Pemateri: Ustzh. EKO YULIARTI SIROJ, SAg
Satu kisah mengagumkan diriwayatkan oleh seorang sahabiyat berhati mulia bernama Asma binti Abu Bakar Ra.
Ia berkata : “Aku menikah dengan Zubair saat dia tidak memiliki apapun selain seekor keledai yang menjadi tunggangannya. Setiap hari aku memberi makan dan minum keledai itu serta membersihkannya.
Aku mencari air untuk keperluan keluarga dan aku menyiapkan minum untuknya.
Akupun membuatkan roti dengan dibantu para wanita anshar karena aku tidak pandai membuat roti.
Aku membawa biji gandum di atas kepalaku dan berjalan sepertiga farsakh menuju rumah para wanita anshar itu.
Suatu hari saat aku berjalan pulang dengan membawa biji gandum di atas kepalaku, tiba-tiba aku bertemu dengan Rasulullah SAW dan rombongan kaum anshar. Beliau mengajakku untuk pulang dengan menunggang unta yang berjalan di belakang unta beliau.
Betapa senang hatiku dengan tawaran beliau karena lelahku akan segera berakhir. Namun saat aku ingat Zubair yang sangat pencemburu, aku urungkan niatku menerima tawaran Rasulullah. Beliau memahami kekhawatiranku dan berlalu didepanku dengan cepat.
Setibanya dirumah, aku ceritakan peristiwa itu kepada Zubair suamiku dan ia berkata : “Sungguh perjalananmu dengan membawa biji gandum di atas kepalamu lebih membuatku merasa berat dibandingkan dengan engkau menerima tawaran Rasulullah SAW.”
Dari Anas bin Malik ia berkisah, “Suatu saat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam di tempat salah seorang istrinya dan istrinya yang lain mengirim sepiring makanan. Maka istrinya yang sedang bersamanya ini memukul tangan pembantu sehingga jatuhlah piring dan pecah sehingga makanan berhamburan. Lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pecahan piring tersebut dan mengumpulkan makanan yang tadinya di piring, dengan tersenyum beliau berkata, “Ibu kalian cemburu…”
Imam Tirmizi dalam kitabnya Asy-Syamail meriwayatkan bahwa Aisyah RA berkata : “Rasulullah SAW itu adalah seorang biasa, beliau menjahit sendiri bajunya, memerah sendiri susu dari kambingnya, dan melakukan sendiri perkara yang diingininya.”
Demikianlah Rasulullah SAW dan para sahabat mencontohkan bagaimana seharusnya suami dan istri memiliki komitmen yang dilandasi kesadaran akan misinya sebagai manusia untuk beribadah kepada Allah dan untuk memakmurkan bumi. Menyadari bahwa setiap langkah hidupnya bahkan setiap helaan nafasnya adalah ibadah kepada Allah SWT.
Dalam rumah tangga hubungan suami istri adalah hubungan yang paling penting. Karena keduanya adalah subyek utama didalam keluarga.
Agar hubungan keduanya terjaga dalam keharmonisan, hubungan yang dijalin harus dilandasi oleh petunjuk Rasulullah SAW, dan landasan dari hubungan suami istri adalah :
1. Saling Tolong Menolong (Ta’awun)
Berumah tangga adalah kebaikan. Dan Allah SWT memerintahkan kita untuk saling tolong menolong dalam kebaikan.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَ شَدِيدُ الْعِقَابِ ﴿المائدة: ٢﴾
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS Al-Maidah : 2)
Kalimat تَعَاوَنُوا memiliki arti saling tolong menolong. Kata saling menunjukkan bahwa yang melakukan pekerjaan itu bukan hanya satu pihak akan tetapi dilakukan oleh kedua belah pihak.
Suami dan istri sama-sama melakukan dan memberikan pertolongan untuk pasangannya. Suami sebagai pencari nafkah, bekerja bukan semata untuk memenuhi kewajibannya. Ia menafkahi istri, anak-anak dan keluarganya dalam rangka menolong mereka agar berkehidupan layak dan mampu berdiri tegak menunaikan kebaikan-kebaikan yang banyak dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.
Terkadang istri harus ikut turun tangan memenuhi kebutuhan keluarga. Seperti yang dilakukan oleh Asma binti Abi Bakar dalam kisah di atas. Saat Zubair suaminya tidak mampu untuk menghadirkan seorang pembantu (khadimat) maka Asma melakukan seluruh pekerjaan rumahnya seorang diri. Bahkan ia rela menempuh perjalanan cukup jauh demi membuat roti yang merupakan makanan pokok di keluarganya.
