🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹
📝 Pemateri: Slamet Setiawan, S.H.I
Al-Qur’an; untuk Menyatukan
Secara harfiah Al-Qur’an berasal dari akar kata qara’a-yaqra’u berarti menghimpun atau mengumpulkan (al-jam’), membaca (an-nuthq). Dari akar kata tersebut lahirlah kata Al-Qur’an berarti himpunan atau kumpulan. Dari akar kata yang sama lahir kata Al-Qur’an. Disebut Al-Qur’an karena kitab itu berisi bacaan (quran) dan kandungannya menghimpun keseluruhan inti ajaran kitab-kitab suci sebelumnya.
Al-Qur’an juga berarti bacaan (mulia). Disebut Al-Qur’an karena ia dibaca. Namun juga bisa berarti al-qur’u berarti menghimpun atau menyatukan. Seakar kata dengan ayat yang mengatakan, “Tsalâtsata qurû’; iddah perempuan yang dicerai tiga kali masa haid atau masa bersih. Pengertian yang kedua ini jarang disosialisasikan, padahal makna ini lebih fungsional dan kontributif untuk pencerahan umat.
Al-Qur’an bisa dimaknai sebagai menghimpun nilai-nilai universal yang berserakan. Al-Qur’an menghimpun dan menyatukan substansi ajaran keagamaan yang bersifat universal. Dengan demikian, kehadiran Islam bukan berarti harus menyingkirkan seluruh tata nilai yang ada sebulumnya, tetapi mengeditnya menjadi satu kesatuan yang utuh. Islam mengakomodir doktrin dan metode ajaran yang datang sebelumnya. Ini bisa dipahami misalnya dalam ayat puasa yang amat terkenal.
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَیۡكُمُ ٱلصِّیَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagagaimana diwajibkannya pada umat-umat sebelum kalian.” (QS al-Baqarah [2]: 183)
Bukan hanya puasa, tetapi haji juga dipraktikkan oleh umat-umat sebelum Nabi Muhammad, lalu diteruskan oleh Islam dengan segala penyesuaian. Keberadaan Nabi Muhammad juga bukan membawa ajaran-ajaran yang sama sekali baru, tetapi lebih merupakan kelanjutan dari ajaran agama luhur sebelumnya, khususnya agama-agama samawi. Nabi Muhammad Saw. juga pernah menegaskan,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتِيَمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus menyempurnakan akhlak karimah.” (HR al-Baihaqi)
Ini artinya Nabi Muhammad Saw. bukan harus memulai dari nol, tetapi melanjutkan atau menyempurnakan nilai-nilai yang sudah ada. Tidak heran jika ada ajaran-ajaran Yahudi dan Nasrani unsur-unsurnya dapat ditemukan di dalam ajaran Islam.
Di Kitab Suci Al-Qur’an sendiri banyak ditemukan kata-kata Yahudi dan Nasrani. Bahkan kisah-kisah nabi di dalam Al-Qur’an sering dijumpai padanannya di dalam Al-Kitab, khususnya dalam Kitab Kejadian. Bedanya adalah penyebutan sejumlah nama, seperti Adam disebut Edam, Hawa disebut Eva, Musa disebut Moses, Sulaiman disebut Salomon, Isa disebut Yesus Kristus, Nuh disebut Noh, Lut disebut Lot, Daud disebut David, dan seterusnya. Substansi kisah-kisahnya juga hampir sama. Ini membuktikan antara agama tersebut memiliki kedekatan antara satu sama lain. Sangat menyedihkan, begitu dekat doktrin agama-agama tersebut, tetapi yang terjadi adalah permusuhan antara agama-agama tersebut.
Al-Qur’an dalam arti menghimpun atau menyatukan, termasuk juga menyatukan potensi-potensi kecerdasan yang dimiliki manusia, seperti kecerdasan inderawi, kecerdasan rasional, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Al- Qur’an memiliki kekuatan untuk mengedit dan mengintegrasikan Jenis-jenis kecerdasan manusia. Al-Qur’an menetralisir perbedaan secara ekstrim antara potensi-potensi kecerdasan manusia, seperti antara kecerdasan rasional/intelektual dan kecerdasan emosional spiritual.
