📝 Pemateri: Ustadz Dr. H. Saiful Bahri, M.A
🍃🍃🌺🍃🍃🌺🍃🍃
Dalam menapaki hidupnya manusia memerlukan petunjuk. Petunjuk ini ibarat secercah cahaya di tengah kegelapan yang pekat.
Luasnya kehidupan yang diarungi oleh manusia yang berada di tengah berbagai nafas dan kepentingan duniawi. Tak jarang dalam kondisi seperti ini manusia melupakan asalnya. Dia berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Kehidupan yang diberikan kepadanya adalah sebuah ujian.
Kelak ia akan mempertanggung-jawabkan semua apa yang dilakukannya di dunia.
Dalam interaksi sosial, manusia memerlukan panduan sebagai pijakan. Apalagi bagi seorang muslim, ia lebih memerlukannya.
Dalam Surat Annur yang sedang kita tadabburi kali ini, Allah menurunkan berbagai aturan sebagai cermin sosial seorang muslim dalam berinteraksi. Erat kaitannya dengan interaksi antara laki-laki dan perempuan, adab-adab rumah tangga serta berbagai sikap terhadap penyelewengan sosial.
Dan sebagai contoh riil sejarah, Allah menurunkan beberapa ayat untuk menyikapi fitnah besar berita bohong (ifky) yaitu tuduhan keji orang-orang munafik terhadap Ibunda Aisyah r.a dan Sahabat Shafwan bin Mu’atthal ra.
”Ini (adalah) satu surat yang kami turunkan dan kami wajibkan (menjalankan hukum yang ada di dalam)nya. Dan kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya..” (QS. Annur : 1)
Sebagai salah satu surat yang diturunkan di Madinah, memiliki ciri khusus berupa hukum-hukum dan peraturan.
Secara global dapat kita klasifikasikan dalam beberapa permasalahan pokok sebagai berikut.
Pertama
Pada ayat kedua Allah menjelaskan hukuman bagi pezina baik laki-laki maupun perempuan yaitu didera (dicambuk) 100 kali.
Hukuman ini dikhususkan bagi mereka yang belum pernah menikah. Dan sebagian besar ahli fikih menambahkannya dengan diasingkan selama satu tahun.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ubadah bin Shamit ra. Sedangkan untuk laki-laki dan perempuan yang sudah (pernah) menikah maka dihukum rajam.
Dalam istilah fikih disebut dengan ”muhshan”.
Berdasarkan hadits Nabi saw dan perintah beliau untuk merajam pezina yang muhshan serta berdasarkan apa yang beliau lakukan beberapa kali, juga disepakati oleh para shahabat beliau. ”… dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat… ” (QS. Annur: 2).
Yang dimaksudkan bukan melaksanakan hukuman dengan kejam atau sampai melewati batas. Namun tetap menjaga sisi kemanusiaan.
Hanya saja kadang kita malah berbelas kasihan terhadap orang-orang yang berbuat salah tersebut sehingga meninggalkan penerapan hukuman seperti ini.
Seperti kasus pembunuhan. Kadang kita berdebat tentang nasib si pembunuh, namun sering terlupakan bagaimana ia membunuh korbannya. Tentunya bila sudah sama-sama jelas mana saja pihak yang bersalah.
Dalam masalah perzinaan ini tidaklah sepele, karena untuk menetapkannya perlu persaksian empat orang laki-laki yang melihat secara langsung. Atau dengan pengakuan pihak yang bersangkutan.
Selain itu Allah memerintahkan pelaksanaan hukuman ini dengan disaksikan oleh orang banyak. Hal ini dimaksudkan agar orang-orang bisa mengambil ibrah dan pelajaran dari peristiwa tersebut, serta menjauhi perbuatan buruk dan keji ini. Dan Allah menyediakan jalan keluar yang halal, yaitu dengan pernikahan.
Penegasan Allah tentang keburukan perbuatan ini tertera pada ayat berikutnya :
”Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin”. (QS. Annur: 3)
Ini bukan sebuah perintah, namun sebuah kaidah sosial yang umum. Artinya tidak selaiknya orang baik-baik menikahi orang-orang yang berzina, baik laki-laki maupun perempuan. Kecuali mereka yang benar-benar bertobat dari perbuatannya. Konon ayat ini turun ketika ada beberapa orang sahabat Nabi yang terlilit kemiskinan dan kehidupan Madinah sangat perlu biaya yang tidak sedikit. Di pasar dan tempat-tempat umum terlihat ada pintu-pintu yang diberi tanda khusus bahwa penghuninya adalah para perempuan pezina.
Mereka berandai-andai kalau bisa menikahi mereka sampai mencukupi kebutuhan hidup di Madinah. Mereka lalu bertanya pada Rasulullah dan turunlah ayat ini. (HR. Ibnu Abi Hatim)
Menurut sebagian pakar hadits, hadits ini lemah karena perawinya terputus sampai tabiin saja, dalam istilah ilmu hadits disebut mursal.
