yang hilang, ambil-lah walau dari orang-orang musyrik.” (3) Islam hanya tidak membenarkan tindakan asal comot terhadap segala yang datang dari Barat tanpa ditimbang di atas dua pusaka yang adil, Al Qur’an dan As Sunnah.

Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah

🌿🌿🌿🌿🍃🍃🍃🍃


Catatan Kaki:

1] Imam As Sakhawi mengatakan ada kelemahan dalam hadits ini,   tetapi hadits ini memiliki penguat (syawahid), yakni hadits riwayat Al Bazzar dari Hudzaifah dan Abu Hurairah, riwayat Al Ashbahan dari Anas bin Malik, dan riwayat Al Qudha’i dari Thawus secara mursal. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 215).

Sementara, Imam Al ‘Ajluni mengatakan, sanad hadits ini shahih menurut Imam Al ‘Iraqi dan Imam Ibnu Hibban, karena memiliki penguat yang disebutkan oleh Imam As Sakhawi di atas. (Imam Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa, 2/240). Imam Ibnu Taimiyah mengatakan hadits ini jayyid (baik). Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan sanadnya hasan.(Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim, Aunul Ma’bud, 11/52). Syaikh Al Albani mengatakan hasan shahih. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4031)

2] Sebagaimana kata Imam AtTirmidzi, Pada dasarnya hadits ini dhaif, karena dalam sanadnya terdapat Ibnu Luhai’ah seorang perawi yang terkenal kedhaifannya. Namun, hadits ini memiliki berapa syawahid (penguat), sehingga Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menghasankan hadits ini dalam berbagai kitabnya. (Shahihul Jami’ No. 5434, Ash Shahihah No. 2194). Begitu pula yang dikatakan Syaikh Abdul Qadir Al Arna’uth, bahwa hadits ini memiliki syawahid yang membuatnya menjadi kuat. (Raudhatul Muhadditsin No. 4757)

3] Hadits: “Hikmah adalah kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja dia menemukannya maka dialah yang paling berhak memilikinya.”

Hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh I mam At Tirmidzi dalam sunannya, pada Bab Maa Ja’a fil Fadhli Fiqh ‘alal ‘Ibadah, No. 2828. Dengan sanad: Berkata kepada kami Muhammad bin Umar Al Walid Al Kindi, bercerita kepada kami Abdullah bin Numair,  dari Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi, dari Sa’id Al Maqbari, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: …. ( lalu disebut hadits di atas).

Imam At Tirmidzi mengomentari hadits tersebut: “Hadits ini gharib (menyendiri dalam periwayatannya), kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini. Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi adalah seorang yang dhaif fil hadits (lemah dalam hadits).”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Kitab Az Zuhud Bab Al Hikmah, No. 4169. Dalam sanadnya juga terdapat Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi.

Imam Ibnu Hajar mengatakan, bahwa Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi adalah Abu Ishaq Al Madini, dia seorang yang Fahisyul Khatha’ (buruk kesalahannya). (Al Hafizh Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 1/14. Mawqi’ Al Warraq). Sementara Imam Yahya bin Ma’in menyebutnya sebagai Laisa bi Syai’ (bukan apa-apa). (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 1/105. Mawqi’ Ya’sub)

Sederetan para Imam Ahli hadits telah mendhaifkannya. Imam Ahmad mengatakan: dhaiful hadits laisa biqawwifil hadits (haditsnya lemah, tidak kuat haditsnya). Imam Abu Zur’ah mengatakan: dhaif. Imam Abu Hatim mengatakan: dhaifulhadits munkarulhadits (hadisnya lemah dan munkar). Imam Al Bukhari mengatakan: munkarul hadits. Imam An Nasa’imengatakan: munkarul hadits, dia berkata ditempat lain: tidak bisa dipercaya, dan haditsnya tidak boleh ditulis. Abu Al Hakim mengatakan: laisa bil qawwi ‘indahum (tidak kuat menurut mereka/para ulama). Ibnu ‘Adi mengatakan: dhaif dan haditsnya boleh ditulis, tetapi menurutku tidak boleh berdalil dengan hadits darinya.