Semangat penyatuan yang terkandung di dalam Al-Qur’an juga terlihat di dalam doktrin yang terkandung di dalamnya yang begitu elastis dan fleksibel, sehingga memungkinkan nilai-nilai dan norma-normanya begitu mudah melintasi zaman dan menerobos batas-batas geografis. Nilai-nilai Al-Qur’an begitu mudah dicerna oleh oarng-orang dari berbagai etnik.
Sangat tidak tepat jika Al-Qur’an jika dijadikan alat dan kekuatan pembentur antara satu sama lain, karena sesuai dengan namanya Al-Qur’an itu penghimpun dan pemersatu.
🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🌹
Al-Furqan; Membedakan Haq dan Bathil
Al-Furqan secara bahasa adalah mashdar dari kata faraqa berarti membedakan, memisahkan, dan memilah. Al-Qur’an disebut al-Furqan karena membedakan dengan tegas mana yang haq dan mana yang bathil. Kebalikannya dengan Al-Qur’an yang menghimpun dan menyatukan kebenaran universal yang berserakan di mana-mana. Al-Furqan memberikan informasi secara mikro, hal-hal mana yang dapat dan tidak dapat dilakukan, barang-barang mana yang boleh dan tidak dikonsumsi, hal-hal mana yang dipandang etis atau tidak etis dilakukan.
Disebut al-Furqan karena memang betul-betul memberikan mapping dan jalur-jalur yang dapat ditempuh umat manusia jika ingin mendapatkan keberuntungan. Sebaliknya, al-Furqan juga menunjukkan jalan-jalan yang sesat dan menyesatkan. Menarik untuk diperhatikan, doa yang dieksplisitkan di dalam surah al- Fatihah:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS al-Fatihah [1]: 6-7)
Al-Furqan juga membentangkan dua jalan, yaitu jalan baik dan jalan buruk, terserah kita memilih jalan yang mana. Ayat yang menyinggung hal tersebut ialah,
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَاهَا. وَقَدْ خَابَ مَنْ دشاها
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS As-Syams [91]: 8-10)
Fungsi al-Furqan untuk memberikan guidance setiap orang. mana jalan yang lurus bermuara ke surga dan mana jalan yang serong bermuara ke neraka. Orang-orang yang memiliki jalan yang lurus dan istiqamah menjalani jalan itu dijanjikan keselamatan, ketenteraman, dan kebahagiaan. Sebaliknya, orang-orang yang memilih jalan menyimpang dan tidak cepat-cepat kembali (tobat) maka dengan sendirinya akan diancam dengan kekecewaan dan penderitaan. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Qur’an,
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ، وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرا يَرَه
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS al-Zalzalah [99]: 7-8)
Banyak lagi ayat-ayat yang menyatakan akibat dari pilihan yang dipilih manusia di dalam menjalani kehidupannya. Al-Furqan juga menunjukkan jalan-jalan yang lebih baik di antara banyak jalan baik lainnya. Sebaliknya, Al-Furqan juga menunjukkan jalan-jalan yang paling buruk di antara beberapa jalan buruk lainnya. Dengan demikian, Al-Furqân memberikan informasi mana yang paling menguntungkan dan mana yang paling merugikan bagi manusia. Al-Furqân menjadi landasan sesuatu itu bisa disebut fardhu atau wajib, sunah, mubah (boleh), makruh, dan haram.
Jika manusia sudah memahami dan sudah mampu untuk membedakan antara yang hak dan yang bathil, tinggal tugas manusia selanjutnya memohon perlindungan dan keteguhan hati dari Allah Swt. agar selalu konsisten terhadap petunjuk yang telah diberikan Allah Swt. melalui kitab-Nya bernama Al-Furqan. Persoalan sering muncul karena manusia sesungguhnya sudah tahu mana yang haq dan mana yang bathil, tetapi masih sering tergoda melakukan yang bathil dan malas melakukan yang haq. Karena itu permohonan bimbingan dan pertolongan harus satu paket; selain memohon petunjuk juga kita harus memohon pertolongan agar Allah Swt. memberikan kekuatan untuk menghindari yang batil dan melaksanakan yang haq.