Ringkasnya hukuman berzina ada dua, yaitu secara hukum dan peraturan yang diterapkan (hudûd) dan hukuman sosial (dengan diperlihatkan prosesi pelaksanaan hukuman dan diharamkan menikahi mereka bagi orang baik-baik)
Kedua
Pada ayat berikutnya Allah memerinci lebih detai lagi. ”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Annur : 4-5)
Sebuah bentuk proteksi sosial dari Allah. Bahwa tidak selaiknya orang-orang ringan lidah mengatakan sebuah tuduhan tanpa didasari dengan bukti dan persaksian yang cukup seperti yang disebutkan dalam ayat ini, yaitu dengan 4 orang saksi.
Ini juga berlaku untuk perempuan yang menuduh laki-laki atau laki-laki dan perempuan yang menuduh sesamanya berbuat zina. Yang demikian agar orang-orang lebih menjaga lisan dan perkataannya.
Secara ringkas hukuman orang yang menuduh zina orang baik-baik tanpa bukti yang lengkap ada dua macam: secara hukum (didera 80 kali) dan hukuman sosial dengan tidak diterimanya persaksian mereka.
Ketiga
Pada ayat 6 sampai 10 Allah lebih memerinci lagi. Bila kasus tersebut terjadi dalam rumah tangga. Bila prahara keji ini terjadi dan dilakukan oleh orang yang paling dekat dalam hidup. Orang-orang sekarang lebih menyederhanakan istilahnya dengan sebutan ”selingkuh”. Dalam istilah fikih penyelesaian kasus seperti ini disebut dengan Li’an. Karena suami yang menuduh istrinya berzina tidak memiliki saksi selain dirinya sendiri. Jika ia pergi mencari 4 saksi maka istrinya yang berzina akan lari dan menyudahi hajatnya. Bila ia menyimpannya maka ia pendam bara kebencian yang bergejolak dalam dadanya.
Peristiwa ini pernah dialami oleh sahabat Rasul, Hilal bin Umayah sebagaimana yang diceritakan oleh Sa’ad bin Ubadah. Rasul pun akhirnya mencambuknya 80 kali dan dibatalkan persaksiannya dalam hal apapun. Sampai Allah menurunkan ayat ini. Kemudian keduanya (Hilal dan istrinya) dipanggil Rasulullah dan dimintai sumpahnya seperti yang tertera pada surat Annur ayat 6-9.
Keempat
Pada ayat selanjutnya (ayat 11-26) Allah menceritakan sebuah fitnah besar yang menyerbu kehidupan sosial masyarakat Madinah saat itu. Sebuah prahara yang menimpa keluarga Rasulullah Saw. Yaitu tuduhan kaum munafik terhadap Ibunda Aisyah ra dan sahabat Shafwan bin Muaththal ra. Para ilmuwan dan para sejarahwan merekam kejadian ini. Seperti apa yang diriwayatkan Imam Bukhari dari cerita Urwah bin Zubeir terhadap apa yang menimpa bibinya (Aisyah). Fitnah ini terjadi pasca perang Bani Musthaliq pada bulan Sya’ban tahun 5 H. Rasulullah menyertakan Aisyah ra untuk menemani beliau berdasarkan undian yang diadakan antara istri-istri beliau. Dalam perjalanan kembali ke Madinah para pasukan beristirahat. Aisyah keluar dari sekedup untanya untuk sebuah keperluan, kemudian kembali lagi. Namun, tiba-tiba beliau merasa kehilangan kalungnya. Maka segera beliau turun kembali dan mencari kalung tersebut. Semantara para pasukan bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Mereka mengira Aisyah sudah berada di dalam sekedupnya. Maka mereka berjalan. Ketika Aisyah kembali ia telah ditinggal rombongan. Beliau berharap pasukan mengetahui bahwa sekedup itu kosong dan kembali menjemputnya. Aisyah pun menunggu hingga tertidur. Kebetulah ada seorang sahabat, Shofwan bin Muaththal lewat. Beliau heran melihat dari jauh ada seseorang tertidur sendirian. Alangkah terkejutnya setelah beliau tahu bahwa orang tersebut adalah Aisyah, istri Rasulullah saw. Reflek Shofwan beristirja’ (mengatakan: innâ lilLâhi wa innâ ilaihi râji’ûn). Aisyah terbangun juga karena terkejut. Dan mereka sama sekali tidak keluar kata-kata kecuali hanya ucapan Shafwan tersebut. Kemudian Shafwan mempersilakan Aisyah mengendarai untanya, dan Shafwan pun menuntunnya hingga mereka tiba di Madinah. Orang-orang yang melihat mereka memasuki Madinah dengan penafsiran masing-masing, hingga terdengar desas-desus yang kurang mengenakkan keluarga Rasulullah. Kemudian kaum munafik menyulut fitnah ini dan menjadi besar kemudian mengerucut tuduhan selingkuh kepada Aisyah ra. Sehingga menimbulkan prahara fitnah di tengah kaum muslimin. Rasul pun gundah. Dan Aisyah kembali ke rumah orang tuanya untuk meredakan fitnah ini. Urwah menuturkan perkataan bibinya yang dirundung kesedihan yang sangat hingga kehabisan air mata. Aisyah terus menerus berdoa agar Allah membebaskannya. Sebagian kaum muslimin ada yang termakan oleh fitnah ini. Hingga turunlah ayat-ayat pembebasan terhadap ibunda Aisyah yang suci dari tuduhan keji kaum munafik.