Ya’qub bin Sufyan mengatakan bahwa hadits tentang “Hikmah” di atas adalah hadits Ibrahim bin Al Fadhl yang dikenal dan diingkari para ulama. Imam Ibnu Hibban menyebutnya fahisyul khatha’ (buruk kesalahannya).  Imam Ad Daruquthni mengatakan: matruk (haditsnya ditinggalkan), begitu pula menurut Al ‘Azdi. (Lihat semua dalam karya Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 1/131 .DarulFikr. Lihat juga Al Hafizh Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 2/43.Muasasah ArRisalah. Lihat juga Imam Adz Dzahabi, Mizan Al I’tidal, 1/52.Darul Ma’rifah. Lihat juga Imam Abu Hatim ArRazi, Al JarhwatTa’dil, 2/122. Dar Ihya AtTurats. Lihat juga Imam Ibnu ‘Adi Al Jurjani, Al Kamil fidh Dhu’afa, 1/230-231. Darul Fikr. Imam Al ‘Uqaili, Adh Dhuafa Al Kabir, 1/60. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Syaikh Al Albani pun telah menyatakan bahwa hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), lantaran Ibrahim ini. (Dhaiful Jami’ No. 4302. Dhaif Sunan At Tirmidzi, 1/320)

Ada pula yang serupa dengan hadits di atas:
“Hikmah adalah kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja seorang mukmin menemukan miliknya yang hilang, maka hendaknya ia menghimpunkannya kepadanya.”

Imam As Sakhawi mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Al Qudha’i dalam Musnadnya, dari hadits Al Laits, dari Hisyam bin Sa’ad, dari Zaid bin Aslam, secara marfu’. Hadits ini mursal. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, 1/105. Imam Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa’, 1/363)

Ringkasnya, hadits mursal adalah hadits yang gugur di akhir sanadnya, seseorang setelah tabi’in. Kita lihat, riwayat Al Qudha’i ini, Zaid bin Aslam adalah seorang tabi’in, seharusnya dia meriwayatkan dari seorang sahabat nabi, namun sanad hadits ini tidak demikian, hanya terhenti pada Zaid bin Aslam tanpa melalui sahabat nabi. Inilah mursal. Jumhur (mayoritas) ulama dan Asy Syafi’i mendhaifkan hadits mursal.

Ada pula dengan redaksi yang agak berbeda, bukan menyebut Hikmah, tetapi Ilmu. Diriwayatkan oleh Al ‘Askari, dari‘Anbasah bin Abdurrahman, dari Syubaib bin Bisyr, dari Anas bin Malik secara marfu’:

“Ilmu adalah barang mukmin yang hilang, dimana saja dia menemukannya maka dia mengambilnya.”

Riwayat ini juga dhaif. ‘Anbasah bin Abdurrahman adalah seorang yang matruk (ditinggal haditsnya), dan Abu Hatim menyebutnya sebagai pemalsu hadits.(Taqribut Tahdzib, 1/758)

Ibnu Abi Hatim bertanya kepada ayahnya (Abu Hatim) tentang ‘Anbasah bin Abdurrahman, beliau menjawab: matruk dan memalsukan hadits. Selain itu, Abu Zur’ah juga ditanya, jawabnya: munkarul hadits wahil hadits (haditsnya munkar dan lemah). (Al Jarh wat Ta’dil, 6/403)

Ada pun Syubaib bin Bisyr, walau pun Yahya bin Ma’in menilainya tsiqah (bisa dipercaya), namun Abu Hatimdan lain-lainnya
mengatakan: layyinulhadits. (haditsnya lemah). (Imam Adz Dzahabi, MizanulI’tidal, 2/262)

Ada pula riwayat dari Sulaiman bin Mu’adz, dari Simak, dari ‘ikrimah, dariIbnu Abbas, di antara perkataannya:
“Ambillah hikmah dari siapa saja kalian mendengarkannya, bisa jadi ada perkataan hikmah yang diucapkan oleh orang yang tidak bijak, dan dia menjadi anak panah yang bukan berasal dari pemanah.” Ucapan ini juga dhaif. Lantaran kelemahan Sulaiman bin Muadz.