2. Tidak Mengurangi Hormat Pada Pasangan
Pekerjaan berat dan perjalanan jauh yang ditempuh Asma tidak membuat hormatnya kepada Zubair berkurang. Ia bahkan menjaga sekuat tenaga agar aktifitasnya selalu terjaga.
Bahkan saat ia benar-benar membutuhkan bantuan dan bantuan itu benar-benar datang, ia mempertimbangkan perasaan suaminya yang tidak tahu akan peristiwa itu. Jika saja Asma mau, ia bisa ikut dalam rombongan Rasulullah SAW dan tidak perlu menceritakannya pada suaminya. Tapi rupanya tidak demikian akhlak seorang muslimah.
Asma menyadari bahwa aktifitas yang ia lakukan untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga adalah bantuan/pertolongan yang ia berikan kepada suaminya agar kelak mereka bisa mempertanggung jawabkan kelangsungan rumah tangga itu dihadapan Allah SWT.
Sebagai istri yang turut lelah memenuhi kebutuhan rumah tangga, Asma tidak lantas bercerita kepada orang lain akan kekurangan suaminya. Dengan ikhlas putri Abu Bakar ini bekerja dalam ta’at.
Kondisi yang sama perlu dipegang teguh juga oleh seorang suami.
Zaman yang semakin modern menuntut kaum perempuan untuk turut beraktifitas mencari finansial. Hal yang positif bila tetap berada dalam koridor syar’i. Dan Rasulullah SAW menegaskan bahwa harta istri yang dipakai untuk kepentingan keluarganya bernilai sedekah. Namun bukan berarti jika seorang istri tidak berpenghasilan membuat suami berhak untuk mengurangi rasa hormat pada istrinya. Ia tetap harus bersikap baik dan menghormati istrinya. Dan diantara menghormati istri adalah menjaga perasaannya.
Zaman dimana komunikasi antar manusia menjadi begitu mudah perlu kita waspadai. Karena bisa jadi maksiat/khalwat yang dilakukan oleh banyak orang tidak lagi membutuhkan tatap muka akan tetapi cukup di dunia maya. Cara-cara seperti itu tentu akan melukai perasaan pasangan. Oleh karenanya, ihsan (menyadari pengawasan Allah) harus terus dihidupkan dalam keseharian kita.
3. Tidak Perhitungan dg Jasa Masing-masing
Seringkali saat terjadi konflik di keluarga terutama jika terkait dengan hubungan suami istri, masing-masing tiba-tiba menjadi ingat akan semua kebaikan yang pernah dilakukan dirinya untuk pasangannya. Seringkali masing-masing mulai berhitung.
Istri berhitung bahwa suami tidak pernah turut serta dalam pendidikan anak, tidak pernah membantu pekerjaan-pekerjaan rumah, tidak pernah menyimpan handuk pada tempatnya seusai mandi dan lain sebagainya hingga masalah-masalah yang remeh.
Suami juga berhitung bahwa selama ini istri tidak menyediakan kebutuhan suami dengan optimal, kurang dalam mendidik anak, kurang dalam menata rumah, kurang pandai memasak, tidak membantu mencari income untuk keluarga dan lain-lain. Maka jadilah masing-masing berhitung akan jasanya.
Lantas…kita pun bertanya, apakah kita sedang mengelola keluarga atau mengelola perusahaan? Karena untung rugi hanya ada di perusahaan. Karena di keluarga kita hanya mengenal ta’awun tanpa hitung-hitungan.
4. Saling Memahami
Satu hal yang harus difahami oleh kita semua adalah perbedaan yang mendasar antara laki-laki dan perempuan.
Laki-laki dengan sifat kepemimpinannya dominan dengan kekuatan, kemampuan untuk berinteraksi dengan kerasnya hidup, kemampuan menanggung persoalan-persoalan berat, dsb.
Perempuan dengan sifat lembutnya memiliki kemampuan merawat, mengasihi, telaten, dsb. Namun, sifat dasar ini banyak dipengaruhi oleh pola asuh/lingkungan saat ia tumbuh dan pola didik/ajaran yang diberikan orang tua saat ia berkembang.
Dalam perbedaan yang tajam inilah pasangan suami istri membutuhkan satu sikap bersama yaitu saling memahami. (At-Tafahum).
