Larangan Jual Beli Sesuatu Yang Tidak Dimiliki (Bai’ Ma’dum)

0
82

Pemateri: Ust. Rikza Maulan, Lc., M.Ag

Taujih Nabawi

عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ فَقَالَ لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ (رواه الخمسة)

Dari Hakim bin Hizam ra, ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, seseorang datang kepadaku ingin membeli sesuatu yang tidak aku miliki, apakah boleh aku memberlikan untuknya dari pasar?

Beliau bersabda, ‘Janganlah engkau menjual apa yang tidak engkau miliki.’ (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’I, Ibnu Majah, & Imam Ahmad bin Hambal)

Takhrij Hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi ar-Rajul Yabi’u Ma Laisa Lahu, hadits no 3040.

Diriwayatkan juga oleh Imam Tirmidzi dalam Jami’nya, Kitab Al-Buyu’ ‘an Rasulillah, Bab Ma Ja’a fi Karahiyati Bai’ Ma Laisa ‘Indak, hadits no 1153.

Diriwayatkan juga oleh Imam Nasa’i dalam Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Bai’ Ma Laisa ‘Indal Ba’I’, hadits no 4534.

Diriwayatkan juga oleh Imam Ibnu Majah dalam sunannya, Kitab Al-Buyu’, bab An-Nahyu an Bai’ Ma Laisa Indak wa An Ribhi Ma Lam Yudman, hadits no 2178.

Diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam Musnadnya, pada Musnad Al-Makiyin, dalam Musnad Hakim bin Hizam an Rasulillah SAW, hadits no 14772,

Makna Umum

Secara umum, hadits ini menggambarkan tentang larangan jual beli barang yang tidak ada atau jual beli barang yang belum dimiliki oleh penjual, baru kemudian ia membelinya di pasaran, lalu ia menjualnya kepada pembeli.

Dalam istilah lainnya, jual beli dimana penjual tidak memiliki atau belum memiliki objek jual belinya, dikenal juga dengan istilah bai’ ma’dum, yaitu jual beli yang objeknya tidak ada.

Hadits Hakim bin Hizam di atas menggambarkan bahwa ia didatangi oleh seseorang yang ingin membeli sesuatu yang tidak ia miliki. Kemudian nanti ia AKAN membelinya, lalu menjualnya kepada orang tersebut.

Namun ternyata hal tersebut dilarang oleh Rasulullah SAW dengan sabdanya, ‘Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada pada dirimu.’

Makna Sesuatu Yang Tidak Ada (Ma’dum)

Sesuatu yang tidak ada (ma’dum) adalah sesuatu yang tidak dimiliki oleh penjual, atau tidak dalam kuasa dan genggaman penjual dan tidak dalam penguasaan penjual.

Sehingga penjual tidak bisa melakukan serah terima barang yang ditransaksikan tersebut kepada pembeli.

Sementara diantara syarat dalam jual beli adalah bahwa objek yang diperjualbelikan harus bisa diserah terimakan.

Masuk dalam kategori sesuatu yang tidak ada (ma’dum) adalah:

jual beli anak dari anaknya onta (habalil habalah),

jual beli onta yang hilang yang tidak diketahui keberadaannya,

jual beli mutiara yang masih berada di dalam kerang di tengah lautan,

jual beli susu hewan yang masih berada dalam teteknya,

jual beli buku sebelum ditulis bukunya, dsb.

Dikecualikan dari jual beli sesuatu yang tidak ada (ma’dum) adalah jual beli barang yang ada, namun tidak ada di hadapan penjual maupun pembeli pada saat transaksi, namun sesungguhnya wujudnya ada di tempat lain.

Atau dengan istilah lain, disebut dengan gha’ib.

Jual beli barang yang ghaib adalah boleh, dengan syarat wujud barangnya ada.

Dikecualikan juga jual beli barang yang tidak ada, namun secara sifat, spesifikasi, dan wujud keberadaannya secara logika dan kebiasaan umum akan ada, maka termasuk diperbolehkan.

Oleh karenanya, diperboleh kan bai’ salam dan bai’ istishna’.

Jenis-Jenis Bai’ Ma’dum dan Hukumnya.

1. Jenis (المعدوم الموصوف في الذمة)

Yaitu jual beli barang yang belum ada, namun spesifikasinya jelas dan keberadaannya dalam jaminan penjual.

Ulama sepakat bai’ ma’dum jenis yang pertama, diperbolehkan, selama secara kebiasaan umum keberadaan objek yang diperjualbelikan bisa dipastikan keberadaannya.