Orang-orang itu menganggap desas-desus ini sesuatu yang remeh, namun Allah menganggapnya sebuah dosa yang besar. Apalagi mereka tidak pernah mendatangkan empat orang saksi. Maka mereka, para penuduh itu bagi Allah adalah sebesar-besar pendusta. Allah mengancam orang-orang yang menyulut fitnah ini dengan hukuman yang pedih dan di akhirat. Serta membebaskan keguncangan sosial ini.
Rasulpun memerintahkan hukuman cambuk kepada sebagian sahabatnya yang terpancing dengan tuduhan ini. Mereka kembali diterima persaksiannya setelah mereka bertobat. Kecuali orang-orang munafik yang bersembunyi dari hukum Allah. Kelak Allah akan membuka tabir kebusukan mereka.
Keenam
Pada ayat (30-31), Allah menjelaskan aturan dan pedoman interaksi antara laki-laki dan perempuan. ”Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat.” (QS. Annur: 30) Bukan hanya laki-laki saja yang dituntut demikian, namun perempuan juga. Bahkan mereka juga mesti menjaga adab berpakaian lebih dari laki-laki. Yaitu dengan melonggarkan pakaiannya dan mengenakan jilbab. ”Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. Annur: 31)
Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kebersihan sosial masyarakat dari bahaya kekejian besar sebagaimana yang dijelaskan di awal-awal surat, yaitu perbuatan zina. Untuk menjaga potensi anak-anak muda agar bisa lebih produktif dan kreatif. Serta untuk memelihara keutuhan rumah tangga dan melanggengkan keharmonisan yang dinamis penuh rahmah dan mawaddah. Tentunya hal ini perlu kerja sama antara kedua pihak yang ada di tengah komunitas masyarakat; laki-laki dan perempuan. Jangan pernah ada saling menuduh antara perempuan dan laki-laki, karena keduanya bertanggung jawab atas masing-masing dan bekerja sama untuk menumbuhkan kondisi masyarakat yang lebih jernih dan bersih.
Laki-laki diperintahkan untuk menjaga pandangannya juga kehormatannya. Demikian juga perempuan, juga masing-masing menjaga penampilan dengan adab-adab berpakaian yang memenuhi standar norma yang diatur agama. Bukan dengan membiarkan bagian-bagian tubuh yang dapat mengundang fitnah terbuka, atau berpakaian ketat yang mencetak bentuk tubuh, atau juga mengenakan pakaian transparan yang tipis yang juga akan menimbulkan fitnah dan mempersulit untuk menjaga pandangan.
Dan tentunya proses penyadaran ini terus menerus dilakukan oleh siapapun. Terutama yang memahami aturan ini. Proses penyadaran terhadap masyarakat ini juga tidak berjalan sebentar, namun perlu proses panjang dan kesabaran. Agar masyarakat tidak berubah menjadi anti dan kemudian membenci aturan-aturan Allah. Di sinilah dai yang bijak bisa menempatkan diri dengan hikmah dan bijaksana dalam berdakwah di tengah masyarakatnya. Tidak menyerah dalam kondisi apapun, bahkan sampai seburuk apapun kondisi sosialnya. Juga tidak dengan pemaksaan yang berlebihan.
Adapun perhiasan yang dimaksud di sini adalah sesuatu bila terbuka dan terlihat oleh laki-laki maka bisa menimbulkan fitnah. Maka urutan pengecualian (boleh) melihatnya pun berbeda-beda. Dimulai dari suami. Karena suami istri dibebaskan, dihalalkan melihat apa saja diantara mereka berdua. Kemudian setelahnya ayah kandung, ayah mertua dan seterusnya. Secara eksplisit memang kita tak menjumpai bagaimana tata cara perempuan berpakaian di depan saudara perempuan mereka dan ibu mereka. Tapi ini adalah standar umum kesopanan mereka berpakaian di rumah. Juga penegasan ”wanita yang islam” adalah demi menjaga aurat.
Karena dikhawatirkan bila mereka memberikan penggambaran fisik seorang muslimah dikarenakan tidak paham atau dikarenakan kebencian atau sebab-sebab yang lain. Karena sebagaimana melihat, mendeskripsikan fisik perempuan dalam Islam adalah suatu yang dihindari. Sayangnya justru modernisasi yang dipahami oleh sebagian orang adalah dengan memperlihatkan fisik di depan umum. Dengan dalih membebaskan, sebagian berdalih seni. Dan sebagian lain berdalih konsumtif dan keinginan pasar. Bila seperti ini maka perempuan hanya dinilai dari fisiknya saja. Padalah Allah memuliakannya. Dan karena perempuan sebagaimana laki-laki, tidak dinilai dari penampilan fisiknya. Siapa-siapa saja yang berhak melihat ”perhiasan” tersebut telah diatur dalam agama.
Wallahu A’lam
🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis
📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis
💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678