Sejatinya, secara popular Al-Qur’an dan al-Furqan mempunyai arti sama yakni kitab suci Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. melalui perantara Jibril, kemudian menjadi sebuah Kitab tuntunan hidup bagi umat Islam. Namun dalam pandangan tafsir sufistik keduanya memiliki arti yang berbeda. Dalam pandangan tasawuf, sebagaimana dijelaskan Dawud al-Qushairi, salah seorang musyarih Kitab Pushush al-Hikam, Al-Qur’an dimaknai sebagai himpunan dari berbagai realitas dan entitas yang ada. Al-Qur’an sering dijadikan istilah untuk maqam lebih tinggi (al-maqam al-‘ulya) atau sering menjadi atribut bagi ‘manusia langit’ (al-insan as-samawi) yaitu orang-orang yang sudah memandang pluralitas kehidupan dan heterogenitas alam semesta sebagai wujud entitas Ilahi (al-jam’iyyah al-ilahiyyah). Al-Qur’an menjadi atribut bagi orang yang sudah sampai kepada maqam atas, yang tidak terganggu lagi dengan kehadiran entitas-entitas yang bermacam-macam bahkan cenderung berkontradiksi satu sama lain.
Manusia langit (al-insân as-samawi) yang biasa disebut manusia qur’ani (al-insan Al-Qur’ani) tidak lagi sibuk mencari identitas setiap entitas yang ada karena mereka sudah sampai kepada kesadaran bahwa pluralitas kehidupan dan heterogenitas entitas yang ada sesungguhnya adalah satu. Apa yang tampak sebagai the whole entity dalam alam semesta ini, baik makrokosmos maupun mikrokosmos, tidak lain adalah pengejawentahan (tajalli) diri-Nya Sang Maha Esa. Orang yang sampai kepada maqam ini disebut maqam al-qurb an-nawafil. Ada orang yang sampai kepada puncak penyaksian bahwa sesungguhnya yang ada ini tidak ada siapapun dan apapun selain Dia Yang Maha Esa (ahadiyyah).
Manusia qur’ani tidak lagi tersedot energinya untuk mengidentifikasi entitas-entitas yang ada karena mereka melihat apa yang ada sesungguhnya adalah hanya sebuah realitas. Tantangan kita sekarang bagaimana beranjak dari manusia bumi menjadi manusia langit.
Sedangkan al-furqan secara harfiah berasal dari kata faraqa yafruqu-furqan berarti membedakan, memisahkan, membagi-bagi, dan memperhadap-hadapkan. Dari akar kata ini lahir kata Al-Furqan, nama lain dari Al-Qur’an berarti memisahkan antara yang haq dan bathil, baik dan buruk. Akan tetapi, dalam perspektif tasawuf, khususnya dalam kajian Ibn ‘Arabi dalam kitab Pushush al-Hikam, kata al-furqan sering digunakan sebagai lambang identitas bumi dan maqam rendah (al-maqam as-sufla). Disebut “manusia bumi” (al-insan al-ardh) atau al-insan al-furqân, karena paradigmanya masih memandang realitas alam ini sebagai makhluk dan entitas yang beraneka ragam.
Keanekaragaman realitas ini kemudian menyedot energinya untuk melakukan identifikasi, mencari perbedaan dan persamaan antara satu realitas dengan realitas lain. Bahkan perbedaan itu mempengaruhi karakter dan kepribadiannya. Ada yang disukai berlebihan dan ada yang dibenci secara berlebihan. Mereka menikmati tetapi sekaligus terbebani dengan pluralisme kehidupan dan heterogenitas alam semesta. Namun lebih banyak energinya tersedot untuk melakukan penyesuaian diantara berbagai pluralitas yang ada. Manusia bumi sulit merasakan kebahagiaan dan kedamaiaan secara permanen karena paradigmanya masih lebih sering memperhadap-hadapkan antara identitas satu entitas dengan entitas yang lain. Akhirnya, ia merasa tidak pernah puas karena sehari-hari mengejar bayangan fatamorgana.