Yahya bin Ma’in mengatakan tentang dia: laisa bi syai’ (bukan apa-apa). Abbas mengatakan, bahwa Ibnu Main mengatakan: dia adalah lemah. Abu Hatim mengatakan: laisa bil matin (tidak kokoh). Ahmad menyatakannya tsiqah (bisa dipercaya).Ibnu Hibban mengatakan: dia adalah seorang rafidhah (syiah) ekstrim, selain itu dia juga suka memutar balikan hadits. An Nasa’i mengatakan: laisa bil qawwi (tidak kuat). (Mizanul I’tidal, 2/219)

📝Catatan:
Walaupun ucapan ini dhaif, tidak ada yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun, secara makna adalah shahih. Orang beriman boleh memanfaatkan ilmu dan kemajuan yang ada pada orang lain, sebab hakikatnya dialah yang paling berhak memilikinya. Oleh karena itu, ucapan ini tenar dan sering diulang dalam berbagai kitab para ulama. Lebih tepatnya, ucapan ini adalah ucapan dari beberapa para sahabat dan tabi’in dengan lafaz yang berbeda-beda.

Dari Al Hasan bin Shalih, dari ‘Ikrimah, dengan lafaznya:

“Ambil-lah hikmah dari siapa pun yang engkau dengar, sesungguhnya ada seorang laki-laki yang berbicara dengan hikmah padahal diabukan seorang yang bijak, dia menjadi bagaikan lemparan panah yang keluar dari orang yang bukan pemanah.” (Al Maqashid Al Hasanah, 1/105)

Ucapan ini adalah shahih dari ‘Ikrimah, seorang tabi’in senior, murid Ibnu Abbas. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, Al Hasan bin Shalih bin Shalih bin Hay adalah seorang tsiqah, ahli ibadah, faqih, hanya saja dia dituduh tasyayyu’ (agak condong ke syi’ah). (Taqribut Tahdzib,  1/205)

Waki’ mengatakan Al Hasan bin Shalih adalah seseorang yang jika kau melihatnya kau akan ingat dengan Said bin Jubeir.  Abu Nu’aim Al Ashbahani mengatakan aku telah mencatat hadits dari 800 ahli hadits, dan tidak satu pun yang lebih utama darinya. Abu Ghasan mengatakan, Al Hasan bin Shalih lebih baik dari Syuraik. Sedangkan Ibnu ‘Adi mengatakan, sebuah kaum menceritakan bahwa hadits yang diriwayatkan dari nya adalah mustaqimah, tak satu pun yang munkar, dan menurutnya Al Hasan bin Shalih adalah seorang yang ahlushshidqi (jujur lagi benar).  Ibnu Hibban mengatakan, Al Hasan bin Shalih adalah seorang yang faqih, wara’, pakaiannya lusuh dan kasar, hidupnya diisi dengan ibadah, dan agak terpengaruh syi’ah (yakni tidak meyakini adanya shalatJumat). Abu Nu’aim mengatakan bahwa Ibnul Mubarak mengatakan Al Hasan bin Shalih tidak shalat Jumat, sementara Abu Nu’aim menyaksikan bahwa beliau shalat Jum’at.  Ibnu Sa’ad mengatakan dia adalah seorang ahli ibadah, faqih, dan hujjah dalam hadits shahih, dan agak tasyayyu’. As Saji mengatakan Al Hasan bin Shalih adalah seorang shaduq (jujur). Yahya bin Said mengatakan, tak ada yang sepertinya di Sakkah. Diceritakan dari Yahya bin Ma’in, bahwa Al Hasan bin Shalih adalah tsiqatun tsiqah (kepercayaannya orang terpercaya). (Tahdzibut Tahdzib, 2/250-251)

Hanya saja Sufyan Ats Tsauri memiliki pendapat yang buruk tentangnya. Beliau pernah berjumpa dengan Al Hasan bin Shalih di masjid pada hari Jum’at, ketika Al Hasan bin Shalih sedang shalat, Ats Tsauri berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari khusyu’ yang nifaq.” Lalu dia mengambil sendalnya dan berlalu. Hal ini lantaran Al Hasan bin Shalih –menurut At Tsauri- adalah seseorang yang membolehkan mengangkat pedang kepada penguasa (memberontak). (Ibid, 2/249)

Namun, jarh (kritik) ini tidak menodai ketsiqahannya, lantaran ulama yang menta’dil (memuji) sangat banyak.

Selain itu, telah shahih dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

“Ilmu adalah barang mukmin yang hilang, maka ambil-lah walau berada di tangan orang-orang musyrik, dan janganlah kalian menjauhkan diri untuk mengambil hikmah itu dari orang-orang yang mendengarkannya.” (Ibnu Abdil Bar, Jami’  Bayan Al ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/482. Mawqi’ Jami Al Hadits).
Wallahu A’lam

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678