📆 Sabtu, 23 Rajab 1437H / 30 April 2016
📚 KELUARGA
📝 Pemateri: Ustadz DR. Wido Supraha
📋 CINTA (bag-1)
🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁
Cinta adalah nikmat Allah Jalla wa ‘Ala yang dianugerahkan kepada setiap hamba-Nya. Begitu besar perhatian manusia sepanjang sejarah kehidupan tentang cinta sejalan dengan perhatian manusia yang besar terhadap hati mereka, sebuah perwujudan pengagungan atau perhatian atau luapan kecintaan kepadanya, yang seperti singa dan pedang, atau seperti bencana besar atau seperti arak yang memabukkan, dan tiga pengertian ini menyatu di dalam cinta.
Maka wajar begitu banyak istilah yang disematkan kepada kata cinta hingga hari ini, bahkan melebih 50 istilah. Di antaranya kasih sayang (al-mahabbah), hubungan (al-‘alaqah), hasrat (al-hawa), kerinduan (as-shabwah), kerinduan yang halus (ash-shibabah), cinta mendalam (asy-syaghaf), cinta (al-miqats), cinta disertai rasa sedih (al-wajdu), cinta mendalam (al-kalafu), penghambaan (at-tatayyamu), cinta yang meluap-luap (al-‘isyq), cinta membara (al-jawa), sakit karena cinta (ad-danfu), cinta yang berakhir kegelisahan dan kesedihan (asy-syajwu), rindu (asy-syawaq), cinta yang mengecoh (al-khilābah), cinta yang gelisah (al-balābil), cinta yang memuncak (at-tabārīh), cinta yang berakhir dengan sesal (as-sidam), lalai dan mabuk (al-ghamarāt), takut (al-wahal), membutuhkan (asy-syajan), hangus (al-lā’ij), merana karena sedih (al-aktiāb), derita cinta (al-washab), kesedihan (al-huzn), kesedihan yang terpendam di dalam hati (al-kamadu), terbakar api (al-ladz’u), gejala cinta (al-huraqu), sulit tidur (al-araqu), sedih (al-lahfu), belas kasih (al-hanīn), tunduk (al-istikānah), derita cinta (at-tabālah), terbakar kerinduan (al-lau’ah), ujian cobaan (al-futūn), tidak waras (al-junūn), setengah gila (al-lamamu), binasa (al-khablu), teguh (ar-rasīs), penyakit yang merasuk (ad-dā al-mukhāmiru), kasih yang tulus (al-wuddu), satu cinta (al-khullah), sahabat (al-khilmu), cinta yang dibutuhkan (al-gharamu), sangat dahaga (al-huyamu), linglung (at-tadliyah), bingung (al-walahu), penghambaan (at-ta’abbud), dan banyak lagi istilah-istilah lainnya. Namun istilah yang telah disebutkan ini adalah yang paling tepat dimasukkan ke dalam kategori cinta, sebagaimana Ibn Qayyim al-Jauziyyah di dalam Raudhah al-Muhibbīn wa Nuzhah al-Musytaqīn.
Cinta dapat hadir karena ada motif dan pendorongnya, jika belum ada, maka munculkanlah motif dan pendorong cinta. Hal ini selaras dengan sabda Nabishallallaahu ‘alai wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian hendak melamar seorang wanita, maka hendaklah dia memandang apa yang mendorongnya untuk menikahinya, karena yang demikian itu lebih layak untuk merukunkan di antara keduanya.” (HR. Abu Daud).
Maka sepasang suami-isteri yang telah melalui ikatan pernikahan sekian lamanya, hendaknya bersama-sama melakukan introspeksi dan menghadirkan apa motif dan pendorong terlahirnya cinta yang akan menguatkan bahtera dalam sakinah, mawaddah, rahmah dan da’wah. Pernikahan yang tercipta karena kerinduan meraih cinta kepada Allah akan melahirkan aktifitas turunan yang bertemakan cinta, seperti mendidik anak dengan cinta, membimbing istri dengan cinta, suami bekerja mencari nafkah karena cinta, dan ayah mengajarkan ilmu kepada anaknya dengan cinta, bahkan seorang suami dapat mengatakan kepada isterinya, “Disebabkan oleh Cinta, kupercayakan rumahku padamu.” [1]
Cinta yang hadir di antara orang-orang beriman bisa menjadi begitu kuat karena mereka merasakan ikatan yang sama, kecocokan dalam satu keadaan, perbuatan dan tujuan yang sama, menyatukan hati mereka laksana satu tubuh, satu tubuh yang amat besar. Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Perumpamaan orang-orang Mukmin dalam cinta, kasih sayang dan kelembutan mereka laksana satu tubuh. Jika ada satu anggotanya yang sakit, maka semua anggota tubuhnya akan mengeluh karena demam dan tidak bisa tidur (HR. Muslim).
Kecintaan yang begitu mendalam akan melahirkan konsentrasi yang tinggi terhadap sesuatu dan meniadaan sesuatu yang lain secara sempurna, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kecintaanmu kepada sesuatu bisa membuat buta dan tuli. (HR. Ahmad).
Ketika seseorang mencintai ilmu, maka ia tidak lagi merasakan penting selainnya. Al-Hasan al-Bashri berkata, “Satu bab mempelajari ilmu lebih aku cintai daripada dunia dan segala isinya.”[2]
Ketika seseorang mencintai Allah maka ia pun ingin ada sekian banyak saudaranya dalam tubuh yang besar itu juga mencintai Allah dan aktifitas apapun akan dilakukannya untuk melahirkan satu tubuh besar yang mencintain Allah. Berkata al-Hasan al-Bashri, “Hamba yang paling dicintai Allah adalah hamba yang membuat Allah dicintai hamba lainnya dan mengamalkan nasihat di muka bumi ini.”[3]
Benar bahwa ia saat ini hidup di dunia sehingga realistis baginya untuk mengupayakan kebaikan untuk hidupnya di dunia, namun ia sama sekali tidak mencintainya kecuali bersungguh-sungguh menjadikan aktifitasnya di dunia untuk meraih cinta yang hakiki di akhirat. Nasihat besar dari al-Hasan al-Bashri dalam hal ini, “Tidak ada yang lebih membuatku tercengang daripada rasa kagetku melihat orang yang menganggap mencintai dunia adalah dosa besar. Sungguh mencintai dunia adalah perbuatan dosa besar. Sebab, semua dosa besar bersumber dari mencintai dunia, penyembahan berhala dan bermaksiat kepada Allah terjadi karena mencintai dunia serta perilaku lebih mengutamakannya?”[4]
Bersambung …
[1] Persis seperti judul sebuah buku yang ditulis oleh Mohammad Fauzil Adhim [2] Shalih Ahmad asy-Syami, Nasihat Ulama Salaf, hlm. 133 [3] Ibid, hlm. 139 [4] Ibn Jauzi, Al-Hasan al-Bashri, hlm. 38-39🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹
Dipersembahkan:
www.iman-islam.com
💼 Sebarkan! Raih pahala…