Wallahu A’lam Bishshowab
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸
Al-Kitab, Autentitas Ajaran Ilahi
Al-Kitab berasal dari kata kataba-yaktubu berarti menulis kemudian lahir kata kitab berarti kitab atau buku. Dari kata kitab mendapat imbuhan huruf alif-lam ma’rifah yang menunjukkan kekhususan untuk membedakan buku-buku atau kitab-kitab lain. Tidak sama jika dikatakan kitab (a book) dan al-kitab (the book). Sejarah semantik penggunaan Al-Kitab sama dengan penggunaan Al-Qur’an, yang keduanya menunjukkan makna kitab atau bacaan sakral, suci atau agung. Bacaan yang dianggap biasa, seringkali orang Arab menggunakan kata matluw (membaca) dan makhthuth (menulis). Jadi kata Al-Kitab dan Al-Quran dengan sendirinya menunjukkan bukan kitab atau bacaan biasa tetapi berkonotasi bacaan sakral. Itulah sebabnya mengapa ketika diperintahkan Jibril membaca (iqra’), Nabi Muhammad mengatakan “saya tidak bisa membaca” (má ana bi qari), artinya saya bukan orang atau bangsa pembaca Kitab Suci, karena memang belum pernah ada Kitab Suci yang turun di negeri Arab sebelumnya. Ini bisa dipahami bahwa belum tentu Nabi Muhammad tidak bisa membaca tulisan-tulisan lain (yang tidak sakral), karena perintahnya iqra’, bacalah (Kitab Suci), bukannya menggunakan utlu, yang bacalah buku-buku biasa. Penggunaan kata Al-Kitab di dalam Al-Qur’an mempunyai beberapa arti. Bisa berarti Al-Qur’an seperti dalam ayat,
حم وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ
“Ha Mim. Demi Kitab (Al-Qur’an) yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.” (QS Ad-Dukhân [44]: 1-3)
Demikian pula dalam ayat,
وَمَا أَنزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ إِلَّا لِتُبَيْنَ لَهُمُ الَّذِي اخْتَلَفُوا فِيهِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab (Al-Qur’an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (QS an-Nahl [16]: 64)
Al-Kitab juga bisa menunjukkan kitab-kitab suci sebelum Al-Qur’an seperti kitab Taurat, misalnya dalam ayat,
وَمِنْهُمْ أُمِيُونَ لَا يَعْلَمُونَ الْكِتَابَ إِلَّا أَمَانِي وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
“Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al-Kitab (Taurat), kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.” (QS al-Baqarah [2]: 78)
Demikian pula dalam ayat,
وَقَالَتِ الْيَهُودُ لَيْسَتِ النَّصَارَى عَلَى شَيْءٍ وَقَالَتِ النَّصَارَى لَيْسَتِ الْيَهُودُ عَلَى شَيْءٍ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابِ
“Dan orang-orang Yahudi berkata, “Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan, dan orang-orang Nasrani berkata, Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan, padahal mereka (sama-sama) membaca Al-Kitab.” (QS al-Baqarah [2]: 113)
Al-Kitab bisa berarti Kitab Lauh al-Mahfuzh, seperti ditegaskan dalam ayat, “Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu dalam induk Al-Kitab (Lauh al-Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.” (QS az- Zukhruf [43]: 4)
Ada ulama juga memaknai ayat, “Kitab ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,” (QS al-Baqarah [2]: 2) sebagai Lauh al-Mauhfuzh karena menggunakan kata isyarat dzâlika, yang menunjukkan untuk sesuatu yang jauh, tidak menggunakan hádza misalnya, kata isyarat untuk yang dekat. Dengan demikian yang dimaksud al-Kitab dalam ayat ini bukan Al-Qur’an tetapi Lauh al-Mahfuzh.
