Konsep Kebahagiaan Dalam Islam

0
47

📝Dr. Wido Supraha

Terminologi bahagia sebagai sebuah realitas hakiki hanya diulang satu kali, sebagaimana jalan cahaya pun hanya satu di antara ragam kezhaliman, merujuk kepada realitas kebenaran yang juga satu bersama satu realitas rahmat Allah yang melahirkan keberkahan yang banyak dan terus menerus.

Allah Swt. berfirman di dalam Surat Huud [11] ayat 105-108,

يَومَ يَأتِ لا تَكَلَّمُ نَفسٌ إِلّا بِإِذنِهِ ۚ فَمِنهُم شَقِيٌّ وَسَعيدٌ
فَأَمَّا الَّذينَ شَقوا فَفِي النّارِ لَهُم فيها زَفيرٌ وَشَهيقٌ
خالِدينَ فيها ما دامَتِ السَّماواتُ وَالأَرضُ إِلّا ما شاءَ رَبُّكَ ۚ إِنَّ رَبَّكَ فَعّالٌ لِما يُريدُ
۞ وَأَمَّا الَّذينَ سُعِدوا فَفِي الجَنَّةِ خالِدينَ فيها ما دامَتِ السَّماواتُ وَالأَرضُ إِلّا ما شاءَ رَبُّكَ ۖ عَطاءً غَيرَ مَجذوذٍ

Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia; Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya) di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas (dengan merintih); Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki; Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.

Dari rangkaian ayat di atas, Allah Swt menghadirkan terminologi bahagia (sa’adah; happiness) dan celaka (syaqawah;misery), keduanya adalah terminologi yang saling berlawanan. Kata sa’adah digunakan di dalam Al-Qur’an hanya pada rangkaian ayat ini yakni 1 kata benda (sa’idun) dan 1 kata kerja (su’idu) . Kata shaqawah digunakan di dalam Al-Quran pada 12 tempat, 8 tempat dalam bentuk kata benda (shiqwatna, shaqiyyan, shaqiyyun, ashqa-ha, al-ashqa), dan 4 tempat dalam bentuk kata kerja (yashqa, shaqu, litashqa, fatashqa).

Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Prolegomenamenjelaskan bahwa kebahagiaan dalam perspektif Islam diekspresikan dengan terminologi sa’adah, dan terminologi ini sangat terkait dengan dua dimensi eksistensi, akhirat (ukhrawiyyah) dan dunia (dunyawiyyah). Dalam konteks akhirat, sa’adah bermakna kebahagiaan tertinggi tanpa akhir, diberikan hanya kepada manusia yang selama di dunia memberikan penyerahan diri secara total, menjaga dirinya dari apa yang diperintahkan-Nya dan dilarang-Nya. Maka dari pengertian ini, terminologi sa’adah di akhirat sangat terkait sekali dengan kehidupan dunianya, dalam hal ini mencakup tiga hal: 1) jiwa (nafsiyyah) berkenaan dengan ilmu dan karakter baik; 2) jasad (badaniyyah) berkenaan dengan kesehatan fisik dan rasa aman; dan 3) sisi eksternal jiwa dan jasad (kharijiyyah) berkenaan dengan kesuksesan dan kekayaan dan penyebab lain di luar unsur jiwa dan jasad.

Kebahagiaan dapat juga dimaknai dengan memahami lawan katanya, syaqawah, yang mengandung elemen-elemen khauf, huzn, dank, hasrat, hamm, ghamm, dan ‘usr.

Allah Swt. berfirman dalam Surat Tha-ha [20] ayat 2,

ما أَنزَلنا عَلَيكَ القُرآنَ لِتَشقىٰ

Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kepadamu agar kamu menjadi susah;

Allah Swt. juga berfirman dalam ayat 117,

فَقُلنا يا آدَمُ إِنَّ هٰذا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوجِكَ فَلا يُخرِجَنَّكُما مِنَ الجَنَّةِ فَتَشقىٰ

Maka Kami berkata: “Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.

Allah Swt. juga berfirman dalam ayat 123,

قالَ اهبِطا مِنها جَميعًا ۖ بَعضُكُم لِبَعضٍ عَدُوٌّ ۖ فَإِمّا يَأتِيَنَّكُم مِنّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدايَ فَلا يَضِلُّ وَلا يَشقىٰ

Allah berfirman: “Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.

Bersama tiga ayat Surat Tha-ha, manusia akan terbebas dari ‘shaqawah‘ jika menjalani kehidupan berpedoman dengan Al-Qur’an, menjauhi gangguan iblis, dan istiqomah mengikuti petunjuk Allah Swt.

Allah Swt. berfirman dalam Surat Mukminum [23] ayat 106,

قالوا رَبَّنا غَلَبَت عَلَينا شِقوَتُنا وَكُنّا قَومًا ضالّينَ

Mereka berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah dikuasai oleh kejahatan kami, dan adalah kami orang-orang yang sesat.

Allah Swt. berfirman dalam Surat Maryam [19] ayat 4,

قالَ رَبِّ إِنّي وَهَنَ العَظمُ مِنّي وَاشتَعَلَ الرَّأسُ شَيبًا وَلَم أَكُن بِدُعائِكَ رَبِّ شَقِيًّا

Ia berkata “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdo’a kepada Engkau, ya Tuhanku.

Allah Swt. juga berfirman pada ayat 32,

وَبَرًّا بِوالِدَتي وَلَم يَجعَلني جَبّارًا شَقِيًّا

Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.