Kalimat “at-tafahum” adalah bentuk kalimat yang menunjukkan arti saling. Mengandung makna bahwa yang memahami bukan hanya satu pihak suami saja atau istri saja, akan tetapi dalam hal memahami harus dilakukan oleh kedua pihak suami dan istri.
Saling memahami dalam hubungan suami istri tidak terwujud begitu saja. Perlu waktu panjang dan latihan kontinyu untuk mewujudkannya.
Di awal pernikahan, masing-masing memiliki harapan ideal terhadap pasangannya yang seringkali kurang realistis. Akan tetapi bersama dengan berjalannya waktu sedikit demi sedikit tersingkaplah kekurangan-kekurangan yang dimiliki pasangan. Masing-masing juga seringkali mempertahankan egonya sendiri. Memakai ukuran dengan ukuran yang dimilikinya, tidak mencoba untuk mengerti ukuran yang dimiliki oleh pasangan. Situasi seperti ini harus segera diatasi dengan kesadaran masing-masing. Jika tidak dilakukan perubahan, maka salah faham akan terus berlanjut hingga hari-hari berikutnya.
Mari kita mengenal sebab-sebab munculnya perselisihan pada pasangan suami istri :
Perbedaan kepribadian
Perbedaan pengalaman
Perbedaan latar belakang keluarga
Perbedaan latar belakang pendidikan
Perbedaan wawasan
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْناكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثى وَجَعَلْناكُمْ شُعُوباً وَقَبائِلَ لِتَعارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs. al-Hujurat: 13)
Pada ayat diatas, secara jelas Allah SWT menyebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Artinya Allah SWT menjelaskan bahwa Allah SWT menciptakan manusia berbeda-beda. Dan selanjutnya Allah SWT menjelaskan hikmah dari diciptakannya manusia secara berbeda-beda agar mereka melakukan proses dan kegiatan saling mengenal. Dan mengenal adalah kunci untuk memahami.
Adalah sesuatu yang sulit untuk merubah orang lain menjadi seperti diri kita atau seperti apa yang kita inginkan. Yang lebih mudah dan lebih baik adalah menjadikan perbedaan-perbedaan di atas sebagai sesuatu yang baik yang bisa dikelola dengan pengelolaan yang baik. Yang penting adalah bagaimana pasangan itu memiliki semangat, keinginan, dan kesiapan untuk mempelajari keterampilan mengelola perbedaan itu. Tentu perlu waktu, kelapangan hati dan kesabaran untuk bisa memahami pasangan.
Jika berhasil, akan tumbuh saling menghormati, semakin mencintai dan menyayangi, semakin dekat dan tenang terjadi pada pasangan ini.
Kunci-kunci hadirnya tafahum diantaranya:
Kunci pertama keterampilan berkomunikasi
Komunikasi adalah hal paling penting dalam kehidupan suami istri. Masing-masing harus membiasakan berkomunikasi verbal sejak awal. Menyampaikan segala sesuatu secara terbuka bukan dengan isyarat. Perempuan seringkali menganggap dan menuntut agar dengan isyarat yang ia lakukan, suami harusnya faham. Sementara umumnya laki-laki lebih mudah memahami sesuatu yang disampaikan secara jelas. Suami juga seringkali menyimpan suara hatinya karena khawatir istrinya marah, sedih atau tersinggung. Sehingga banyak para suami di kemudian hari menyalahkan istrinya padahal istri tidak tahu apa yang diinginkan suami. Sesuatu yang baik, jika kita mampu membicarakan segala hal yang terkait dengan rumah tangga walau kadang-kadang terasa kurang nyaman. Keterbukaan itu penting, untuk menghindari masalah di kemudian hari. Kita perlu terbiasa menciptakan momen-momen nyaman untuk mengemukakan berbagai keperluan rumah tangga.
Dan inilah Ummu Sulaim RA, yang memberikan teladan kepada kita bagaimana ia sangat memahami karakter dan kondisi suaminya sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut :
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa putera Abu Tholhah sakit. Ketika itu Abu Tholhah keluar, lalu puteranya tersebut meninggal dunia. Ketika Abu Tholhah kembali, ia berkata, “Apa yang dilakukan oleh puteraku?” Istrinya (Ummu Sulaim) malah menjawab, “Ia sedang dalam keadaan tenang.” Ketika itu, Ummu Sulaim pun mengeluarkan makan malam untuk suaminya, ia pun menyantapnya. Kemudian setelah itu Abu Tholhah menyetubuhi istrinya. Ketika telah selesai memenuhi hajatnya, istrinya mengatakan kabar meninggalnya puteranya. Tatkala tiba pagi hari, Abu Tholhah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan tentang hal itu. Rasulullah pun bertanya, “Apakah malam kalian tersebut seperti berada di malam pertama?” Abu Tholhah menjawab, “Iya.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mendo’akan, “Allahumma baarik lahumaa, Ya Allah berkahilah mereka berdua.”