Intinya bahwa kata Al-Kitab merupakan nama lain Al-Qur’an untuk menunjukkan autentitas nilai-nilai dan norma-norma ajaran Islam. Tentang ada atau tidak ada persamaan antara kitab-kitab sebelumnya dapat dianalisis di dalam masing-masing kitab. Yang jelas Al-Kitab sebagai bukti autentik ajaran Islam dapat di dalami di dalam kitab Al-Qur’an yang sering juga diistilahkan dengan Al-Kitab
Wallahu A’lam Bishshowab
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸
Adz-Dzikr, Mengingatkan Manusia yang Lalai
Adz-Dzikr berasal dari kata dzakara-yadzkuru berarti mengingat, menyebut, dan memberi nasihat. Al-Qur’an disebut Adz-Dzikr karena mengingatkan kembali apa yang pernah kita ketahui kemudian dilupakan. Baik dalam dunia kognitif-intelektual maupun dunia emosional-spiritual. Allah Swt. berkali-kali menyebut Adz-Dzikr dengan maksud Al-Qur’an, seperti disebutkan di dalam ayat,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لحافظون
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS al-Hijr [15]: 9)
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزَّبُرِ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS an-Nahl [16]: 44)
ص وَالْقُرْآنِ ذِي الذِكر
“Shad, demi Al-Qur’an yang mempunyai keagungan.” (QS Shad [38]: 1)
Al-Qur’an disebut Adz-Dzikr untuk mengingatkan dan sekaligus memberi peringatan kepada manusia yang kodratnya pelupa, lalai, bimbang, suka berkeluh-kesah. Orang yang mengingat dan tetap dalam keadaan sadar disebut adz-dzakir, kebalikannya ialah lupa, lalai, dan tidak tahu apa yang pernah ia ketahui disebut al-ghafil.
Kehadiran Al-Qur’an di tengah-tengah kita, selain untuk mengingatkan (Adz-Dzikr) juga sebagai sumber informasi (Al-Wahy) dan sumber konfirmasi (Al-Huda). Manusia pada dasarnya cerdas. Kecerdasannya melekat pada potensi dan kelebihan kelengkapan dirinya dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Manusia memiliki akal-pikiran, hati, kalbu, roh, dan kecerdasan inderawi. Semenjak azali Tuhan sudah menguji sebelum keluar dari rahim Ibu. Tuhan bertanya, “Apakah engkau sudah paham dan mengakui Aku sebagai Tuhanmu?” Dijawab, “Iya (bala).” (QS al-A’râf [7]: 172)
Dalam soal adikodrati, Al-Qur’an lebih sering menggunakan istilah lupa atau lalai (ghafil) bagi manusia ketimbang sebagai bodoh (jahil). Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan dan kecerdasan, bahkan makrifat, hanya mereka terkontaminasi oleh lingkungan sosial dan lingkungan alam, sehingga mereka perlu diingatkan kembali. Disinilah fungsi Adz- Dzikr untuk mengingatkan kembali atau membersihkan memori dari endapan dan kontaminasi dosa dan maksiat. Orang-orang arif (ahl adz-zikr) yang memahami inti Al-Qur’an diperlukan untuk mengingatkan mereka yang lupa, lalai, atau belum memahami petunjuk yang sudah sejak zaman azali diinstal ke dalam diri setiap orang. Inilah arti dari ayat,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kalian kepada ahli dzikir jika kalin tidak tahu.” (QS an-Nahl [16]: 43)
Untuk memahami Al-Qur’an sebagai pemberi peringatan (Adz-Dzikr) diperlukan cara dan metodologi khusus untuk memahaminya. Boleh jadi ada beberapa orang yang sama membaca Al-Qur’an tetapi masing-masing berbeda hikmah yang diperolehnya. Mungkin ada yang sangat terkesan dan langsung menangkap makna batin ayat-ayat yang dibacanya, sehingga ia betul-betul berubah total setelah itu. Tetapi mungkin ada sebaliknya, sama sekali tidak menangkap apapun dari bacaannya. Sama-sama ayat yang dibaca tetapi suasana batin si pembaca ayat itu yang berbeda. Karena itu, siapa saja yang ingin membaca Adz-Dzikr hadirkanlah suasana dan nuansa batin, seolah-olah berhadapan dengan Sang Pengucapnya sendiri, Allah Swt. Dengan demikian Adz-Dzikr akan memberi bekas di dalam diri kita.