Contohnya adalah seperti jual beli kendaraan secara inden, jual beli elektronik, gadget, secara inden, dsb.

Dalam timbangan syariah, jual beli seperti ini disebut dengan bai’ salam.

Atau contoh bentuk lainnya adalah jual beli dengan pesanan pembuatan terlebih dahulu, seperti jas yang dijahit sesuai ukuran pembeli, jual beli lemari dengan ukuran dan model tertentu, renovasi rumah, dsb.

Dalam syariah  jual beli seperti ini disebut dengan bai’ istishna’.

2. Jenis  (بيع معدوم تبع للموجود وإن كان أكثر منه)

Yaitu jual beli yang objeknya tidak ada, namun mengikuti yang sudah ada, meskipun kemungkinan tidak adanya lebih banyak dari keberadaannya.

Nah dalam hal ini, ulama berbeda pendapat sebagian membolehkannya namun sebagian lainnya tidak memperbolehkannya.

Yang memperbolehkan karena beranggapan masih bisa masuk dalam kategori bai’ salam, seperti membeli buah-buahan setelah melihat hasil buah yang pertama dan secara logika umumnya, dapat menghasilkan buah-buahan dengan kualitas yang sama.

Yang tidak memperbolehkan adalah karena menganggap, unsur ghararnya lebih dominan dan apabila diterapkan dalam objek lainnya, maka akan tererumus pada bai’ gharar yang diharamkan.

Contohnya seperti jual beli anak hewan, yang belum lahir dan belum ada dalam kandungan induknya.

3. Jenis (بيع المعدوم الذي لا يدرى يحصل أو لا يحصل)

Yaitu jual beli yang objeknya tidak ada, dan tidak diketahui apakah keberadaannya akan ada atau tidak ada.

Ulama sepakat akan haramnya jual beli ma’dum jenis yang ketiga ini. Karena sudah jelas ke ghararannya dan juga karena tidak bisa diserah terimakan serta berpotensi besar menimbulkan unsur penipuan di dalamnya.

Termasuk di dalamnya adalah jual beli sebagaimana digambarkan di dalam hadits utama di atas, yaitu seorang penjual datang lalu membeli barang yang tidak dimilikinya, kemudian ia pergi ke pasar untuk membelinya, lalu ia menjualnya kepada pembeli tersebut.

Jual beli seperti ini adalah termasuk yang dilarang, berdasarkan nash hadits di atas.

Illat (Penyebab) Larangan Dalam Bai’ Ma’dum

Ulama sepakat, bahwa illat atau musabab pelarangan bai’ ma’dum adalah karena adanya unsur gharar (ketidakjelasan), pada objek akad yang ditransaksikan, sehingga berpotensi menimbulkan kerugian pada salah satu pihak atau bahkan kepada kedua belah pihak yang berakad.

Dan sebagai catatannya, ternyata ulama memandang pelarangannya adalah bukan karena tidak beradaannya, namun karena ghararnya.

Karena bisa jadi barang yang ditransaksikan belum ada, namun keberadaannya bisa dipastikan secara logika umum dan ada jaminan dari keberadaannya.

Jika demikian maka hukumnya menjadi boleh.

Jika kita melihat jenis-jenis ba’i al ma’dum yang dilarang dan jenis ba’i al ma’dum yang diperbolehkan, maka akan dapat disimpulkan bahwa segala objek yang dilarang diperjual-belikan, pada umumnya keberadaan objeknya tidak pasti dan tidak diketahui; apakah akan ada atau tidak ada.

Sedangkan sebaliknya segala objek yang diperbolehkan dalam bai’ ma’dum ini, umumnya keberadaannya lebih bisa dipastikan, walaupun terkadang tidak ada pada saat akad.

Sehingga kaidah yang berlaku dalam ba’i al ma’dum adalah:

Segala yang tidak ada dan tidak dapat direalisasi kan keberadaannya di masa datang maka tidak boleh diperjual-belikan.

Dan segala yang tidak ada namun keberadaannya dapat direalisasikan di masa datang, sesuai dengan kebiasaan maka boleh diperjual-belikan.🔑🌟

Maraji’

Al-Syaukani, Al-Alamah Muhammad bin Ali. Nailul Authar, Min Ahadits Sayyidil Akhyar, 1996. Beirut : Dar Al-Khair.

Al-Zuhayli, Syekh Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 1996. Damaskus ; Dar Al-Fikr

والله تعالى أعلى وأعلم بالصوبا
والحمد لله رب العالمين


Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

Subscribe YouTube MANIS : https://youtube.com/c/MajelisManisOfficial

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
wa.me/6285279776222
wa.me/6287782223130

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here