Dari hubungan mereka tersebut lahirlah seorang anak laki-laki. Anas berkata bahwa Abu Tholhah berkata padanya, “Jagalah dia sampai engkau mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengannya.” Anas pun membawa anak tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ummu Sulaim juga menitipkan membawa beberapa butir kurma bersama bayi tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengambil anak tersebut lantas berkata, “Apakah ada sesuatu yang dibawa dengan bayi ini?” Mereka berkata, “Iya, ada beberapa butir kurma.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambilnya dan mengunyahnya. Kemudian beliau ambil hasil kunyahan tersebut dari mulutnya, lalu meletakkannya di mulut bayi tersebut. Beliau melakukan tahnik dengan meletakkan kunyahan itu di langit-langit mulut bayi. Beliau pun menamakan anak tersebut dengan ‘Abdullah. (HR. Bukhari no. 5470 dan Muslim no. 2144).
Suami istri perlu membiasakan diskusi bahkan untuk hal yang dianggap tabu seperti masalah hubungan seksual.
Hilangnya keterbukaan dalam komunikasi suami istri akan memunculkan kebosanan dan masalah yang rumit.
Pasangan suami istri perlu mempelajari cara komunikasi dan psikologi pasangan sehingga mereka bisa berkomunikasi dengan tepat.
Kunci kedua menghormati
Manusia menyukai penghormatan dan mencintai orang yang menghormatinya. Itu dikarenakan penghormatan/penghargaan adalah kebutuhan manusia. Sebagaimana manusia membutuhkan cinta, makan, minum, demikian juga ia membutuhkan penghormatan & penghargaan. Tidak ada manusia yang menyukai penghinaan. Apalagi dalam kehidupan suami istri. Penghormatan dan penghargaan yang dilakukan oleh suami istri menjadi rahasia kebahagiaan rumah tangga.
Pasangan suami istri perlu melakukan hal-hal berikut sebagai bentuk penghargaan terhadap pasangannya :
mendengarkan, memperlihatkan rasa ridho, ikut merasakan perasaan pasangan baik senang ataupun sedih,
menjaga perasaan pasangan baik saat disampingnya maupun dibelakangnya, tidak mengkritik didepan orang lain, dsb.
Ibunda Khadijah RA memberi contoh bagaimana penghormatan dan penghargaan yang diberikannya kepada suami tercinta Muhammad SAW mampu menghilangkan segenap kegelisahan yang sedang dirasakannya.
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim serta Musnad Ahmad disampaikan tentang keadaan Nabi saat baru menerima wahyu pertama di Gua Hira’, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam pulang kepada Khadijah dalam keadaan gemetar fisik dan hatinya. Beliau masuk dan berkata: selimuti aku, selimuti aku…
Ketika kondisi Rasulullah SAW mulai tenang, beliau berkata: Khadijah, aku khawatir diriku akan tertimpa musibah, aku khawatir diriku akan tertimpa musibah.
Khadijah berkata: “Bergembiralah, demi Allah, Allah tidak akan merendahkanmu selamanya. Engkau benar-benar jujur dalam ucapan, menjaga silaturahim, menanggung beban, memuliakan tamu dan membantu orang yang kesulitan.”
Walau situasi hati belum sepenuhnya tenang, akan tetapi ungkapan penuh hormat dan penghargaan yang disampaikan Khadijah mampu meredakan ketegangan yang dirasakan Rasulullah SAW.
Sikap suami istri yang saling menghormati akan melahirkan ketenangan dalam keluarga
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya.” (Qs. Ar Rum: 21)
Kunci ketiga realistis
Masing-masing harus menyadari bahwa tidak ada keluarga tanpa masalah. Oleh karenanya masing-masing perlu meningkatkan pengetahuan tentang pasangannya. Menyimpan ego dan idealismenya agar bisa menerima keinginan dan kebutuhan pasangan. Menyadari bahwa inilah takdir yang Allah berikan untuk kita serta mensyukurinya. Tidak perlu melihat orang lain dalam menjalankan biduk rumah tangga. Fokus pada pasangan dan keluarga kita karena masing-masing kita memiliki tujuan. Lebih banyak melihat sisi kebaikan pasangan dan berusaha untuk menutupi kekurangannya. Baik secara fisik maupun dari sisi akhlaknya.
Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah seorang mukmin benci kepada seorang wanita mukminah (istrinya), jika ia membenci sebuah sikap (akhlak) istrinya maka ia akan ridho dengan sikapnya (akhlaknya) yang lain” (HR Muslim)
Kunci keempat tidak mengizinkan pihak lain untuk masuk dalam rumah tangga kita
Yang dimaksud dengan pihak lain bisa dari kalangan keluarga (orang tua, kakak, adik, ipar, kerabat) atau bahkan orang lain yang kita percaya.
Rumah tangga dibangun oleh suami dan istri. Jika terjadi sesuatu dalam rumah tangga, maka yang paling berhak untuk menyelesaikan adalah yang membangunnya bukan orang lain.
Seringkali permasalahan sederhana menjadi rumit dan melebar karena ikut campurnya pihak lain. Terlebih apabila yang ikut terlibat dalam rumah tangga adalah pihak luar yang tidak memiliki hubungan keluarga seperti teman kantor, teman sekolah, teman kuliah, dan lebih berat jika teman itu lawan jenis.
Benar bahwa kita kadang perlu nasehat dari para pakar atau ahli atau orang tua, akan tetapi peran mereka hanya sebatas memberi nasehat bukan ikut campur.
Diriwayatkan dari Abi Hurairah RA ia berkata: Suatu hari Rasulullah SAW datang kepada puterinya Fathimah Az-Zahra. Beliau mendapati Fathimah sedang menumbuk gandum di atas batu penggiling sambil menangis. Kemudian Rasullah bertanya kepadanya: “Apakah yang membuatmu menangis wahai Fathimah? Allah tiada membuat matamu menangis. “Fathimah kemudian menjawab: ” Wahai ayahanda, aku menangis karena batu penggiling ini dan kesibukanku di rumah”. Kemudian Rasulullah SAW duduk di sampingnya. Dan Fathimah berkata lagi: “Wahai ayahanda, atas keutamaan engkau, mintalah kepada Ali agar dia menyediakan khadimat untukku supaya dapat membantuku menumbuk gandum dan menyelesaikan urusan rumah.” Kemudian Rasulullah berkata kepada puterinya: “Jika Allah menghendaki wahai Fathimah, tentu batu penggiling itu akan menggilingkan gandum untukmu. Akan tetapi Allah menghendaki agar ditulis beberapa kebaikan untukmu, menghapuskan keburukan-keburukan serta hendak mengangkat derajatmu.
Wahai Fathimah, jika seorang perempuan menumbukkan (gandum) untuk suami dan anak-anaknya, pasti Allah akan menuliskan untuknya dari setiap biji gandum, satu kebaikan serta menghapuskan darinya dari setiap biji gandum satu keburukan. Dan bahkan Allah akan mengangkat derajatnya.”
Tafahum adalah kunci kebahagiaan rumah tangga. Pupuklah hubungan suami istri dengan perasaan dan sikap yang baik-baik. Kadang hubungan ini basi termakan waktu hingga menjadi hambar, jenuh tanpa gairah. Inilah kondisi paling berbahaya dalam rumah tangga.
Belajarlah terus untuk menumbuhkan dan menyegarkan cinta, kasih sayang, gairah, semangat dalam berumah tangga agar keluarga kita selalu segar tak pernah layu.
Semoga Allah curahkan shalawat atas Nabi SAW. Suami mulia yang begitu faham dengan istrinya sebagaimana diceritakan oleh Anas bin Malik ia berkisah, “Suatu saat Rasulullah SAW di tempat salah seorang istrinya dan istrinya yang lain mengirim sepiring makanan. Maka istrinya yang sedang bersamanya ini memukul tangan pembantu sehingga jatuhlah piring itu dan pecah berkeping-keping. Makanan pun berhamburan. Lalu Rasulullah SAW mengumpulkan pecahan piring tersebut dan mengumpulkan makanan yang berhamburan .Dengan tersenyum beliau berkata, “Ibu kalian cemburu…” .
Dipersembahkan oleh : www.manis.id
Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis
📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis
💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678