📝 Pemateri: Ustadz Faisal Kunhi, M.A
🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃
Islam adalah agama yang sangat menghargai kepakaran, karenanya seseorang tidak dibenarkan berbicara kecuali ia memilki ilmu tentangnya, Allah berfirman,
“وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isra: 36).
Syaikh Wahbah Zuhaili berkata tentang makna ayat di atas, “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui, dan janganlah kamu ikut campur dalam hal yang tidak ada hubungannya denganmu. Sesungguhnya pada hari kiamat kamu bertanggungjawab di sisi Allah atas penglihatan, pendengaran dan hati yang kamu gunakan baik dalam kebaikan atau keburukan. Dan anggota-anggota tubuh ini adalah amanat yang dititipkan di sisimu.”
Lihatlah bagaimana takutnya Abu Bakar ketika ia berkata yang bukan bidangnya, padahal dia adalah orang yang pertama kali beriman kepada Rasululullah, seraya berkata,
“أي سماء تظلني؟ وأي أرض تقلني؟ إذا قلت في كلام الله ما لا أعلم” “
“Langit mana tempat saya bernaung, dan bumi mana tempat saya berpijak, jika saya berkata tentang kitab Allah yang tidak saya ketahui,“ itulah komentar Abu Bakar ketika ia ditanya tentang makna “Abba” dalam surah ‘Abasa ayat 31.
Lihatlah bagaimana Umar bin Khattab seorang sahabat besar dan senior, tidak malu bertanya kepada Ibnu Abbas tentang tafsir surah An Nasr; Umar bertanya kepadanya karena Ibnu Abbas pernah didoakan oleh Nabi saw,
“ اللهم فقهه فى الدين وعلمه التأويل “
“Ya Allah jadikanlah Ibnu Abbas orang yang dalam ilmu agamanya dan ajarkan ia ilmu tafsir.”
Riwayat-riwayat di atas juga memberikan pesan buat kita bahwa ulama itu memilki kepakarannya masing-masing, sebagaimana Umar bertanya kepada Ibnu Abbas tentang tafsir karena ia tidak memiliki pengetahuannya tentangnya.
Jadi bukan sebuah aib jika seorang ulama tidak menguasai semua bidang, sebagaimana Imam Malik ketika di tanya 40 permasalahan agama, maka 36 pertanyaan ia jawab dengan “tidak tahu“.
Kepakaran itu diibaratkan seperti silet; silet bisa mencukur rambut tetapi ia tidak bisa digunakan untuk menebang pohon. Golok bisa dipakai untuk menebang pohon, tetapi ia tidak bisa digunakan untuk merapihkan rambut kita.
Maka ada ulama yang pakar di bidang fiqh tetapi ia tidak menguasai tafsir, atau ada yang pakar dalam ilmu hadist tetapi ia tidak menguasai ushul fiqh, maka itu adalah hal yang biasa.
Agar kita tidak salah dalam memahami sebuah Ilmu, maka Islam mengajarkan kita untuk bertanya kepada pakarnya. Allah SWT. berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang berpengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.” (QS An Nahl: 43).
Hati-hatilah berkomentar tentang agama, apalagi jika kita tidak memilki latar belakang keilmuan dan hanya bermodalkan membaca satu atau dua buku, dan kita tidak memiliki guru untuk meluruskan pemahaman kita; ingatlah nasihat para ulama,
“ من ليس له شيخ فشيخه شيطان “
“Siapa yang tidak memiki guru, maka gurunya adalah setan.“
Berhati-hatilah berkata tentang makna ayat dalam Al Qur’an, karena kita tidak bisa sempurna memahami sebuah ayat dalam Al Qur’an tanpa mengetahui sebab turunya dan tanpa mengaitkannya dengan al hadist, karena sebagian besar ayat-ayat Al Qur’an itu sifatnya global, kemudian hadist yang menjelaskannya secara rinci.
Dalam hadits disebutkan,
وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi no. 2951. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if).
Masruq berkata,
اتقوا التفسير، فإنما هو الرواية عن الله
“Hati-hati dalam menafsirkan (ayat Al Qur’an) karena tafsir adalah riwayat dari Allah.
Berkata tentang sesuatu yang bukan menjadi bidang kita itu seperti seseorang yang menggunakan pisau bedah untuk mengobati seseorang; memegang pisaunya sama tetapi jika yang menggunakannya bukanlah seseorang yang mempelajari ilmu kedokteran, akhirnya bukan kesembuhan yang didapat tetapi kecelakaan dan bertambahnya penyakit.
Memang Al Qur’an dan hadistnya sama, tetapi jika seseorang tidak memilki kemampuan berbahasa Arab, tidak kenal ilmu Al Qur’an, ilmu hadist, ushul fiqh dan kaidah fiqh, serta ilmu-ilmu Islam lainnya, akhirnya ia memahami ayat apa adanya tanpa mengaitkan dengan hal-hal yang kontekstual.
Hari ini kita menyaksikan di Indonesia begitu mudahnya seseorang berbicara tentang agama, berceramah ke sana dan ke sini memberikan fatwa kepada umat, padahal ia hanya seorang public figure yang baru saja bertaubat.
Ulama berkata, “تعلم ثم تكلم , “Belajarlah kemudian bicaralah.”
Ada sebuah nasihat dari Imam Syafi’i’ untuk para pemimpin karena mereka adalah orang yang sering berbicara di depan rakyatnya; jika mereka sering salah bicara, maka rakyat yang akan di rugikan, beliau berkata,
تفقه قبل أن ترأس , فإذا ترأس فلا سبيل إلى التفقه
“Belajarlah sebelum engkau menjadi pemimpin, sebab ketika engkau telah memimpin, tiada masa lagi untuk belajar.
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis
📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis
💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678