Allah Swt juga berfirman dalam ayat 48,

وَأَعتَزِلُكُم وَما تَدعونَ مِن دونِ اللَّهِ وَأَدعو رَبّي عَسىٰ أَلّا أَكونَ بِدُعاءِ رَبّي شَقِيًّا

Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdo’a kepada Tuhanku,mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdo’a kepada Tuhanku”.

Bersama tiga ayat dalam Surat Maryam ini, kita menyaksikan bagaimana para Nabi seperti Nabi Zakaria a.s., Nabi ‘Isa a.s., dan Nabi Ibrahim a.s. sentiasa bermunajat kepada Allah agar terhindar dari ‘syaqawah‘.

Allah Swt. berfirman dalam Surat Syams [91] ayat 12,

إِذِ انبَعَثَ أَشقاها

Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka,

Allah Swt. berfirman dalam Surat Al A’laa [87] ayat 11,

وَيَتَجَنَّبُهَا الأَشقَى

Dan orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya.

Allah Swt. berfirman dalam Surat Al-Lail [92] ayat 15,

لا يَصلاها إِلَّا الأَشقَى

Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka; Yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman).

Kebahagiaan harus diawali dengan mengenali hakikat diri. Unsur jiwa di dalam Al-Qur’an merupakan substansi  spiritual yang mengacu kepada qalb (hearth), nafs (soul or self),‘aql (intellect), atau ruh (spirit), melibatkan dua aspek, jasad dan ruh, maka di satu sisi kita mengenal al-nafs al-hayawaniyyah dan di sisi lain al-nafs al-natiqah (rational soul). Cara seseorang dalam meraih kebahagiaan tergantung pada aspek mana yang dipilihnya yang paling memberikan pengaruh. Kedua aspek ini melahirkan dua kekuatan, kekuatan nafsu hewan adalah motif dan perseptif, sementara kekuatan rasio adalah aktif dan kognitif.

Kebahagiaan harus selalu dihiasi dengan kebajikan. Kebajikan di dalam Islam mencakup apa yang bersifat zhahir (eksternal) dan bathin (internal). Kebajikan eksternal mencakup lima hal utama yakni ritual ibadah yang benar, pembacaan Al-Qur’an, dzikrullah, do’a, memenuhi seluruh keunikan cara hidup dan akhlak Muslim. Kebajikan internal mengacu pada aktifitas-aktifitas hati yang menggabungkan niyyah, ‘amal, ikhlas, dan shidq. Mengenal diri secara lebih baik akan mengarahkan kepada pengetahuan mana yang berkualitas baik dan buruk. Kebiasaan kita dalam proses pemilihan ini akan melibatkan ragam aktifitas diri mulai dari tafakkur (meditation), taubah (repentance), shabr (patience), syukr (gratitude), raja (hope), khauf (fear), tauhid (divine unity), tawakkal (trust), hingga mahabbah (love of god).

Kebahagiaan sangat erat kaitannya dengan iman, sebagai kata amina bermakna aman, bebas dari segala ketakutan, maka terminologi khauf merupakan lawan kata amnu, jika menggunakan pengertian ketakutan kepada selain Allah. Adapun khauf kepada Allah justru akan menghadirkan ‘iffah (temperance), wara’ (abstinence), taqwa (piety), sidq (truthfulness). Dari sinilah kita menjadi faham mengapa iman sangat terkait dengan kondisi-kondisi tatma’innu, tuma’ninah, sehingga melahirkan al-nafs al-muthma’innah.

Allah Swt. berfirman dalam Surat Al-Ra’d [13] ayat 28,

الَّذينَ آمَنوا وَتَطمَئِنُّ قُلوبُهُم بِذِكرِ اللَّهِ ۗ أَلا بِذِكرِ اللَّهِ تَطمَئِنُّ القُلوبُ

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.

Keimanan kepada Allah hanya akan melahirkan keyakinan (yaqin) utuh bahwa seluruh hakikat kepastian hanya datang dari Allah semata. Maka terminologi yaqin berlawanan dengan syakk(keraguan) dan zhann (prasangka). Keyakinan dalam Al-Qur’an disebutkan dalam tiga tingkatan: ‘ilm al-yaqin, ‘ayn al-yaqin, dan haqq al-yaqin. Maka yakinlah kebahagiaan akan hadir manakalah iman tidak lagi terganggu dengan keraguan dan prasangka, iman yang dibangun di atas ilmu sehingga menghadirkan bashirah.

Akhirul kalam, Ibn Khaldun mengatakan, “Bahagia itu tunduk dan patuh mengikuti garis-garis yang ditentukan Allah dan perikemanusiaan”, Ibn Khalid mengatakan, “Bahagia itu sentosa perangai, kuat ingatan, bijaksana akal, tenang dan sabar menuju maksud. Maka jadilah orang yang berbahagia (KUN SA’IIDAN) dengan berpegang teguh dalam agama, maka kebahagiaan hakiki akan diraih.

Buya Hamka mengutip sya’ir Hutai’ah,

Bukanlah kebahagiaan itu pada mengumpul harta benda;

Tetap taqwa akan Allah itulah bahagia

Taqwa akan Allah itulah bekal yang sebaik-baiknya disimpan,

Pada sisi Allah sajalah kebahagiaan para orang yang taqwa.


🍃🍃🌸🍃🍃🌸🍃🍃🌸
Dipersembahkan oleh : www.manis.id

Follow IG MANIS : http://instagram.com/majelismanis

📱Info & Pendaftaran member : https://bit.ly/Joinmanis

💰 Donasi Dakwah, Multi Media dan Pembinaan Dhuafa
An. Yayasan Manis
No Rek BSM : 7113816637
Konfirmasi:
+62 852-7977-6222
+62 822-9889-0678

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here