Wallahu A’lam Bishshowab
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸
At-Tanzil, Membumikan Petunjuk-Nya
Salah satu nama Al-Qur’an ialah At-Tanzil, berasal dari kata nazzala-yunazzilu berarti menurunkan, kemudian membentuk kata tanzil yang mendapatkan imbuhan alif lam ma’rifah (al) menjadi at-tanzil, berarti sesuatu yang diturunkan secara gradual, berangsur-angsur. Al-Qur’an disebut At-Tanzil karena diturunkan ke langit bumi secara bertahap dan berangsur. Yang pertama kali Allah turunkan ialah surah al-‘Alaq [96]: 1-5 dan diakhiri dengan QS al-Ma’idah [5]: 3, menurut jumhur ulama.
Allah Swt. menggunakan kata At-Tanzil dengan maksud Al- Qur’an sebagaimana termaktub di dalam ayat,
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ
“Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, ia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril as).” (QS Asy-Su’ara’ [26]: 192-193),
قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا أَنزَلَ هَؤُلَاءِ إِلَّا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ بصائر وإني لأظُنُّكَ يَا فِرْعَوْنُ مَثْبُورًا
“Musa menjawah Sesungguhnya kamu telah mengetahui, bahwa tiada yang memurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Tuhan Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata, dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Firaun, seorang yang akan binasa.” (QS al-Isra’ [17]: 102)
Banyak hikmah di balik penamaan Al-Qur’an sebagai At-Tanzil, penurunan secara bertahap, yang memerlukan waktu kurang lebih 23 tahun. Penurunannya secara bertahap menandakan Al-Qur’an itu kitab yg manusiawi. Allah Swt. memberi waktu kepada hamba-Nya untuk berubah tidak sekaligus. Misalnya, untuk menghapuskan tradisi riba dan rentenir yang merupakan kebiasaan buruk orang-orang Arab Jahiliah, diperlukan tujuh ayat untuk sampai kepada ayat pamungkas, “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS al-Baqarah [2]: 275). Demikian pula minuman keras memabukkan yang merupakan kebiasaan orang-orang Arab; dihapuskan setelah melalui penurunan 4 ayat yang membatasinya secara bertahap sampai kepada larangan totalnya, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS al-Ma’idah [5]: 90)
Bisa dibayangkan, seandainya Al-Qur’an itu diturunkan secara sekaligus maka akan terjadi revolusi peradaban yang dipaksakan dan pada akhirnya akan menimbulkan berbagai benturan sosial. Al-Qur’an diturunkan melalui tiga perinsip utama, yaitu: Berangsur-angsur dalam penurunannya (at-tadrij fi at-tasyri’), sedikit demi sedikit dalam penerapannya (taqlil at-taklif), dan meniadakan kesulitan (adam al-haraj). Proses dialektika penurunan Al-Qur’an ini menjadi pelajaran penting buat kita semua, bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa pun membutuhkan waktu di dalam memperkenalkan ide-ide-Nya. Mengubah keadaan budaya dan peradaban suatu masyarakat memerlukan waktu dan tentunya dengan kesabaran. Proses pembumian Al-Qur’an selama 23 tahun itu tujuannya untuk melangitkan kembali manusia dari kejatuhannya.
Wallahu A’lam Bishshowab
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis
Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial
📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis
💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130